PERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN (DIURNAL)

dokumen-dokumen yang mirip
RESPON IONOSFER TERHADAP GERHANA MATAHARI 26 JANUARI 2009 DARI PENGAMATAN IONOSONDA

PENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF

PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T )

STUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF

KAJIAN AWAL ABSORPSI IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA FMIN (FREKUENSI MINIMUM) DI TANJUNGSARI

DAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY)

Komputasi TEC Ionosfer Mendekati Real Time Dari Data GPS

TELAAH PROPAGASI GELOMBANG RADIO DENGAN FREKUENSI 10,2 MHz DAN 15,8 MHz PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO BANDUNG WATUKOSEK DAN BANDUNG PONTIANAK

ANALISIS PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF DAN RADIUS DAERAH BISU

Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL

KEMUNCULAN LAPISAN E SEBAGAI SUMBER GANGGUAN TERHADAP KOMUNIKASI RADIO HF

Buldan Muslim Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

METODE PEMBACAAN DATA IONOSFER HASIL PENGAMATAN MENGGUNAKAN IONOSONDA FMCW

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN ALE (AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT) NASIONAL

KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI

ANALISIS AKURASI PEMETAAN FREKUENSI KRITIS LAPISAN IONOSFER REGIONAL MENGGUNAKAN METODE MULTIQUADRIC

Jiyo Peneliti Fisika Magnetosferik dan Ionosferik, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

LAPISAN E SPORADIS DI ATAS TANJUNGSARI

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu

PREDIKSI SUDUT ELEVASI DAN ALOKASI FREKUENSI UNTUK PERANCANGAN SISTEM KOMUNIKASI RADIO HF PADA DAERAH LINTANG RENDAH

KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE

Analisis Pengaruh Lapisan Ionosfer Terhadap Komunikasi Radio Hf

LAPISAN E IONOSFER INDONESIA

PREDIKSI FREKUENSI KOMUNIKASI HF TINGKAT PROVINSI DI INDONESIA SELAMA AWAL SIKLUS MATAHARI MINIMUM 25

UNTUK PENGAMATAN PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF SECARA

PENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM

PERAN LAPISAN E IONOSFER DALAM KOMUNIKASI RADIO HF

Buldan Muslim Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

PEMODELAN DAN VALIDASI HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KRITIS LAPISAN F2 IONOSFER (fof2) DENGAN TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DARI DATA IONOSONDA DAN GPS

Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

Sri Suhartini *)1, Irvan Fajar Syidik *), Annis Mardiani **), Dadang Nurmali **) ABSTRACT

ANALISIS KOMPATIBILITAS INDEKS IONOSFER REGIONAL [COMPATIBILITY ANALYSIS OF REGIONAL IONOSPHERIC INDEX]

Varuliantor Dear 1 dan Gatot Wikantho Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan. Diterima 8 Maret 2014; Disetujui 14 Juni 2014 ABSTRACT

Diterima 6 September 2012; Disetujui 15 November 2012 ABSTRACT

Bab IV Hasil dan Pembahasan

KOMUNIKASI RADIO HIGH FREQUENCY JARAK DEKAT

BAB IV ANALISIS KUAT MEDAN PADA PENERIMAAN RADIO AM

STUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO

ANALISA PERUBAHAN KARAKTERISTIK TEC AKIBAT LETUSAN GUNUNG MERAPI TAHUN 2010

ANALISA NILAI TEC PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI PEMBIMBING EKO YULI HANDOKO, ST, MT

Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Fisika Jurusan Fisika. diajukan oleh SUMI DANIATI

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

gelombang tersebut dari pemancar ke penerima yang berdampak pada penurunan kualitas sinyal dalam sistem telekomunikasi (Yeo dkk., 2001).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VARIASI KETINGGIAN LAPISAN F IONOSFER PADA SAAT KEJADIAN SPREAD F

KAJIAN HASIL UJI PREDIKSI FREKUENSI HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO DI LINGKUNGAN KOHANUDNAS

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH

MANAJEMEN FREKUENSI DAN EVALUASI KANAL HF SEBAGAI LANGKAH ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LAPISAN IONOSFER

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK

ANALISA NILAI TEC (TOTAL ELECTRON CONTENT) PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI

IMPLEMENTASI PROGRAM APLIKASI UNDUH FILE DATA REAL TIME INDEKS T GLOBAL UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari

VARIASI KUAT SIGNAL HF AKIBAT PENGARUH IONOSFER

PENGARUH GERHANA MATAHARI 09 MARET 2016 TERHADAP KANDUNGAN TOTAL ELEKTRON IONOSFER

Manajemen Frekuensi Data Pengukuran Stasiun Automatic Link Establishment (ALE) Riau

FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF Di LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Sri Suhartini 1, Irvan Fajar Syidik, Slamet Syamsudin Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan. Diterima 15 Februari 2014; Disetujui 17 April 2014

PEMANFAATAN PREDIKSI FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF UNTUK MANAJEMEN FREKUENSI

ATMOSFER BUMI A BAB. Komposisi Atmosfer Bumi

SELEKSI PARAMETER MASUKAN MODEL TEC IONOSFER DI DAERAH LINTANG RENDAH [INPUT PARAMATERS SELECTION OF IONOSPHERIC TEC MODEL AT LOW LATITUDE REGION]

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Atmosfer Bumi. Meteorologi. Peran Atmosfer Bumi dalam Kehidupan Kita. Atmosfer Bumi berperan dalam menjaga bumi agar tetap layak huni.

