BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Publik, yang berasal dari bahasa Inggris public, bermakna khalayak umum, rakyat umum, orang banyak, yang memiliki persamaan berpikir, perasaan, harapan, dan tindakan yang didasarkan pada norma yang mereka miliki (Pasolong, 2008: 6). Tak dapat dipungkiri, keberadaan publik berdampak besar terhadap berkembang atau tidaknya suatu pemerintahan. Pemerintahan yang cenderung mengesampingkan keberadaan publik, tentu akan berjalan secara otoriter, sehingga akan menuai kecaman yang berujung pada minimnya partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan (Agusti no, 2008: 40). Begitupula sebaliknya, pemerintahan yang pro terhadap publik akan memperoleh legitimasi dan kepercayaan penuh dari warganya, sehingga partisipasi publik dan kehidupan bernegara akan berjalan ke arah yang lebih baik. Publicness atau biasa juga disebut dengan kepublikan, merujuk pada terwujudnya nilai-nilai yang berorientasi pada upaya mengedepankan kepentingan, kemanfaatan, dan kebutuhan publik (Dwiyanto, 2011: 203). Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah dalam mengelola publicness masyarakat, sehingga segala kebijakan yang diformulasikan pemerintah akan senada dengan kebutuhan publik. Meski demikian, kenyataannya saat ini isu publicness tidak 13
hanya sebatas pada pengelolaan public goods dan public interest oleh organisasi publik saja, melainkan sudah mulai terbaca melalui pengelolaan barang publik oleh organisasi non-publik (swasta/pasar) (Margono dkk, 2014: 11). Dengan demikian, organisasi sosial / kelompok masyarakat pun kini memiliki peranan penting dalam menunjang terwujudnya isu publicness di masyarakat. Isu publicness akan mempengaruhi kondisi politik dan pemerintahan. Nilai-nilai yang berkembang dalam dunia politik dan pemerintahan di suatu negara sudah sewajarnya jika dibuat berdasarkan nilai-nilai kepublikan yang berkembang pada negara tersebut. Nilai-nilai politik akan membangun suatu sistem politik, dengan sejumlah agenda kebijakan yang akan menentukan terwujudnya kepublikan masyarakatnya (Cobb dan Elder, dalam Agustino, 2008: 105). Agenda kebijakan akan memberikan pertimbangan bagi item/permasalahan mana yang lebih prioritas untuk kemudian dirumuskan dalam suatu kebijakan oleh pemerintah. Dengan menyelaraskan nilai publik dan nilai politik pemerintahan yang dianut, maka diharapkan proses pemerintahan dalam negara tersebut dapat berjalan sesuai dengan ekspektasi publik. Pemuda merupakan salah satu bagian dari publik yang memiliki peranan dalam menyongsong masa depan Indonesia. Di dalam perjalanan suatu proses perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya suatu bangsa, pemuda selalu menjadi bagian dari perubahan tersebut, baik sebagai aktor, maupun sebaliknya, ditempatkan sebagai objek (Azca, 2011: 3). Oleh sebab itu, keberadaan pemuda mampu membawa perubahan sehingga dapat dijadikan sebagai aktor publicness, berdampingan dengan pemerintah maupun organisasi publik/non-publik lainnya. 14
Pemuda yang memiliki semangat akan kebenaran dan keadilan, akan cenderung bersifat aktif, responsif dan kritis, dalam menanggapi suatu permasalahan di ranah publik. Hal ini senada dengan studi termutakhir (Barry, dalam Azca, 2011) yang menyebutkan bahwa pemuda saat ini merupakan agent of change, yang merepresentasikan movement secara dinamis seiring perkembangan zaman. Di Indonesia, semenjak berakhirnya rezim Orde Baru, keberadaan pemuda mulai menggeliat seiring dinamika masa reformasi. Ketika pemuda mulai bergerak sebagai aktor, maka dapat terlihat bagaimana proses survival dan kontruksi diri mereka atas setting sosial, politik, ekonomi dan budaya yang ada di sekitarnya (Azca, 2011: 10). Atas dasar inilah keberadaan pemuda mulai diperhitungkan dalam menunjang publicness masyarakat. Beberapa di antaranya mengekspresikan aspirasinya melalui media, forum debat, demonstrasi, artikel, kesenian, dan lain sebagainya. Apapun sarana dan medianya, para pemuda Indonesia memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya secara terbuka dan tetap bertanggung jawab, guna menjunjung nilai-nilai kepublikan di masyarakat sekitarnya. Di Kota Yogyakarta, kota budaya yang kian tumbuh dengan cukup pesat, isu publicness mulai menggeliat semenjak maraknya privatisasi di kota tersebut. Privatisasi merupakan kebalikan dari kepublikan. Privatisasi terhadap sektor publik cenderung mengundang kecaman publik sehingga menimbulkan berbagai permasalahan. Di Kota Yogyakarta misalnya, peningkatan jumlah hotel menuai berbagai kritik dan kecaman warga sekitar karena menyebabkan surutnya air tanah mereka. Ataupun permasalahan kian sempitnya ruang terbuka hijau akibat 15
