BAB 1 PENDAHULUAN. terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2010), program pencegahan dan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Rabies merupakan suatu penyakit zoonosis yaitu penyakit hewan berdarah panas yang

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod Borne Virus, genus

BAB I PENDAHULUAN. penyakit menular mengutamakan aspek promotif dan preventif dengan membatasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. Kegiatan penanggulangan Tuberkulosis (TB), khususnya TB Paru di

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR : 03 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

ISSN situasi. diindonesia

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan masyarakat yang yang dialami Indonesia saat ini sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal bagi masyarakat diselenggarakan upaya kesehatan dengan

BAB I PENDAHULUAN. penyakit zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe

PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI AGAM,

BAB I : PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus dengue, virus ini ditularkan melalui

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff,H, 2006). Penyakit ini juga

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan bagi

BAB I PENDAHULUAN. pemangku kepentingan (stakeholders) sebagaimana telah didiskusikan dalam

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini diarahkan untuk

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 08 TAHUN 2000 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS KESEHATAN WALIKOTA TARAKAN,

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir ditemukan peningkatan kasus penyakit zoonosis di

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Penyakit ini tetap menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Rabies yang dikenal juga dengan nama Lyssahydrophobia, rage, tollwut,

BAB 1 PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab utama kematian anak-anak di dunia. Pada negara berkembang hampir

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan melalui hubungan kelamin. Dahulu kelompok penyakit ini dikenal

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pet station

Karena itu mereka sudah sejak awalnya berpendapat bahwa penyakit di daerah panas ini ganjil. Penyakit Tropik Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, Departemen Kesehatan

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMELIHARAAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEMENHAN. Satuan Kesehatan. Pengendalian. Zoonosis. Pelibatan.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kematian di seluruh dunia akibat rabies mencapai kisaran jiwa, terbanyak di daerah pedesaan Afrika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berjalan sendiri-sendiri dan tidak saling berhubungan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Acuan Pembangunan kesehatan pada saat ini adalah konsep Paradigma

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 1997 SERI D NO. 13

BAB I PENDAHULUAN. dan di setiap sudut dunia. Anak-anak menghadapi risiko paling besar untuk

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

I. PENDAHULUAN. tantangan, menyesuaikan diri dalam pola dan struktur produksi terhadap

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMELIHARAAN DAN LALU LINTAS HEWAN PENULAR RABIES DI KABUPATEN BADUNG

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RABIES

BAB 1 PENDAHULUAN. umur harapan hidup (life expectancy). Pembangunan kesehatan di Indonesia sudah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pariwisata dan kebudayaan merupakan salah satu sektor yang sangat potensial dan

BAB I PENDAHULUAN. produktif secara sosial dan ekonomi (Notoadmodjo, 2012).

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEREDARAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. (P2ISPA) adalah bagian dari pembangunan kesehatan dan upaya pencegahan serta

BAB I PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal sangat ditentukan oleh tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan berkelanjutan 2030/Suistainable Development Goals (SDGs)

Provinsi Sumatera Utara: Demografi

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi **Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sam Ratulangi

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERANTASAN DAN ELIMINASI PENYAKIT TUBERKULOSIS DI KABUPATEN SIAK

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan dari orang ke orang. Mereka memiliki durasi panjang dan umumnya

BAB I. PENDAHULUAN. lima hal, atau kombinasi dari beberapa macam penyakit, diantaranya : ISPA

BAB 1 PENDAHULUAN. tentang perlunya melakukan Primary Health Care Reforms. Intinya adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan kesehatan merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK,

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan penganggaran pada dasarnya mempunyai manfaat yang sama

BAB I PENDAHULUAN. dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Pembangunan Nasional, sebagaimana diamanatkan dalam. Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 24 TAHUN 2014 TENTANG PEMASUKAN HEWAN-HEWAN TERTENTU KE WILAYAH PROVINSI PAPUA UNTUK KEPENTINGAN KHUSUS

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG LARANGAN PEMASUKAN HEWAN PENULAR RABIES KE WILAYAH PROVINSI PAPUA GUBERNUR PROVINSI PAPUA,

KEBIJAKAN PENGENDALIAN ZOONOSIS DI INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIK)

BAB I. PENDAHULUAN. yang signifikan, dimana pada tahun 2010 yaitu mencapai 8,58% meningkat. hingga pada tahun 2014 yaitu mencapai sebesar 9,91%.

