BAB II STUDI LITERATUR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MODIFIKASI PERENCANAAN MENGGUNAKAN SISTEM RANGKA BRESING KONSENTRIS KHUSUS PADA GEDUNG APARTEMEN METROPOLIS

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK BIASA DAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK KHUSUS TIPE-X TUGAS AKHIR

BAB III PEMODELAN DAN ANALISIS STRUKTUR

PENGARUH BRACING PADA PORTAL STRUKTUR BAJA

PERBANDINGAN PERILAKU ANTARA STRUKTUR RANGKA PEMIKUL MOMEN (SRPM) DAN STRUKTUR RANGKA BRESING KONSENTRIK (SRBK) TIPE X-2 LANTAI

BAB II LANDASAN TEORI. kestabilan struktur dalam menahan segala pembebanan yang dikenakan padanya,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Tata Cara

BAB III LANDASAN TEORI. Bangunan Gedung SNI pasal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada perencanaan bangunan bertingkat tinggi, komponen struktur

BAB II DASAR-DASAR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BERTINGKAT

BAB III PEMODELAN STRUKTUR

ANALISIS KOLOM BAJA WF MENURUT TATA CARA PERENCANAAN STRUKTUR BAJA UNTUK BANGUNAN GEDUNG ( SNI ) MENGGUNAKAN MICROSOFT EXCEL 2002

DAFTAR NOTASI. Luas penampang tiang pancang (mm²). Luas tulangan tarik non prategang (mm²). Luas tulangan tekan non prategang (mm²).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI. Selama periode pengenalan baja struktural sebagai bahan bangunan utama hingga

DESAIN BALOK SILANG STRUKTUR GEDUNG BAJA BERTINGKAT ENAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

L p. L r. L x L y L n. M c. M p. M g. M pr. M n M nc. M nx M ny M lx M ly M tx. xxi

PLATE GIRDER A. Pengertian Pelat Girder

DAFTAR NOTASI BAB I β adalah faktor yang didefinisikan dalam SNI ps f c adalah kuat tekan beton yang diisyaratkan f y

DAFTAR PUSTAKA. Budiono, Bambang, Diktat Kuliah Struktur Beton I, Penerbit ITB, Bandung, 1998.

TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR KONSTRUKSI BAJA GEDUNG DENGAN PERBESARAN KOLOM

PLATE GIRDER A. Pengertian Pelat Girder

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING TAHAN GEMPA

PERHITUNGAN BEBAN GEMPA PADA BANGUNAN GEDUNG BERDASARKAN STANDAR GEMPA INDONESIA YANG BARU 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Beton berlulang merupakan bahan konstruksi yang paling penting dan merupakan

BAB III LANDASAN TEORI. dan pasal SNI 1726:2012 sebagai berikut: 1. U = 1,4 D (3-1) 2. U = 1,2 D + 1,6 L (3-2)

PERENCANAAN SISTEM RANGKA PEMIKUL MOMEN KHUSUS PADA KOMPONEN BALOK KOLOM DAN SAMBUNGAN STRUKTUR BAJA GEDUNG BPJN XI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergesekan lempeng tektonik (plate tectonic) bumi yang terjadi di daerah patahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. itu sendiri adalah beban-beban baik secara langsung maupun tidak langsung yang. yang tak terpisahkan dari gedung.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS DAN DESAIN PADA STRUKTUR BAJA DENGAN SISTEM RANGKA BRESING KONSENTRIK BIASA (SRBKB) DAN SISTEM RANGKA BRESING KONSENTRIK KHUSUS (SRBKK)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada perencanaan bangunan bertingkat tinggi, komponen struktur

BAB III LANDASAN TEORI. dasar ke permukaan tanah untuk suatu situs, maka situs tersebut harus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut.

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pembebanan

BAB I PENDAHULUAN. pesat yaitu selain awet dan kuat, berat yang lebih ringan Specific Strength yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Umum

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Kondisi geografis Indonesia terletak di daerah dengan tingkat kejadian gempa

Struktur Baja 2. Kolom

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan Persetujuan Surat Pernyataan Kata Pengantar DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR NOTASI. = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balok-kolom (mm²) = Luas penampang tiang pancang (mm²)

Putra NRP : Pembimbing : Djoni Simanta, Ir., MT FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG ABSTRAK

RESPON DINAMIS STRUKTUR PADA PORTAL TERBUKA, PORTAL DENGAN BRESING V DAN PORTAL DENGAN BRESING DIAGONAL

PERANCANGAN STRUKTUR ATAS GEDUNG CONDOTEL MATARAM CITY YOGYAKARTA. Oleh : KEVIN IMMANUEL KUSUMA NPM. :

BAB II DASAR DASAR PERENCANAAN STRUKTUR ATAS. Secara umum struktur atas adalah elemen-elemen struktur bangunan yang

BAB II STUDI PUSTAKA

Henny Uliani NRP : Pembimbing Utama : Daud R. Wiyono, Ir., M.Sc Pembimbing Pendamping : Noek Sulandari, Ir., M.Sc

BAB I PENDAHULUAN. dengan struktur beton, baja dinilai memiliki sifat daktilitas yang dapat dimanfaatkan

PERENCANAAN GEDUNG BETON BERTULANG BERATURAN BERDASARKAN SNI DAN FEMA 450

B A B I I TINJAUAN PUSTAKA. getaran elastis yang dipancarkan ke segala arah dari titik runtuh (rupture point).

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BERATURAN TAHAN GEMPA BERDASARKAN SNI DAN FEMA 450

MODUL STRUKTUR BAJA II 4 BATANG TEKAN METODE ASD

BAB III METODE PENELITIAN

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek

BAB IV PERMODELAN STRUKTUR

T I N J A U A N P U S T A K A

BAB IV ANALISIS & PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMODELAN STRUKTUR RANGKA BAJA DENGAN BALOK BERLUBANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. geser membentuk struktur kerangka yang disebut juga sistem struktur portal.

PERANCANGAN STRUKTUR ATAS GEDUNG TRANS NATIONAL CRIME CENTER MABES POLRI JAKARTA. Oleh : LEONARDO TRI PUTRA SIRAIT NPM.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS PELAT BUHUL STRUKTUR RANGKA BAJA BERPENGAKU EKSENTRIK

BAB III LANDASAN TEORI. dan SNI 1726, berikut kombinasi kuat perlu yang digunakan:

PENGGAMBARAN DIAGRAM INTERAKSI KOLOM BAJA BERDASARKAN TATA CARA PERENCANAAN STRUKTUR BAJA UNTUK BANGUNAN GEDUNG (SNI ) MENGGUNAKAN MATLAB

PERANCANGAN STRUKTUR TAHAN GEMPA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 DASAR TEORI Dasar Perencanaan Jenis Pembebanan

DAFTAR ISTILAH. Al = Luas total tulangan longitudinal yang memikul puntir

Laporan Tugas Akhir Perencanaan Struktur Gedung Apartemen Salemba Residences 4.1 PERMODELAN STRUKTUR Bentuk Bangunan

5ton 5ton 5ton 4m 4m 4m. Contoh Detail Sambungan Batang Pelat Buhul

BAB III METEDOLOGI PENELITIAN. dilakukan setelah mendapat data dari perencanaan arsitek. Analisa dan

BAB IV ANALISA STRUKTUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. Kuat perlu dihitung berdasarkan kombinasi beban sesuai dengan SNI