Sri Ekawati* Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional *

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VARIASI LAPISAN E DAN F IONOSFER DI ATAS KOTOTABANG

KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI DAN BADAI GEOMAGNET

IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN

BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di

TUGAS AKHIR - TE Dita Novali Putri Rahayu NRP

Diterima 6 Maret 2015; Direvisi 18 Maret 2015; Disetujui 17 April 2015 ABSTRACT

ANALISIS ASOSIASI SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE III DENGAN FLARE SINAR-X DAN FREKUENSI MINIMUM IONOSFER

KOMUNIKASI DATA MENGGUNAKAN RADIO HF MODA OLIVIA PADA SAAT TERJADI SPREAD-F

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013

B A B I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. bab 1 pendahuluan

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA

LAPISAN E SPORADIS IONOSFER GLOBAL DARI TEKNIK GPS-RO

MEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA

RANCANGAN PEMANFAATAN DATA TEC PADA SISTEM PPP NEAR REAL TIME DENGAN GPS FREKUENSI TUNGGAL

ANALISIS KEJADIAN SPREAD F IONOSFER PADA GEMPA SOLOK 6 MARET 2007

BAB I PENDAHULUAN. Halaman Latar Belakang

PENENTUAN FREKUENSI MAKSIMUM KOMUNIKASI RADIO DAN SUDUT ELEVASI ANTENA

PENENTUAN INDEKS AKTIV1TAS MATAHARI EKSTRIM HARIAN

RISET IONOSFER REGIONAL INDONESIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP SISTEM KOMUNIKASI DAN NAVIGASI MODERN

KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN

Analisis Percepatan Tanah Maksimum Wilayah Sumatera Barat (Studi Kasus Gempa Bumi 8 Maret 1977 dan 11 September 2014)

IDENTIFIKASI GELOMBANG GRAVITAS MENGGUNAKAN DATA RADAR MF

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

ALGORITMA TDOA UNTUK PENGUKUR JARAK ROKET MENGGUNAKAN TEKNOLOGI UHF

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data

CUACA ANTARIKSA. Clara Y. Yatini Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

LIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

Analisa Perubahan Ionosfer Akibat Gempa Bumi Sumatra Barat Tanggal 2 Maret 2016

Transkripsi:

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 1 Maret 2010 : 40-53 PERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN (DIURNAL) Prayitno Abadi Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN Email: prayabadi@bdg.lapan.go.id ABSTRACT Comparison between the model of near-real time TEC (TEC-NRT) and GIM (Global Ionospheric Map) for Indonesian region based on the diurnal variation has been able to do. The comparison method is done by finding the difference between the two models of TEC values in spatial (latitude and longitude) that covers the territory of Indonesia. Comparisons (which have been) done use only TEC data of the two models on March 15, 2009 with the timeframe 00-10 UT. Both models have the same pattern in the diurnal pattern. However, the diurnal pattern of GIM model is more sloped than the TEC-NRT model, so the time of TEC peak value of the two models is different. The time of TEC peak value of TEC-NRT model is 6 UT, whereas the time of TEC peak value is 8 UT in the diurnal variation. The TEC values of TEC-NRT model is generally lower than the GIM model. At 00-10 UT, the difference between TEC values of both models is approximately 2-20 TECU. The biggest difference is at 10 UT, which is around 10-20 TECU. At that hour, the TEC values of NRT-TEC model for Indonesia region is lower than the GIM model. Keywords: TEC model, Diurnal Variation, Difference of TEC Value, Time Peak, TECU ABSTRAK Perbandingan antara model TEC near-real time (TEC-NRT) regional Indonesia dan model TEC GIM (Global Ionospheric Map) berdasarkan variasi diurnal telah dapat dilakukan. Metode perbandingannya dengan mencari selisih nilai TEC kedua model secara spasial (lintang dan bujur) yang mencakup wilayah Indonesia. Perbandingan yang telah dilakukan hanya menggunakan data TEC kedua model tanggal 15 Maret 2009 dengan rentang waktu 0 10 UT. Kedua model memiliki pola yang sama dalam pola diurnal. Hanya saja, pola grafik diurnal TEC model GIM lebih landai dibandingkan model TEC-NRT sehingga terlihat waktu nilai puncak TEC kedua model berbeda. Jam 6 UT adalah waktu nilai TEC mencapai puncak dalam variasi diurnal untuk model TEC- NRT, sedangkan model GIM memiliki waktu puncak TEC pada jam 8 UT dalam variasi diurnal. Pemodelan TEC dari model TEC-NRT secara umum lebih rendah (underestimate) terhadap TEC model GIM. Dari jam 0 10 UT, selisih nilai TEC model TEC-NRT sekitar 2 20 TECU dari nilai TEC model GIM. Selisih terbesar pada jam 10 UT, yaitu sekitar 10 20 TECU. Pada jam tersebut, nilai TEC model TEC-NRT seluruh wilayah Indonesia model lebih rendah dibandingkan model GIM. Kata kunci: Model TEC, Variasi Diurnal, Selisih TEC, Waktu Puncak, TECU 40

