Lex Administratum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017. Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Roy Ronny Lembong, SH, MH; Ernest Runtukahu, SH,MH

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM,

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

TATA CARA PEMANGGILAN NOTARIS UNTUK KEPENTINGAN PROSES PERADILAN PIDANA BERKAITAN DENGAN AKTA YANG DIBUATNYA 1 Oleh: Muriel Cattleya Maramis 2

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 49/PUU-X/2012 Tentang Persetujuan Majelis Pengawas Daerah Terkait Proses Peradilan

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 22/PUU-VII/2009 tentang UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Syarat masa jabatan bagi calon kepala daerah]

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014. Kata kunci: Pelanggaran, Hak-hak Tersangka.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XV/2017 Kewajiban Pengunduran Diri Bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD Dalam PILKADA

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

Lex Administratum, Vol. III/No.1/Jan-Mar/2015

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014.

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 2/PUU-XV/2017 Syarat Tidak Pernah Melakukan Perbuatan Tercela Bagi Calon Kepala Daerah

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK TERSANGKA PADA PENYIDIKAN PERKARA PIDANA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 80/PUU-XIII/2015 Syarat Tidak Pernah Dijatuhi Pidana Penjara 5 (lima) Tahun atau Lebih Bagi Calon Kepala Daerah

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

5. Kosmas Mus Guntur, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V; 7. Elfriddus Petrus Muga, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII;

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Hukum sebagai

RINGKASAN PUTUSAN.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

RISALAH SIDANG PERKARA NO. 024/PUU-IV/2006

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XVI/2018 Dua Kali Masa Jabatan Bagi Presiden atau Wakil Presiden

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Crimen Vol. IV/No. 7/Sep/2015

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

IMPLIKASI PEMILIHAN UMUM ANGGOTA LEGISLATIF DAN PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN SECARA SERENTAK TERHADAP AMBANG BATAS PENCALONAN PRESIDEN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 58/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

PERSETUJUAN PRESIDEN UNTUK TINDAKAN PENYIDIKAN YANG DILANJUTKAN DENGAN PENAHANAN TERHADAP GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR MENURUT UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH 1 Oleh: Jeniffer Zinnia Maramis 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cakupan ketentuan tentang persetujuan tertulis dari Presiden untuk tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap gubernur dan/atau wakil gubernur, dan bagaimana ketentuan Pasal 90 ayat (1) dilihat dari sudut Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Pengertian frasa (bagian kalimat) tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah tindakan berupa penahanan, sehingga permintaan persetujuan tertulis dari Presiden hanya dimintakan jika hendak dilakukan penahanan terhadap Gubernur/Wakil Gubernur, sedangkan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan belum perlu dimintakan persetujuan Presiden. 2. Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebab pengaturan yang berbeda terhadap pejabat negara seperti Gubernur dan Wakil Gubernur memiliki nalar hukum (legal ratio) yang dapat diterima, yaitu penahanan akan menghambat pelaksanaan tugas seharihari dari Gubernur/Wakil Gubernur yang merupakan pimpinan administratif tertinggi pemerintahan di daerah; juga ada batas waktu untuk menunggu persetujuan Presiden, yaitu paling lama 30 hari, sehingga ada kepastian hukum tentang dapat atau tidaknya dilakukan penahanan. Nalar hukum ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU- IX/2011. Kata kunci: penyidikan, penahanan, gubernur dan/atau wakil gubernur 1 Artikel skripsi. Pembimbing skripsi: Roy Ronny Lembong, SH, MH dan Harly Stanly Muaja, SH, MH. 2 NIM: 120711039. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menentukan bahwa, Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 3 Pasal ini memberikan ketentuanantara lain bahwa setiap Warga Negara Indonesia (WNI) mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum;dengan demikian,seorang WNI tidak boleh diperlakukan secara istimewa di dalam hukum sehingga kedudukannya di dalam hukum berada di atas WNI yang lain. Ketentuan UUD 1945 ini seharusnya diperhatikan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan lainnya yang memiliki tingkat lebih rendah dari pada UUD 1945, misalnya dalam pembuatan undangundang. Peraturan perundang-undangan Indonesia pada kenyataannya ada yang memiliki ketentuan yang mungkin dapat dipandang sebagai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Ketentuan yang dimaksud dapat ditemukan antara lain dalam Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang keseluruhannya berbunyi sebagai berikut, Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap gubernur dan/atau wakil gubernur memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan terhadap bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota memerlukan persetujuan tertulis dari Menteri. 4 Keberadaan Pasal 90 ayat (1) Undang- Undang Pemerintahan Daerah ini menimbulkan beberapa pertanyaan, pertama tentang pengertian dari istilah tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan, yaitu apakah untuk dimulainya penyidikan sudah memerlukan persetujuan tertulis Presiden ataukah persetujuan tertulis dari Presiden 3 Anonim, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Satu Naskah http://www.indonesia.go.id/id/files/uud45/satunaskah.p df, kunjungan tanggal 9 Mei 2015. 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587). 29