BAB III LANDASAN TEORI. untuk bangunan gedung (SNI ) dan tata cara perencanaan gempa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam. harus diperhitungkan adalah sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LANDASAN TEORI. Katungau Kalimantan Barat, seorang perencana merasa yakin bahwa dengan

STUDI KOMPARASI PERILAKU STRUKTUR SISTEM RANGKA BERPENGAKU EKSENTRIK TIPE D TERHADAP SISTEM RANGKA PEMIKUL MOMEN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sistem Rangka Bracing Tipe V Terbalik

ANALISIS PERILAKU STRUKTUR RANGKA BAJA DENGAN DAN TANPA BRESING V-TERBALIK EKSENTRIK

BAB II DASAR TEORI PERENCANAAN STRUKTUR ATAS BANGUNAN BAJA. Baja kontruksi merupakan alloy steel (baja paduan), pada umumnya

ANALISA KINERJA LINK TERHADAP VARIASI TIPE PENGAKU PADA RANGKA BERPENGAKU EKSENTRIS

APLIKASI SAP2000 UNTUK PEMBEBANAN GEMPA STATIS DAN DINAMIS DALAM PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BAJA

DAFTAR NOTASI. xxvii. A cp

BAB 5 ANALISIS. Laporan Tugas Akhir Semester II 2006/ UMUM

PERBANDINGAN ANALISIS RESPON STRUKTUR GEDUNG ANTARA PORTAL BETON BERTULANG, STRUKTUR BAJA DAN STRUKTUR BAJA MENGGUNAKAN BRESING TERHADAP BEBAN GEMPA

BAB I PENDAHULUAN Umum. Pada dasarnya dalam suatu struktur, batang akan mengalami gaya lateral

TUGAS AKHIR PERANCANGAN ULANG STRUKTUR PORTAL GEDUNG PPPPTK MATEMATIKA YOGYAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertemuan ini dihubungkan dengan las atau baut mutu tinggi. Menurut

STUDI EVALUASI KINERJA STRUKTUR BAJA BERTINGKAT RENDAH DENGAN ANALISIS PUSHOVER ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. geser horisontal dan momen guling akibat beban lateral. Secara umum, Dinding

Transkripsi:

BAB II STUDI LITERATUR 2.1. Mekanisme Terjadinya Gempa Lapisan bumi terdiri atas lapisan kerak, mantel, dan inti bumi seperti terlihat pada Gambar 2.1 berikut ini. Gambar 2. 1 Struktur Lapisan Dalam Bumi 5) Lapisan kerakbumi atau disebut juga lithosphere mengapung diatas lapisan mantel/ astenosfer yang bersifat setengah cair dan sangat panas. Kerakbumi tersebut menutupi seluruh permukaan bumi, namun akibat adanya aliran panas yang mengalir di dalam astenosfer menyebabkan kerakbumi ini pecah menjadi beberapa bagian yang lebih kecil yang disebut lempeng kerakbumi. Arus konveksi yang terjadi pada astenosfer merupakan sumber kekuatan utama yang menyebabkan terjadinya pergerakan lempeng. Lempenglempeng yang saling berinteraksi (bergerak) tersebut terbagi menjadi 3 mekanisme, yaitu: saling mendekat (konvergen), saling menjauh (divergen), dan saling berpapasan (transform). Pergerakan-pergerakan itulah yang menyebabkan terjadinya gempa bumi. Kulit bumi yang terdeformasi akibat pergerakan tersebut akan mengumpulkan energi. Energi deformasi ini akan terus terakumulasi sampai suatu saat energi ini tidak dapat ditahan lagi oleh kulit bumi sehingga terjadi pergeseran secara tiba-tiba yang menyebabkan terjadinya gempa bumi. II-1

2.2. Konsep Perencanaan Struktur Bangunan Baja Tahan Gempa Tujuan desain bangunan tahan gempa adalah untuk mencegah terjadinya kegagalan struktur dan kehilangan korban jiwa, dengan tiga kriteria standar sebagai berikut: Tidak terjadi kerusakan sama sekali pada gempa kecil. Ketika terjadi gempa sedang, diperbolehkan terjadi kerusakan arsitektural tetapi bukan merupakan kerusakan struktural. Diperbolehkan terjadinya kerusakan struktural dan non-struktural pada gempa kuat, namun kerusakan yang terjadi tidak sampai menyebabkan bangunan runtuh. Kemungkinan terjadinya gempa besar pada umur layan bangunan sangat kecil sehingga merencanakan struktur tetap berprilaku elastik saat gempa besar terjadi sangat tidak ekonomis. Dalam hal ini, lebih baik medisain dengan gempa rencana yang lebih kecil tetapi dapat menyerap energi gempa tersebut dengan baik dari pada mendisain secara elastis yang akan menghasilkan dimensi struktur yang besar. Faktor reduksi beban gempa tersebut kita sebut faktor R, yaitu faktor modifikasi respon. Besarnya faktor R tersebut berbeda untuk setiap jenis struktur (dapat dilihat pada Tabel 2.2). Oleh karena itu, dalam perencanaan struktur baja tahan gempa konsep yang diterapkan adalah disipasi energi melalui plastifikasi komponen struktur tertentu, tanpa menyebabkan keruntuhan struktur sehingga kinerja struktur baja tahan gempa ditentukan oleh penyerapan energi gempa secara efektif melalui terbentuknya sendi plastik pada komponen tersebut. Bangunan kita rencanakan mengalami kelelehan pada daerah-daerah yang telah kita tentukan dengan cara elemen-elemen struktur tidak dibuat sama kuat terhadap gaya yang direncanakan, tetapi ada elemen-elemen struktur atau titik pada struktur yang dibuat lebih lemah dibandingkan dengan yang lain dengan harapan di elemen atau titik itulah kegagalan struktur terjadi pada saat beban maksimum bekerja. Perencanaan daerah yang mengalami leleh tersebut ditentukan berdasarkan jenis strukutur. Dalam hal ini ada 3 jenis struktur, yaitu sistem rangka pemikul momen, struktur rangka bresing konsentrik, struktur rangka bresing eksentrik. Untuk lebih jelasnya, bagian yang mengalami kelelehan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2 dibawah ini. II-2

Gambar 2. 2 Jenis struktur dan perencanaan bagian yang mengalami leleh 9) Daerah-daerah yang telah kita tentukan akan terjadi leleh tersebut harus dapat dijamin dapat menyerap energi gempa secara baik dan tidak boleh terjadi keruntuhan getas ataupun fraktur pada komponen tersebut. Untuk menjamin hal ini pada saat terjadinya gempa besar, maka persyaratan yang harus dipenuhi adalah: a. Bahan yang digunakan harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan, dalam hal ini SNI 03 1729 2002 tentang Tata Cara Perencanaan Struktur Baja Untuk Bangunan Gedung. Persyaratan tersebut akan dibahas pada Bab 2.3. b. Persyaratan mengenai kelangsingan elemen pelat sayap dan pelat badan pada komponen struktur tahan gempa ditentukan lebih ketat untuk mencegah terjadinya tekuk lokal pada elemen pelat penyusunnya. Dengan persyaratan yang lebih ketat, maka komponen tersebut akan dapat memberikan kapasitas pemikulan beban dan penyerapan energi gempa yang tinggi. Persyaratan kelangsingan elemen struktur baja tahan gempa dapat dilihat pada Tabel 2.5. c. Kuat perlu dari sambungan dan komponen terkait lainnya harus direncanakan berdasarkan tegangan leleh yang diperkirakan terjadi (bukan tegangan leleh nominal) pada komponen yang direncanakan mengalami kerusakan. f ye = R y f y II-3