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK: SERTA TANTANGAN TAHUN 2019

BAB I PENDAHULUAN. golongan usia memiliki resiko tinggi terserang penyakit-penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pada hakekatnya pembangunan adalah kegiatan memanfaatkan sumberdaya

BAB 1 PENDAHULUAN. negara khususnya negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan The World

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGASAHAN... RIWAYAT HIDUP... ABSTRAK... v. KATA PENGANTAR. vii. DAFTAR ISI. ix. DAFTAR TABEL.

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu perhatian global karena kasus malaria yang tinggi dapat berdampak luas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit rabies atau anjing gila adalah suatu penyakit yang sangat ditakuti dan dapat menimbulkan kematian. Penyakit ini ditularkan dari hewan yang sudah terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies ini bersifat akut dan dapat menularkan dengan secara cepat kepada satu penderita dengan penderita lain melalui saliva (air liur) penderita yang sudah terkena virus rabies. Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies dan penularannya kepada manusia dapat terjadi melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) terutama anjing, kucing dan kera. Timbulnya penyakit ini pada manusia dapat dicegah dengan pemberian vaksinasi anti rabies (VAR) dan serum anti rabies (SAR) setelah digigit hewan yang menderita rabies (Soeharsono, 2002). Menurut laporan WHO (2005), penyakit rabies dapat timbul akibat kelalaian manusia neglected disease karena penyakit ini sebenarnya dapat dicegah sebelum muncul. Penyakit rabies tersebar di seluruh dunia dengan perkiraan 55.000 kematian pertahun, hampir semuanya terjadi di negara berkembang. Jumlah yang terbanyak dijumpai di Asia sebesar 31.000 jiwa (56%) dan Afrika 24.000 jiwa (44%). Diperkirakan 30% 50% proporsi dari kematian yang dilaporkan terjadi pada anakanak di bawah usia 15 tahun (WHO, 2006). 1

Pengendalian Rabies (penyakit anjing gila) sebenarnya sampai saat ini masih merupakan permasalahan dari beberapa penyakit yang terpenting karena penyakit tersebut tersebar luas di 18 propinsi, dengan jumlah kasus gigitan yang cukup tinggi. Diperkirakan sejak tahun 2008 di Indonesia terdapat 16.000 kasus gigitan, serta belum diketemukan obat/cara pengobatan untuk penderita rabies sehingga selalu diakhiri dengan kematian pada hampir semua penderita rabies baik manusia maupun hewan. Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Esser pada tahun 1884 pada seekor kerbau, kemudian oleh Penning tahun 1889 pada seekor anjing dan oleh Eilerls de Zhaan tahun 1889 pada manusia. Semua kasus ini terjadi di Propinsi Jawa Barat dan setelah itu rabies terus menyebar ke daerah Indonesia lainnya (Elvira, 2009). Berdasarkan laporan WHO (2005a), South East Asia Regional Office (SEARO) mempunyai beban kerja yang besar karena sekitar 25.000 kematian terjadi pada manusia setiap tahun akibat rabies dengan jumlah terbesar terdapat di India yaitu sekitar 19.000 jiwa dan Banglades sekitar 2000 jiwa. Myanmar, Nepal, Indonesia, Srilanka dan Thailand, melaporkan sedikitnya terjadi 100 kematian manusia akibat rabies setiap tahun. Berdasarkan laporan OIE (Organization International des Epizooties), di negara berkembang penyakit rabies merupakan urutan nomor 2 (dua) yang paling ditakuti wisatawan mancanegara setelah penyakit malaria ( Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, 2007). Penanggulangan penyakit rabies di Sumatera Utara sebenarnya sudah sejak lama diperhatikan oleh pemerintah setempat mengingat terus meningkatnya kasus