Perbandingan Antara Model TEC Regional Indonesia... (Prayitno Abadi) 1 PENDAHULUAN Di atas ketinggian 100 km dari permukaan Bumi, yaitu bagian atas atmosfer Bumi, terdapat lapisan yang berisi partikel-partikel bermuatan. Lapisan tersebut adalah ionosfer. Utamanya, ionosfer terbentuk karena sinar extreem ultraviolet (EUV) dari Matahari yang mengionisasi atom-atom netral di sana. Radiasi EUV ini akan diserap energinya oleh atom-atom netral ionosfer. Akibat penyerapan tersebut, terjadilah ionisasi atom-atom netral sehingga terbentuk partikel-partikel bermuatan, ion-ion positif dan elektronelektron (partikel bermuatan negatif). Inilah proses terbentuknya lapisan ionosfer di bagian atas atmosfer Bumi (Abadi, 2009). Awalnya, penemuan ionosfer tidaklah dengan penelitian terjadinya ionisasi di lapisan atmosfer. Akan tetapi, penemuan ionosfer didahului dengan berkembangnya teknologi komunikasi jarak jauh tanpa kabel. Keberadaan lapisan ini merupakan media pemantul gelombang radio yang dipancarkan dari stasiun pemancar menuju ke stasiun penerima. Hingga akhirnya, keberadaan ionosfer menjadi objek penelitian para saintis, terutama penelitian ionosfer yang digunakan untuk telekomunikasi (McNamara, 1991). Seiring perkembangan zaman, penelitian ionosfer pun semakin maju. Adanya partikel-partikel bermuatan di ionosfer ternyata berperan sebagai medium pemantul gelombang radio. Dari penelitian ionosfer, profil kerapatan partikel-partikel bermuatan diketahui berubah-ubah berdasarkan perbedaan ketinggian lapisan ionosfer. Lapisan ionosfer terdiri atas empat lapisan, yaitu lapisan D, E, dan F, yang berurutan dalam ketinggian dan tingkat kerapatan partikel-partikel bermuatannya. Lapisan F, lapisan ionosfer tertinggi (puncak ketinggian 200 km atau 300 km), paling banyak menerima pancaran EUV sehingga kerapatan bermuatannya juga paling tinggi. Di bawah lapisan F, terdapat lapisan E yang puncak ketinggiannya 100 hingga 110 km. Lapisan ionosfer paling bawah yaitu lapisan D, mempunyai puncak ketinggian sekitar 90 km. Tentunya, lapisan ini paling sedikit menerima pancaran EUV sehingga partikel netralnya lebih banyak daripada partikel bermuatan. Dengan kata lain, kerapatan partikel bermuatan lapisan ini paling rendah (McNamara, 1991). Selain profil kerapatan partikel bermuatan di setiap lapisan yang berbeda-beda, kondisi partikel-partikel bermuatan ionosfer tidak statis melainkan dinamis atau bervariasi. Variasi kondisi partikel-pertikel bermuatan ionosfer dapat dilihat dari perubahan kerapatan elektron di semua lapisan ionosfer. Kondisi kerapatan elektron ionosfer yang selalu berubah, di antaranya mengikuti pola harian atau diurnal (rotasi bumi), musim, variasi lintang, siklus Matahari, dan aktivitas Matahari (Jiyo, 2007). Karena kegunaannya untuk medium penjalaran gelombang radio, perubahan elektron di ionosfer tentu saja berpengaruh pada penjalaran gelombang radio. Misalkan saja, pengaruh perubahan kerapatan elektron terhadap penjalaran sinyal gelombang radio satelit GPS. Adanya perubahan kerapatan elektron-elektron bebas di ionosfer saja menyebabkan tambahan waktu atau perlambatan (delay) penjalaran gelombang radio dari satelit GPS ke penerima sinyal GPS di Bumi. Tentu saja, perubahan kerapatan elektron di ionosfer sudah pasti mengganggu penjalaran gelombang radio satelit GPS. Akibat perlambatan penjalaran, waktu propagasi dari satelit sampai ke penerima sinyal GPS akan mendapatkan tambahan waktu yang 41