dimana : f ye = tegangan leleh yang diperkirakan terjadi pada komponen f y = tegangan leleh nominal menurut spesifikasi R y = faktor kuat leleh = f ye / f y > 1.0 Untuk profil dan batang baja gilas R y adalah 1,5 bila digunakan BJ 41 atau lebih lunak dan 1,3 bila digunakan BJ 50 atau lebih keras. Untuk pelat baja nilai R y adalah 1,1 dan nilai R y lainnya dapat dipergunakan bila dapat didukung oleh hasil percobaan. Pada saat terjadi gempa besar, sistem sambungan yang telah direncanakan secara nominal lebih kuat daripada komponen yang disambung bisa saja gagal. Hal ini, dapat terjadi karena kekuatannya tidak direncanakan berdasarkan tegangan leleh aktual dari komponen yang disambung yang kenyataannya lebih besar dari nilai tegangan leleh nominalnya. d. Sistem sambungan harus direncanakan mampu bertahan akibat pembebanan bolakbalik yang terjadi tanpa menyebabkan penurunan kemampuan menyerap energi. Hal ini ditunjukkan dengan kurva histeretik yang gemuk dan stabil. Sambungan baut cenderung menunjukkan kurva histeretik yang mengalami pinching akibat slip atau lelehnya baut atau pelat penyambung. Oleh sebab itu sistem sambungan baut dan pelat penyambung harus direncanakan lebih kuat dari komponen yang disambung. Kekurangan yang dimiliki sambungan baut ini tidak serta merta dapat diatasi dengan penggunaan sambungan las, kecuali dengan persyaratan yang ketat tentang bahan dan proses pengelasan. Cacat-cacat yang terjadi pada sambungan las merupakan salah satu sumber utama kegagalan struktur baja tahan gempa 7). 2.2.1. Waktu Getar Alami Struktur Gedung Waktu getar alami struktur gedung diperlukan untuk mencari nilai C l, yaitu nilai faktor respon gempa yang didapat dari spectrum respons gempa rencana. Sebagai acuan awal nilai waktu getar alami struktur gedung (T) dapat ditentukan dengan persamaan di bawah ini. T = 0,085 H (3/4) untuk portal baja. (2.1) T = 0,06 H (3/4) untuk portal beton. (2.2) II-4

T =, untuk struktur lain. (2.3) Dengan : H = tinggi struktur (m) B = lebar strukur dalam arah gempa yang ditinjau Nilai yang didapat dari persamaan diatas hanya nilai T perkiraan awal yang selanjutnya akan ditentukan oleh persamaan dibawah ini. 6,3 2.4 Dimana : W i Fi d i = berat lantai tingkat ke-i. = beban gempa statik ekivalen (beban gempa lantai ke-i). = simpangan horizontal lantai ke-i. g = percepatan grafitasi = 9,81 m/det 2. Untuk mencegah penggunaan struktur bangunan gedung yang terlalu fleksibel, nilai waktu getar alami fundamental T dari struktur bangunan gedung harus dibatasi, bergantung pada koefisien ζ untuk Wilayah Gempa dan jenis struktur bangunan gedung, menurut persamaan: T1< ζh 3/4 (2.5) di mana H adalah tinggi total struktur dalam meter dan koefisien ζ ditetapkan menurut Tabel 2.1. Tabel 2. 1 Koefisien ζ yang membatasi waktu getar alami struktur gedung 10) Wilayah Gempa & Jenis Struktur Sedang & ringan; rangka baja Sedang & ringan; rangka beton dan RBE Sedang & ringan; bangunan lainnya Berat; rangka baja Berat; rangka beton dan RBE Berat; bangunan lainnya ζ 0,019 0,102 0,068 0,111 0,095 0,063 II-5

2.2.2. Gaya Geser Dasar Rencana Menurut SNI 03-1726-2003, Gaya geser dasar rencana total, V, pada suatu arah ditetapkan sebagai berikut : Dimana : V W t C l R I = gaya geser dasar rencana total = berat total struktur = nilai faktor respon gempa = faktor modifikasi respon atau faktor reduksi beban gempa = faktor kepentingan struktur 2.6 Berat total struktur Wt ditetapkan sebagai jumlah dari beban-beban berikut ini: 1. Beban mati total dari struktur bangunan. 2. Bila digunakan dinding partisi pada perencanaan lantai maka harus diperhitungkan tambahan beban sebesar 0,5 kpa. 3. Pada gudang-gudang dan tempat-tempat penyimpanan barang maka sekurangkurangnya 25% dari beban hidup rencana harus diperhitungkan. 4. Beban tetap total dari seluruh peralatan dalam struktur bangunan harus diperhitungkan. Nilai faktor respon gempa (C l ) didapat dari spectrum respons gempa rencana menurut Gambar 2.3 untuk waktu getar alami fundamental (T). Gambar 2. 3 Respons spectrum gempa rencana 10) II-6

Lanjutan Gambar 2. 3 Respons spectrum gempa rencana 10) Penentuan wilayah gempa di Indonesia ditentukan dari peta wilayah gempa Indonesia seperti terlihat pada Gambar 2.4. Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 Wilayah Gempa, di mana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah dan wilayah Gempa 6 dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian wilayah gempa ini, didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh gempa rencana dengan perioda ulang 500 tahun. Wilayah gempa ringan adalah wilayah 1 dan 2, wilayah gempa sedang adalah wilayah 3 dan 4, dan wilayah gempa berat adalah wilayah 5 dan 6. Nilai R untuk tiap-tiap struktur dapat dilihat pada Tabel 2.2 sedangkan faktor keutamaan I dapat dilihat pada Tabel 2.3. II-7

Gambar 2. 4 Wilayah gempa Indonesia dengan percepatan puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun 10) Tabel 2. 2 Faktor reduksi beban gempa dan faktor kuat cadang struktur Ώ 0 11) 1. Sistem Dinding Penumpu Sistem Struktur Deskripsi Sistem Pemikul Beban Gempa R Ώ 0 [Sistem struktur yang tidak memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Dinding penumpu atau sistem bresing memikul hampir semua beban gravitasi. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing.] 2. Sistem Rangka Bangunan 1. Sistem rangka bresing eksentris (SRBE) 7,0 2,8 [Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing.] 2. Sistem Rangka bresing konsentrik biasa (SRBKB) 5,6 2,2 3. Sistem rangka bresing konsentrik khusus (SRBKK) 6,4 2,2 3. Sistem Rangka Pemikul Momen 1. Sistem rangka pemikul momen khusus (SRPMK) 8,5 2,8 [Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul rangka pemikul momen terutama melalui mekanisme lentur.] 2. Sistem rangka pemikul momen terbatas (SRPMT) 6,0 2,8 3. Sistem rangka pemikul momen biasa (SRPMB) 4,5 2,8 4. Sistem rangka batang pemikul momen khusus (SRBPMK) 6,5 2,8 4. Sistem Ganda 1. Dinding geser beton dgn SRPMB baja 4,2 2,8 Terdiri dari : 1) rangka ruang yang memikul seluruh beban; 2) pemikul beban lateral berupa diding geser atau rangka bresing dengan rangka pemikul momen. Rangka pemikul momen harus direncanakan secara terpisah namun memikul sekurang-kurangnya 25 % dari seluruh beban lateral; 3)kedua sistem harus direncanakan untuk memikul secara bersamasama seluruh beban lateral dengan memperhatikan interaksi sistem ganda 2. SRBE baja a. Dengan SRPMK baja 8,5 2,8 b. Dengan SRPMB baja 4,2 2,8 3. SRBKB baja a. Dengan SRPMK baja 6,5 2,8 b. Dengan SRPMB baja 4,2 2,8 4. SRBKK baja a. Dengan SRPMK baja 7,5 2,8 b. Dengan SRPMB baja 4,2 2,8 5. Sistem Bangunan Kolom Kantilever Komponen struktur kolom kantilever 2,2 2,0 [Sistem struktur yang memanfaatkan kolom kantilever untuk memikul beban lateral.] 1. Dinding penumpu dengan rangka baja ringan dan bresing baja tarik 2. Rangka bresing di mana bresing memikul beban gravitasi 2,8 2,2 4,4 2,2 II-8

