BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menjadi seseorang yang memiliki keterbatasan bukan keinginan atau pilihan hidup setiap manusia. Tentunya semua manusia ingin hidup dengan kondisi fisik maupun mental yang sempurna. Namun pada kenyataannya tidak semua manusia dapat menjalani hidup sesuai dengan keinginannya tersebut, ada beberapa di antaranya yang menjalani kehidupannya dengan kondisi fisik ataupun mental yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan ini dapat menjadi masalah bagi orang-orang yang mengalaminya. Seorang tunanetra, dalam kondisi yang tidak sempurna pada indera penglihatannya dapat menghadapi berbagai masalah. Indera penglihatan adalah salah satu sumber informasi vital bagi manusia. Sebagian besar informasi yang diperoleh manusia berasal dari indera penglihatannya dan selebihnya berasal dari panca indera yang lainnya. Dengan demikian, dapat dipahami bila seseorang yang mengalami gangguan pada indera penglihatannya, maka kemampuan aktivitasnya akan menjadi terbatas karena informasi yang didapat akan berkurang. Ketidaksempurnaan pada indera penglihatan seseorang pada akhirnya akan membuat keterbatasan pada diri individu tersebut. Lowenfeld (dalam Uhay, 2008) mengidentifikasikan keterbatasan yang dimiliki tunanetra, di antaranya: (1) keterbatasan dalam tingkat dan keanekaragaman pengalaman, pada tunanetra pengalaman diperoleh dengan menggunakan indera lain khususnya indera 1
pendengaran dan perabaan. Namun tidak semua informasi dapat diperoleh secara langsung dengan indera tersebut, misalnya informasi tentang bentuk, ukuran, warna, ruang. (2) keterbatasan dalam kemampuan untuk berpindah tempat, tunanetra harus mempelajari bagaimana melakukan mobilitas dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan. (3) keterbatasan dalam interaksi dengan lingkungan, tunanetra tidak dapat secara cepat memahami lingkungan di mana ia berada karena ia kurang memperoleh kejelasan tentang situasi dalam lingkungan tersebut. Berdasarkan definisi dari wikipedia (2010) individu yang memiliki hambatan di dalam penglihatannya disebut tunanetra. Somantri (2006) menambahkan, tunanetra adalah individu yang indera pengihatannya (keduaduanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas (bukan tunanetra). Sedangkan menurut PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia) (2010) tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas/low vision). Keberadaan tunanetra sering kita jumpai di sekitar kita, karena jumlah penyandang tunanetra jumlahnya tidak sedikit. WHO memperkirakan, secara global penderita tunanetra di dunia mencapai 40-45 juta orang. Sepertiga penderita berada di negara-negara ASEAN. Menurut WHO, setiap menit diperkirakan 12 orang tunanetra, sebanyak 4 orang di antaranya berasal dari 2
ASEAN. Dalam waktu yang sama, dari jumlah anak yang mengalami ketunanetraan di dunia, setengahnya ada di ASEAN. Jumlah penderita tunanetra di Indonesia ternyata tertinggi di kawasan ASEAN (sumber: www.suarakaryaonline.com). Data dari Departemen Sosial RI tahun 2006 menyebutkan, jumlah tunanetra di Indonesia mencapai 1,2 juta orang (sumber: forum.dudung.net). Sedangkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2009 menyebutkan, jumlah penyandang tunanetra di Tanah Air sekitar 3 juta orang (sumber: bertunet.blogspot.com). Data tersebut menunjukkan bahwa keberadaan tunanetra tidak dapat dikesampingkan. Perlu adanya kesadaran di masyarakat bahwa tunanetra memiliki kesempatan untuk hidup setara dengan orang-orang awas (bukan tunanetra). Seperti misalnya berkesempatan mengenyam pendidikan, memperoleh pekerjaan, mendapatkan informasi dan lain sebagainya. Sama halnya dengan orang awas, tunanetra juga memerlukan