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 1 Maret 2010 : 40-53 mengakibatkan kesalahan pengukuran jarak satelit ke penerima sinyal GPS. Akibatnya, penentuan posisi GPS yang menggunakan metode reseksi jarak juga akan mengalami kesalahan pengukuran (Buldan, 2009). Salah satu cara untuk mengindikasikan perubahan kerapatan elektron di semua lapisan ionosfer yaitu dengan melihat TEC (total electron content). TEC merupakan jumlah elektron sepanjang lintasan antara dua titik (point) yang dinyatakan dalam satuan TECU (TEC Unit) dengan 1 TECU adalah 10 16 elektron/m 2 (Buldan, 2009). Cara mendapatkan pengukuran posisi GPS dengan presisi yang tinggi salah satunya dengan estimasi TEC ionosfer. Estimasi TEC ionosfer diperlukan untuk koreksi ionosfer terhadap penjalaran sinyal GPS sehingga didapatkan pengukuran posisi yang lebih presisi. Untuk itu, model TEC ionosfer real-time yang sangat akurat diperlukan untuk koreksi ionosfer terhadap penjalaran sinyal GPS. Buldan (2009) telah mengembangkan metode komputasi TEC harian dan jaman mendekati real-time (near-realtime) dari data-data GPS dari 8 stasiun pengamatan GPS, seperti NTUS (Singapura), Darwin (Australia), XMIS (Australia) GUAM, PIMO, DGAR, IISC, dan KARR. Dari pengembangan komputasi TEC tersebut, diperoleh model empiris TEC near-real-time (TEC-NRT) regional Indonesia yang dapat diakses di web ftp://ftp.bdg.lapan.go.id/ dengan keterlambatan sekitar 1 2 jam. Dalam upaya pengembangan model TEC near-real time yang akurat untuk ionosfer Indonesia, model TEC- NRT harus dilakukan validasi. Salah satu cara validasi adalah membandingkan nilai TEC model tersebut dengan model empiris TEC global, seperti model TEC GIM (Global Ionospheric Map). Model TEC global GIM menggunakan 200 stasiun pengamatan GPS tersebar di seluruh dunia. Karena model TEC-NRT untuk regional Indonesia, perbandingan kedua model dilakukan hanya untuk ionosfer di atas wilayah Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyan, bagaimana pola diurnal TEC, dan apakah pola diurnal TEC juga dapat menggambarkan pola diurnal kerapatan elektron ionosfer. Perbandingan nilai TEC antara model TEC-NRT dan GIM dapat dilakukan berdasarkan salah satu parameter penyebab variasi kerapatan elektron ionosfer. Misalkan saja, perbandingan kedua model dengan mengikuti pola kerapatan elektron yang mengikuti rotasi Bumi (variasi diurnal). 2 METODOLOGI Metode validasi model TEC-NRT regional Indonesia yang telah digunakan adalah dengan membandingkan nilai TEC model tersebut dengan nilai TEC model GIM (Abadi, 2009). Perbandingannya dengan cara mencari selisih nilai TEC secara spasial, yaitu setiap interval bujur dan lintang tertentu. Persamaan selisih nilai TEC seperti berikut: ΔTECn,m=(TEC Model Regn,m-TEC GIMn,m) (2-1) dengan ΔTEC TEC = selisih nilai TEC; = Model Reg adalah nilai TEC model TEC-NRT regional Indonesia; TEC GIM = adalah nilai TEC model GIM; dan n dan m adalah bujur dan lintang. Nilai n dan m dari persamaan 2-1 dibatasi dari bujur 90º 150º BT dan lintang 10ºLU 15ºLS (wilayah Indonesia) dengan selisih pengambilan titik setiap 5º bujur dan lintang. Kemudian setelah diperoleh ΔTEC dari setiap titik, dibuat 42