Nilai-nilai R ditentukan dan dimutakhirkan berdasarkan penelitian yang berkembang mengenai kinerja sistem struktur dalam mengembangkan daktilitas dan kuat cadangnya. Tabel 2. 3 Faktor keutamaan I untuk berbagai kategori dan bangunan 10) No Kategori Gedung Faktor Keutamaan (I) 1 Gedung umum seperti untuk penghunian, Perniagaan dan perkantoran. 1 2 Monumen dan bangunan monumental 1.6 Gedung penting pasca gempa seperti rumah 3 sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi. 1.4 Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya 4 seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan beracun. 1.6 5 Cerobong, tangki diatas menara 1.5 2.2.3. Beban Gempa Perlantai Gaya geser dasar rencana, V menurut persamaan 2.6 harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi beban-beban gempa nominal statik ekuivalen F i, yang menangkap pada pusat massa lantai tingkat ke-i menurut persamaan 10) : Dimana : W i Z i n V = berat lantai tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai. = ketinggian lantai tingkat ke-i diukur dari taraf penjepitan lateral. = nomor lantai tingkat paling atas. = gaya geser dasar rencana 2.7 Apabila rasio antara tinggi struktur bangunan gedung dan ukuran denahnya dalam arah pembebanan gempa sama dengan atau melebihi 3, maka 0,1V harus dianggap sebagai beban horisontal terpusat yang menangkap pada pusat massa lantai tingkat paling atas, II-9

sedangkan 0,9V sisanya harus dibagikan sepanjang tinggi struktur bangunan gedung menjadi beban-beban Gempa Nominal statik ekuivalen menurut persamaan 2.7 10). 2.2.4. Pembebanan Gempa 2 Arah Dalam perencanaan struktur bangunan gedung, arah utama pengaruh Gempa rencana harus ditentukan sehingga memberi pengaruh terbesar terhadap unsur-unsur subsistem dan sistem struktur bangunan gedung secara keseluruhan. Untuk mensimulasikan arah pengaruh gempa rencana yang sembarang terhadap struktur bangunan gedung, pengaruh pembebanan gempa dalam arah utama harus dianggap efektif 100% dan harus dianggap terjadi bersamaan dengan pengaruh pembebanan gempa dalam arah tegak lurus pada arah utama pembebanan tadi, tetapi dengan efektifitas hanya 30%. 30% Ey, f(ty) 100% Ey, f(ty) Pusat massa 100% Ex, f(tx) Pusat massa 30% Ex, f(tx) Pembebanan gempa arah +X Pembebanan gempa arah +Y 100% -Ex, f(tx) Pusat massa 30% -Ex, f(tx) Pusat massa 30% -Ey, f(ty) 100% -Ey, f(ty) Pembebanan gempa arah -X Pembebanan gempa arah -Y Gambar 2. 5 Pembebanan gempa 2 arah 2.2.5. Pengaruh Efek P-Delta Pengaruh P-Delta adalah suatu gejala yang terjadi pada struktur bangunan gedung yang fleksibel, di mana simpangan lateral yang besar akibat beban gempa menimbulkan beban tambahan akibat momen guling yang terjadi oleh beban gravitasi yang titik tangkapnya menyimpang ke samping. Pengaruh P-Delta ini berpengaruh untuk struktur bangunan gedung yang tingginya lebih dari 10 tingkat atau 40 meter diukur dari taraf penjepitan lateral 10). II-10

2.2.6. Simpangan Antar Lantai Struktur tahan gempa harus mempunyai kekakuan yang cukup, oleh karena itu simpangan struktur pada saat menerima gaya gempa harus dibatasi semikian rupa agar struktur tidak bergoyang terlalu jauh (tidak stabil). Jika tidak, bisa saja mengakibatkan korban jiwa pada saat terjadinya gempa serta memberikan efek yang tidak nyaman kepada pengguna bangunan karena bangunan bergoyang terlalu jauh. Simpangan struktur tersebut dihitung berdasarkan simpangan yang terjadi pada setiap lantai. Simpangan antar lantai dihitung berdasarkan respons simpangan inelastik maksimum, M, dihitung sebagai berikut 11) : M = 0,7 R S (2.8) dengan R adalah faktor modifikasi respons. Pada persamaan diatas, S adalah respons statis simpangan elastik struktur yang terjadi di titik-titik kritis akibat beban gempa horizontal rencana. Dalam melakukan perhitungan simpangan tersebut pengaruh translasi dan rotasi bangunan harus diperhitungkan. Simpangan elastis struktur juga dapat dihitung menggunakan analisis dinamis. Simpangan antar lantai dibatasi harganya sebagai berikut 11) : M Untuk T 0,7 detik, maka 2,5% (2.9) h M Untuk T > 0,7 detik, maka 2,0% (2.10) h 2.2.7. Kinerja Struktur Bangunan Baja Tahan Gempa Kinerja batas layan struktur bangunan gedung ditentukan oleh simpangan antar tingkat akibat pengaruh Gempa Nominal, yaitu untuk membatasi terjadinya pelelehan baja dan peretakan beton yang berlebihan, di samping untuk mencegah kerusakan non-struktur. Simpangan antar tingkat ini harus dihitung dari simpangan struktur bangunan gedung tersebut akibat pengaruh Gempa nominal yang telah dikalikan dengan Faktor Skala. Untuk memenuhi persyaratan kinerja batas layan struktur bangunan gedung, dalam segala hal simpangan antar tingkat yang dihitung dari simpangan struktur bangunan gedung maka persyaratan berikut harus dipenuhi 10) : II-11

