BAB II KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT WTO

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING. Dumping merupakan suatu kebijakan negara atau perusahaan dari suatu

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping

Bab I. Pendahuluan. adalah akumulasi keuntungan yang sebesar-besarnya (optimum profit). Tujuan ini

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

BAB I PENDAHULUAN. sekutu, maka dimulailah upaya membentuk lembaga-lembaga ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Praktek Dumping. Abstraksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws

BAB II HUKUM ANTI DUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Kata Kunci: Dumping, price undertaking, KADI, UMKM, BMAD.

KAJIAN YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 2

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

ANTIDUMPING CASE SETTLEMENT IN INDONESIA (In Case wheat flour import form Turkish)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis

BAB III KETENTUAN ANTI DUMPING DALAM GATT DAN KETENTUAN ANTI DUMPING DI INDONESIA

Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global

BAB III PENUTUP. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa

SKRIPSI PERANAN KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA DALAM PENCEGAHAN PRAKTIK DUMPING TERHADAP BARANG IMPOR OLEH : IMAN ARNAN B

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

DAMPAK DUMPING TERHADAP UMKM (USAHA MIKRO,KECIL DAN MENENGAH):Suatu kajian dalam perspektif Hukum Dagang Internasional. Oleh Ikarini Dani Widiyanti*

(Suci Hartati, SH, M.Hum) Abstrac

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

Conduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL. Aprilia Gayatri A Femita Adriani A

Disampaikan Oleh : Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H.

BAB II. Istilah dumping merupakan istilah yang dipergunakan dalam perdagangan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING. masuk ke semua negara anggota dengan bebas. Indonesia merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

UU 7/1994, PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA)

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DARI PRAKTEK DUMPING

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement.

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

Presiden Republik Indonesia

2 negara lain. Dari situlah kemudian beberapa negara termasuk Indonesia berinisiatif untuk membentuk organisasi yang berguna untuk mengatur seluruh pe

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1

BAB III ISI PUTUSAN DALAM SENGKETA DAGANG ANTARA INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN. argumentasi dari penggugat dan tergugat, akhirnya Panel mengeluarkan

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI

Pengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

JURNAL ILMIAH PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KOMODITI EKSPOR INDONESIA ATAS TUDUHAN DUMPING

IMPLIKASI PRINSIP MOST FAVOURED NATION DALAM UPAYA PENGHAPUSAN HAMBATAN PEDAGANGAN INTERNASIONAL

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 427 /MPP/Kep/10/2000 T E N T A N G KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dunia merupakan dua hal yang

BAB III PENUTUP. Liberalisasi perdagangan merupakan salah satu tujuan organisasi

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

TINJAUAN EKONOMI SYARIAH TERHADAP PRAKTIK DUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

WORLD TRADE ORGANIZATION Structure & Membership FETRYCIA ANGELA OCTORY/ KEN SWARI MAHARANI /

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari

kata kunci: Hak Kekayaan Intelektual ; Merek

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO)

UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU

BAB I PENDAHULUAN. di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang

BAB V PENUTUP. 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula. pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN

PERLINDUNGAN INDUSTRI DOMESTIK DALAM PERDAGANGAN BEBAS

IDENTITAS MATA KULIAH

Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional. By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI

LAPORAN PENDAHULUAN STUDI ANTISIPASI GATT

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI PERUNDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI. NOMOR 546/MPP/Kep/7/2002 TANGGAL 24 JULI 2002 TENTANG PEMBENTUKAN TIM BEA MASUK ANTI DUMPING

Membantu Indonesia Menyediakan Perlindungan terhadap Praktik Perdagangan yang Tidak Adil dan Lonjakan Impor

SALINAN. t,',?s r. *, J.Tnt NOMOR 17 TAHUN Menimbang : a. pembangunan nasional di bidang ekonomi dalam rangka memajukan kesejahteraan umum

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan yang sangat tajam. Para pelaku pasar di satu negara berlomba-lomba

BAB II HAMBATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA GATT/ WTO. A. Sejarah Lahirnya GATT 1947 Hingga Berdirinya World Trade

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya

BAB II PERJANJIAN TRIPS YANG DIKELUARKAN OLEH WTO DAN RATIFIKASI INDONESIA

MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI, M E M U T U S K A N :

Transkripsi:

BAB II KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT WTO A. Sejarah Terbentuknya GATT WTO Pada akhir Perang Dunia II, negara-negara pemenang Perang Dunia II berupaya menciptakan berbagai organisasi internasional yang diharapkan dapat mengatur tata cara dan aturan-aturan dalam sektor-sektor perekonomian, termasuk perdagangan dengan dilandasi semangat kerja sama internasional untuk membangun sistem perekonomian ke arah yang lebih baik. 25 Pada tahun 1944, dalam Konferensi Bretton Woods masyarakat internasional mendirikan suatu badan yang menangani masalah keuangan dan moneter internasional yang dinamakan International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional dan sekaligus membentuk International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau disebut pula Bank Dunia (World Bank) karena dianggap perlu adanya suatu organisasi yang melakukan tindakan untuk menangani masalah rekonstruksi dan pembangunan negara-negara yang mengalami kerusakan akibat perang. Selain itu, masyarakat internasional berupaya memasukkan isu perlu dibentuknya suatu organisasi internasional yang mengatur masalah-masalah perdagangan internasional di samping IMF dan World Bank. Oleh karena itu, timbullah suatu pemikiran untuk merencanakan 25 Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 3. 20