Perbandingan Antara Model TEC Regional Indonesia... (Prayitno Abadi) peta kontur selish TEC (ΔTEC) di atas Indonesia. Penggunaan data TEC model TEC- NRT regional Indonesia yang telah dibandingkan dengan model TEC GIM adalah data TEC tanggal 15 Maret 2009. Peta TEC kedua model dapat dilihat di Lampiran 1 dan 2. Perbandingan antara kedua model hanya didasari oleh variasi diurnal, yaitu pengambilan data setiap dua jam, mulai jam 00.00 UT hingga 10.00 UT. 3 HASIL DAN ANALISIS Variasi kerapatan elektron ionosfer dipengaruhi oleh rotasi Bumi. Variasi diurnal dari kerapatan elektron ionsofer dapat diindikasikan dari frekuensi kritis lapisan F2 (fof2). Gambar 3-1 menunjukkan grafik kondisi fof2 di atas Tanjungsari. Grafik tersebut hanya dapat menunjukkan pola diurnal kerapatan elektron di lapisan F2. Akan tetapi, pola fof2 dapat pula menggambarkan secara umum tentang kondisi kerapatan elektron di ionosfer. Peningkatan fof2 yang berarti peningkatan kerapatan elektron lapisan F2 dimulai dari pagi hingga siang sekitar pukul 15.00 waktu lokal. Kemudian, kerapatan elektron mulai menurun seiring dengan berkurangnya pancaran radiasi Matahari karena rotasi Bumi. Pola diurnal kerapatan elektron ionosfer secara umum dapat ditunjukkan dari pola diurnal fof2. Berdasarkan pola diurnal fof2, kerapatan elektron ionosfer secara diurnal dipengaruhi pancaran atau intensitas radiasi yang berubah terhadap waktu karena adanya rotasi Bumi. Pada Gambar 3-1, nilai puncak kerapatan elektron pada lapisan F2 ionosfer di atas Tanjungsari pada pukul 15.00 WIB untuk bulan Maret 2009 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3-1. 14 12 Frekuensi kritis lapisan F2 (fof2) Tanjungsari 15 Maret 2009 Frekuensi (MHz) 10 8 6 4 2 0 0 5 10 15 20 25 Waktu Lokal Gambar 3-1: Pola diurnal kerapatan elektron dapat ditunjukkan dari pola diurnal frekuensi kritis lapisan F2 ionosfer di atas Tanjungsari Maret 2009 43

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 1 Maret 2010 : 40-53 30,00 Pola TEC 15 Maret 2009, Koordinat 5 LS; 110 BT TEC (TECU) 25,00 20,00 15,00 Puncak puncak Model GIM Model NRT 10,00 5,00 0,00 0 2 4 6 8 10 12 Waktu (UT) 35,00 30,00 (a) Pola TEC 15 Maret 2009, Koordinat 5 LS; 140 BT Puncak TEC (TECU) 25,00 20,00 15,00 10,00 Puncak Model GIM Model NRT 5,00 0,00 0 2 4 6 8 10 12 Waktu (UT) (b) Gambar 3-2: Pola TEC model TEC-NRT dan GIM untuk tanggal 15 Maret 2009 pada koordinat 5 LS; 110 BT dan 5 LS; 140 BT Dari Gambar 3-2, terlihat pola TEC, baik model TEC-NRT maupun TEC GIM, juga mirip dengan pola diurnal fof2. Nilai perubahan TEC juga dipengaruhi oleh rotasi Bumi yang mengakibatkan perubahan intensitas radiasi Matahari. Terlihat pada Gambar 44 3-2, pola TEC kedua model akan menunjukkan pola yang naik dari pagi hingga siang (0-6 UT). Selanjutnya, pola TEC akan mengalami penurunan dari siang hingga sore (6 10 UT). Kemudian, pola rotasi Bumi berkaitan erat dengan lokasi bujur suatu lokasi. Terlihat pada