0,03 = min h, 30 mm R Dimana: M R h = simpangan maksimum antar lantai. = faktor modifikasi respon atau faktor reduksi beban gempa. = tinggi tiap lantai. (2.11) 2.2.8. Eksentrisitas Struktur Pusat massa lantai tingkat suatu struktur bangunan gedung adalah titik tangkap resultante beban mati, berikut beban hidup yang sesuai, yang bekerja pada lantai tingkat itu. Pada perencanaan struktur bangunan gedung, pusat massa adalah titik tangkap beban gempa statik ekuivalen atau gaya gempa dinamik. Pusat rotasi lantai tingkat suatu struktur bangunan gedung adalah suatu titik pada lantai tingkat itu yang bila suatu beban horisontal bekerja padanya, lantai tingkat tersebut tidak berotasi, tetapi hanya bertranslasi, sedangkan lantai-lantai tingkat lainnya yang tidak mengalami beban horisontal semuanya berotasi dan bertranslasi. Antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat harus ditinjau suatu eksentrisitas rencana e d diukur dari pusat rotasi lantai. Eksentrisitas rencana e d harus ditentukan sebagai berikut 10) : untuk 0 < e < 0,3 b: ed = 1,5 e + 0,05b (2.12) atau ed = e - 0,05 b (2.13) dan dipilih di antara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsur atau subsistem struktur bangunan gedung yang ditinjau; untuk e > 0,3 b: ed = 1,33 e + 0,1 b (2.14) atau ed = 1,17 e - 0,1 b (2.15) II-12

dan dipilih di antara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsur atau subsistem struktur bangunan gedung yang ditinjau. Keterangan: e = eksentrisitas struktur e d = eksentrisitas rencana b = ukuran horisontal terbesar denah struktur bangunan gedung pada lantai tingkat itu, diukur tegak lurus pada arah pembebanan gempa 2.3. Persyaratan Bahan Untuk Struktur Baja Tahan Gempa Untuk struktur baja tahan gempa, bahan yang digunakan harus mempunyai sifat yang daktail. Hal ini bertujuan agar terjadi penyerapan energi gempa secara efektif. Maka persyaratan bahan baja yang direncanakan sebagai komponen struktur pemikul beban gempa harus memenuhi ketentuan sebagai berikut 11) : a. Perbandingan tegangan leleh terhadap tegangan putus tariknya adalah kurang dari 0,85, b. Hubungan tegangan-regangan harus memperlihatkan daerah plateau yang cukup panjang, c. Pengujian uniaksial tarik pada spesimen baja memperlihatkan perpanjangan maksimum tidak kurang daripada 20% untuk daerah pengukuran sepanjang 50 mm, d. Mempunyai sifat relatif mudah dilas. Selain itu, tegangan leleh minimum dari bahan baja untuk komponen struktur dengan perilaku inelastis diharapkan akan terjadi berkenaan dengan kombinasi pembebanan tidak boleh melebihi 350 MPa, kecuali bila dapat ditunjukkan secara eksperimen atau secara rasional bahwa bahan baja yang digunakan sesuai untuk tujuan tersebut. Persyaratan ini tidak berlaku bagi kolom yang diharapkan perilaku inelastisnya hanya akan terjadi pada dasar kolom yang mengalami leleh pada tingkat paling bawah. II-13

2.4. Perencanaan Komponen Struktur 2.4.1. Komponen yang Memikul Gaya Aksial Tekan Secara umum, kondisi batas kekuatan batang tekan dipengaruhi oleh kondisi tekuk (buckling) akibat ketidakstabilan. Hal ini dapat saja terjadi jauh sebelum batang tekan mencapai kondisi leleh. Sebuah batang yang memikul gaya tekan konsentris akibat beban terfaktor, Nu harus direncanakan sedemikian rupa sehingga selalu terpenuhi hubungan : Nu φ Nn (2.16) Keterangan: φn adalah faktor reduksi kekuatan = 0,85. Nn adalah kuat tekan nominal komponen struktur. Kondisi batas kekuatan batang/kolom yang memikul beban aksial tekan ditentukan oleh: 1. Tekuk lentur (flexural buckling), yaitu batang kolom mengalami lentur terhadap sumbu lemah. Pada kolom yang menekuk lentur, kuat tekan nominal kolom dihitung sebagai berikut. fy = = (2.17) Nn Agfcr Ag ω fy fcr = (2.18) ω dimana : kondisi leleh umum : λ c 0, 25 maka ω = 1, 0 (2.19) kondisi tekuk inelastik : 0, 25 < λ c < 1, 2 maka 1,43 ω = 1,6 0,67λ c (2.20) 2 kondisi leleh umum : λ c 1, 2 maka ω = 1, 25λ c (2.21) 1 Lk fy dengan λc = (2.22) π r E Keterangan: Ag adalah luas penampang bruto, mm2 fcr adalah tegangan kritis penampang, MPa fy adalah tegangan leleh material, MPa II-14

2. Tekuk lokal (local buckling), yaitu terjadi pada elemen pelat pada penampang (sayap atau badan) yang menekuk karena terlalu tipis. Ini dapat terjadi sebelum batang/kolom menekuk lentur secara keseluruhan. Apabila beban aksial tekan yang menyebabkan tekuk pada pelat penampang lebih kecil daripada beban aksial tekan yang menyebabkan tekuk lentur, maka keruntuhan batang akan ditentukan oleh beban yang lebih kecil yaitu pada saat terjadinya tekuk pada pelat penampang (tekuk lokal). Agar tekuk lokal tidak terjadi maka harga kelangsingan (rasio antara lebar terhadap tebal) pelat-pelat penampang harus dibatasi. Batas kelangsingan penampang dapat dilihat pada Tabel 2.4. Selain itu, syarat kelangsingan komponen struktur tekan harus lebih kecil dari 200, 200 (2.23) Tabel 2. 4 Nilai batas perbandingan lebar terhadap tebal, λ p,untuk elemen tekan 11) Jenis Elemen Perbandingan Perbandingan Maksimum Lebar terhadap tebal Lebar terhadap tebal (λ) (λ p ) b 170 t f y f h t w untuk : Nu φ N y 0.125 1680 2.75N 1 u f φn y y untuk : N φ N > 0.125 u 500 N u 665 2.33 f φn y y f y y Untuk perencanaan struktur bangunan tahan gempa, batasan kelangsingan penampang lebih diperketat lagi agar tekuk lokal tidak terjadi akibat beban gempa yang terjadi. Batasan kelangsingan untuk struktur bangunan tahan gempa dapat dilihat pada Tabel 2.5. II-15

Tabel 2. 5 Nilai batas perbandingan lebar terhadap tebal, λ p, untuk elemen tekan pada perencanaan struktur baja tahan gempa 11) Jenis Elemen Perbandingan Perbandingan Maksimum Lebar terhadap tebal Lebar terhadap tebal (λ) (λ p ) b 135 t f y f h t w untuk : Nu φ N y 0.125 1365 1.54N 1 u f φn y y untuk : N φ N > 0.125 u 500 N u 665 2.33 f φn y y f y y 3. Tekuk torsi (torsional buckling). Elemen pelat pada penampang berputar atau memuntir terhadap sumbu batang. Tekuk ini terjadi pada profil siku ganda dan T. Gaya tekan P akan bekerja pada titik pusat massa profil C g, sedangkan profil akan memberikan perlawanan yang berpusat pada titik pusat geser C v. Perbedaan ini akan menyebabkan munculnya momen pada profil berupa puntir/torsi pada sumbu batangnya. Kuat nominal kolom yang mengalami tekuk torsi dapt dihitung sebagai berikut: N = A f (2.24) nlt g clt f f 2 1 1 4f f H f f 2.25 f cry = tegangan kritik untuk kasus tekuk lentur terhadap sumbu lemah y-y. f crz = tegangan kritik untuk kasus tekuk lentur terhadap sumbu batang. f f ω f GJ Ar modulus geser bahan E 2 1 2.26 2.27 2.28 II-16