yang terjadi. Perhatian ini ditunjukkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara dengan nomor: 443.34/1880/K/1992 yang berisi tentang koordinasi/ keterpaduan agar lebih berdaya guna secara optimal dalam penanggulangan penyakit rabies di Sumatera Utara, perlu adanya penyegaran dan pemantapan Tim Koordinasi Pencegahan Penanggulangan Penyakit Rabies dengan melaksanakan reorganisasi di dalam wadah tim koordinasi lintas sektor. Penanggulangan penyakit rabies belum maksimal di Medan tidak terlepas dari individu yang bekerja di dalam suatu organisasi. Bentuk tanggungjawab pada uraian tugas untuk mencapai daerah yang bebas rabies, belum dapat diwujudkan oleh karena beberapa faktor seperti faktor yang ada di dalam diri individu (pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi dan beberapa hal lainnya) maupun yang ada di luar diri individu itu sendiri (desain organisasi, uraian tugas, komitmen organisasi dan lainnya). Hal inilah yang secara keseluruhan akan menjadi faktor yang memengaruhi tercapainya pembangunan kesehatan khususnya bebas penyakit rabies. Berdasarkan hal tersebut maka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan tersebut akan dapat terwujud jika dilaksanakan secara baik oleh sumber daya manusia yang memiliki kinerja yang optimal dalam suatu tatanan struktur organisasi yang baik. Menurut Makmuri (2004) dalam menjalankan pekerjaannya, petugas akan mendapatkan kinerja yang baik jika memiliki persepsi yang baik tentang tugas yang diberikan padanya disamping faktor penting lainnya. Petugas dalam berpendapat sangat dipengaruhi oleh pengetahuan tentang kerja yang dilakukan dan sikap terhadap pekerjaan tersebut.

Menurut Green (1980), untuk membentuk persepsi seorang individu untuk berperilaku positif pada yang dikerjakannya dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor pokok yaitu: faktor predisposisi (predisposising factors), faktor mendorong (reinforcing factors) dan faktor yang mendukung (enabling factors). Pada faktor predisposisi (predisposising) petugas bekerja dipengaruhi oleh faktor yang ada di dalam diri individu (pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi dan beberapa hal lainnya) maupun yang ada di luar diri individu itu sendiri (desain organisasi, uraian tugas, komitmen organisasi dan lainnya). Menurut Simatupang (2008), sebagai pelaksana pelayanan kesehatan petugas kesehatan juga dapat berperan sebagai provider dan konselor. Adapun menurut Herawati (2006) petugas kesehatan dapat berperan menjadi komunikator, motivator, fasilitator dan konsultan. Menurut Makmuri (2004), dalam sebuah organisasi, pelaksanaan kerja terdiri dari dua macam dimensi desain, yaitu dimensi struktural dan dimensi kontekstual. Dalam mengevaluasi sebuah organisasi, kedua macam dimensi desain dalam organisasi itu harus diteliti, karena keduanya saling bergantung satu dengan yang lainnya. Desain organisasi juga diharapkan dapat melihat pada sisi persepsi petugas terhadap tugasnya agar seseorang cocok atau tidak bekerja di perusahaan tersebut. Penelitian Asmulian (2007), menyebutkan bahwa ketidakcocokan seseorang akan lingkungan tempat bekerja akan membuat seseorang tidak nyaman dan dapat mengalami stres kerja. Disamping itu spesifikasi kerja sesuai bidang dan sifat kerja juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kinerja. Desain organisasi

kesehatan dalam upaya menunjukkan kinerja organisasi dituangkan dalam beberapa program, baik program yang bertujuan untuk upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Namun demikian saat ini pemerintah lebih berfokus pada bentuk upaya preventif. Salah satu bentuk program preventif yang sekarang ini sedang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan adalah program upaya penanggulangan kejadian luar biasa penyakit rabies. Penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) rabies merupakan salah satu upaya preventif yang berperan dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat gigitan anjing yang sampai saat ini masih belum dapat dituntaskan. Pelaksanaan program ini merupakan program yang melibatkan multi sektoral baik oleh seluruh unit pelayanan kesehatan (UPK) seperti Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Instansi dan Organisasi lain yang turut mendukung program ini, di samping juga peran serta masyarakat secara paripurna dan terpadu (Depkes RI, 2001). Dinas Kesehatan Kota Medan merupakan organisasi yang berada digaris depan dan bertanggung jawab langsung terhadap penurunan angka kejadian yang luar biasa akibat penyakit rabies yang diderita masyarakat. Dalam upaya penanggulangan penyakit rabies suatu pengelolaan tata kerja dan dan pengorganisasian dengan tujuan pencapaian lebih efisien dan efektif. Dalam mencapai tujuan yang efektif dan efisien penanggulangan penyakit rabies, desain dan struktur organisasi Kesehatan Kota Medan telah membuat satu formasi di dalam struktur organisasinya. Bidang ini merupakan salah satu bagian dari struktur organsasi yang ada di Dinas Kesehatan Kota Medan yang berperan melaksanakan investigasi dan penanganan kasus gigitan