Perbandingan Antara Model TEC Regional Indonesia... (Prayitno Abadi) Gambar 3-2, pola TEC kedua model mengalami perbedaan puncak nilai TEC untuk dua lokasi dengan bujur yang berbeda. Dari Gambar 3-2, puncak nilai TEC untuk lokasi 5 LS; 110 BT pada jam 6 UT (model TEC NRT) dan 8 UT (model TEC GIM), sedangkan lokasi 5 LS; 140 BT pada jam 4 UT (model NRT) dan 6 UT (model TEC GIM). Pola TEC yang mengalami kenaikan dari pagi hingga siang, lalu menurun dari siang hingga sore, serta perbedaan waktu nilai puncak TEC dari dua lokasi dengan bujur yang berbeda pada jam UT yang sama menunjukkan bahwa pola TEC juga terpengaruh oleh pola diurnal atau terpengaruh rotasi Bumi. Terlihat pada Gambar 3-2, pola TEC model TEC-NRT dan model GIM mengikuti pola diurnal. Akan tetapi, kedua model tersebut mempunyai perbedaan dari hal waktu puncak TEC. Untuk pembahasan ini, kita fokuskan pada nilai waktu puncak TEC untuk Indonesia bagian Barat (110 BT). Untuk model TEC-NRT, waktu puncak TEC dalam pola diurnal pada jam 6 UT (13.00 waktu lokal). Untuk model TEC GIM, waktu puncak TEC dalam pola diurnal pada jam 8 UT (15.00 waktu lokal). Pola TEC model TEC-NRT mencapai puncak nilai TEC lebih cepat 2 jam dibandingkan model TEC GIM. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan kerapatan maksimum lapisan F2 yang dilihat dari pola diurnal fof2, kedua model mempunyai waktu puncak yang normal untuk wilayah Indonesia bagian barat. Jika dilihat pada Gambar 3-1, pola fof2 di atas Tanjungsari (Indonesia bagian Barat) mencapai nilai maksimum fof2 tidak tepat pada pukul 12.00 waktu lokal (8 UT Indonesia bagian Barat), tetapi bergeser dari rentang pukul 13.00 hingga pukul 15.00 waktu lokal. Selain perbedaan waktu puncak nilai TEC dalam pola diurnal, pola grafik TEC dari model TEC-NRT berbeda dari pola grafik TEC model GIM dalam hal kemiringan. Pola kenaikan nilai TEC model TEC-NRT kemiringannya cenderung lebih tajam (curam) dibandingkan dengan pola kenaikan nilai TEC model GIM. Begitu juga dengan penurunan nilai TEC-nya, model TEC-NRT kemiringan cenderung lebih tajam dibandingkan dengan pola penurunan nilai TEC model GIM. Seperti penjelasan sebelumnya, puncak nilai TEC model TEC-NRT lebih cepat 2 jam sebelum puncak model TEC GIM. Tentu saja, hal ini juga terkait dengan pola grafik TEC yang kemiringannya lebih tajam dibandingkan dengan model TEC GIM. Perbedaan model TEC-NRT dan TEC GIM yang terlihat pada Gambar 3-2 adalah nilai TEC kedua model. Estimasi nilai TEC ionosfer model TEC-NRT lebih rendah (underestimate) dibandingkan estimasi TEC model GIM. Nilai puncak TEC model TEC-NRT lebih rendah dibandingkan nilai puncak TEC model GIM. Perbedaan nilai TEC kedua model juga dapat dilihat pada peta-peta kontur selisih nilai TEC kedua model di atas Indonesia pada Gambar 3-3. Terlihat pada gambar tersebut, nilai TEC dari model TEC-NRT di bawah nilai TEC model GIM sekitar 2 TECU di bagian tengah Indonesia (sekitar lintang 0-5 LS) pada pukul 0 UT (07.00 WIB). Dari Gambar 3-3, nilai TEC ionosfer model TEC-NRT di atas sebagian besar wilayah Indonesia di bawah nilai TEC model GIM. Jika pada Gambar 3-3 menunjukkan peta kontur selisih nilai TEC antara model TEC-NRT dan GIM pada jam 0 UT, gambar di bawah ini menunjukkan selisih nilai TEC kedua model di atas Indonesia pada jam 2 UT. Pada gambar tersebut, terlihat bahwa nilai TEC model TEC-NRT di atas sebagian besar Pulau Jawa dan sebagian Sumatera (Sumatera Selatan) lebih 2 TECU terhadap nilai TEC model GIM. Nilai TEC model TEC- NRT lebih 4 TECU terhadap nilai TEC model GIM di atas Lampung dan bagian ujung barat atas Jawa. Di luar daerahdaerah tersebut, nilai TEC model TEC- NRT hampir sama atau lebih rendah 2 6 TECU terhadap nilai TEC model GIM. 45

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 1 Maret 2010 : 40-53 Gambar 3-3: Peta kontur perbedaan nilai TEC antar model TEC-NRT dan GIM pada tanggal 15 Maret 2009, jam 0 UT Gambar 3-4: Peta kontur perbedaan nilai TEC antar model TEC-NRT dan GIM pada tanggal 15 Maret 2009, jam 2 UT 46

Perbandingan Antara Model TEC Regional Indonesia... (Prayitno Abadi) Untuk selisih nilai TEC antara model TEC-NRT dan GIM jam 4 UT, terlihat pada peta kontur selisih TEC kedua model pada Gambar 3-5. Terlihat pada gambar tersebut, nilai TEC model TEC-NRT di atas sebagian besar bagian Indonesia di bawah nilai TEC model GIM, yaitu sekitar 5 10 TECU. Nilai TEC model TEC-NRT untuk Pulau Jawa lebih rendah 5 TECU dibanding nilai TEC model GIM. Nilai TEC model TEC-NRT sama dengan nilai TEC model GIM di bagian atas atau utara Indonesia, yaitu Sumatera (sekitar 5 LS 5 LU), Kalimantan (0 5 LU), Sulawesi Utara, dan Papua bagian utara. Selanjutnya, Gambar 3-6 menjelaskan peta kontur selisih nilai TEC antara model TEC-NRT dan GIM pada jam 6 UT. Pada jam 4 UT, nilai TEC model TEC-NRT sebagian besar wilayah Indonesia di bawah nilai TEC model GIM. Hal yang sama juga terjadi pada nilai TEC model TEC-NRT untuk jam 6 UT. Nilai TEC NRT model TEC-NRT di seluruh bagian Indonesia di bawah nilai TEC model GIM. Hanya ujung atas Sumatera (Sumatera Utara dan Aceh), nilai TEC kedua model selisihnya 0 TECU. Selain wilayah itu, nilai TEC model TEC-NRT di bawah 5 10 TECU terhadap nilai TEC model GIM. Gambar berikut menunjukkan peta kontur selisih nilai TEC antara model TEC-NRT dan GIM pada jam 8 UT. Sama dengan peta kontur selisih TEC antara kedua model pada jam 6 UT, peta kontur selisih TEC pada Gambar 3-7 juga menunjukkan nilai TEC model TEC- NRT hampir di seluruh bagian Indonesia lebih rendah 5 10 TECU dari nilai model GIM. Perbedaannya, nilai TEC kedua model sama di bagian atas sumatera pada jam 6 UT, sedangkan selisih nilai TEC sama dengan 0 TECU di bagian ujung bawah (Tenggara) Papua pada jam 8 UT. Gambar 3-5: Peta kontur perbedaan nilai TEC antar model TEC-NRT dan GIM pada tanggal 15 Maret 2009, jam 4 UT 47