E = modulus elastic bahan v = poisson s ratio momen inersia polar atau konstanta puntir 1 3 b t 2.29 b i = panjang bagian penampang i t i = tebal penampang i r I I A x 0, y 0 A 1 x y x y 2.30 = jarak pusat geser penampang terhadap titik berat penampang = luas penampang bruto. r 2.31 2.4.2. Komponen yang Memikul Gaya Aksial Tarik Kuat tarik nominal batang tarik, tanpa lubang, dinyatakan sebagai perkalian luas bruto profil dengan tegangan leleh baja profil yang digunakan. Walaupun kekuatan aktual dari suatu batang tarik bisa saja melampaui tegangan lelehnya sebagai akibat dari pengerasan regangan (strain hardening). Akan tetapi nilai tersebut tidak diambil, karena pelelehan umum di sepanjang batang akan menyebabkan perubahan yang terlalu besar pada batang tarik sehingga dikhawatirkan tidak berfungsi lagi seperti yang diharapkan. Komponen struktur yang memikul gaya tarik aksial terfaktor Nu harus memenuhi: Nu φ Nn (2.32) dengan φ Nn adalah kuat tarik rencana yang besarnya diambil sebagai nilai terendah di antara dua perhitungan menggunakan harga-harga φ dan Nn di bawah ini: φ = 0,9 Nn = A g f y (2.33) dan φ = 0,75 Nn = A e f u (2.34) Keterangan: A g adalah luas penampang bruto, mm 2 A e adalah luas penampang efektif, mm 2 II-17

f y adalah tegangan leleh, MPa f u adalah tegangan tarik putus, Mpa Penampang efektif Luas penampang efektif komponen struktur yang mengalami gaya tarik ditentukan sebagai berikut: A e = AU (2.35) Keterangan : A adalah luas penampang, mm 2 U adalah faktor reduksi = 1 - (x / L) 0,9, (2.36) x adalah eksentrisitas sambungan, jarak tegak lurus arah gaya tarik, antara titik berat penampang komponen yang disambung dengan bidang sambungan, mm L adalah panjang sambungan dalam arah gaya tarik, yaitu jarak antara dua baut yang terjauh pada suatu sambungan atau panjang las dalam arah gaya tarik, mm Kelangsingan batang tarik Meskipun stabilitas bukan merupakan suatu kriteria dalam desain batang tarik, akan tetapi untuk menghindari bahaya yang timbul akibat getaran/vibrasi yang terjadi pada batang tarik, maka batang tarik harus didisain cukup kaku. Dengan memperhatikan ketentuan mengenai stabilitas batang tarik, maka ditentukan batas kelangsingan batang λ, sebagai berikut: λ 240, untuk komponen utama, λ 300, untuk komponen sekunder 2.4.3. Komponen yang Memikul Momen Lentur. Sebuah balok yang memikul beban lentur murni terfaktor, M u harus direncanakan sedemikian rupa sehingga selalu terpenuhi hubungan : M u φm n (2.37) dimana : Keterangan: M u adalah momen lentur terfaktor, N-mm φ adalah faktor reduksi = 0,9 M n adalah kuat nominal dari momen lentur penampang, N-mm II-18

Kelangsingan penampang Pengertian penampang kompak, tak-kompak, dan langsing suatu komponen struktur yang memikul lentur, ditentukan oleh kelangsingan elemen-elemen tekannya yang ditentukan pada Tabel 2.4. Untuk penampang yang digunakan dalam perencanaan struktur baja tahan gempa maka batas kelangsingannya ditentukan oleh Tabel 2.5. Penentuan M n dengan kondisi batas Tekuk Torsi Lateral dengan Penampang Kompak ( λ λ p ) Kuat komponen struktur dalam memikul momen lentur tergantung dari panjang bentang antara dua pengekang lateral yang berdekatan, L. Batas-batas bentang pengekang lateral ditentukan dalam Tabel 2.6 Tabel 2. 6 Bentang untuk pengekangan lateral 11) Profil L p L r E IWF 1.76* r y f y X r 1 y fl f = f f X X L y r 1 2 1+ 1+ X f π EGJA = S 2 2 S = 4 GJ I I w y 2 2 L 1. Kondisi plastis sempurna ( Lb Lp ) M = M Z * f 1.5* M (2.38) n p= x y y 2. Kondisi tekuk Torsi-lateral inelastik ( L < L < L ) p b r Lb L p M = C M ( M M ) M n b p p r p Lr Lp Dimana: C b =faktor pengali momen lentur nominal (bending coefficients) (2.39) II-19

Nilai C b 12,5M max = 2,5M + 3M + 4M + M Keterangan : max 1/ 4L 1/ 2L 3/ 4L M max adalah momen maksimum dari bentang yang ditinjau M 1/4L adalah momen pada 1/4 bentang yang ditinjau M 1/2L adalah momen pada 1/2 bentang yang ditinjau M 3/4L adalah momen pada 3/4 bentang yang ditinjau M n dibatasi tidak boleh lebih besar dari nilai (2.40) M p yaitu harga momen lentur pada kondisi plastik sempurna tanpa mengalami tekuk lokal maupun torsi-lateral 3. Kondisi Tekuk Torsi Lateral Elastik ( Lb Lp ) π π E M n = Mcr = Cb EI ygj + I yi w Mp L L 2 (2.41) Geser Pada Balok Pelat badan yang memikul gaya geser perlu (Vu) harus memenuhi: V u φv n (2.42) Keterangan: φ adalah faktor reduksi kuat geser, diambil 0,9 V n adalah kuat geser nominal, dianggap disumbangkan hanya oleh pelat badan Kuat geser nominal Vn, ditentukan oleh kondisi batas leleh atau tekuk pada pelat badan. a. Leleh pada pelat badan (plastik sempurna) Jika perbandingan maksimum tinggi terhadap tebal panel h/t w, memenuhi: 1,10 k E f Dengan : 5 5 a h 2.43 2.44 II-20

Maka kuat geser nominal pelat badan harus dihitung sebagai berikut: V n = 0,6 f yw A w a = jarak antar pelat pengaku lateral penampang f yw = tegangan leleh pelat badan A w = luas kotor pelat badan b. Tekuk inelastik pada pelat badan Jika kelangsingan pelat badan memenuhi hubungan: 1,10 k E f 1,37 k E f 2.45 Maka kuat geser nominal pelat badan harus dihitung sebagai berikut: v 0,6 f A 1,10 k E f 1 2.46 c. Tekuk elastik pada pelat badan Jika kelangsingan pelat badan memenuhi hubungan: 1,37 k E f 2.47 Maka kuat geser nominal pelat badan harus dihitung sebagai berikut: v 0,9 E k A 2.48 2.4.4. Komponen yang Memikul Gaya Kombinasi. Komponen struktur yang mengalami momen lentur dan gaya aksial harus direncanakan memenuhi ketentuan sebagai berikut: 0,2 8 9 M M 1,0 2.49 II-21