hanya diperlukan jika hendak dilakukan penahanan sedangkan untuk dilakukannya penyidikan saja belum memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden. Kedua, bagaimanakah ketentuan perlunya persetujuan tertulis dari Presiden untuk dilakukannya tindakan penahanan dipandang dari sudut ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, menunjukkan bahwa merupakan hal yang urgen untuk dilakukannya pembahasan tentangpersetujuan tertulis dari Presiden untuk tindakan penahanan terhadap gubernur dan/atau wakil gubernur yang diatur dalam Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana cakupan ketentuan tentang persetujuan tertulis dari Presiden untuk tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap gubernur dan/atau wakil gubernur? 2. Bagaimana ketentuan Pasal 90 ayat (1) dilihat dari sudut Pasal 27 ayat (1) UUD 1945? C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian hukum normatif.penelitian hukum normatif merupakan suatu penelitian yang melihat hukum terdiri atas peraturan-peraturan tingkah laku atau kaidah-kaidah, jadi atas peraturan-peraturan perbuatan manusia, atas suruhan dan larangan. 5 Dengan demikian penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang melihat hukum sebagai seperangkat norma (kaidah). PEMBAHASAN A. Persetujuan Presiden Untuk Tindakan Penyidikan Yang Dilanjutkan Dengan Penahanan Terhadap Gubernur/Wakil Gubernur Pengertian istilah tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dalam Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 5 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino dari Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht, cet. 29, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, h. 18. 2014, pertama-tama dapat dilihatdari sudut penafsiran tata bahasa (gramatikal), yaitu menerangkan undang-undang dengan menetapkan apa arti perkataan-perkataannya menurut adat bahasa yang umum atau yang teknis. 6 Kata-kata tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan itu sendiri jelas menunjukkan bahwa tindakan penyidikan saja belum mewajibkan adanya persetujuan Presiden, melainkan perlu ada suatu tindakan penahanan. Hanya jika suatu penyidikan hendak dilanjutkan dengan penahanan, maka terhadap penahanan itu perlu dimintakan persetujuan tertulis dari Presiden. Pengertian dari istilah tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan, selanjutnya dapat dilihat dari sudut perbandingannya dengan ketentuan yang serupa yang sebelumnya sudah dikenal dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang lama, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pengaturan yang serupa ini dapat ditemukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 itu yang keseluruhannya berbunyi sebagai berikut: (1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. (3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam 6 L.J. van Apeldoorn, op.cit., h. 389 30

dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. (5) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam. 7 Berdasarkan rumusan dari dua pasal dalam dua undang-undang tersebut dapat dikemukakan perbedaan antara keduanya sebagai berikut: 1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur 2 (dua) hal, yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan (Pasal 36 ayat (1)) dan tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan (Pasal 36 ayat (3)), sedangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 hanya mengatur 1 (satu) saja, yaitu tentang tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan. 2) Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 persetujuan untuk penyidikan dan penahanan untuk semua kepala daerah dan wakil kepala daerah (Gubernur, Wakil Gubernur, Wali Kota, Wakil Wali Kota, Bupati, dan Wakil Bupati) diberikan oleh Presiden, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 untuk Gubernur dan Wakil Gubernur diberikan oleh Presiden sedangkan untuk Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Wali Kota dan/atau Wakil Wali Kota diberikan oleh Menteri Dalam Negeri. 3) Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 waktu untuk menunggu persetujuan Presiden adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 waktu untuk menunggu persetujuan Presiden sudah lebih singkat, yaitu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan. Perbedaan terpenting sehubungan dengan masalah pengertian istilah tindakan 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437). penahanan adalah perbedaan yang pertama, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur 2 (dua) hal, yakni tindakan penyelidikan dan penyidikan (Pasal 36 ayat (1)) dan tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan (Pasal 36 ayat (3)), sedangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 hanya mengatur 1 (satu) saja, yaitu tentang tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan. Di bawah berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, jika terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah hendak dilakukan penyelidikan dan penyidikan, maka hal itu wajib dimintakan persetujuan tertulis dari Presiden. Selanjutnya, jika telah dilakukan penyelidikan/penyidikan dan penyidik memandang perlu dilakukan penahanan, maka untuk dilakukannya penahanan itu harus dimintakan persetujuan tertulis dari Presiden.Jadi, dalam hal ini, dua kali dimintakan persetujuan dari Presiden, yaitu pertama, pada saat hendak dilakukan penyelidikan dan penyidikan, dan kedua, pada saat hendak dilakukan penahanan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak lagi menyebut tentang tindakan penyelidikan dan penyidikan tetapi hanya menyebut tentang tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan, di mana ini menunjukkan bahwa dari sudut pandang pembentuk Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014, tindak penyelidikan dan penyidikan tidak lagi memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden. Persetujuan tertulis dari Presiden nanti diperlukan jika hendak dilakukan penahanan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. Pertimbangan ketiga dari pengertian istilah tindakan penahanan, yaitu dari sudut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 tanggal 26 September 2012. Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 73/PUU-IX/2011, tanggal 26 September 2012, memberikan putusan yang amar putusannya antara lain menyatakan bahwa, 1.1. Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua 31

Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.2. Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 1.3. Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dapat langsung dilakukan ; 1.4. Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tindakan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dapat langsung dilakukan ; 8 Amar putusan ini menyatakan Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD 1945 (amar putusan 1.1.) dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (amar putusan 1.2.). Tetapi, amar putusan masih membenarkan Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan syarat bahwa masa untuk menunggu adanya persetujuan tertulis dari Presiden bukan lagi paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan melainkan hanya paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang dibuat setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 tersebut jelas telah memasukkan maksud dari putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga kata-kata tindakan penahanan harus ditafsirkan bahwa persetujuan tertulis dari Presiden hanya diperlukan jika hendak dilakukan penahanan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur, sedangkan untuk dilakukannya penyelidikan dan penyidikan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang belum berupa penahanan maka belum diperlukan persetujuan tertulis dari Presiden. 8 Ibid., h. 77-79. 32

Pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa berdasarkan: (1) penafsiran tata bahasa, (2) perbandingan antara Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan (3) putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011, pengertian tindakan penahanan adalah tindakan yang berupa penahanan terhadap Gubenur dan/atau Wakil Gubernur. Adanya pertanyaan terhadap pengertian tindakan penahanan disebabkan karenan panjangnya frasa (bagian kalimat) itu. Jika istilah itu dirumuskan secara lebih sederhana, yaitu cukup disebut penahanan atau tindakan penahanan saja, maka sebenarnya tidak akan muncul keraguan terhadap maksud Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Oleh karenanya, adalah sebaiknya jika rumusan rumusan Pasal 90 ayat (1) dan ayatayat lain yang terkait diperbaiki dengan hanya mencantumkan kata penahanan atau tindakan penahanan saja. B. Pasal 90 Ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah Dari Sudut Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 9 Ketentuan ini umumnya dipandang sebagai suatu jaminan terhadap persamaan di depan hukum (equality before the law);di mana prinsip equality before the law merupakan salah satu prinsip dalam konsep Rule of Law yang menurut A.V. Dicey terdiri atas 3 (tiga) prinsip, yaitu: 1. Prinsip supremacy of law, 2. Prinsip equality before the law, dan 3. Prinsip the constitution based on individual rights. 10 Selain Pasal 27 ayat (1), pasal-pasal lainnya dari UUD 1945 yang mendukung jaminan 9 Anonim, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Satu Naskah http://www.indonesia.go.id/id/files/uud45/satunaskah.p df, kunjungan tanggal 9 Mei 2015. 10 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), cet. 2, Refika Aditama, Bandung, 2011, h. 10. persamaan di depan hukum ini, yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum; dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. 11 Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 ini menegaskan adanya persamaan kedudukan dari semua warga negara Indonesia di dalam hukum.tidak dibolehkan adanya perbedaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, yaitu tidak boleh ada yang diperlakukan secara lebih diistimewakan di dalam hukum dan pemerintahan.tetapi, dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, ada ketentuan Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan bahwa tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden. Ketentuan ini mungkin saja dipandang sebagai suatu hal yang telah memberikan kedudukan di dalam hukum yang lebih istimewa kepada Gubernur dan Wakil Gubernur.Dari sudut pandang ini, menjadi pertanyaan bagaimana Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 itu dilihat dari sudut Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Pertanyaan ini akan dibahas dari sudut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU- IX/2011 yang merupakan putusan terhadap pengujian Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Sekalipun Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang berlaku sekarang adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tetapi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 73/PUU-IX/2011 dapat dikatakan berlaku juga terhadap Pasal 90 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. 11 Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/, h. 4, kunjungan tanggal 24 Mei 2015. 33

Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 73/PUU-IX/2011 memberikan pertimbangan bahwa, Perbedaan pengaturan dalam prosedurpenyelidikan dan penyidikan terhadap warga negara yang tidak menjabat sebagaipejabat publik dengan warga negara yang menjabat sebagai pejabat publik adalahhal yang dapat diterima legal rationya, mengingat terhadap suatu hal yangberbeda, demi kepentingan publik dapat diberlakukan ketentuan yang berbeda dan terhadap sesuatu yang sama tidak boleh diterapkan aturan yang berbeda. Kepala daerah atau wakil kepala daerah mempunyai beban tugas yang tidak dimiliki olehwarga negara lainnya yaitu sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Perijinan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerahatau wakil kepala daerah tidak dimaksudkan untuk menghambat prosespenegakan hukum, tetapi dimaksudkan untuk memberikan kepastian bagi kepaladaerah kapan dimulainya penyelidikan dan penyidikan. Hal ini untuk melindungiharkat, martabat dan wibawa pejabat negara dan lembaga negara agardiperlakukan secara hati-hati, cermat, tidak sembrono dan tidak sewenang-wenang; 12 Kutipan tersebut menunjukan pandangan Mahkamah Konstitusi bahwa: 1) Perbedaan pengaturan dalam prosedur beracara (penyelidikan dan penyidikan) terhadap pejabat publik dan yang bukan pejabat publik memiliki legal ratio (nalar hukum) yang dapat diterima, yaitu kepala daerah memiliki jabatan publik sehingga untuk kepentingan publik dapat diberlakukan ketentuan yang berbeda. 2) Perbedaan pengaturan itu untuk melindungi harkat, martabat, dan wibawa pejabat negara dan lembaga negara, yaitu agar diperlakukan secara hati-hati, cermat, tidak sembrono, dan tidak sewenang-wenang. Mahkamah Konstitusi, walaupun berpandangan adanya nalar hukum (legal ratio) untuk mengatur prosedur beracara secara berbeda untuk Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, tetapi selanjutnya membatasi adanya perbedaan tersebut. Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan bahwa, Proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepaladaerah yang diduga melakukan tindak pidana, meskipun mungkin mengganggu kinerja kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan daerah, namun tidak menghalangi yang bersangkutan untuk menjalankan tugasnya. Kepala daerahdan/atau wakil kepala daerah yang diselidiki dan disidik masih dapat melaksanakan tugas sehari-hari seperti biasa; Menurut Mahkamah, persetujuan tertulis pada tahap penyelidikan dan penyidikanterhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah atau pejabat manapun tidakmemiliki rasionalitas hukum yang cukup, dan akan memperlakukan warga negarasecara berbeda di hadapan hukum. Terhadap adagium yang menyatakan bahwa terhadap sesuatu yang berbeda seharusnya diperlakukan berbeda, dan terhadap sesuatu yang sama harus diperlakukan sama, menurut Mahkamah, pejabat negaradalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yangdiembannya memang berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat negara,namun pejabat negara juga merupakan warga negara. Sebagai subjek hukum, terlepas dari jabatannya, kepala daerah pun harus diperlakukan sama di hadapanhukum; 13 Menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi, penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, meskipun mungkin mengganggu kinerja, tetapi tidak menghalangi untuk menjalankan tugasnya.kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang diselidik atau disidik masih dapat melaksanakan tugas sehari-hari seperti biasa. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang sedang diselidik atau disidik harus diperlakukan secara sama dengan warga negara lain yang bukan pejabat negara. Untuk itu Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa persetujuan Presiden untuk tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah 12 Ibid., h. 68. 13 Ibid., h. 73. 34

sebagai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terhadap persetujuan tertulis dari Presiden untuk tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan bahwa, Menimbang bahwa tindakan hukum yang akan mengganggu dan menghambat pelaksanaan tugas menjalankan pemerintahan daerah adalah jika kepala daerah ditahan, apapun bentuk penahanannya, akan membuat yang bersangkutan kehilangan kebebasannya, sehingga penahanan terhadap seorang kepala daerah akan membatasi gerak dan aktivitas yang bersangkutan bukanhanya sebagai kepala daerah, tetapi juga sebagai seorang warga negara, sebagaimana dialami pula oleh warga negara lain yang ditahan; Penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah akan menghambat roda pemerintahan daerah karena kepala daerah merupakan pimpinan administratif tertinggi pemerintahan di daerah. Untuk itu masih diperlukanadanya persetujuan tertulis dari Presiden terhadap tindakan penahanan yangdikenakan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Menurut Mahkamah yang memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden hanya tindakanpenahanan. Dengan demikian maka tindakan penyidikan dapat dilakukan olehpenyidik tanpa harus memperoleh persetujuan tertulis dari Presiden.Namundemikian, tindakan penahanan yang dilakukan untuk kepentingan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (3) UU Pemda tetap memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden. Dalam rangka proses hukum yang lebih efektifdan efisien yang menjamin kepastian hukum maka Mahkamah memandang perluuntuk memberi batas waktu persetujuan dari Presiden dalam waktu yang lebihsingkat; 14 Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan bahwa, penahanan terhadap Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah akan 14 Ibid., h. 74. menghambat roda pemerintahan daerah. Untuk itu masih diperlukan adanya persetujuan tertulis dari Presiden terhadap tindakan penahanan yang dikenakan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah. Khususnya mengenai persetujuan tertulis Presiden untuk penahanan Gubernur/Wakil Gubernur lebih baik diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana sebagai kodifikasi hukum acara pidana untuk lingkungan peradilan umum. Bagaimanapun juga Undang- Undang Pemerintahan Daerah, yaitu Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014, merupakan suatu undang-undang yang dikhususkan untuk mengatur hal yang termasuk lingkup bidang Hukum Tata Negara, sehingga dimasukkannya ketentuan hukum acara pidana dalam undangundang tersebut dapat dipandang sebagai hal yang kurang tepat. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pengertian frasa (bagian kalimat) tindakan penahanan dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah tindakan berupa penahanan, sehingga permintaan persetujuan tertulis dari Presiden hanya dimintakan jika hendak dilakukan penahanan terhadap Gubernur/Wakil Gubernur, sedangkan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan belum perlu dimintakan persetujuan Presiden. 2. Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebab pengaturan yang berbeda terhadap pejabat negara seperti Gubernur dan Wakil Gubernur memiliki nalar hukum (legal ratio) yang dapat diterima,yaitu penahanan akan menghambat pelaksanaan tugas sehari-hari dari Gubernur/Wakil Gubernur yang merupakan pimpinan administratif tertinggi pemerintahan di daerah; juga ada batas waktu untuk menunggu persetujuan Presiden, yaitu paling lama 30 hari, sehingga ada kepastian hukum tentang dapat atau tidaknya dilakukan penahanan. Nalar hukum ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU- IX/2011. 35

