BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Biaya Unit Pelayanan Otopsi dengan Metode Distribusi Ganda

KONSEP BIAYA. Biaya (Cost) : nilai suatu pengorbanan untuk memperoleh suatu hasil/tujuan tertentu.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yaitu data penelitian

KATA PENGANTAR. Lamongan, Penyusun

RUMAH SAKIT SEBAGAI LEMBAGA USAHA

BAB IV METODE PENELITIAN

JASA PELAKSANA PELAYANAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ( TEORI DAN PRAKTIS ) Oleh: Henni Djuhaeni

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Biaya produksi yang merupakan semua pengeluaran produsen untuk

Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2006 (SNATI 2006) ISSN: Yogyakarta, 17 Juni 2006

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pada mulanya rumah sakit di Indonesia banyak didirikan dengan tujuan sosial

Tarif Pelayanan Kesehatan. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS BIAYA RS BERDASARKAN AKTIVITAS ACTIVITY BASED COSTING (ABC) Oleh : Chriswardani S (FKM MIKM UNDIP)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORITIS. A. Pengertian dan Fungsi Akuntansi Biaya. 1. Pengertian Akuntansi Biaya

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan tersebut adalah pelayanan kesehatan di rumah sakit. Menurut Undang-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ACTIVITY BASED COSTING PADA PELAYANAN KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, industri dan teknologi di Indonesia

Petrus Tandi Bunga Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen Pascasarjana Universitas Tadulako

KONSEP PENETAPAN TARIF DAN INVESTASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan (Depkes RI, 1999). Peningkatan kebutuhan dalam bidang kesehatan ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan telah

Analisi Biaya Pelayanan Kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. yayasan yang sudah disahkan sebagai badan hukum. rawat inap, rawat darurat, rawat intensif, serta pelayanan penunjang lainnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. yang memengaruhi status kesehatan yaitu pelayanan kesehatan, perilaku,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. of Hospital Care yang dikutip Azwar (1996) mengemukakan beberapa

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS BIAYA RS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

BAB II LANDASAN TEORI. informasi dalam pengambilan keputusan (Mulyadi, 1997). Akuntansi dapat

BAB II LANDASAN TEORI. Ada definisi lainnya, yaitu menurut Marelli (2000) Clinical pathway merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

REDESAIN RUMAH SAKIT ISLAM MADINAH TULUNGAGUNG TA-115

BAB III PEMBAHASAN. telah mengembangkan konsep biaya menurut kebutuhan mereka masing-masing. akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. pada macam pembedahan dan jenis penyakit penyerta.

MANAJEMEN KEUANGAN/ANGGARAN

Pengertian aset tetap (fixed asset) menurut Reeve (2012:2) adalah :

BAB II TUNJAUAN PUSTAKA

BAB II BAHAN RUJUKAN

2015 RUMAH SAKIT KHUSUS JANTUNG KOTA BANDUNG

PERHITUNGAN BIAYA SATUAN PELAYANAN KESEHATAN DI PUSKESMAS DI KOTA SAMARINDA TAHUN 2012 (STUDI KASUS PUSKESMAS PALARAN)

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Pada umumnya rumah sakit terbagi menjadi dua yaitu rumah sakit umum

BAB 1 PENDAHULUAN. namun tidak dipungkiri bahwa dalam pengelolaan rumah sakit kinerja tenaga sumber

transplantasi adalah pasien dan hanya ada 920 pasien yang menerima transplantasi (NHSBT, 2014). Hemodialisis merupakan metode perawatan umum

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, hal itu disebabkan karena semakin tingginya kesadaran masyarakat akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Implementasi Metode Activity-Based Costing System dalam menentukan Besarnya Tarif Jasa Rawat Inap (Studi Kasus di RS XYZ)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

BAB III SISTEM AKUNTANSI PENYUSUTAN ASET TETAP BERWUJUD PADA PT HERFINTA FRAM AND PLANTATION

BAB II BIAYA PRODUKSI PADA CV. FILADELFIA PLASINDO SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelayakan proyek adalah suatu penelitian tentang layak atau tidaknya suatu

BAB II LANDASAN TEORI. dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari. pembangunan sumber daya manusia, yaitu mewujudkan bangsa yang maju

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang menderita sakit karena berbagai pertimbangan terpaksa dirawat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ILUSTRASI PELAYANAN HEMODIALISIS DENGAN FASILITAS JKN AFIATIN

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan operasional sebuah perusahaan banyak faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kebijakan Umum Prioritas Manfaat JKN

Aktiva tetap yang ada di perusahaan haruslah benar-benar diperhatikan karena itu bila

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh seluruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan Pemahaman Biaya Unit Cost Biaya dan kaitannya dengan subsidi Tarif berdasarkan Unit Cost

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif, yang

BAB I PENDAHULUAN. Coverage (UHC) adalah suatu ketentuan penting bagi negara

BAB I PENDAHULUAN. dengan tingkat keberadaan perusahaan tersebut di tengah-tengah masyarakat.

BAB II TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Berdirinya Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru

Ahmad Ansyori. Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi UIN Maliki Malang. Abstrak

BAB 1 PENDAHULUAN. investasi dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan

BAB III METODE PENELITIAN

SKPD : RSUD LEUWILIANG

BAB I BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi, seiring dengan perkembangan dunia yang sangat

REGULASI UNIT HEMODIALISIS DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengendalian. Proses ini memerlukan sejumlah teknik dan prosedur pemecahan

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali pelayanan penunjang medis di bidang farmasi. Pelayanan yang baik

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN DOKTER DALAM PENULISAN RESEP SESUAI DENGAN FORMULARIUM RUMAH SAKIT UMUM R.A.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pelayanan Hemodialisis Pada pasien penyakit ginjal dengan faal ginjal yang menurun atau yang masih tersisa sudah sangat sedikit sehingga usaha-usaha pengobatan biasa yang berupa diet, pembatasan minum, obat-obatan dan lain-lain tidak memberi pertolongan yang diharapkan lagi, maka pasien perlu mendapat pengobatan atau terapi pengganti. Keadaan pasien di mana faal ginjal sudah menurun, diukur dengan klirens kreatinin (KK) yang tidak lebih dari 15 ml/menit. Keadaan ini disebut Gagal Ginjal Terminal (GGT). Penderita GGT, apapun etiologi penyakit ginjalnya, memerlukan pengobatan khusus yang disebut pengobatan atau terapi pengganti. Pada Tabel 2.1 di bawah ini dapat dilihat beberapa terapi pengganti yang lazim dilaksanakan dewasa ini. Tabel 2.1. Berbagai Jenis Terapi Pengganti No Berbagai Jenis Terapi Pengganti A Dialisis 1. Dialisis peritoneal (DP) 1.1. DP Intermiten (DPI) 1.2. DP Mandiri Berkesinambungan (DPMB) 1.3. DP Dialirkan Berkesinambungan (DPDB) 1.4. DP Nokturnal (DPN) 2. Hemoperfusi 3. Hemofiltrasi 4. Hemodialisis (HD) B Transplantasi Ginjal (TG) 1. TG Donor Hidup (TGDH) 2. TG Donor Jenazah (TGDJ) Sumber: Soeparman, 1990.