0,2 M M 1,0 2 2.50 Keterangan: N u adalah gaya aksial (tarik atau tekan) terfaktor, N N n adalah kuat nominal penampang, N M ux, M uy adalah momen lentur terfaktor terhadap sumbu-x dan sumbu-y, N-mm M nx, M ny adalah kuat nominal lentur penampang terhadap sumbu-x dan sumbu-y, N-mm φ n = 0,90 (leleh) tarik φ n = 0,75(fraktur) tarik φ n = 0,85 tekan φ b = 0,90 lentur Pada perencanaan kolom, besarnya kuat perlu lentur kolom pada persamaan 2.57 dan 2.58 dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.59 dan 2.60 sebagai berikut: M ux = δ bx M ntux + δ sx M ltux (2.51) M uy = δ by M ntuy + δ sx M ltuy (2.52) M nt dan M lt dapat dihitung dengan melakukan superposisi terhadap perhitungan sruktur pada kondisi struktur tidak bergoyang dn kondisi struktur bergoyang, dimana M nt adalah besarnya momen kolom akibat struktur tidak bergoyang dan M lt adalah besarnya momen kolom akibat struktur bergoyang. Faktor amplifikasi momen a. Faktor amplifikasi momen akibat kelengkungan kolom yang tak bergoyang, δ b Besarnya δ b untuk masing-masing kolom pada persamaan 2.59 dan 2.60 dihitung sebagai berikut: cm δ b = N 1 N u crb 1 (2.53) II-22

dimana: N u = gaya tekan terfaktor (ultimit) pada kolom tersebut. N crb = beban kritis euler daru kolom tersebut. dengan faktor panjang tekuk, k = 1.0, bukan beban kritis yang sebenarnya. c m = faktor modifikasi momen, memperhitungkan distribusi momen yang tak seragam sepanjang kolom, dapat digunakan nilai-nilai sebagai berikut: i. Kolom tak bergoyang tanpa beban transversal: c m = 0,6 0,4β m (2.54) β m = (M kecil / M besar ) pada ujung-ujung kolom dengan harga: (2.55) (+) : kelengkungan ganda pada kolom. (-) : kelengkungan tunggal pada kolom. ii. Kolom tak bergoyang dengan beban transversal: c m = 1.0 : ujung-ujung sendi, dapat berotasi. (2.56a) c m = 0.85 : ujung-ujung jepit, tidak berotasi. (2.57b) b. Faktor amplifikasi momen akibat kelengkungan kolom yang bergoyang, δ s Faktor amplifikasi momen akibat goyangan lantai, δ s dapat dihitung melalui persamaan 2.65 atau 2.66 sebagai berikut: δ = s 1 1 1.0 N u oh H L (2.58) atau δ = s 1 1 N N u crs 1.0 (2.59) dimana: N u : jumlah gaya aksial tekan terfaktor akibatbeban gravitasi dari seluruh kolom pada satu tingkat struktur yang ditinjau. N crs oh : beban kritis elastik kolom pada arah lentur pada bidang goyangan, (L/r) dalam arah lentur. : jumlah gaya horizontal antai lantai dari tingkat yang ditinjau. II-23

H : jumlah gaya horizontal yang menyebabkan goyangan sebesar oh pada tingakt yang ditinjau. ( oh /L): indeks simpangan lantai, digunakan sebagai kriteria perencanaan bangunan. 2.5. Konfigurasi Struktur Struktur dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: 2.5.1. Sistem Rangka Pemikul Momen (Moment Resisting Frames) Sistem Rangka Pemikul Momen mempunyai kemampuan menyerap energi yang baik, tetapi memerlukan terjadinya simpangan antar lantai yang cukup besar supaya timbul sendi-sendi plastis pada balok yang akan berfungsi untuk menyerap energi gempa. Simpangan yang terjadi begitu besar akan menyebabkan struktur tidak kaku sehingga mengakibatkan kerusakan non-struktural yang besar disamping akan menambah pengaruh P- efek. 2.5.2. Sistem Rangka Bresing Konsentrik (Concentrically Braced Frames) Sistem Rangka Bresing Konsentrik merupakan pengembangan dari sistem portal tak berpengaku atau lebih dikenal dengan Moment Resisting Frames (MRF). Sistem CBF dikembangkan sebagai sistem penahan gaya lateral dan memiliki tingkat kekakuan yang cukup baik. Hal ini bertolak belakang dengan sistem MRF yang hanya bisa digunakan sebagai penahan momen. Kekakuan sistem ini terjadi akibat adanya elemen pengaku yang berfungsi sebagai penahan gaya lateral yang terjadi pada struktur. Sistem ini penyerapan energinya dilakukan melalui pelelehan yang dirancang terjadi pada pelat buhul. Sistem ini daktilitasnya kurang begitu bagus sehingga kegagalannya ditentukan oleh tekuk bresing. Bentuk-bentuk sistem rangka berpengaku konsentrik ini diperlihatkan pada Gambar 2.6. II-24

Gambar 2.6 Konfigurasi sistem rangka berpengaku konsentrik 3) 2.5.3. Sistem Rangka Bresing Eksentrik (Eccentrically Braced Frame) Kekurangan pada sistem CBF dalam menerima gaya lateral telah diatasi dengan munculnya sistem EBF. Sistem portal EBF ini pertama kali diperkenalkan oleh Popov yang sekarang telah banyak digunakan untuk sistem bangunan tahan terhadap beban lateral seperti gempa. Sistem EBF mempunyai nilai daktilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan CBF yang lebih mengutamakan pada kekuatan strukturnya. Tingginya nilai daktilitas pada sistem EBF akibat adanya element link yang berfungsi sebagai pendisipasi energi ketika struktur menerima beban gempa. Pendisipasian energi ini diwujudkan dalam bentuk plastifikasi pada elemen link tersebut. Bentuk-bentuk sistem portal EBF dapat dilihat pada Gambar 2.7. Gambar 2.7 Konfigurasi sistem rangka berpengaku eksentrik 3) II-25

2.6. Elemen Link Perilaku link pada suatu sistem EBF bisa berupa moment link dan bisa sebagai shear link tergantung dari panjang pendeknya element link. Link adalah elemen yang berperilaku sebagai balok pendek yang pada kedua sisinya bekerja gaya geser dengan arah yang berlawanan serta momen yang diakibatkan oleh gaya geser tersebut. Akibat gaya geser yang bekerja berlawanan arah maka momen yang bekerja pada ujung-ujungnya mempunyai besar dan arah yang sama (Gambar 2.8). Kedua gaya tersebut akan mengakibatkan terjadinya plastisifikasi pada elemen link. M M V e V Gambar 2.8 Gaya-gaya pada elemen link Seperti telah dijelaskan diatas bahwa elemen link berguna untuk mendisipasi energi gempa, maka elemen tersebut harus direncanakan secara khusus agar fungsi tersebut dapat tercapai. Untuk mencapai fungsi ini perencanaan elemen link harus memperhatikan bahwa elemen-elemen lain diluar link harus tetap berprilaku elastis saat elemen link telah mencapai kelelehan. 2.6.1. Konsep Perencanaan Elemen Link Gaya-gaya yang mendominasi pada suatu elemen link adalah gaya geser dan gaya lentur. Berdasarkan kedua gaya tersebut pola kelelehan elemen link dapat dibedakan menjadi leleh geser dan leleh lentur. Kondisi batas antara mekanisme keruntuhan akibat geser dan lentur dapat dijelaskan dengan menggunakan suatu pemodelan kantilever sederhana (Gambar 2.9). Gambar 2.9 Balok kantilever sederhana II-26

Panjang kantilever tersebut merupakan rasio momen maksimum dan geser maksimum pada bentang atau besarnya jarak antara titik dimana momen maksimum terjadi dengan titik dimana momen minimum (M = 0) terjadi. Kondisi ini memenuhi persamaan sebagai berikut. Dimana : dv M maks V m = panjang bentang (mm) = momen maksimum (Nmm) 2.67 = gaya geser di titik terjadinya momen maksimum (N) Perilaku sistem rangka EBF juga dijelaskan dengan konsep yang sama. Rasio pada kondisi berimbang tercapai ketika pada bentang tersebut terjadi secara terus-menerus leleh geser dan lentur, sesuai dengan persamaan: 2.68 Dimana : dv b = panjang bentang ketika gaya geser dan momen berimbang (mm) M p V p = momen plastis penampang (Nmm) = gaya geser plastis penampang (N) Kekuatan atau kondisi batas link geser dan lentur didefinisikan sebagai berikut: M p = Z x * f y (2.69) V p = 0,6 * f y * (h-2t f ) * t w (2.70) Dimana: M p = momen plastis penampang (Nmm) Z x = modulus elastic penampang (mm 3 ) f y V p h t f t w = tegangan leleh baja (MPa) = gaya geser plastis penampang (N) = tinggi penampang (mm) = tebal pelat sayap (mm) = tebal pelat badan (mm) II-27