21 pembentukan International Trade Organization (ITO) atau Organisasi Perdagangan Internasional. 26 Amerika Serikat merupakan negara yang pertama kali mengusulkan perlunya pembentukan suatu Organisasi Perdagangan Dunia (ITO) pada tanggal 6 Desember. Menurut Amerika Serikat, tujuan pembentukan organisasi ini pada waktu itu adalah untuk menciptakan liberalisasi perdagangan secara bertahap, memerangi monopoli, memperluas permintaan komoditi dan mengkoordinasikan kebijakan perdagangan negara-negara. 27 Usul pembentukan ITO ini disambut baik oleh ECOSOC. Badan khusus PBB ini menyatakan keinginannya untuk menyelenggarakan suatu konferensi guna menyusun piagam internasional di bidang perdagangan. Sehingga akhirnya pertemuan penting diselenggarakan di Jenewa dari April sampai November 1947. 28 Pada tahun 1947, para perunding di Jenewa melaksanakan persiapan untuk merumuskan Piagam ITO yang kemudian diserahkan kepada delegasi negaranegara peserta pada Konferensi Havana 1948 (21 November 1947 24 Maret 1948). Pada Maret 1948, Konferensi Havana berhasil mengesahkan Piagam Havana (Havana Charter) yang telah disepakati dan ditandatangani oleh 53 negara. Namun sampai dengan pertengahan tahun 1950-an, negara-negara peserta menemui kesulitan dalam meratifikasinya sehingga pada akhirnya ITO tidak dapat terwujud. Hal ini disebabkan karena Kongres Amerika Serikat tidak dapat 26 Ibid., hlm. 3-4. 27 Huala Adolf, A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 6. 28 Ibid.

22 menyetujuinya dengan alasan adanya kekhawatiran berkurangnya kewenangan Amerika Serikat dalam menentukan kebijakan. 29 Akibat kegagalan atas didirikannya ITO, maka terdapat suatu kekosongan kelembagaan pada tingkat internasional di bidang perdagangan, sehingga untuk mengisi kekosongan tersebut maka GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang awalnya hanya merupakan suatu perjanjian interim, menjadi satusatunya instrumen di bidang perdagangan yang telah memperoleh konsensus untuk menjadi landasan dalam pengaturan tata cara perdagangan internasional. GATT sebenarnya hanya merupakan salah satu dari Chapters yang direncanakan menjadi isi Havana Charter mengenai pembentukan ITO, yaitu chapter yang menyangkut kebijaksanaan perdagangan (trade policy). 30 GATT yang berlaku sejak 1948 bukanlah suatu organisasi dan hanya merupakan persetujuan multilateral yang berisi ketentuan dan disiplin dalam mengatur perilaku negara-negara dalam kegiatan perdagangan internasional. Dokumen utama GATT yang berjudul The General Agreement on Tariffs and Trade terdiri atas 4 bagian dan 38 pasal. Tujuan dari persetujuan GATT ini adalah untuk menciptakan suatu iklim dalam perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan di dalam penanaman modal, lapangan kerja dan penciptaan iklim perdagangan yang sehat. 31 29 Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 5-6. 30 Ibid., hlm. 7. 31 Huala Adolf, A. Chandrawulan, op. cit., hlm. 1.

23 Selain itu, ada tiga fungsi utama GATT dalam mencapai tujuannya, yaitu: 32 Pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan multilateral yang mengatur tindak-tanduk perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan. Kedua, sebagai suatu forum perundingan perdagangan. Ketiga, adalah sebagai suatu pengadilan internasional di mana para anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota-anggota GATT lainnya. Masalah-masalah perdagangan dalam GATT diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang juga dikenal dengan nama Putaran Perdagangan (Trade Round) untuk mempercepat terwujudnya liberalisasi perdagangan internasional. Dalam GATT, ada beberapa kali diadakan Putaran Perdagangan sebelum WTO terbentuk, yaitu sebagai berikut: 33 1. Putaran Jenewa tahun 1947 (23 negara peserta), Putaran Annecy tahun 1949 (13 negara peserta), Putaran Torquay tahun 1950-1951 (33 negara peserta), Putaran Jenewa tahun 1956 (26 negara peserta), dan Putaran Dillon tahun 1960-1961 (26 negara peserta) hanya membahas masalah tarif (upaya penurunan atau penghapusan hambatan tarif perdagangan); 2. Putaran Kennedy tahun 1964-1967 diikuti oleh 62 negara peserta yang khusus membahas masalah tarif dan antidumping; 32 Ibid., hlm. 4. 33 Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 10.