Dari beberapa terapi pengganti di atas, hemodialisis sampai sekarang masih merupakan pilihan utama (Soeparman, 1990). Hemodialisis (cuci darah) diperlukan jika fungsi ginjal sudah sangat menurun atau pada keadaan GGT. Pada keadaan ini ginjal tidak dapat lagi menyaring/ membuang racun, sisa pembakaran/metabolisme, mengatur keseimbangan garam maupun cairan di dalam tubuh pasien. Dengan hemodialisis darah dibersihkan melalui mesin dengan menggunakan dialyzer (ginjal buatan) dan cairan pembersih khusus. Sewaktu cuci darah, sisa-sisa racun, sisa metabolisme dibuang dari tubuh, garam dan cairan diseimbangkan sehingga tubuh menjadi normal kembali. Pasien dengan gagal ginjal terminal perlu cuci darah 2-3 kali per minggu. Setiap kali cuci darah butuh waktu rata-rata 4 jam. Pengobatan dengan proses hemodialisis tersebut akan terus dibutuhkan jika pasien tidak menempuh proses pengobatan dengan cangkok ginjal. Dalam melaksanakan pelayanan hemodialisis dibutuhkan beberapa prasarana dan sarana antara lain: a. Fasilitas ruangan 1). Ruang Hemodialisis dengan segala perlengkapannya antara lain tempat tidur pasien, mesin hemodialisis, trolley, timbangan berat badan, meja makan pasien (overbad table), meja pasien (nakhas), meja perawat, kursi, kulkas obat, lampu tindakan, tiang infus, lemari obat, kursi, tempat sampah, tempat linen kotor dan lain sebagainya.

Demi kenyamanan pasien dan untuk mengusir kebosanan selama berlangsungnya terapi hemodialisis, umumnya ruang hemodialisis dilengkapi dengan alat pengatur suhu ruangan (AC) dan perangkat televisi. 2). Ruang Konsultasi Dokter. 3). Ruang Perawat. 4). Ruang Gudang Penyimpanan Consumable Goods. 5). Ruang Water Treatment di mana sistem pemurni air yang dipakai adalah Reverse Osmosis (RO) dengan perangkat seperti tangki air, pompa air, multimedia-filter, activated carbon, softener, tabung reverse osmosis, ultraviolet filter, bacteria filter dan lain sebagainya. Air yang dihasilkan adalah air murni yang bebas logam berat maupun bakteri yang sangat penting untuk dipakai dalam proses hemodialisis di mana pada umumnya rata-rata diperkirakan dibutuhkan sekitar 30 liter per jam. 6). Ruang reuse dialyzer di mana dialyzer yang sudah dipakai dibersihkan atau diproses untuk dapat dipakai kembali pada pasien yang sama pada terapi hemodialisis berikutnya. 7). Ruang Kamar Mandi (Pasien dan Perawat). b. Bahan Habis Pakai (Consumable Goods) yang terdiri dari antara lain: 1). Dialyzer (ginjal buatan) dan blood-lines (selang darah). 2). Pada pasien GGT, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah melalui selang darah kedalam dialyzer atau ginjal buatan yang terdiri dari dua

kompartemen. Kompartemen pertama adalah kompartemen darah yang di dalamnya mengalir darah dibatasi oleh selaput semipermeable buatan dengan kompartemen kedua berisi cairan untuk hemodialisis atau dialisat. Melalui membrane inilah proses pembersihan darah pasien berlangsung. 3). Cairan dialisat merupakan cairan dengan komposisi khusus yang dipakai dalam proses hemodialisis, yang terdiri dari cairan acetate dan bicarbonate. Saat ini yang lebih banyak dipakai adalah bicarbonate dialysis, hemodialisis dengan menggunakan cairan bicarbonate karena efek samping pasca hemodialisis yang lebih minimal. 4). Bahan medis lain yang dibutuhkan seperti set infus, cairan infus, spuit, kapas alkohol, kassa steril, cairan antiseptik (seperti bethadine solution), powder antibiotic, plester micropore, band-aid (pelekat), verban gulung, sarung tangan dan lain sebagainya. c. Peralatan medis yang dapat dipakai ulang antara lain: klem, gunting, piala ginjal (nierbeken), thermometer, alas perlak, senter, tourniquet, steteskop, mangkok, gelas ukur, tensimeter, ECG monitor, tabung oksigen, kertas observasi, status pasien, apron, masker, bantalan pasir berbagai ukuran dan lain sebagainya. d. Untuk bahan linen dibutuhkan antara lain: selimut, sprei, sarung bantal, waslap, handuk kecil, serbet tangan, dan sebagainya lainnya. e. Untuk perawatan mesin diperlukan cairan desinfectant seperti Sodium hypochloride 2.5%, Havox/Bayclin 5,25%, Citrosteril 3%, Puristeril 3%, Actril 0,7%, Citic Acid 50% (Fresenius Medical Care, 2001).

Proses hemodialisis merupakan proses pelayanan kesehatan yang cukup rumit sehingga diperlukan tenaga perawat khusus untuk melaksanakan pelayanan ini. Di samping itu pelayanan hemodialisis (cuci darah) merupakan salah satu pelayanan yang cukup mahal, karena sangat dipengaruhi harga medical supply, obat dan bahan habis pakai, yang sangat dipengaruhi oleh krisis moneter yang terjadi saat ini. Salah satu cara untuk mengurangi cost dalam pelayanan hemodialisis ini adalah dengan cara reuse di mana dialyzer yang harganya cukup mahal tersebut dipakai berulang kali. Ada juga pusat-pusat dialisis tertentu selain reuse dialyzer juga melakukan reuse blood-lines. Reuse jelas dapat memberikan keuntungan secara ekonomis (Brown, 2001). Cara reuse dipakai dilebih dari 80% pusat-pusat dialysis di Amerika Serikat. Proses pemakaian berulang dialyzer untuk pasien terbukti aman dan clearance characteristics dialiyzer reuse tidak berubah jika proses pembersihan dializer dilaksanakan dengan benar. Reuse selain menghemat biaya, juga dapat meningkatkan biocompatibility dan mengurangi frekwensi first-use-syndrome pada pasien hemodialisis (Pasten dan Bailey, 1998). Ariono dalam penelitiannya: Analisis Biaya dan Alternatif Tarif Hemodialisis di Unit Renal RSPAD Gatot Soebroto selama Tahun Anggaran 1997/1998 mendapatkan bahwa biaya satuan hemodialisis yang didapat dari analisis biaya lebih tinggi dari tarif yang berlaku, sehingga diketahui selama Tahun Anggaran 1997/1998 sebenarnya terjadi defisit yang merupakan subsidi rumah sakit kepada pasien swasta.

