BAB II KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PUTUSAN MAHKMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS

KEKUA U SAAN N KEHAKIMAN

PARADIGMA BARU PERADILAN AGAMA. Oleh: Ahsan Dawi Mansur. Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah

1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

BAB III. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995. A. Ruang Lingkup Kekuasaan Mahkamah Agung

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1

ÉÄx{ Joeni Arianto Kurniawan

2017, No Uqubat dalam perkara jinayah, memiliki substansi yang sama dengan Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum A

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen dinyatakan bahwa Kekuasaan

URGENSI PERADILAN TATA USAHA MILITER DI INDONESIA. Oleh: Kapten Chk Sator Sapan Bungin, S.H.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 144/KMA/SK/VIII/2007 TAHUN 2007 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI DI PENGADILAN

Mahkamah Agung yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan. wewenang yang dimiliki Pengadilan Agama yaitu memeriksa, mengadili,

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA MUHAMMAD MUSLIH, SH, MH

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia

BAB III GAMBARAN UMUM POLEMIK DALAM ORGANISASI ADVOKAT DAN DESKRIPSI SURAT KETUA MAHKAMAH AGUNG NO. 73/HK.01/IX/2015 TENTANG ADVOKAT

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

2. Masing-masing kamar dipimpin Ketua Kamar yang ditunjuk oleh Ketua MA.

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor

KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

RIVIU DOKUMEN RENCANA STRATEGIS PENGADILAN AGAMA LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. kemudian diperbaharui dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

MENTERI TIDAK BERWENANG UNTUK MEMBERHENTIKAN PEJABAT FUNGSIONAL WIDYAISWARA UTAMA GOLONGAN IV/e DARI DAN DALAM JABATANNYA

UU & Lembaga Pengurus Tipikor L/O/G/O

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM. A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan.

SEJARAH PERADILAN MILITER DI INDONESIA

I. Sejarah PA Jakarta Utara

HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

MENCERMATI PEMBENTUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG (PERMA) Oleh: Nur Sholikin * Naskah diterima: 7 Februari 2017; disetujui: 9 Februari 2017

Peradilan Adminitrasi Pajak

BAB IV ANALISIS DATA. 1. profil pengadilan agama malang. No. 1, Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, dengan

PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM SENGKETA EKONOMI SYARIAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, maka

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

PENETAPAN AHLI WARIS DAN P3HP /PERMOHONAN PERTOLONGAN PEMBAGIAN HARTAPENINGGALAN

Pajak Kontemporer Peradilan Pajak

PENGADILAN AGAMA POLEWALI

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA!

DERDEN VERZET (Oleh : Drs. H. M. Yamin Awie, SH. MH. 1 )

DOKUMEN RENCANA STRATEGIS PENGADILAN AGAMA KAB. MALANG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi syariah tengah berkembang secara pesat. Perkembangan

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Rakernas MA RI

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

BAB I PENDAHULUAN. Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah tindakan yang dilaksanakan secara

BAB 1 PENDAHULUAN. kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan. Pada zaman kedudukan Belanda, dikenal sebagai Pengadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KOMPETENSI HAKIM PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA EKONOMI SYARI AH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta)

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU. Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk. peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI DI PENGADILAN

BAB IV. Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR IYAH DI ACEH SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

KILAS BALIK KOMPETENSI ABSOLUT PERKARA WARIS MELALUI PERJUANGAN PANJANG (oleh H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim Tinggi PTA Mataram)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG

Pengadilan Umum. Perangkat atau Alat Kelengkapan Lembaga Peradilan

DOKUMEN RENCANA STRATEGIS PENGADILAN AGAMA KAB. MALANG TAHUN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

-2- memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dipe

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan perkara di lingkungan peradilan agama, khususnya di pengadilan

BAB III IMPLEMENTASI PERMA NO.1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DALAM PERKARA PERCERAIAN (STUDI DI PENGADILAN AGAMA KOTA SEMARANG)

Pada prinsipnya asas pada Hukum Acara Perdata juga berlaku di PA Asas Wajib Mendamaikan Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum, kec.

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 30/PUU-XIV/2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

P U T U S A N No. : 264 K / AG / 2006 BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN PENGADILAN NEGERI AIRMADIDI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan

Di daerah Aceh sebelum perkara hak milik antara para ahli waris dapat diperiksa oleh pengadilan umum, haruslah diputus terlebih dahulu

CHOICE OF LAW DALAM HUKUM KEWARISAN. Oleh: Agus S. Primasta, SH* 1. Abstraksi. Secara umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

BAB III KEWENANGAN PERADILAN AGAMA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM

RENCANA STRATEGIS ( R E N S T R A ) Tahun 2015 s.d. 2019

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan, yaitu perpindahan harta benda dan hak-hak material dari pihak yang

BAB III. DESKRIPSI PUTUSAN PA JOMBANG NO. 1433/Pdt.G/2008/PA. JOMBANG TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN

Transkripsi:

