BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan persaingan usaha yang semakin ketat bahkan cenderung mengarah ke persaingan bebas, maka para manajer harus bersikap adaptif yaitu selalu mengikuti dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan dalam menghadapi tantangan dan masalah baik sekarang maupun yang akan datang. Selain itu dengan banyaknya perusahaan pesaing yang bergerak di bidang yang sama, maka persaingan semakin berat, sehingga untuk menarik peluang pasar, suatu pekerjaan membutuhkan kejelian dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu para pemimpin perusahaan harus mampu mengambil keputusan dalam kondisi apapun untuk dapat mencapai tujuan yang di inginkan perusahaan, diantaranya keputusan untuk melakukan penanganan terhadap produk gagal produksi. Tujuan utama suatu perusahaan pada umumnya untuk memperoleh keuntungan atau laba. Untuk mencapai tujuan tersebut salah satu usaha adalah dengan menghasilkan produksi atau barang dengan biaya yang efisien. Dalam kaitannya dengan usaha tersebut, maka perusahaan perlu mengadakan pengendalian biaya yang berkaitan dengan biaya produksi yang meliputi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik. Kegiatan ini erat hubungannya dengan kegiatan pembelian bahan baku yang dibutuhkan sesuai dengan mutu dan kemampuan perusahaan. Untuk itu diperlukan suatu sistem
pembelian yang tepat, kelancaran operasi perusahaan, penyediaan bahan baku yang bermutu baik, tepat waktu dan memenuhi kualitas yang diinginkan, yaitu dengan adanya sistem pengendalian internal yang efektif. Menurut Mulyadi (2001) sistem pengendalian produksi meliputi struktur organisasi, metoda dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi, dan mendorong efisiensi dan dipatuhinya kebijaksanaan manajemen. Sistem pengendalian yang baik selalu melibatkan beberapa bagian dalam kegiatan usaha dan pemisahan tanggung jawab fungsional secara tegas serta kelengkapan formulir. Hal ini dimaksudkan agar semua aktifitas perusahaan yang terjadi dapat diawasi secara benar. Namun, segala sesuatu tetap saja mempunyai kelemahan yang nantinya akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Pada industri rokok, kelemahan pengendalian produksi biasanya ditandai dengan munculnya produk cacat yang dihasilkan. Dalam hal ini manajemen perusahaan harus mampu mengendalikan situasi yang terjadi dengan cara menciptakan alternatif-alternatif untuk menanggulangi produk cacat. Hal tersebut perlu dilaksanakan mengingat saat ini bisnis di bidang rokok merupakan bisnis yang banyak diminati pelaku bisnis karena dinilai cukup menguntungkan. Oleh karena itu, dari tahun ke tahun jumlah pengusaha rokok selalu bertambah. Selain fenomena yang diuraikan diatas, terdapat fenomena lain yang terjadi, diantaranya Indonesia merupakan potensi industri rokok yang bagus, walaupun baru-baru ini MUI (Majelis Ulama Indonesia) sedang memproses peraturan mengenai fatwa haram rokok. Hal tersebut tidak mengubah fakta bahwa
industri rokok adalah industri yang sangat menguntungkan di Indonesia. Fenomena masyarakat yang tidak terlalu mempedulikan kampanye anti rokok, juga merupakan salah satu celah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha. Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan konsumsi rokok terbesar di dunia. Data WHO tahun 2002 menunjukkan konsumsi rokok di Indonesia 215 milyar batang. Jika sebatang roko Rp. 500, maka uang yang dibakar lebih dari Rp. 107 trilyun. Tingkat konsumsi rokok di Indoneia adalah 409.056 batang tiap menit, nilainya lebih dari Rp. 200.000.000,- (Gatra, Nomor 10 Beredar Senin, 16 Januari 2008). Ini merupakan sebuah peluang besar yang dapat dimanfaatkan oleh pengusaha rokok sekaligus ancaman yang menuntut pengusaha rokok untuk waspada, khususnya sektor industri kecil untuk memproduksi dan mengembangkan produk rokok yang sesuai dengan segmen pasar mereka. Berikut ini adalah tabel tingkat konsumsi rokok di dunia : Tabel 1 Lima Besar Tingkat Konsumsi Rokok di Dunia (Miliar Batang Per- Tahun) Negara Konsumsi Rokok 1. China 1.643 miliar batang 2. Amerika Serikat 451 miliar batang 3. Jepang 328 miliar batang 4. Rusia 258 miliar batang 5. Indonesia 215 miliar batang Sumber : http://www.replubika.co.id/