2.2. Aspek Ekonomi Pelayanan Kesehatan Tugas dan tanggung jawab manajemen berkisar pada perencanaan dan pengawasan. Perencanaan mencakup penentuan serta penggarisan cara-cara bagaimana tujuan akan dicapai. Pengawasan mencakup langkah-langkah maupun metode-metode yang digunakan untuk menjamin pencapaian tujuan dimaksud. Agar perencanaan dan pengawasan dapat dilaksanakan dengan baik, manajemen memerlukan informasi-informasi mengenai kegiatan organisasi. Dari segi akuntansi informasi yang diperlukan oleh manajer sering berupa biaya-biaya yang berkaitan dengan kegiatan usaha (Tambunan, 2001). Salah satu subsistem yang terdapat dalam sistem kesehatan ialah subsistem pembiayaan kesehatan, maka untuk dapat memahami dengan lengkap sistem kesehatan, perlulah dipahami pula tentang subsistem pembiayaan kesehatan tersebut. Pembicaraan subsistem pembiayaan kesehatan ini juga tidak mudah. Sebagai akibat dari luasnya pengertian sehat, maka yang termasuk dalam subsistem pembiayaan kesehatan, mencakup bidang yang amat luas pula. Jika ditinjau dari definisi sehat sebagaimana yang dirumuskan oleh WHO yang berbunyi: Sehat adalah suatu keadaan dan kualitas dari organ tubuh yang berfungsi secara wajar dengan segala faktor keturunan dan lingkungan yang dipunyainya, maka pembiayaan pembangunan perumahan dan atau pembiayaan pengadaan pangan, yang juga memiliki dampak terhadap kesehatan, seharusnya turut pula diperhitungkan.

Hanya saja, seperti juga pada subsistem pembiayaan kesehatan, peninjauan yang luas seperti ini tidaklah mungkin dilakukan. Sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, maka dalam membicarakan subsistem pembiayaan kesehatan, pembahasan dibatasi hanya pada pembiayaannya untuk program kesehatan saja, yakni programprogram yang berhubungan erat dengan penerapan langsung ilmu dan tekhnologi kedokteran. Pada akhir-akhir ini, dengan makin kompleksnya pelayanan kesehatan serta makin langkanya sumber dana yang tersedia, maka perhatian terhadap subsistem pembiayaan kesehatan makin meningkat saja. Pembahasan tentang subsistem pembiayaan kesehatan ini tercakup dalam suatu cabang ilmu khusus yang dikenal dengan nama ekonomi kesehatan atau health economic (Azwar, 1988). Dari aspek pembiayaan, secara makro dijumpai beberapa hal yang menarik di mana didapati bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan suatu negara semakin besar negara itu mengeluarkan biaya kesehatan, baik dilihat dari segi angka absolut maupun relatif dari tingkat pendapatan negara tersebut (Sulastomo, 2003). Pembiayaan rumah sakit yang semakin besar, sedangkan subsidi semakin sedikit atau bahkan sama sekali tidak ada, menyebabkan rumah sakit harus melakukan pengendalian biaya operasional seefektif mungkin dan menetapkan tarif rasional berdasarkan perhitungan biaya satuan (unit cost). Dalam menghadapi persaingan bebas, rumah sakit dituntut dapat memberikan pelayanan yang baik, efisien, efektif dan tarif yang sesuai. Pelayanan Hemodialisis (cuci darah) merupakan salah satu layanan yang cukup mahal, karena sangat

dipengaruhi harga medical supply, obat, dan bahan habis pakai. Untuk itu perlu dilakukan penetapan tarif yang berbasis biaya. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 582/Menkes/SK/ 1997 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Pemerintah, telah ditetapkan bahwa tarif rumah sakit pemerintah diperhitungkan atas dasar biaya satuan. 2.3. Pengertian Biaya Untuk menghasilkan biaya suatu produk (output) diperlukan sejumlah input. Biaya adalah nilai dari sejumlah input (faktor produksi) yang dipakai untuk menghasilkan suatu produk (Gani, 1995). Output atau produk bisa berupa barang atau jasa pelayanan kesehatan. Untuk menghasilkan pelayanan kesehatan di rumah sakit, misalnya diperlukan sejumlah input yang antara lain berupa obat, alat kedokteran, tenaga medis maupun non medis, listrik, gedung dan sebagainya. Biaya juga sering diartikan sebagai nilai dari suatu pengorbanan untuk memperoleh suatu output tertentu. Pengorbanan itu bisa berupa uang, barang, tenaga, waktu, maupun kesempatan (Supriyono, 1999). Dalam analisis ekonomi nilai kesempatan untuk memperoleh sesuatu yang hilang karena melakukan suatu kegiatan juga dihitung sebagai biaya yang disebut dengan biaya kesempatan (opportunity cost).

2.4. Jenis Biaya Biaya dikelompokkan berdasarkan kriteria-kriteria untuk keperluan analisis biaya. Klasifikasi biaya berdasarkan beberapa kriteria antara lain (Gani, 1995): 2.4.1. Berdasarkan pada Perubahan Jumlah Produk (Output) a. Biaya tetap (fixed cost) Biaya tetap adalah biaya yang secara relatif tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah produksi (Sjaaf, 1994). Biaya ini harus tetap dikeluarkan terlepas dari persoalan apakah pelayanan diberikan atau tidak. Contoh biaya tetap adalah nilai dari gedung yang digunakan, nilai dari mesin hemodialisis, nilai dari peralatan kedokteran lainnya, nilai peralatan non medis, gaji personel dan sebagainya. Jadi dalam klasifikasi ini termasuk barang-barang investasi, sehingga biaya tetap ini juga disebut biaya investasi. b. Biaya variabel (variable cost) Biaya variabel adalah biaya yang besarnya dipengaruhi oleh banyaknya output/produksi (Gani, 1996). Contoh yang termasuk dalam biaya variabel adalah biaya listrik, biaya air, biaya bahan habis pakai/obat, biaya honor supervisor medis, insentif perawat, biaya cucian dan sebagainya. c. Biaya total (total cost) Biaya total adalah jumlah dari biaya tetap dan biaya variabel.