hewan penular rabies (HPR) serta memberikan suntikan Vaksinasi Anti Rabies (VAR) kepada pasien yang terkena gigitan HPR. Bidang ini juga berperan mengawasi proses, memilih dan mengelola aspek struktural dan mengendalikan kegiatan yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan bersama, pengambilan keputusan atau manajemen keputusan dan mengendalikan perilaku para petugas surveilance (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010). Menurut Jones (2008), desain dan struktur organisasi tidak hanya menyajikan fungsi keputusan manajemen dengan menyediakan informasi untuk mengurangi kondisi ketidakpastian (uncertainty environment). Desain dan struktur organisasi juga merupakan pembuat keputusan untuk meningkatkan berbagai alternatif pilihan tindakan dengan kualitas informasi yang lebih baik. Desain sistem organisasi merupakan bagian dari sistem pengendalian organisasi yang perlu mendapat perhatian, sehingga dapat memberikan kontribusi positif dalam mendukung keberhasilan tujuan organisasi yaitu untuk menurunkan angka kasus rabies di Sumatera Utara yang semakin tinggi. Kasus gigitan hewan penular rabies di Sumatera Utara meningkat secara signifikan. Rincian jumlah kasus rabies tahun 2009 di Sumatera Utara sebagai berikut: Kabupaten Simalungun ditemukan 1 kasus, Tapanuli Utara 1 kasus, Humbang Hasundutan 3 kasus, Dairi 1 kasus dan Batubara 1 kasus. Sementara itu pada tahun 2010 kasus rabies dilaporkan oleh 9 kabupaten/kota yaitu: Asahan 2 kasus, Tapanuli Utara 1 kasus, Samosir 3 kasus, Tapanuli Tengah 1 kasus, Nias 5 kasus, Nias Selatan 1 kasus, Dairi 1 kasus, Nias Barat 1 kasus dan Kota Gunung

Sitoli sebanyak 17 kasus. Data hingga akhir Februari tahun 2009, ditemukan 108 kasus gigitan anjing dengan 5 penderita positif rabies dan akhirnya meninggal dunia. Kasus rabies yang ada di Kota Medan sampai pada tahun 2008 ditemukan bahwa penderita gigitan yang meyebabkan rabies berjumlah 486 kasus dengan pembagian 270 orang laki-laki dan 216 orang perempuan. Dari kelompok umur yang terkena ditemukan kasus 195 orang pada kelompok umur 15-45 tahun, 167 orang pada kelompok umur 5-14 tahun, sebanyak 54 orang pada kelompok umur 0-4 tahun dan sebanyak 70 orang pada kelompok umur > 45 tahun. Jumlah kasus yang terbanyak ada di wilayah kecamatan Medan Helvetia dengan jumlah kasus 80 orang disusul dengan kecamatan Medan Amplas dengan jumlah kasus 35 orang (Dinas Kesehatan Medan, 2010). Kasus rabies di Sumatera Utara pada tahun 2010 mengalami peningkatan dimana jumlah kasus rabies pada tahun 2009 sebanyak 486 meningkat menjadi 1.102 kasus pada tahun 2010 dan jumlah kasus rabies yang paling tinggi dari seluruh kecamatan yang ada di Kota Medan adalah kecamatan Medan Helvetia yaitu sebanyak 80 kasus (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010). Sementara angka penyakit rabies juga cukup tinggi di daerah Kabupaten Deli Serdang yaitu mencapai jumlah sebanyak 201 orang. Angka ini cukup tinggi disebabkan oleh karena daerah ini merupakan daerah perbatasan antara Kota Medan dengan kabupaten lainnya sehingga kecenderungan untuk meningkatnya kasus cukup tinggi (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010)