B. Saran 1. Untuk menghindari keragu-raguan, frasa (bagian kalimat) tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebaiknya diganti dengan penahanan atau tindakan penahanan yang lebih tegas menunjukkan maksud dari pasal tersebut. 2. Pengaturan persetujuan tertulis dari Presiden untuk penahanan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur sebaiknya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai kodifikasi hukum acara pidana untuk lingkungan peradilan umum. DAFTAR PUSTAKA Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino dari Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht, cet. 29, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001. Bahar, Saafroedin et al (ed.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, ed. 3 cet. 2, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995. Fuady, Munir, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), cet. 2, Refika Aditama, Bandung, 2011. Gokkel, H.R.W. dan N. van der Wal, Istilah Hukum Latin-Indonesia, terjemahan S. Adiwinata dari Juridisch Latijn, Intermasa, Jakarta, 1977. Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, ed. 2 cet. 8, Sinar Grafika, Jakarta, 2014. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, jilid I, Pustaka Kartini, Jakarta, 1981. Huda, Ni Matul, Hukum Tata Negara Indonesia, cet. 9, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014. Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah. Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2008. Lamintang, P.A.F. dan C.D. Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1983. Pangaribuan, Luhut M.P., Hukum Acara Pidana. Surat Resmi Advokat di Pengadilan, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2013. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, cet. 9, Sumur Bandung, Bandung, 1977. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ed. 1, cet. 7, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003. Syahrani, Riduan, Beberapa Hal Tentang Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1983. Thaib, Dahlan, Ketatanegaraan Indonesia. Perspektif Konstitusional, Total Media, Yogyakarta, 2009. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Sinar Harapan, Jakarta, 1983. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3 cet. 2, Balai Pustaka, Jakarta, 2002. Wahyudi, H. Alwi, Hukum Tata Negara Indonesia. Dalam Perspektif Pancasila Pasca Reformasi, cet. 2, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013. A. Internet/File Elektronik Anonim, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Satu Naskah http://www.indonesia.go.id/id/files/uud45/ satunaskah.pdf, kunjungan tanggal 9 Mei 2015. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara jilid II http://www.jimly.com/, kunjungan tanggal 9 Mei 2015. Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/, kunjungan tanggal 24 Mei 2015. Wikipedia Bahasa Indonesia, Daftar Tanda Kepangkatan Polri http://id.wikipedia.org/wiki/tanda_kepangk atan_polri, kunjungan 10 Mei 2015 B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3209). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik 36

Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843). Undang-Undang Nomor Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587). Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258). 37