2.4.2. Berdasarkan Sifat Kegunaannya a. Biaya investasi (invesment cost) Biaya investasi adalah biaya yang kegunaannya dapat berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Biasanya batas waktu untuk biaya investasi ditetapkan lebih dari satu tahun. Batas satu tahun ditetapkan atas dasar kebiasaan bahwa anggaran biasanya direncanakan dan direalisir untuk satu tahun. Biaya investasi ini biasanya berhubungan dengan pembangunan atau pengembangan infrastruktur fisik dan kapasitas produksi. Contoh yang termasuk dalam biaya investasi antara lain biaya pembangunan gedung dan sebagainya (Shepard et al, 2000). b. Biaya pemeliharaan Biaya pemeliharaan adalah biaya yang fungsinya untuk mempertahankan atau memperpanjang kapasitas barang investasi. Contoh biaya pemeliharaan gedung, biaya pemeliharaan alat medik, biaya pemeliharaan alat non medik (FKM UI, 1998). c. Biaya operasional Biaya operasional (operational cost) adalah biaya yang diperlukan untuk melaksanakan, memfungsikan atau mengoperasikan barang investasi. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah gaji, biaya obat, biaya makan, biaya alat tulis kantor biaya umum seperti listrik, air, telepon, perjalanan dan lain-lain (FKM UI, 1998). Biaya operasional ini memiliki sifat habis pakai

dalam kurun waktu yang relatif singkat atau kurang dari satu tahun (Sjaaf, 2000). Antara biaya operasional dan biaya pemeliharaan dalam praktek sering disatukan menjadi biaya operasional dan pemeliharaan (Operational and Maintainance Cost). 2.4.3. Berdasarkan Fungsinya dalam Proses Produksi Terdiri dari biaya langsung dan biaya tidak langsung. Konsep biaya lansung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost) sering dipergunakan ketika menghitung satuan (unit cost). Biaya langsung adalah biaya yang secara jelas penggunaannya dilakukan dalam suatu unit kegiatan tertentu sedangkan biaya tak langsung adalah biaya yang penggunaannya dilakukan bukan di unit kegiatan yang bersangkutan (Sjaaf, 1994). Dalam suatu unit usaha, misalnya di rumah sakit terdapat jenis kegiatan yaitu unit produksi seperti rawat jalan, rawat inap, unit hemodialisis dan sebagainya dan unit penunjang seperti instalasi gizi, bagian administrasi, bagian keuangan dan sebagainya yang semua kegiatan ini memerlukan biaya dan saling menunjang untuk berjalannya suatu kegiatan (Supriono, 1999). Mengingat ada unit penunjang maka untuk menghitung biaya satuan hemodialisis misalnya, biaya yang dihitung bukan saja biaya yang ada di unit produksi yang secara langsung (direct) berkaitan dengan pelayanan (output), tetapi harus dihitung juga biaya yang ada di unit penunjang meskipun biaya di unit penunjang tidak secara langsung (indirect) berkaitan dengan pelayanan hemodialisis tersebut.

Biaya-biaya yang dikeluarkan pada unit-unit yang langsung melayani pasien disebut biaya langsung (direct cost). Dengan demikian penggolongan biaya langsung dan biaya tidak langsung didasarkan pada penempatan biaya tersebut, apakah biaya itu ditempatkan di unit yang berhubungan dengan pelayanan (produk) secara langsung atau secara tidak langsung. 2.5. Analisis Biaya Analisis biaya adalah proses menata kembali data atau informasi yang ada dalam laporan kuangan untuk memperoleh usulan biaya pelayanan rumah sakit. Dengan perkataan lain analisis biaya merupakan pendistribusian biaya dari unit pemeliharaan, unit operasional dan unit pelayanan umum lainnya ke bagian perawatan, gawat darurat, atau pendapatan rumah sakit dari layanan yang diberikan kepada pasien (Berman, 1996). Analisis biaya lebih luas daripada penelusuran biaya, karena penelusuran biaya hanya terbatas pada upaya mencari besarnya biaya layanan kesehatan di pusat layanan kesehatan. Upaya ini dilakukan secara sederhana dengan metode pengalokasian yaitu pemindahan biaya tidak langsung menjadi biaya langsung (Sjaaf, 1991) Berman (1996) melengkapi dengan persyaratan dalam melakukan analisis biaya, yaitu:

a. Harus dapat organogram rumah sakit yang menyatakan pusat-pusat pertanggungjawaban. b. Harus jelas identifikasi semua pusat biaya penunjang dan biaya produksi. c. Harus ada sistem akuntansi yang dapat menyediakan data keuangan pada setiap biaya. d. Harus ada sistem yang memenuhi kebutuhan data non keuangan pada masingmasing pusat biaya, sebagai dasar alokasi dari pusat biaya penunjang ke pusat biaya produksi dan perhitungan biaya satuan pada pusat biaya produksi. e. Metode perhitungan yang dipilih harus dapat dipergunakan sesuai dengan situasi rumah sakit. Dalam analisis biaya juga memiliki keterbatasan, seperti yang diungkapkan Braganza (1982) dalam hal-hal sebagai berikut: a. Asumsi tentang keseragaman Dengan asumsi bahwa ukuran dasar alokasi yang dipergunakan untuk mendistribusikan biaya asli dari pusat penunjang ke pusat biaya produksi adalah seragam. Sebenarnya biaya untuk produk yang dihasilkan akan berbeda menurut bentuk dan jenisnya, seperti perbedaan biaya antara makanan diet dan biasa, jenis dan ukuran linen yang dicuci. b. Tidak dapat memperhitungkan faktor kualitatif, seperti etos kerja yang dapat berpengaruh pada efisiensi penggunaan biaya.

c. Idealnya pengambilan data dilakukan berdasarkan observasi pada masing-masing pusat biaya, tetapi karena adanya keterbatasan waktu, biaya dan tenaga, maka dasar alokasi berdasarkan luas lantai atau jumlah karyawan yang dianggap memadai dalam mengalokasikan biaya (Isanov, 2003). Salah satu hasil akhir analisis biaya adalah penghitungan biaya satuan. Dalam memproduksi suatu output tertentu, misalnya pelayanan hemodialisis, diperlukan dukungan dari unit-unit penunjang, maka biaya-biaya yang dikeluarkan di unit penunjang tersebut perlu didistribusikan ke unit produksi. Dengan perkataan lain, analisis biaya memerlukan distribusi biaya tidak langsung ke biaya-biaya langsung ini dilakukan baik terhadap biaya operasional maupun biaya investasi. Tehnik analisa biaya untuk rumah sakit dikembangkan secara khusus, oleh karena sebagai suatu unit produksi jasa pelayanan kesehatan, rumah sakit mempunyai keunikan. a. Begitu banyak jenis input yang diperlukan, seperti berbagai jenis tenaga, obat, bahan, makanan dan lain-lain. b. Rumah sakit terdiri dari demikian banyak unit, dan antara unit-unit tersebut terjadi tranfer jasa yang sangat kompleks. c. Rumah sakit menghasilkan produk yang sangat banyak jenisnya. Prinsip dasar analisis biaya rumah sakit adalah mendistribusikan biaya tidak langsung ke pusat-pusat produksi di mana biaya langsung dikeluarkan. Maksudnya adalah agar dalam perhitungan biaya satuan, biaya tidak langsung juga sudah diperhitungkan.