pendidikan, sekolah, bimbingan, pelatihan dan lainlain. Wujudnya dapat berbentuk formal dan informal yang berguna bagi perkembangan pengetahuan dan mental mereka. Pendidikan dan keterampilan merupakan hal yang penting bagi tunanetra. Hal ini bertujuan agar tunanetra dapat mengembangkan potensi dalam diri mereka sehingga tunanetra dapat berguna di tengah masyarakat. Lebih lanjut Somantri (2006) memberikan informasi bahwa dari berbagai hasil penelitian sebagian besar para ahli berpendapat bahwa pada dasarnya keadaan inteligensi anak tunanetra itu tidak berbeda dengan anak awas pada umumnya. 3
Mata merupakan salah satu indera yang terpenting dalam kehidupan kita. Tidak berfungsinya mata secara optimal dapat menghambat pola interaksi sosial maupun aktivitas sehari-hari. Sebagai contoh, dalam aktivitas pendidikan di mana sebagian besar kegiatannya sangat bergantung dari indera penglihatan. Mengenal warna, memperhatikan raut wajah guru atau teman, membaca atau menulis, dan lain-lain, merupakan kegiatan yang menggunakan indera penglihatan. Kita dapat membayangkan betapa sulitnya orang yang mengalami kelainan pada indera penglihatannya. Namun walau bagaimanapun mereka yang mengalami gangguan pada penglihatannya, seperti juga pada indera yang lain, perlu juga dibantu agar mereka dapat menampilkan dirinya sebagaimana adanya melalui sisa penglihatannya atau indera yang lainnya (Mangunsong, 2009). Pengalaman dalam berinteraksi di lingkungan rumah yang dibimbing orang tua sangat menentukan kepribadian dan kecakapan tunanetra saat berada di sekolah. Adanya perubahan lingkungan baru bagi tunanetra memberikan benturan yang dapat mengakibatkan hal-hal yang menyenangkan atau mengecewakan. Ia harus dapat melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah. Sekolah memiliki norma dan aturan yang berbeda dengan norma dan aturan yang berlaku di rumah. Masa transisi dari orientasi lingkungan keluarga ke sekolah sering menimbulkan masalah pada tunanetra. Ketidaksiapan mental tunanetra dalam menghadapi lingkungan baru di sekolah atau kelompok lain yang berbeda, seringkali mengakibatkan gagal dalam mengembangkan kemampuan sosialnya (Uhay, 2008). Situasi dan aktivitas di sekolah bagi tunanetra yang hanya beberapa jam dalam sehari sesungguhnya menggantikan posisi keluarga. Peran orang tua 4
diganti oleh bapak/ibu guru, peran saudara diganti oleh teman-teman, dan sebagainya. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan Nasional, sampai pada tahun pelajaran 2009/2010 tercatat 1063 orang siswa tunanetra yang ada di Indonesia dan bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), di antaranya 119 orang siswa tunanetra bersekolah di SLB yang berada di provinsi DKI Jakarta. Dari 119 orang siswa tunanetra tersebut, 17 orang adalah siswa jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK); 63 orang adalah siswa jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD); 25 orang adalah siswa jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP); serta 14 orang adalah siswa jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) (sumber: www.kemdiknas.go.id). Memiliki keterbatasan di dalam penglihatan bukan berarti seorang anak tidak dapat bersekolah. Anak-anak yang memiliki keterbatasan di dalam penglihatannya juga tetap perlu mendapatkan pendidikan di bangku sekolah agar dapat mengaktulisasikan diri sesuai dengan potensi yang mereka miliki dan dapat berinteraksi dengan masyarakat luas. Ada beberapa pemaknaan tentang sekolah dalam masyarakat yang meyakininya. Sihotang (2009) mengatakan bahwa ada beberapa pemaknaan tentang sekolah bagi seorang anak tunanetra. Pemaknaan tersebut meliputi dua perspektif yaitu makna sebagai perspektif fungsi dan makna sebagai perspektif simbol. Adapun makna sebagai perspektif fungsi mencakup: makna untuk mengasuh, mendidik, memberdayakan, dan membimbing. Sementara makna sebagai perspektif simbol mencakup: sekolah sebagai kekuatan, 5