BAB II KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA A. Deskripsi Singkat Pada bab ini akan dibahas tentang Kedudukkan Peradilan Agama di Indonesia. Peradilan Agama di Indonsia mempunyai kedudukan yang istimewa karena dilihat dari sistem kekuasaan kehakiman sebagai salah satu lembaga penegakan hukum, Peradilan Agama merupakan salah satu bentuk Peradilan khusus. Di sisi lain, eksistensi Peradilan Agama bagi umat Islam dalam konteks syariah, dimaknai sebagai salah satu bentuk penegakan ajaran Islam. Tujuan Instruksional Khusus (T IK) pada pertemuan ini adalah mahasiswa akan dapat menjelaskan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia. B. Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Menurut Pasal 24 UUD 1945: "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undangundang". Berdasarkan ketentuan ini, maka diundangkan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10 ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara Dimana letak Mahkamah Agung menurut UU No. 14 Tahun 1970? Letak kedudukan Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 10 ayat (2) ditempatkan sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dan sekaligus merupakan peradilan tingkat kasasi atau tingkat terakhir serta melaksanakan pengawasan tertinggi bagi semua lingkungan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3) dan (4). Oleh karena masing-masing lingkungan peradilan terdiri dari Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, yang semuanya berpuncak ke Mahkamah Agung, maka susunan badan-badan peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA).

2. Lingkungan Peradilan Agama adalah Pengadilan Agama (PA), Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dan Mahkamah Agung. 3. Lingkungan Peradilan Militer adalah Mahkamah Militer (Mahmil), Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) dan Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung) yang ada pada Mahkamah Agung. 4. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan PN, PA, Mahmil dan PTUN disebut Pengadilan Tingkat Pertama karena pengadilan ini yang pertama kali menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara pada lingkungannya masing-masing. PT, PTA, Mahmilti dan PTTUN disebut pengadilan tingkat banding karena ia menerima perkara bandingan yang berasal dari pengadilan tingkat pertama pada lingkungannya masing-masing. Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding disebut menjalankan fungsi judex facti, artinya semua perkara baik di tingkat pertama maupun di tingkat banding akan diperiksa secara keseluruhan, baik menyangkut fakta-fakta maupun bukti-bukti lainnya dengan pemeriksaan lengkap. Sementara Mahkamah Agung tidak melakukan fungsi judex facti, karena Mahkamah Agung tidak memeriksa perkara secara keseluruhan. Ia hanya melihat apakah hukum telah diterapkan oleh pengadilan tingkat pertama dan pengadi Ian tingkap banding sebagaimana mestinya. Selanjutnya Mahkamah Agung menilai dan memilih mana yang benar. Oleh karenanya, Mahkamah Agung tidak bisa disebut sebagai pengadilan tingkat ketiga. Maksud diadakannya Mahkamah Agung yang tunggal dan bukan bersifat judex facti adalah untuk uniformitas hukum. C. Kompetensi Absolut Peradilan Dari empat lingkungan peradilan yang telah ada, masing-masing mempunyai batas kewenangan mengadili (yurisdiksi) absolut sendiri. Lingkungan peradilan umum menurut UU Nomor 2 Tahun 1986 bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata. Sementara kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara adalah memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Lingkungan Peradilan Militer mempunyai kewenangan mengadili tindak pidana umum dan tindak pidana militer yang dilakukan oleh anggota ABRI (TNI dan Polri). Sejajar dengan ketiga lingkungan peradilan di atas, didudukkanlah lingkungan Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman. Untuk memenuhi pelaksanaan

ketentuan Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 di lingkungan Peradilan Agama, diundangkanlah UU Nomor 7 Tahun 1989. Pada Pasal 49 ditetapkan tugas kewenangan Peradilan Agama adalah untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata di bidang: i. perkawinan; ii. kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan Islam iii. wakaf dan shadaqah. Sifat kewenangan masing-masing lingkungan peradilan bersifat absolut. Apa yang telah ditentukan menjadi yurisdiksi suatu lingkungan peradilan, menjadi kewenangan mutlak baginya untuk memeriksa dan memutus perkara. Kewenangan mutlak ini disebut kompetensi absolut atau yurisdiksi absolut. Setiap perkara yang tidak termasuk bidang kewenangannya, secara absolut pengadilan yang bersangkuta tidak berwenang untuk mengadili. Bagaimana sikap hakim menghadapi perkara yang tidak termasuk kewenangnnya? Setelah dia memeriksa dan meneliti secara seksama dengan jalan menguji patokan batas yurisdiksinya, maka hakim harus menjatuhkan "putusan negatif' berupa pernyataan hukum dalam amar putusan: "menyatakan Pengadilan Agama secara absolut tidak berwenang memeriksa dan mengadili". Hakim tidak boleh menjatuhkan "putusan positif' berupa penolakan atau pengabulan gugat. Satu-satunya pilihan hukum yang dapat diterapkan hakim hanya berupa pernyataan "tidak berwenang mengadili". Dasar pertimbangannya bertitik tolak dari asas kompetensi absolut yang menggariskan bahwa setiap kasus perkara yang tidak termasuk kewenangan yurisdiksinya, secara mutlak tidak berwenang untuk mengadili. D. Pembinaan Peradilan Agama Pembinaan di lingkungan peradilan menurut UU Nomor 14 Tahun 1970 ada dua macam, yaitu: a. Pembinaan Teknis Peradilan oleh Mahkamah Agung Pembinaan teknis peradilan (teknis yustisial) secara garis besar berkenaan dengan tugas-tugas pengadilan atau proses peradilan, yaitu dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu, pembinaan teknis ini berupa pengarahan terutama dalam penerapan hukum oleh para hakim, baik hukum substansial maupun hukum prosedural. Pembinaan teknis oleh Mahkamah Agung dilakukan dengan berbagai jalur dan metode:

a. Melalui jalur penerbitan pedoman atau petunjuk dalam pelaksanaan tugas-tugas pengadilan. Pembinaan ini dimuat dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KMA), Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), dan Surat Tuada Man Uldilag. Ini merupakan pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan, terutama untuk kelancaran jalannya peradilan. b. Melalui jalur penyebaran himpunan yurisprudensi. Dalam hal ini mahkamah Agung telah menyusun dan menerbitkan Edisi Putusanputusan Pengadilan Agama Dalam Serial Yurisprudensi Indonesia. c. Jalur lain melalui penataran dan lokakarya. b. Pembinaan secara organisatoris, administratif dan finansial. Pembinaan ini untuk masing-masing peradilan diserahkan kepada departemen yang membawahi masing-masing peradilan yang bersangkutan. Sementara pembinaan Peradilan Agama dilakukan oleh Departemen Agama yang meliputi bidang organisasi, administrasi, dan keuangan. Sedangkan tugas pengawasan dilakukan terhadap jalannya peradilan, terutama dalam kegiatan teknis non yustisial, dan kegiatan administrasi murni. Di samping itu, pengawasan dilakukan terhadap perilaku hakim, baik di dalam lingkungan kedinasan maupun di luar kedinasan. Dengan berlakunya UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1970 pada 31 Agustus 1999, terjadi perubahan dalam pembinaan peradilan. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) : "Badan -badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung". Latar belakang "satu atap" tersebut adalah untuk menunjang kemandirian hakim. Oleh karenanya secara bertahap dalam waktu paling lama 5 tahun akan berlangsung penyatuan lingkungan peradilan itu secara administratif, organisatoris dan finansial di bawah Mahkamah Agung. Namun khusus untuk Peradilan Agama dikecualikan, yaitu tidak ada ketentuan yang merupakan batas waktu sampai kapan proses penyatuan Peradilan Agama dengan Mahkamah Agung harus sudah dilaksanakan (Pasal 11 A ayat (1) dan (2) UU Nomor 35 Tahun 1999). Oleh karenanya selama belum ada peralihan Peradilan Agama dari Depag ke MA, maka peradilan agama masih berada di bawah Depag. Hal ini berdasarkan Penjelasan Pasal 1 angka 2 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 1999 yang menentukan :

"Selama belum dilakukan pengalihan, maka organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama masih tetap berada di bawah kekuasaan Depag" E. Kaftan Peradilan Agama dengan Otonomi Daerah Dengan lahirnya undang-undang tentang otonomi daerah yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999, maka perlu dilihat posisi peradilan agama. Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 mengatur bahwa "Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain". Berdasarkan penjelasan di atas, peradilan tidak menjadi obyek otonomi daerah, apalagi peradilan agama secara jelas berkaitan dengan agama Islam. Ketentuan ini dipandang sudah tepat dan logis karena dengan demikian kebijakan pemerintah pusat dalam bidang agama dapat diterapkan secara seragam dan utuh di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian, sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, tugas dan wewenang peradilan agama tidak dilimpahkan ke daerah. Pengelolaannya tetap dilakukan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, adanya kebijakan otonomi daerah dapat saja mempengaruhi proses kinerja peradilan agama, terutama sebagai akibat adanya UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang berpengaruh terhadap anggaran peradilan agama. F. Rangkuman Peradilan Agama sebagai peradilan khusus merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kekuasaan kehakiman di Indonesia, yang berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata di bidang: perkawinan; kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan Islam serta wakaf dan shadaqah. Terkait dengan lahirnya UU Nomor 35 Tahun 1999 terjadi perubahan pembinaan di beberapa lingkungan peradilan. Pembinaan secara administratif, organisatoris dan finansial yang semula berada di bawa masing-masing departemen, dalam jangka waktu lima tahun akan dialihkan di bawah Mahkamah Agung. Namun khusus untuk Peradilan Agama dikecualikan, yaitu tidak ada ketentuan yang merupakan batas waktu sampai kapan proses penyatuan Peradilan Agama dengan Mahkamah Agung hares sudah dilaksanakan (Pasal 11 A ayat (1) dan (2) UU Nomor

35 Tahun 1999). Oleh karenanya selama belum ada peralihan Peradilan Agama dari Depag ke MA, maka peradilan agama masih berada di bawah Depag. G. Pendalaman. Baca referensi A2 Bab V.