Di rumah sakit dalam konteks analisis biaya, yang disebut biaya tidak langsung adalah biaya yang dikeluarkan pada pusat biaya penunjang, seperti direksi, Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit (IPSRS), laundry dan lain-lain. Sedangkan biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan di pusat biaya produksi, yaitu unit-unit rumah sakit yang langsung melayani pasien. Konsep biaya penyusutan penting diketahui dalam analisis biaya, terutama dalam upaya menyebar biaya investasi pada beberapa satuan waktu. Sebagaimana diketahui bahwa biaya yang timbul dari barang-barang investasi berlangsung untuk dalam satu kurun waktu yang lama (lebih dari satu tahun). Padahal lazimnya analisis biaya dilakukan untuk suatu kurun waktu tertentu, misalnya satu tahun anggaran. Apabila analisis biaya dilakukan dalam satuan kurun waktu satu tahun anggaran, maka perlu dicari nilai biaya investasi satu tahun. Nilai biaya investasi satu tahun ini disebut nilai tahunan biaya investasi (Annualized Invesment Cost atau AIC). 2.6. Biaya Satuan (Unit Cost) Biaya satuan adalah biaya yang dihitung untuk satu satuan produk (pelayanan). Biaya satuan diperoleh dari biaya total (TC) dibagi jumlah produk (Q) atau TC/Q. Dengan demikian dalam menghitung biaya satuan harus ditetapkan terlebih dahulu besaran produk (cakupan pelayanan). Perdefinisi biaya satuan seringkali disamakan dengan biaya rata-rata (average cost).

Di rumah sakit misalnya, apakah satuan produk dihitung dalam satuan rawat jalan atau dapat diperinci lagi. Penetapan besaran satuan produk itu dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Makin kecil satuan produk/pelayanan akan makin rumit dalam menghitung biaya satuan. Dengan melihat rumus biaya satuan (TC/Q) tersebut, maka jelas tinggi rendahnya biaya satuan suatu produk tidak saja dipengaruhi oleh besarnya biaya total tetapi juga dipengaruhi oleh besarnya produk atau pelayanan. Pada rumah sakit penghitungan biaya satuan dengan rumus di atas banyak dipengaruhi oleh tingkat utilisasi. Makin tinggi tingkat utilisasi akan makin kecil biaya satuan pelayanan. Sebaliknya makin rendah tingkat utilisasi akan makin besar satuan pelayanan. Biaya satuan ada 2 macam, yaitu: a. Biaya satuan actual Yaitu biaya yang dikeluarkan unit produksi pelayanan kesehatan untuk menghasilkan satu output berdasarkan besaran produk pelayanan kesehatan. b. Biaya satuan normative Yaitu biaya yang diperlukan untuk menghasilkan satu jenis pelayanan kesehatan menurut standar baku dengan melihat kapasitas dan utilitasnya. Penetapan tarif yang rasional mutlak memerlukan informasi tentang biaya satuan. Dalam kenyataan tidak mudah menghitung biaya satuan, antara lain karena produk rumah sakit sangat banyak.

2.7. Biaya Kesempatan Biaya kesempatan adalah biaya yang terjadi dari suatu kesempatan yang hilang akibat melakukan suatu pilihan kegiatan. Setiap pilihan yag diambil akan membawa resiko (biaya) untuk tidak menikmati pilihan lain yang tidak diambil. Dengan kata lain, biaya kesempatan adalah biaya yang timbul akibat pengabaian terhadap pilihan-pilihan yang tidak diambil. Konsep biaya kesempatan biasanya dipakai dalam kaitan menghitung nilai investasi suatu usaha. Misalnya di rumah sakit ada sejumlah dana yang akan digunakan apakah untuk membeli stetoskop atau membeli tensimeter. Jika dana tersebut diinvestasikan untuk membeli stetoskop, maka ada kesempatan yang hilang yaitu tidak bisa menggunakan tensimeter. Sebaliknya bila dana tersebut digunakan untuk membeli tensimeter maka ada kesempatan yang hilang yaitu tidak bisa menggunakan stetoskop. 2.8. Biaya Penyusutan (Depreciation Cost) Biaya penyusutan adalah biaya yang timbul akibat terjadinya pengurangan nilai barang investasi (aset) sebagai akibat penggunaannya dalam proses produksi. Setiap barang investasi yang dipakai dalam proses produksi akan mengalami penyusutan nilai, baik karena makin usang atau karena mengalami kerusakan fisik. Nilai penyusutan dari barang investasi seperti gedung, kendaraan, peralatan disebut biaya penyusutan.

Ada beberapa metode yang dipakai untuk menghitung penyusutan yaitu metode garis lurus (straight line), metode saldo menurun (declining balance), jumlah angka-angka tahun (sum of the years digit) dan metode unit produksi (unit of production). Salah satu metode yang paling umum digunakan adalah penyusutan menurut metode garis lurus di mana jumlah historis yang sama dikurangi setiap tahun. 2.9. Pusat Biaya (Cost Center) dalam Pelayanan Kesehatan 2.9.1. Pengertian Pusat Biaya Pusat biaya adalah unit-unit yang ada dalam sistem pelayanan kesehatan bersangkutan di mana biaya dipakai. Semua unit di mana kegiatan spesifik dilakukan dapat disebut pusat biaya. Ada pusat biaya tertentu yang sekaligus merupakan unit di mana disebut sebagai pusat pendapatan. Unit dapur dan rawat jalan di sebuah rumah sakit adalah pusat biaya. Dalam hal ini rawat jalan tersebut sekaligus juga berfungsi sebagai pusat pendapatan (revenue center). Secara umum pusat biaya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a. Pusat produksi yaitu unit di mana output rumah sakit dihasilkan berupa pelayanan kesehatan. b. Pusat bagi penunjang yaitu yang berfungsi menunjang unit-unit produksi.

2.9.2. Pusat Biaya Sistem Rumah Sakit Dalam sistem rumah sakit pusat produksi terdiri dari unit-unit yang menghasilkan pelayanan sebagai berikut: a. Rawat inap. b. Rawat jalan. c. Tindakan diagnostic. d. Tindakan medis (pengobatan) antara lain Unit Hemodialisis. Sedangkan pusat biaya penunjang meliputi: a. Unit-unit administrasi dan manajemen. b. Unit-unit pemeliharaan. c. Unit penunjang khusus seperti laundry. 2.10. Tarif Pelayanan 2.10.1. Pengertian Tarif Pelayanan Kesehatan Sekalipun tarif dan harga menunjuk pada besarnya biaya yang harus dikeluarkan konsumen, namun pengertian tarif tidaklah sama dengan harga (Gani, 1992b). Tarif ternyata lebih terkait pada besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh jasa pelayanan, sedangkan pengertian harga lebih terkait pada besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang. Sekalipun perbedaan antara tarif dengan harga cukup jelas, namun bagi kebanyakan anggota masyarakat, perbedaan yang seperti ini sulit untuk dimengerti oleh masyarakat pemakai jasa kesehatan, tarif diartikan sama dengan seluruh biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh

pelayanan kesehatan. Adanya pengertian yang seperti ini jelas tidak sesuai. Karena dalam pengertian seluruh biaya tersebut, telah termasuk harga barang, dan untuk Indonesia misalnya obat-obatan, yang memang pengelolaan sering dilakukan terpisah dengan pengelolaan sarana pelayanan kesehatan. Namun terlepas dari adanya perbedaan pengertian, peranan tarif dalam pelayanan kesehatan memang amat penting. Untuk dapat menjamin kesinambungan pelayanan, setiap sarana kesehatan harus dapat menetapkan besarnya tarif yang dapat menjamin total yang lebih besar dari pengeluarannya. Sesungguhnya pada saat ini sebagai akibat dari mulai berkurangnya pihakpihak yang mau menyumbang dana pada pelayanan kesehatan misal Rumah Sakit, maka sumber keuangan utama kebanyakan sarana kesehatan hanyalah dari pendapatan saja. Untuk ini jelaslah bahwa kecermatan menetapkan besarnya tarif memegang peranan yang amat penting. Apabila tarif tersebut terlalu rendah dapat menyebabkan total pendapatan (income) yang rendah pula, yang apabila ternyata juga lebih rendah dari total pengeluaran (expenses), pasti menimbulkan kerugian dan sebagai akibatnya akan menimbulkan kesulitan keuangan (Azwar, 1988). 2.10.2. Kebutuhan terhadap Pelayanan Kesehatan Secara umum pengertian kebutuhan (demand) adalah jumlah suatu komoditi yang mau dan mampu dibeli oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu tertentu (Gani, 1992b). Kebutuhan terhadap suatu komoditi tertentu dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain adalah harga komoditi, tingkat pendapatan dan faktor

faktor, antara lain seperti ada tidaknya komoditi pengganti (substitutive goods) dan selera atau preferensi pasien. Untuk pelayanan kesehatan di rumah sakit, faktor harga (tarif) biasanya dinyatakan dengan konsep elastisitas kebutuhan yang tidak berlaku secara murni, karena: a. Pasien umumnya tidak tahu tentang jenis pelayanan apa yang diperoleh dari rumah sakit dan berapa banyak yang diperlukan (consumer ignorance). b. Banyak orang berobat ke rumah sakit sebagai pasien rujukan, di sini pengambil keputusan adalah pihak ketiga yaitu provider (tenaga kesehatan). c. Biasanya orang berobat ke rumah sakit adalah karena penyakitnya memang tidak dapat diatasi oleh fasilitas pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas atau Poliklinik. 2.10.3. Tujuan Penetapan Tarif Dalam pelayanan jasa kesehatan di rumah sakit terdapat kompensasi biaya, berupa nilai jasa pelayanan atau tarif. Berdasarkan nilai tarif tersebut, rumah sakit bersedia memberikan jasa pelayanannya kepada pasien. Tarif dapat ditetapkan dengan berbagai tujuan, antara lain: a. Peningkatan pemulihan biaya (cost recovery). Terutama untuk rumah sakit yang berorientasi non profit di mana subsidi semakin lama semakin berkurang, dan mulai berupaya untuk menswadanisasikan pelayanannya. Untuk dapat menutupi biaya yang dikeluarkan pada tingkat cost recovery yang diharapkan, tarif rumah sakit harus dihitung berdasarkan analisis biaya satuan (Depkes RI, 1992).

b. Subsidi silang (cross subsidy) Penetapan tarif juga bertujuan untuk keseimbangan pemanfaatan pelayanan bagi masyarakat ekonomi atas, dasar pemanfaatan kelas, atau pelayanan profit dan non profit dapat dilakukan dalam 2 bentuk: 1). Subsidi silang dalam rumah sakit. 2). Subsidi silang di luar rumah sakit berupa pelayanan oleh perusahaan asuransi atau perusahaan pengguna jasa kesehatan rumah sakit. Dalam pelayanan rumah sakit, aplikasi konsep subsidized seperti pada rumah sakit pemerintah ini menyebabkan tarif rumah sakit dapat ditekan (Gani, 1996a). c. Maksimal pemanfaatan pelayanan Untuk memaksimalkan pemanfaatan pelayanan kesehatan, tidak jarang rumah sakit melakukan penekanan tarif serendah mungkin, terutama ditekan tarif pelayanan yang mempunyai biaya tetap yang kecil. Kondisi yang ingin dicapai minimal adalah total biaya sama dengan pendapatan total. Pada keadaan di mana rumah sakit memiliki tingkat hunian yang rendah, tarif juga ditekan serendah mungkin. Seringkali kondisi ini menimbulkan persepsi bahwa harga murah identik dengan mutu rendah (Depkes RI, 1992; Thabrany, 1996). d. Maksimalkan pendapatan Penetapan tarif yang memaksimalkan pendapatan sehingga lebih besar dari biaya yang dikeluarkan, akan menghasilkan surplus. Total biaya yang jauh terlampaui akan berdampak baik untuk menutupi biaya tetap. Maksimalisasi pendapatan juga bisa merupakan minimalisasi subsidi. Misalnya pada keadaan pasar yang dikuasai

satu rumah sakit (monopoli), tanpa kehadiran pesaing, serta suasana kebutuhan yang tinggi, maka tarif dapat dipasang pada level yang setinggi-tingginya. Pada akhirnya rumah sakit memperoleh surplus maksimal (LPPM, 1996). Bila diharapkan akan laba/sisa hasil usaha yang maksimal, penetapan tarif ini dapat direkonstruksi berdasarkan tingkat permintaan yang tentunya terkait langsung dengan besarnya biaya produksi. Biasanya penetapan tarif ini dibuat secara teoritis dengan menyusun model persamaan matematika (Trisnantoro, 1994). e. Mengurangi pesaing Penetapan tarif dapat dilakukan dengan tujuan mengurangi pembangunan rumah sakit baru yang akan menjadi pesaing. Rumah sakit yang sudah terlebih dahulu beroperasi menyusun strategi sedemikian rupa agar tarif tidak dapat disamai oleh rumah sakit baru (Trisnantoro, 1994). f. Menciptakan corporate image Tarif dapat ditetapkan dengan tujuan meningkatkan citra sebagai rumah sakit untuk golongan masyarakat kelas atas yang berkenan seolah-olah berlomba untuk mendapatkan citra rumah sakit paling mewah. Kotler dan Clarke mengemukakan tujuan penetapan tarif juga berkaitan dengan pemasaran yakni dengan maksud publisitas yang dilakukan rumah sakitnya (Kotler, 1987). Bila ada unit yang dipublikasikan, maka penetapan tarif disesuaikan dengan persepsi pasien yang menjadi pangsanya berdasarkan nilai publisitasnya. Oleh karenanya dalam penetapan tarif unit yang dipublikasikan