kekuasaan, kekayaan, wibawa, status/kedudukan sosial, serta sumber ilmu pendidikan. Adapun sebagai perspektif fungsi, sekolah dimaknakan untuk mengasuh. Mengasuh merupakan upaya yang dilakukan untuk menghidupi (menjaga dan merawat) dan memanusiakan manusia sehingga anak memiliki keterampilan hidup yang memungkinkan anak mampu menjalankan berbagai fungsinya dalam kehidupan. Sekolah juga dimaknakan untuk mendidik, karena dengan pendidikan manusia memperoleh bekal untuk hidup. Upaya mendidik dilakukan untuk menjadikan anak lebih berkompetensi dan lebih siap untuk bersosialisasi di masyarakat nantinya. Kemudian, sekolah juga dimaknakan untuk memberdayakan. Memberdayakan merupakan upaya peningkatan sumber daya manusia melalui pelatihan-pelatihan. Upaya memberdayakan dimaksudkan untuk membantu orang tua, pemerintah dan masyarakat dalam membina dan melayani anak tunanetra sehingga mereka dapat mengembangkan potensi dan pengetahuannya. Selain itu, sekolah juga dimaknakan untuk membimbing agar anak pada akhirnya dapat memecahkan setiap masalah yang mungkin akan dihadapi dalam hidupnya dengan kemampuan sendiri (Sihotang, 2009). Sedangkan sebagai perspektif simbol, sekolah dimaknakan sebagai kekuatan karena dengan cara belajar di sekolah seorang anak dapat menggali ilmu pengetahuan yang kelak dapat diandalkan sebagai kekuatan yang mutahir di kemudian hari. Sekolah juga dimaknakan sebagai kekuasaan karena dengan berbekal pengetahuan yang didapat dari sekolah seorang anak dapat menyusun kekuatan yang tangguh untuk mendapat kekuasaan. Kemudian, sekolah juga 6
dimaknakan sebagai kekayaan karena dengan memanfaatkan pendidikan yang tinggi untuk bekerja seseorang dapat memperoleh kekayaan. Selain itu, sekolah juga dimaknakan sebagai status/kedudukan sosial karena dengan bersekolah seorang anak tunanetra dapat memperbaiki status atau kedudukan. Sekolah juga dapat dimaknakan sebagai sumber ilmu pengetahun serta dapat juga dimaknakan sebagai wibawa karena dengan pendidikan yang tinggi dan pengetahuan yang lebih banyak seseorang dapat dinilai berwibawa (Sihotang, 2009). Oleh karena itu, seorang anak tunanetra perlu mengeyam pendidikan di sekolah agar kelak dapat hidup mandiri serta dapat meningkatkan nilai dirinya, serta dapat berkarya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Salah satu makna sekolah bagi seorang tunanetra adalah sekolah dimaknakan sebagai kedudukan sosial. Kedudukan sosial adalah salah satu tempat atau posisi seseorang dalam kelompok sosial atau masyarakat secara umum sehubungan dengan keberadaan orang lain di sekitarnya. Kedudukan sosial meliputi lingkungan pergaulan, hak, kewajiban, dan prestasi. Sekolah bagi tunanetra berguna untuk memperbaiki kedudukan sosialnya, sebab dengan bersekolah individu tunanetra dapat menunjukkan prestasinya sehingga tidak dipandang sebelah mata sebagai seorang tunanetra. Dalam prose belajar mengajar, keberhasilan atau prestasi belajar siswa baik pada tingkat dasar maupun lanjutan merupakan masalah yang selalu dianggap penting dalam dunia pendidikan (Prasedyawati, 1997). Prestasi belajar menurut Hawadi (dalam Rensi & Sugiarti, 2010) adalah hasil yang dicapai oleh peserta didik dalam menuntut pelajaran di sekolah ataupun tempat di mana proses belajar berlangsung. 7