pembangunan di sektor privat. Belum lagi permasalahan polusi visual dari berbagai media iklan yang bertebaran di jalanan yang turut mengusik kepublikan warga. Dari berbagai masalah inilah isu publicness di Kota Yogyakarta perlu untuk disorot sehingga dapat diketahui bagaimanakah pengelolaannya yang ideal untuk kesejahteraan masyarakat Kota Yogyakarta yang lebih baik. Para pemuda di kota Yogyakarta bukannya diam melihat kepublikan Kota Yogyakarta diporak-porandakan oleh kepentingan privat. Berbagai macam cara telah mereka tempuh dalam menyuarakan kepentingan publik, untuk mewujudkan kepublikan di kota tempat tinggal mereka. Contohnya beberapa mahasiswa yang kemudian tergerak untuk berserikat dan berkumpul dalam suatu forum yang berfokus pada isu sosial, politik, lingkungan, budaya, ataupun melalui jalur demonstrasi yang ditujukan langsung pada pemerintahan yang tengah berkuasa. Berbagai aksi para pemuda ini menunjukkan bagaimana kepedulian mereka terhadap kependingan publik, atas dasar rasa keprihatinan mereka terhadap diamnya pemerintah terhadap privatisasi sektor publik di kota tempat tinggal mereka. Salah satu cara yang ditempuh para pemuda Kota Yogyakarta dalam menyuarakan aspirasi publik adalah melalui media street art. Konsep street art pada awalnya muncul di Mexico, akibat kesenjangan kaum negro yang mendapat perlakuan tidak adil oleh pemerintahan pada kala itu. Konsep ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan terhadap kondisi sosial dan politik yang tengah terjadi. Demikian halnya street art di kota Yogyakarta, tindakan ini merupakan bentuk kepedulian para pemuda (yang berkecimpung dalam ranah seni, para pekerja seni / seniman) terhadap 16
kacaunya kondisi sosial dan politik di kota tempat tinggal mereka, bagaimana nilai kepublikan Kota Yogyakarta harus di-rekontruksi ulang. Dengan berbagai macam kreasi seperti mural, grafiti, poster, dan aksi jalanan lainnya, para pemuda berupaya untuk turut menggugah kepedulian masyarakat sekitar akan kondisi sosial-politik yang sebenarnya telah terjadi. Contohnya adalah mural bertajuk Jogja Asat, yang terdapat di tembok Jembatan Kewek, Yogyakarta. Mural ini tercipta atas kerjasama berbagai pemuda dengan masyarakat yang berasosiasi dalam komunitas Warga Berdaya, atas dasar keprihatinan maraknya hotel-hotel yang dibangun di Kota Yogyakarta. Keberadaan hotel yang kian tumbuh pesat ini berdampak pada surutnya mata air sumur penduduk, sehingga penduduk di sekitar hotel mengalami kesusahan dalam mencari air bersih. Hal ini terjadi pada masyarakat Kampung Miliran, Semaki, Umbulharjo, di mana di sekitar tempat tinggal mereka terdapat Hotel Fave yang diduga menyedot air tanah penduduk secara ilegal. Padahal, sebelum adanya hotel tersebut, penduduk menyebutkan bahwa debit air sumur mereka tidak pernah kering ataupun surut bahkan di musim kemarau sekalipun. Atas dasar keprihatinan dan kepedulian dari permasalahan tersebutlah para asosiasi pemuda berupaya untuk menunjukkan aspirasinya melalui rangkaian aksi street art bertema jogja ora didol (Jogja tidak dijual), untuk menyentil kepedulian pemerintah maupun publik akan pentingnya menunjang kepublikan Kota Yogyakarta. Meski demikan, aksi kepedulian yang mereka lakukan bukannya berjalan mulus tanpa adanya hambatan. Selang beberapa hari, hasil karya mural jogja asat yang mereka buat telah dirusak oleh pihak-pihak yang tidak 17