Di Indonesia, harga dan pajak cenderung lebih rendah, sehingga potensi untuk mengurangi konsumsi rokok masih sangat sulit dilakukan, bahkan cenderung meningkat. Penerapan cukai di Indonesia, yang lebih rendah dibandingkan negara-negara lain turut memicu makin membaiknya kinerja industri. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), tingkat pajak rokok di Indonesia merupakan terendah ke dua di kawasan Asean setelah Kamboja. Harga rata-rata rokok dan persentase pajak terhadap negara untuk Indonesia mencapai 31% dibandingkan dengan Thailand sebesar 62%, Singapura 51% (Bisnis.com Rabu, 16/03/2005). Walaupun begitu pemerintah sangat berharap pada cukai rokok. Penerimaan cukai rokok tahun kemarin (2006) mencapai Rp. 33,054 trilyun,- (Gatra, Nomor 10 Beredar Senin 16 Januari 2008). Dari beberapa fenomena di atas semakin mempertegas dan memperjelas bahwa industri rokok merupakan salah satu industri yang menguntungkan di Indonesia. Oleh karena itu banyak orang yang membuka usaha rokok, mulai dari yang berskala industri rumah tangga hingga skala besar. Hal tersebut menuntut perusahaan mampu bertahan di tengah persaingan yang sangat ketat. Manajemen perusahaan harus mempunyai kiat-kiat yang efektif dan efisien untuk meminimalkan kerugian perusahaan sehingga tujuan perusahaan tercapai dan perusahaan mampu bertahan dalam kondisi apapun. Diantara kiat-kiat yang dilakukan oleh perusahaan adalah menjual kembali produk cacat yang dihasilkan dengan cara menjualnya langsung atau memprosesnya terlebih dahulu. Semua kiat yang dilakukan bertujuan untuk menutupi kerugian perusahaan karena tidak efektifnya proses produksi. Dari uraian diatas maka penulis tertarik untuk
mangangkat judul: Analisis Penanganan Produk Cacat Sebagai Dasar Penilaian Efektivitas Proses Produksi, Studi Kasus Pada Perusahaan Rokok Tiga Dara Madiun B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana kebijakan yang dilakukan perusahaan untuk menanggulangi masalah produk cacat akibat proses produksi? 2. Apakah pengendalian terhadap proses produksi telah dijalankan secara efektif ditinjau dari produk cacat yang ditimbulkan? 3. Apakah kebijakan yang diambil dalam menanggulangi produk cacat perlu dihentikan atau dilanjutkan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui kebijakan apa yang dilakukan oleh perusahaan untuk menanggulangi masalah produk cacat akibat proses produksi. b. Untuk mengetahui efektifitas proses produksi ditinjau dari produk cacat yang dihasilkan. c. Untuk memberi saran kepada perusahaan mengenai kebijakan yang diambil apakah masih memenuhi target perusahaan dalam mencari keuntungan, memerlukan perbaikan kecil, perbaikan besar, atau dihentikan
apabila dinilai oleh peneliti kurang efektif yang bertujuan untuk kemajuan perusahaan dengan berbagai kajian teoritis. 2. Manfaat Penelitian a. Bagi Perusahaan Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan sarana koreksi, evaluasi dan masukan yang bermanfaat untuk perusahaan atas penerapan penanganan produk cacat yang ada. b. Bagi Pihak Lain Penelitian ini berguna untuk menjadi acuan pada penelitian yang lebih lanjut pada instansi lainnya dan menambah wawasan pembaca.