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 1 Maret 2010 : 40-53 Gambar 3-6: Peta kontur perbedaan nilai TEC antar model TEC-NRT dan GIM pada tanggal 15 Maret 2009, jam 6 UT Gambar 3-7: Peta kontur perbedaan nilai TEC antar model TEC-NRT dan GIM pada tanggal 15 Maret 2009, jam 8 UT Gambar 3-8 menunjukkan peta kontur perbedaan nilai TEC antara model TEC-NRT dan GIM pada jam 10 UT. Terlihat pada gambar tersebut, nilai TEC model GIM untuk seluruh wilayah Indonesia lebih rendah dibanding nilai 48 TEC model GIM. Nilai TEC model TEC- NRT pada jam tersebut lebih rendah 5 20 TECU terhadap model GIM untuk ionosfer di atas Indonesia. Selisih terbesar, 20 TECU, berada sebagian besar di wilayah pulau Jawa.

Perbandingan Antara Model TEC Regional Indonesia... (Prayitno Abadi) Gambar 3-8: Peta kontur perbedaan nilai TEC antar model TEC-NRT dan GIM pada tanggal 15 Maret 2009, jam 10 UT Dari penjelasan-penjelasan di atas, perbandingan antara model TEC- NRT dan GIM dapat diketahui. Meskipun memiliki pola diurnal yang sama, yaitu nilai TEC di suatu titik koordinat mengalami kenaikan dari pagi hingga siang hari dan menurun dari siang hingga sore, kedua model memiliki waktu dan nilai maksimum TEC yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari petapeta kontur perbedaan TEC antara kedua model. Model TEC-NRT mencapai nilai TEC maksimum dalam variasi diurnal pada jam 6 UT, sedangkan model GIM pada jam 8 UT. Kemudian, model TEC-NRT secara umum underestimate terhadap model GIM dalam memodelkan TEC ionosfer di atas Indonesia. Nilai TEC model TEC-NRT mempunyai selisih 5 20 TECU terhadap nilai TEC model GIM dalam memodelkan TEC ionosfer di atas Indonesia. Baik model TEC-NRT maupun GIM, keduanya merupakan model TEC komputasi yang memanfaatkan datadata TEC dari berbagai stasiun pengamatan. Kedua model memanfaatkan data-data TEC berbagai stasiun untuk memodelkan TEC ionosfer dengan cara interpolasi ke daerah-daerah yang tidak terdapat stasiun pengamatan TEC. Perbedaannya terletak pada jumlah stasiun pengamatan TEC yang digunakan oleh kedua model. Model TEC-NRT menggunakan 8 stasiun pengamatan TEC, yaitu NTUS (singapura), Darwin (Australia), XMIS (Pulau Christmas Australia), GUAM (Vietnam), PIMO (Filipina), DGAR (Samudera Hindia), IISC (India), dan KARR (Australia). Untuk model TEC GIM, model ini memanfaatkan data TEC dari 420 stasiun pengamatan TEC (termasuk yang digunakan oleh model TEC-NRT) yang tersebar di seluruh dunia. Gambar 3-9 menjelaskan letak 420 stasiun pengamatan TEC yang digunakan dalam komputasi model GIM. Perbedaan jumlah stasiun pengamatan TEC inilah yang menyebabkan perbedaan nilai TEC yang dihasilkan antara model TEC-NRT dan GIM. Letak stasiun-stasiun yang digunakan oleh model TEC-NRT saling 49