Prestasi belajar selalu mendapatkan perhatian yang khusus, baik dari sekolah maupun dari siswa itu sendiri atau keluarganya. Untuk mewujudkan prestasi yang semaksimal mungkin perlu adanya faktor-faktor pengharapan kognitif terhadap hasil usaha dan tingkat keyakinan diri dalam melakukan tugas (Liftiah, 1998). Hasil dari proses kognitif yang berbentuk pengharapan tersebut lebih dikenal dengan istilah self-efficacy (Betz & Heckett dalam Liftiah, 1998). Bandura (dalam Santrock, 2008) percaya bahwa self-efficacy adalah faktor penting yang mempengaruhi prestasi siswa. Self-efficacy siswa akan berpengaruh terhadap aktivitas belajarnya. Seperti yang dikatakan oleh Bandura (dalam Santrock, 2008), bahwa self-efficacy berpengaruh besar terhadap perilaku, misalnya seorang siswa yang self-efficacy-nya rendah mungkin tidak mau berusaha belajar untuk mengerjakan ujian karena dia tidak percaya bahwa belajar akan bisa membantunya mengerjakan soal. Self-efficacy didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk melakukan suatu tugas tertentu dengan berhasil pada tingkatan tertentu, atau keyakinan seseorang bahwa ia mampu melakukan suatu tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil tertentu dangan berhasil (Bandura dalam Liftiah, 1998). Keyakinan seseorang terhadap keberhasilannya memiliki efek yang beragam, seperti keyakinan mempengaruhi tindakan seseorang untuk memilih, berapa besar usaha yang mereka lakukan dalam mencapai apa yang diinginkan dan berapa lama mereka akan bertahan dalam menghadapi rintangan atau kegagalan (Bandura dalam Sulistyawati, 2010). Betz dan Heckett (dalam Liftiah, 1998) berpendapat bahwa self-efficacy merupakan 8
hasil dari proses kognitif yang berbentuk keyakinan atau pengharapan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Seorang siswa tunanetra yang memiliki self-efficacy yang tinggi dapat berfungsi secara normal dan dirinya tidak menjadi tertekan karena adanya keterbatasan dalam penglihatannya tersebut. Ia tidak akan memikirkan ketidakmampuannya tersebut serta tidak melihat lingkungannya sebagai sesuatu yang penuh ancaman. Seperti pendapat dari Beck (dalam Liftiah, 1998), selfefficacy berperan sebagai sebuah mekanisme kognitif yang memungkinkan individu mengendalikan reaksi terhadap tekanan. Apabila individu percaya bahwa ia mampu menghadapi tekanan potensial dengan efektif, maka ia tidak akan merasa gelisah; sebaliknya bila ia percaya bahwa dirinya tidak dapat mengendalikan lingkungan yang mengancam, ia akan menderita karena tertekan. Stipek (dalam Santrock, 2008) mengemukakan sebuah strategi untuk meningkatkan self-efficacy siswa dalam proses belajar mengajar. Salah satu strategi yang disebutkannya adalah ketersediaan dukungan sosial bagi siswa. Keberadaan orang lain di sekitar siswa dapat memberikan dukungan dan motivasi bagi siswa tersebut. Siswa yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi, baik dukungan secara verbal atau non verbal akan secara langsung mempengaruhi selfefficacy dalam diri siswa, sehingga siswa tersebut memiliki keyakinan yang kuat untuk berprestasi. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi. Keberadaan orang lain bermanfaat untuk berbagi beban 9
dan pengharapan sehingga secara tidak langsung dukungan sosial dapat mempengaruhi kesejahteraan individu. Rietschlin (dalam Taylor, 2003) mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi dari orang lain, yang meyakinkan seseorang bahwa dirinya dicintai dan diperdulikan, dihormati dan dihargai serta dirinya merupakan bagian dari sebuah jaringan komunikasi. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Cobb, dkk yang mendefinisikan dukungan sosial sebagai persepsi kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan dari orang lain, yang dapat diperoleh dari individu secara perorangan maupun kelompok (Cobb, 1976; Gentry & Kobasa, 1984; Wallston, Alagna, DeVellis & DeVellis, 1983; Wills, 1984 dalam Sarafino, 1994). Sedangkan Cohen & Wills (dalam Fibrianti, 2009) mendefinisikan dukungan sosial sebagai bantuan atau pertolongan yang diterima oleh sesorang dari interaksinya dengan orang lain. Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wulan (2010) didapatkan sebuah hasil penelitian yaitu ada korelasi atau hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan self-efficacy pada pecandu narkoba dalam menjalani pemulihan. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulistyawati (2010) juga menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan self-efficacy pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah dukungan sosial juga akan berhubungan positif yang signifikan terhadap self-efficacy bila diterapkan pada siswa-siswi tunanetra, maka peneliti akan melakukan penelitian terkait masalah ini. Penelitian ini mengambil subjek siswa-siswi tunanetra karena mengingat pentingnya self 10
efficacy yang akan dapat mempengaruhi proses belajar tunanetra dan mempengaruhi prestasi belajar pada akhirnya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, maka ditarik sebuah rumusan masalah yaitu apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan self-efficacy pada siswa tunanetra. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap hubungan antara dukungan sosial dengan self-efficacy pada siswa tunanetra. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Aspek Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai hubungan antara dukungan sosial dengan self-efficacy pada tunanetra. Pengetahuan ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi, khususnya pada psikologi pendidikan. 11
1.4.2 Aspek Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1. Memberikan informasi yang bermanfaat kepada keluarga, teman atau significant other dari tunanetra sehingga dapat membantu membangun self-efficacy yang positif pada siswa tunanetra. 2. Memberikan masukan mengenai hubungan antara dukungan sosial dengan self-efficacy pada tunanetra kepada peneliti lain. 3. Mendorong timbulnya penelitian lanjutan tentang dukungan sosial dan self-efficacy. 1.5 Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab, dengan rincian sebagai berikut: Bab I Pendahuluan: merupakan bab yang membahas tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian secara teoritis dan praktis, serta sistematika penulisan. Bab II Kajian Pustaka: merupakan pembahasan tentang teori-teori yang mendukung penelitian, yakni teori tentang dukungan sosial, self-efficacy, dan ketunanetraan. Di antaranya meliputi pengertian dukungan sosial, sumber dukungan sosial, bentuk dukungan sosial, faktor yang mempengaruhi dukungan sosial, fungsi dukungan sosial, pengertian self-efficacy, sumber self-efficacy, faktor yang mempengaruhi self-efficacy, pengertian tunanetra, klasifikasi tunanetra, penyebab tunanetra, aspek perkembangan tunanetra. Selain itu, bab ini juga memuat pembahasan kerangka berpikir dan hipotesis penelitian. 12
Bab III Metode Penelitian: merupakan bab yang membahas tentang jenis penelitian, variabel penelitian, definisi operasional variabel dukungan sosial dan self-efficacy, deskripsi mengenai subjek penelitian (kriteria subjek, jumlah subjek, teknik pengambilan sampel), teknik pengumpulan data penelitian, skala penelitian, validitas dan reliabilitas skala penelitian serta teknik yang digunakan untuk menganalisis data. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan: merupakan pembahasan tentang prosedur penelitian, uji asumsi dasar, analisis data penelitian, serta pembahasan. Bab V Kesimpulan, Diskusi dan Saran: merupakan bab yang berisi tentang kesimpulan dari penelitian, diskusi serta saran yang dapat diberikan kepada pembaca ataupun saran untuk penelitian selanjutnya. 13