harganya lebih rendah dari pada yang tidak dipublikasikan, tetapi memang rumah sakit tidak mengharapkan pendapatan yang tinggi, tetapi memang sesungguhnya untuk penciptaan image rumah sakit tersebut dalam pelayanan kesehatan. g. Market Skimming Penetapan tarif ini bertujuan untuk meraih volume besar. Biasanya dipasang tarif tinggi pada permulaan, kemudian perlahan-lahan diturunkan. Persyaratan untuk dapat dilaksanakannya market skimming hádala: 1). Pasar sangat price sensitive, atau pasien cukup sensitif terhadap harga. 2). Biaya produksi dan distribusi tidak bervariasi besar, sehingga tarif dapat ditekan ketingkat yang terjangkau pasien dalam volume besar. Kemungkinan pesaing masuk dalam waktu singkat sangat kecil sebab adanya hambatan-hambatan yang cukup besar seperti perlunya hak paten, investasi yang besar, adanya kontrol kualitas pelayanan, serta biaya promosi. Dengan harga terendah, diharapkan penetrasi menjadi lebih mudah. Persyaratan dapat dilaksanakannya siasat penetrasi pasar ini adalah: 1). Pasar sangat price sentive, atau pasien cukup sensitif terhadap harga. 2). Biaya produksi dan distribusi turun dengan cepat bilamana produksi dinaikkan atau volume bertambah (LPPM, 1996).

2.10.4. Strategi Penetapan Tarif Dasar strategi penetapan tarif adalah antara lain: a. Berorientasi kepada biaya Penetapan tarif biasanya dilakukan berdasarkan biaya ditambah mark-up yaitu dilebihkan dari biaya yang dikeluarkan. Strategi ini banyak digunakan karena sifatnya lebih pasti daripada berdasarkan kebutuhan (Gani, 1992a). Penetapan tarif dengan cara ini dianggap wajar oleh konsumen dan persaingan. b. Berorientasi kepada kebutuhan Penetapan tarif lebih menekankan kebutuhan dari pada biaya dan harga ditetapkan berdasarkan preferensi pasien terhadap produk tersebut. Bentuk strategi ini adalah diskriminasi harga tetap produk, atau waktu layanan. Untuk melaksanakan strategi ini, perlu diidentifikasi segmen pasar yang sensitif terhadap perubahan harga. Masalahnya dalam pelayanan kesehatan dengan mekanisme pembayaran out-of-pocket, walaupun terjadi perubahan harga, prioritas utama adalah pada aspek kuratifnya dan persepsi bahwa mutu simetris dengan harga. Ada uang ada pelayanan berkualitas. c. Berorientasi kepada pesaing Penetapan tarif ini tidak berorientasi pada biaya ataupun permintaan-permintaan, tetapi menetapkan tarif apakah di atas, di bawah atau dengan tarif pesaing. Bentuk strategi adalah dengan menghitung rata-rata antarpesaing (average rate imitative pricing). Hal ini disebabkan kesulitan dalam menghitung biaya satuan

atau kecenderungan pembagian pasar antarpesaing untuk mendapatkan penghasilan yang adil. d. Berdasarkan pembayaran maksimal Penetapan tarif ini dilakukan berdasarkan batas atas yang mampu dibayar pihak ketiga. Sebenarnya cara ini merupakan bentuk penyimpangan dari penetapan tarif berdasarkan permintaan dan seringkali mencerminkan keinginan prodiver untuk mendapatkan penghasilan lebih banyak secara sepihak (Trisnantoro, 1994). 2.10.5. Langkah-langkah Penetapan Tarif Dalam penetapan tarif rumah sakit mungkin tidak selalu dapat melakukan analisis biaya dengan satu metode tertentu, karena perlu berbagai faktor atau modifikasi yang memerlukan judgement tersendiri. Di bawah ini akan diuraikan langkah-langkah penentuan tersebut: a. Tahap analisis biaya satuan (unit cost) Setiap produk layanan baik yang homogen dan produk heterogen perlu dianalisis besaran biaya satuannya. Produk layanan rumah sakit ada dua jenis yaitu produk layanan homogen dan produk layanan heterogen. Untuk produk layanan yang homogen dapat dihitung langsung besarannya dengan memperhatikan total biaya, kapasitas, dan output layanan. Sedangkan untuk produk layanan yang heterogen dilakukan penghitungan dan pembobotan Relative Value Unit (RVU). Untuk hemodialisis yang homogen, tidak perlu dilakukan perhitungan RVU.

Analisis biaya ini menghasilkan daftar biaya satuan untuk berbagai produk rumah sakit. Pada rumah sakit yang mendapatkan subsidi, maka produk-produk yang mendapatkan subsidi tersebut nilai biaya satuan pelayanan perlu dikurangi dengan elemen biaya yang disubsidi (Shuver et al, 1995). b. Perkiraan posisi pendapatan impas (break even) dengan biaya satuan tanpa subsidi silang. Kondisi ini dikenal sebagai kondisi impas jika keadaan posisi di mana pendapatan menyamai biaya. Perhitungan jumlah pendapatan diawali dengan perkiraan tingkat utilisasi untuk masa mendatang, berdasarkan tingkat utilisasi pada tahuntahun sebelumnya. Angka-angka tersebut dikalikan dengan tarif yang nilainya sama dengan biaya satuan. Hasilnya adalah pendapatan per tahun yang akan dihasilkan setiap unit produktif (revenue centres) atau jumlah total pendapatan tanpa subsidi kemudian dibandingkan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan. c. Penentuan tingkat pendapatan yang diinginkan Tahap berikutnya rumah sakit dapat menentukan jumlah pendapatan yang perlu diperoleh untuk tahun mendatang, agar dapat memberi insentif tenaga medis, insentif tenaga penunjang, mendanai biaya perbaikan dan pemeliharaan fisik pelayanan dan sebagainya. Untuk itu, disusun dulu distribusi biaya menurut masing-masing unit produksi, dengan mempertimbangkan proyeksi utilisasi pelayanan dari setiap unit yang bersangkutan.

d. Alternatif tarif dengan subsidi dan tingkat yang diinginkan Dari hasil tahap ketiga tersebut barulah dapat ditentukan tarif di masing-masing unit. Besar tarif adalah berdasarkan biaya satuan, ditambah rata-rata beban (jasa medis + dana insentif + dana lainnya) dibagi perkiraan jumlah pelayanan di tahun mendatang. Pada tahap ini sudah dapat dilakukan subsidi silang dan dapat dilihat pengaruh tingkat utilisasi terhadap besarnya beban dana tambahan. Bila suatu unit produksi utilitasnya rendah maka besar dana tambahan harus tinggi, sehingga perhitungan tarif menjadi melambung. e. Tarif dengan pertimbangan kemampuan membayar Setelah tahap keempat dilakukan akan diperolah daftar tarif sementara. Selanjutnya dilakukan analisis kemungkinan tingkat utilitas yang akan terjadi bila tarif sementara tersebut diberlakukan. Secara teoritis peningkatan tarif akan menurunkan demand, tetapi untuk pelayanan rumah sakit, apalagi yang bersifat emergency, tingkat utilitas diperkirakan bersifat inelastis terhadap perubahan tarif (Gani, 1992a). 2.11. Landasan Teori Teknik analisis biaya satuan umumnya dikenal 4 (empat) metode yang dikembangkan, yaitu:

a. Simple Distribution Method Sesuai dengan namanya, tehnik ini sangat sederhana, yaitu melakukan distribusi biaya-biaya yang dikeluarkan di pusat biaya penunjang, langsung ke berbagai pusat biaya produksi. Distribusi ini dilakukan satu persatu dari masing-masing pusat biaya penunjang. Tujuan distribusi dari suatu unit penunjang tertentu unitunit produksi yang relevan, yaitu yang secara fungsional diketahui mendapat dukungan dari unit penunjang tertentu tersebut. Kelebihan cara adalah kesederhanaannya sehingga mudah dilakukan. Namun kelemahannya adalah asumsi bahwa dukungan fungsional hanya terjadi antara unit penunjang dengan unit penunjang bisa juga terjadi transfer jasa, misalnya direksi yang mengawasi unit dapur, unit dapur yang memberi makan kepada direksi dan staff tata usaha dan lain-lain. b. Step Down Method Untuk mengatasi kelemahan simple distribution method tersebut, dikembangkan metode distribusi anak tangga. Dalam metode ini, dilakukan distribusi biaya unit penunjang kepada unit penunjang lain dan unit produksi. Caranya, distribusi biaya dilakukan secara berturut-turut, dimulai dengan unit penunjang yang biasanya terbesar. Biaya unit penunjang tersebut didistribusikan ke unit-unit lain (penunjang dan produksi yang relevan). Setelah selesai dilanjutkan dengan distribusi biaya dari unit penunjang lain yang biayanya nomor dua terbesar. Proses ini terus dilakukan sampai semua biaya dari unit penunjang habis didistribusikan ke unit produksi. Perlu dicatat dalam metode ini biaya yang

didistribusikan dari unit penunjang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya mengandung dua elemen biaya yaitu asli unit penunjang yang bersangkutan ditambah biaya yang ia terima dari unit penunjang lain. Kelebihan metode ini adalah sudah dilakukannya distribusi dari unit penunjang ke unit penunjang lain. Namun distribusi ini sebetulnya belum sempurna, karena distribusi tersebut hanya terjadi satu arah, seakan-akan fungsi tunjang menunjang antara sesama unit penunjang hanya terjadi sepihak. Padahal dalam kenyataan, bisa saja hubungan tersebut timbal balik. Misalnya bagian umum melakukan pemeliharaan alat-alat dapur dan sebaliknya dapur memberi makanan staff bagian umum. c. Double Distribution Method Dalam metode ini, pada tahap pertama dilakukan distribusi biaya yang dikeluarkan di unit penunjang lain dan unit produksi. Hasilnya sebagian unit penunjang sudah didistribusikan ke unit produksi, akan tetapi sebagian masih berada di unit penunjang. Artinya, ada biaya yang tertinggal di unit penunjang, yaitu biaya yang diterimanya dari unit penunjang lain. Biaya yang masih berada di unit penunjang ini dalam tahap selanjutnya didistribusikan ke unit produksi, sehingga tidak ada lagi biaya yang tersisa di unit penunjang. Karena metode ini dilakukan dua kali distribusi biaya, maka metode ini dinamakan metode distribusi ganda. Kelebihan meode ini sudah dilakukan distribusi dari unit penunjang ke unit penunjang lain, dan sudah terjadi hubungan timbal balik antara unit

penunjang dengan unit penunjang lain secara fungsional. Metode ini merupakan metode yang terpilih unuk analisis biaya puskesmas maupun rumah sakit di Indonesia (Gani, 1996). d. Multiple Distribution Method Dalam metode ini, distribusi biaya dilakukan secara lengkap, yaitu antara sesama unit penunjang, dari unit penunjang ke unit produksi, dan antara sesama unit produksi. Tentu saja distribusi antara unit tersebut dilakukan kalau memang ada hubungan fungsional antarkeduanya. Jadi dapat dikatakan bahwa multiple distribution method pada dasarnya adalah double distribution method plus alokasi antara sesama unit produksi. Sebagai misal, antara unit neonatologi dengan kebidanan ada distribusi biaya, oleh karena bisa terjadi spesialis neonatologi harus membantu bagian kebidanan manakala menghadapi kelahiran dari ibu dengan kelainan jantung. Demikian juga, akan ada alokasi dari bagian jantung ke bagian kebidanan oleh karena untuk kelahiran semacam itu diperlukan jasa ahli jantung di bagian kebidanan. Dari ilustrasi tersebut jelas tampak bagaimana kompleksnya multiple distribution method ini. Perhitungan sulit dilakukan oleh karena diperlukan catatan hubungan kerja antara unit-unit produksi yang sangat banyak. Dalam praktek tehnik ini sangat jarang dilakukan. Sejauh ini yang lazim dipergunakan adalah double distribution method.

2.12. Kerangka Pikir Rumah sakit sebagai unit pelayanan kesehatan mempunyai karakteristik yang unik yaitu di satu pihak rumah sakit dituntut memberikan pelayanan medik yang optimal dan sebaik-baiknya dan bersifat sosial tanpa mempertimbangkan keuntungan dan di lain pihak harus menjaga kelangsungan rumah sakit tersebut tetap mandiri secara ekonomis. Di dalam biaya satuan terkandung semua elemen biaya yang dapat dibagi atas biaya langsung yaitu biaya yang dimanfaatkan secara langsung untuk pelayanan di Unit Hemodialisis tersebut serta biaya tidak langsung yang berasal dari unit-unit penunjang terkait seperti dari administrasi, IPSRS (Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit), dan laundry. Biaya langsung merupakan penjumlahan biaya tetap dan biaya variabel. Proses analisis biaya satuan pelayanan di Unit Hemodialisis untuk tujuan penetapan tarif hemodialisis tersebut dilakukan dengan menggunakan metode distribusi ganda. Dengan metode ini distribusi biaya dilakukan dalam dua tahap di mana pada tahap pertama biaya dari unit penunjang dialokasikan ke unit penunjang lain dan ke unit produksi. Pada tahap kedua, unit penunjang yang telah menyerap biaya dari alokasi tahap pertama dialokasikan kembali ke unit produksi, sehingga biaya di unit penunjang habis terbagi ke unit produksi.

2.13. Kerangka Konsep BIAYA TETAP : - Investasi Gedung - Mesin Hemodialisis - Peralatan Medis Lain - Peralatan Non Medis - Gaji Personel BIAYA VARIABEL : - Biaya listrik - Biaya air - Bahan habis pakai/obat - Honor supervisor medis - Insentif perawat - Biaya cucian BIAYA LANGSUNG BIAYA TOTAL BIAYA TAK LANGSUNG : - Biaya Administrasi - IPSRS - Laundry BIAYA SATUAN PRODUK PELAYANAN HEMODIALISIS Gambar 2.1. Kerangka Konsep