Kasus rabies di Sumatera Utara pada tahun 2010 mengalami peningkatan jumlah kasus dimana jumlah kasus rabies pada tahun 2009 sebanyak 486 meningkat menjadi 1.102 kasus pada tahun 2010 dan jumlah kasus rabies yang paling tinggi dari seluruh kecamatan yang ada di Kota Medan adalah kecamatan Medan Helvetia yaitu sebanyak 80 kasus (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010). Hasil survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di kecamatan Medan Helvetia yang merupakan kecamatan dengan kasus HPR tertinggi, pada bulan Juni 2010 ditemukan hasil 80 kasus. Angka ini meningkat 100 % dibandingkan dengan angka pada tahun 2008 yang hanya 40 kasus. Dalam upaya penanganan dan penanggulangan rabies Dinas Kesehatan Kota Medan telah melakukan koordinasi lintas sektoral dan lintas program dengan Dinas Peternakan dan Pertanian Kota Medan. Upaya penanggulangan penyakit rabies tersebut belum menunjukkan pencapaian kinerja yang maksimal. Hal ini diprediksi peneliti dikarenakan belum maksimalnya kerjasama lintas sektoral dan lintas program antara Dinas Kesehatan Kota Medan dengan Dinas Peternakan dan Pertanian Kota Medan. Ini dilihat dari kinerja individu yang belum baik dan masih kurangnya disiplin petugas masingmasing instansi di dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan padanya seperti belum dilaksanakannya standard operating procedure (SOP) yang ada, selain itu beberapa petugas juga jarang datang dan melakukan evaluasi terhadap implementasi tugas yang telah dilaksanakannya. Laporan rutin secara berkala yang seharusnya dapat dijadikan feed back untuk mengevaluasi kinerja juga belum terlaksana dengan

baik. Menurut beberapa petugas tidak adanya pemantauan yang dilakukan oleh atasan pada petugas yang ada di bagian ini membuat petugas merasa kurang bertanggungjawab pada tugas yang diembannya. Berbagai upaya penanggulangan kasus luar biasa rabies ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan, kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan vaksinasi pada binatang piaraannya. Kondisi ini diperburuk lagi dengan belum dilaksanakannya evaluasi dan monitoring berkala dari instansi terkait yang menanganinya. Berdasarkan uraian pada permasalahan di atas maka peneliti tertarik untuk menganalisis lebih dalam tentang penatalaksanaan dan penanggulangan wabah penyakit rabies dengan melihat persepsi tentang tugas dan desain organisasi terhadap kinerja petugas dalam upaya penanggulangan penyakit rabies di Kota Medan. 1.2. Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut Bagaimana pengaruh persepsi tentang tugas (karakteristik pekerjaan, jumlah pekerjaan, pemenuhan standar tugas) dan desain organisasi kesehatan (departementalisasi, rentang kendali, formalisasi) terhadap kinerja petugas dalam penanggulangan kejadian luar biasa penyakit rabies di Kota Medan tahun 2011

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah, untuk menganalisis pengaruh persepsi tentang tugas (karakteristik pekerjaan, jumlah pekerjaan, pemenuhan standar tugas) dan desain organisasi kesehatan (departementalisasi, rentang kendali, formalisasi) terhadap kinerja petugas dalam penanggulangan kejadian luar biasa penyakit rabies di Kota Medan tahun 2011 1.4. Hipotesis Ada pengaruh persepsi tentang tugas (karakteristik pekerjaan, jumlah pekerjaan, pemenuhan standar tugas) dan desain organisasi kesehatan (departementalisasi, rentang kendali, formalisasi) terhadap kinerja petugas dalam penanggulangan kejadian luar biasa penyakit rabies di Kota Medan tahun 2011. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Dinas Kesehatan Sebagai informasi untuk mengambil kebijakan penatalaksanaan dan pengendalian wabah penyakit rabies dalam program pencegahan penyakit rabies. Selanjutnya dapat meningkatkan surveilance terpadu dengan Dinas Peternakan dan Pertanian dalam penanganan kasus tersangka maupun penderita rabies. 2. Pemerintah Daerah. Sebagai informasi untuk mengaktifkan kembali tim koordinasi pemberantasan rabies (TIKOR) di bawah kendali pemerintah

3. Masyarakat Meningkatkan motivasi kepada masyarakat tentang upaya pencegahan dan penanggulangan kasus gigitan hewan penular rabies terutama di lokasi endemis rabies, dilaksanakan secara terkoordinasi dengan instansi terkait. 4. Ilmu Pengetahuan Menjadi bahan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan dalam upaya pemberantasan dan penanggulangan rabies melalui penyebaran informasi kepada seluruh masyarakat dan instansi terkait.