bertanjungjawab. Beberapa tulisan kecaman yang mereka tujukan untuk pemerintah pun telah dihapus, entah oleh siapa. Hal ini masih tidak seberapa jika kita mengingat kasus Arief, bocah yang menuliskan kalimat Jogja Ora Didol pada salah satu dinding rumah kosong di pinggir Jalan Brigjen Katamso. Usai menuliskan kalimat tersebut, Arief justru harus dibawa ke pihak berwajib atas dasar tindakan vandalisme. Upaya penolakan terhadap hasil kreasi street art juga dihadapi oleh para seniman muda lainnya di Kota Yogyakarta. Bahkan masyarakat umum adapula yang menganggap tindakan street art meski atas dasar mengangkat isu politik pun sesungguhnya merupakan sebuah polusi visual di jalanan. Pemerintah Kota Yogyakarta, melalui Dinas Kimpraswil (Pemukiman, Prasarana dan Wilayah) telah menegaskan bahwa tindakan corat-coret di bangunan publik merupakan termasuk dalam kategori tindakan vandalisme. Pemerintah Kota Yogyakarta pun telah dengan jelas mengatur kebijakan vandalisme melalui Peraturan Daerah No 18 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Kebersihan. Peraturan tersebut telah menjabarkan bahwa pelaku vandalisme bisa dijerat dengan tindak pidana ringan dan tidak hanya mendapat pembinaan. Meski demikian, hingga saat ini Pemerintah Kota Yogyakarta masih belum memiliki regulasi yang khusus membahas tentang street art. Kepala Sie Tata Kota Dinas Pemukiman, Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Wahyu Setyowati menjelaskan, Nah, yang menjadi permasalahan, kami memang tidak punya aturan khusus, yang bisa (menentukan) apakah mereka boleh atau tidak (melakukan aksi street art). Tapi yang pasti kalau vandalisme itu masuk di 18
(Perda) Kebersihan. Jadi mereka (pelaku vandalisme) bisa dikenai sanksi. (Berdasar wawancara pada 6 Agustus 2015) Hal tersebut kemudian menimbulkan tanda-tanya, apa benar tindakan street art yang diusung oleh pemuda Yogyakarta yang mengatasnamakan kepentingan publik tersebut dapat disamakan dengan tindakan vandalisme? Lalu seperti apakah sebenarnya gerakan street art yang diupayakan oleh para pemuda yang ada di Kota Yogyakarta pada saat ini? Baik pemerintah setempat maupun warga saat ini masih belum memiliki gambaran yang jelas dalam mengkategorikan upaya mereka, apakah termasuk vandalisme ataukah patut untuk dilanjutkan dalam rangka membawa nilai-nilai kepentingan publik. Pemerintah setempat saat ini juga belum memiliki regulasi yang pasti mengenai tindakan street art, sehingga mengindikasikan bahwa belum adanya pemetaan yang jelas terhadap gerakan yang diupayakan oleh para pemuda tersebut. Lantas, jika melihat hal tersebut, maka penulis ingin mengetahui bagaimanakah sesungguhnya dinamika gerakan street art para pemuda yang terjadi di sekitaran Kota Yogyakarta, dalam menunjang terwujudnya kepentingan publik warga kota Yogyakarta. Bagaimanakah bentuk resistensi yang harus mereka lalui dalam menjunjung kepentingan publik, serta bagaimanakah kepentingan publik yang mereka harapkan dari gerakan street art yang mengatasnamakan kepentingan publik. Dengan mengetahui hal tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada publik mengenai dinamika gerakan street art dalam mewujudkan kepentingan publik masyarakat 19
Yogyakarta, berkontribusi dalam memberikan rekomendasi terhadap proses perumusan kebijakan terkait street art di ranah publik, serta menumbuhkan semangat-semangat baru dalam membenahi Kota Yogyakarta agar dapat kembali menjadi kota yang berhati nyaman dan live-able bagi semua pihak. 1.2 Rumusan Masalah - Bagaimanakah dinamika gerakan street art komunitas pemuda di Kota Yogyakarta dalam upaya mewujudkan kepentingan publik? 1.3 Tujuan Penelitian Mendeskripsikan dinamika gerakan street art komunitas pemuda di Kota Yogyakarta dalam rangka mewujudkan kepentingan publik. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk dapat memberikan manfaat dalam berbagai hal sebagai berikut: a. Bagi masyarakat: - Berkontribusi dalam memberikan informasi kepada masyarakat mengenai gambaran dinamika gerakan pemuda dalam proses 20
penyampaian aspirasi yang terkait dengan kepentingan publik melalui media street art di Kota Yogyakarta. b. Bagi pemerintah: - Agar penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan masukan bagi pemerintah setempat dalam setiap merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan upaya penyampaian aspirasi di depan publik, khususnya melalui media street art. 21