2.6.2. Jenis Link Berdasarkan Panjangnya Bentang geser yang ditunjukkan oleh kantilever pada Gambar 2.9 memiliki hubungan M p = dv b * V p dimana balok kantilever tersebut diumpamakan sebagai link. Balok ini akan berperilaku sebagai moment link jika panjang link (e) lebih besar dari dv b dan akan berperilaku sebagai shear link jika panjang ling (e) lebih kecil dari dv b. Apabila link terletak dekat kolom maka diasumsikan bahwa link tersebut dihubungkan dengan kolom melalui sambungan yang memiliki kapasitas plastis sekurang-kurangnya sama dengan yang dimiliki oleh balok (Gambar 2.10.a). Sebaliknya, ketika link terletak menerus antara dua bresing (Gambar 2.10.b), maka sambungan tersebut harus mampu memikul sendi plastis yang terjadi pada ujung bresing. Konsekuensinya, seluruh link pada kedua gambar tersebut diasumsikan akan mencapai kondisi sendi plastis pada kedua ujungnya. Sehingga kondisi batas antara leleh geser dan leleh lentur pada link untuk jenis struktur EBF dirumuskan dengan persamaan: 2 2 2.71 Dimana : eb panjang link pada kondisi berimbang mm Gambar 2.10 Letak link pada sistem EBF Batas yang jelas antara leleh lentur dan leleh geser ini sebenarnya tidak diketahui dengan pasti, sehingga pada perencanaannya diasumsikan bahwa leleh geser murni akan terjadi pada saat panjang link (e) lebih kecil dari 80 % panjang link pada kondisi berimbang. Ketika panjang panjang link mencapai lebih besar sama dengan 5.0 M p / V p, diasumsikan bahwa mekanisme leleh yang terjadi pada link adalah lentur murni. II-28

Jenis link berdasarkan panjang nya dapat dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu : a. e 1.6 M p /V p, link geser murni. Jenis link ini leleh akibat gaya geser pada respon/deformasi inelastik. b. 1.6 Mp/Vp < e 2.6 Mp/Vp, link dominan geser. Jenis link ini leleh akibat dominasi geser (pada kombinasi geser dan lentur) pada respon/deformasi inelastik. c. 2.6 Mp/Vp < e < 5.0 Mp/Vp, link dominan lentur. Jenis link ini leleh akibat dominasi lentur (pada kombinasi geser dan lentur) pada respon/deformasi inelastik. d. e 5.0 Mp/Vp, link lentur murni. Jenis link ini leleh akibat lentur pada respon/deformasi inelastik. 2.6.3. Perilaku Inelastik Elemen Link Terjadinya pastifikasi yang berpusat di elemen link akan memberikan nilai daktilitas yang relatif tinggi pada sistem portal EBF. Hal ini karena elemen link mempunyai kapasitas inelastik yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan elemen-elemen lainnya. Plastifikasi yang terjadi pada elemen link disebabkan oleh kombinasi geser dan momen yang bekerja pada kedua ujungnya. Berdasarkan kedua gaya yang bekerja ini, sifat keruntuhan link secara garis besar dapat dibagi keruntuhan akibat geser dan keruntuhan akibat momen. Gambar 2.11 Pembentukan sendi plastis geser II-29

Plastifikasi geser yang terjadi pada link ditandai dengan terbentuknya sendi plastis geser pada kondisi beban batas, yaitu V * p pada badan dan M * p pada sayap, seperti terlihat pada Gambar 2.11. Mekanisme terbentuknya sendi plastis geser pada elemen link dimulai ketika pada kedua ujungnya bekerja suatu gaya geser sebesar V. kedua gaya geser tersebut secara otomatis menimbulkan momen pada kedua ujung link, yaitu sebesar M 1 dan M 2 seperti terlihat pada Gambar 2.12. Apabila diasumsikan M 1 lebih besar dari M 2, dan gaya-gaya tersebut bertambah besar sehingga melewati kondisi batas maka kelelehan pertama akan terjadi pada ujung link sebelah kiri. Ketika gaya terus bertambah maka kelelehan selanjutnya akan berpindah dari ujung sebelah kiri ke ujung sebelah kanan, hal ini terjadi karena ujung sebelah kiri telah mencapai kapasitas gesernya. Seiring dengan bertambahnya gaya, maka plastifikasi ini akan merambat sepanjang zona plastis dari sayap ke badan. Perambatan plastifikasi ini terjadi karena adanya retribusi momen pada kedua ujung link. Ketika seluruh penampang link telah mengalami plastifikasi, maka tercapailah kondisi M 1 = M 2 = M p dan V = V p. (a) (b) Gambar 2.12 Keseimbangan dan plastisifikasi : a. keseimbangan sendi geser, b. plastisifikasi geser link 2.6.4. Sudut rotasi link Dalam perencanaan EBF, lokasi titik belok (inflection) biasanya diasumsikan terjadi pada link. Secara teoritis titik belok ini terjadi pada jarak M p /V p dihitung dari pengaku. Kondisi ini dipenuhi ketika link terletak simetris seperti ditunjukkan pada Gambar 2.13a. Dimana titik belok tersebut terletak di tengah link. Kondisi ini memungkinkan sendi plastis terbentuk pada tengah bentang, yaitu link. Akan tetapi ketika link yang terletak antara kolom dan bresing, rotasi kemungkinan akan terjadi pada permukaan kolom yang mengakibatkan regangan yang cukup besar pada daerah sayap kolom. Untuk EBF jenis ini, II-30

diasumsikan sendi plastis tidak terjadi pada tengah bentang seperti yang telah disebutkan sebelumnya, akan tetapi terjadi pada daerah dekat permukaan kolom. Leleh yang terjadi pada link akibat deformasi elastis dari elemen-elemen kaku pada sistem rangka menyebabkan terjadinya rotasi pada link. Sudut rotasi link ini merupakan sudut inelastik antara link dengan balok diluar link pada saat besar total simpangan lantai yang terjadi sama dengan simpangan lantai rencana seperti pada Gambar 2.13. Sudut rotasi link dihitung berdasarkan defleksi lateral yang terjadi sesuai dengan geometri rangka EBF yang digunakan. Untuk EBF yang menggunakan link tunggal pada tiap tingkatnya, sudut rotasi link dihitung dengan rumus: L* M γ p = (2.72) e* h Sedangkan apabila pada sistem EBF yang menggunakan 2 buah link pada tiap tingkatnya, maka sudut rotasi link dihitung dengan rumus: L* M γ p = (2.73) 2 e* h Dimana : γ p L h e M = sudut rotasi link (radian) = lebar bentang (m) = tinggi tingkat (m) = panjang link (mm) = simpangan inelastik maksimum antar lantai (mm) II-31

γ P γ P γ P Gambar 2.13 Sudut rotasi link 12) II-32