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 1 Maret 2010 : 40-53 berjauhan, serta sebaran stasiun yang digunakan terlalu jauh dari wilayah Indonesia. Selain itu, stasiun-stasiun yang digunakan oleh model TEC-NRT terlalu sedikit untuk memodelkan wilayah Indonesia yang begitu luas. Berbeda dengan model GIM, model ini memanfaatkan banyak stasiun pengamatan TEC yang dapat diinterpolasi ke wilayah Indonesia. Meskipun demikian, model TEC- NRT dan GIM tetaplah model yang memanfaatkan komputasi data TEC dari berbagai stasiun pengamatan untuk diinterpolasi ke wilayah yang tidak mempunyai stasiun pengamatan TEC. Untuk itu, validasi yang sebenarnya adalah membandingkan nilai-nilai TEC yang dihasilkan kedua model dengan data pengamatan TEC yang sesungguhnya. 4 KESIMPULAN Perbandingan model TEC-NRT dan GIM untuk memodelkan TEC ionosfer di atas Indonesia berdasarkan variasi diurnal menunjukkan pola yang sama. Model TEC-NRT menunjukkan nilai TEC berdasarkan variasi diurnal mengalami kenaikan nilai TEC dari jam 0 6 UT, lalu menurun dari 6 10 UT. Jam 6 UT adalah waktu nilai TEC mencapai puncak dalam variasi diurnal untuk model TEC-NRT. Model TEC GIM pola diurnal TEC lebih landai dibandingkan model TEC-NRT. Model ini pola diurnal TEC-nya mengalami kenaikan dari jam 0 8 UT, lalu menurun dari jam 8 10 UT. Berbeda dengan model TEC-NRT yang mempunyai waktu puncak TEC jam 6 UT, model ini memiliki waktu puncak TEC pada jam 8 UT dalam variasi diurnal. Dari jam 0 10 UT, selisih nilai TEC model TEC-NRT sekitar 2 20 TECU. Selisih terbesar nilai TEC model TEC- NRT terhadap model GIM, yaitu sekitar 10 20 TECU, terjadi ketika memodelkan TEC ionosfer Indonesia pada jam 10 UT. Pada jam tersebut, TEC model TEC-NRT 50 seluruh Indonesia lebih rendah 10 20 TECU dibandingkan TEC model GIM. Dalam makalah ini, pembahasan perbandingan TEC model TEC-NRT dan GIM berdasarkan variasi diurnal hanya membandingkan model TEC pada tanggal 15 Maret 2009 dari jam 0 10 UT. Tentunya, perbandingan yang telah dibahas hanya berlaku untuk tanggal dan rentang jam tersebut. Perbandingannya belum bisa mewakili variasi diurnal atau pola harian selama bulan Maret 2009. Untuk itu, peningkatan perbandingan kedua model harus ditingkatkan dengan membandingkan data-data TEC jam-an dari kedua model pada semua hari di bulan Maret 2009. Perbandingannya dapat dilakukan dengan membandingkan nilai median TEC bulan Maret kedua model untuk tiap jam. Dengan begitu, hasil perbandingan kedua model dapat menggambarkan pola diurnal selama bulan Maret 2009. Perbedaan nilai TEC yang dihasilkan oleh model TEC-NRT dan GIM dikarenakan oleh jumlah stasiun pengamatan TEC yang digunakan oleh kedua model. Model TEC-NRT menggunakan 8 stasiun pengamatan TEC yang sebaran posisinya sangat jauh dari wilayah Indonesia. Berbeda dengan model GIM, model ini memanfaatakan data TEC dari 420 stasiun pengamatan TEC yang tersebar di seluruh dunia. Meskipun demikian, keduanya tetap model komputasi yang memanfaatkan data-data TEC sehingga keduanya harus tetap divalidasi dengan data TEC pengamatan. DAFTAR RUJUKAN Abadi, Prayitno. Buldan Muslim, 2009. Perbandingan antara Model TEC Regional Indonesia Near Real Time dan Model TEC GIM (Global Ionospheric Map) Berdasarkan Jumlah Stasiun Pengamatan GPS yang Digunakan. Publikasi Ilmiah

Perbandingan Antara Model TEC Regional Indonesia... (Prayitno Abadi) LAPAN: Ionosfer dan Aplikasinya. Massma Sikumbang PT. Jakarta. Jiyo, 2007. Variasi Lapisan Ionosfer Indonesia. Publikasi Ilmiah LAPAN Tahun 2007. M, Buldan, 2009. Pemodelan TEC Ionosfer di Atas Sumatera dan Sekitarnya mendekati Real Time dari Data GPS NTUS. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Penelitian, dan Pendidikan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009. M, Buldan., P, Septi, 2009. Komputasi TEC Ionosfer Mendekati Real Time Dari Data GPS. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Penelitian, dan Pendidikan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009. McNamara, Leo F., 1991. The Ionosphere: Communications, Surveillance, and Direction Finding. Krieger Publishing Company. Florida. 51

Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 1 Maret 2010 : 40-53 Lampiran 1 Peta TEC Model TEC-NRT 52

Perbandingan Antara Model TEC Regional Indonesia... (Prayitno Abadi) Lampiran 2 Peta TEC Model GIM 53