24 3. Putaran Tokyo tahun 1973-1979 (102 negara peserta) yang membahas masalah tarif dan nontarif juga serangkaian persetujuan di bidang pertanian dan manufaktur; 4. Putaran Uruguay tahun 1986-1994 (123 negara peserta) yang membahas masalah tarif, hambatan nontarif, produk sumber daya alam, tekstil dan pakaian jadi, pertanian, produk tropis, pasal-pasal GATT, Tokyo Round Codes, antidumping, subsidi, kekayaan intelektual, aturan investasi, penyelesaian sengketa, sistem GATT, dan jasa. Dari perkembangan sejarah perundingan-perundingan GATT di atas dapat kita saksikan bahwa sejak Putaran Kennedy tahun 1964-1967 maka telah mulai diperluas bidang masalah-masalah yang dipersoalkan dalam rangka GATT, yang awalnya hanya membahas mengenai tarif, kemudian sejak Putaran Kennedy juga mulai membahas masalah-masalah yang bukan merupakan tarif (non tariff measures). 34 Selain itu, pada masa Putaran Uruguay tepatnya pada tanggal 15 April 1994, lebih dari 100 Menteri Perdagangan dunia bertemu di Maroko untuk menandatangani Putaran Uruguay sebagai kesepakatan perdagangan multilateral. Pada saat yang sama mereka juga mengesahkan suatu rencana masa depan untuk mengusulkan suatu pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization), dan setelah melalui serangkaian proses perundingan yang panjang, 34 S. Gautama, Segi-Segi Hukum Perdagangan Internasional (GATT dan GSP), (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 194.

25 akhirnya pada Pertemuan Tingkat Menteri Contracting Parties GATT di Marrakesh, Maroko 12-15 April 1994, disahkan Final Act 15 April 1994 tentang Pembentukan dan Tanggal Berlakunya World Trade Organization (Agreement Establishing the World Trade Organization) dan terbuka bagi ratifikasi oleh negara-negara serta mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 1995. 35 Pembentukan WTO oleh banyak pihak dipandang sebagai hasil yang sangat penting dari Putaran Uruguay dan pada kenyataannya merupakan kelanjutan dan pengembangan dari GATT 1947. Dengan demikian WTO menggantikan GATT 1947 yang telah berfungsi selama hampir lima puluh tahun secara de facto, sebagai organisasi antar negara bagi perdagangan internasional. 36 WTO berfungsi untuk mengatur dan memfasilitasi perdagangan internasional, dan tujuan utamanya adalah untuk menciptakan persaingan sehat di bidang perdagangan internasional bagi para anggotanya, sedangkan berdasarkan Pembukaan Persetujuan WTO, tujuan WTO adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan, menjamin terciptanya lapangan pekerjaan, meningkatkan produksi dan perdagangan serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dunia. Tujuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah untuk penyelesaian sengketa. 37 35 Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 14. 36 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 91. 37 Ibid., hlm. 92, lihat juga Christhophorus Barutu, op. cit.

26 B. Sejarah Perkembangan Ketentuan Antidumping Dalam dunia perdagangan internasional yang semakin berkembang pesat dewasa ini, setiap negara atau pengusaha dari suatu negara berusaha untuk dapat berkompetisi dalam pasar global melalui dukungan terhadap ekspor. Kompetisi tersebut tidak jarang mendorong para pelaku usaha untuk melakukan persaingan curang seperti praktik dumping (diskriminasi harga). Dalam hal ini, biasanya pelaku usaha asing akan menjatuhkan harga barangnya dengan tujuan agar barang yang dihasilkan oleh industri dalam negeri tidak mampu bersaing. Akibatnya, industri dalam negeri akan hancur dan gulung tikar. Bila ini terjadi, pelaku usaha asing akan menaikkan harga mereka dan pada gilirannya mereka akan mendapatkan pangsa pasar baru. 38 Oleh karena itu, untuk mengantisipasi praktik dumping ini diperlukan adanya suatu pengaturan secara internasional yang dapat mengatasi masalah praktik dumping. GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1948 dan merupakan persetujuan multilateral yang menentukan peraturan-peraturan bagi perilaku perdagangan internasional, telah mencantumkan suatu kebijakan antidumping guna mengatasi praktik dumping dalam Article VI The General Agreement on Tariffs and Trade 1947 (Pasal VI GATT 1947) 39 yang isinya mengatur tentang Antidumping and Countervailing Duties. Ketentuan Pasal VI GATT 1947 tersebut adalah sebagai berikut: The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less 38 Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 8. 39 Sukarmi, op. cit., hlm. 23.

27 than the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry. 40 Pasal VI (Article VI) GATT tersebut mengizinkan negara-negara peserta GATT untuk menerapkan sanksi antidumping terhadap negara yang telah melakukan dumping. Namun, penerapannya harus dibuktikan dengan kerugian material (material injury). Persyaratan kerugian material diterapkan untuk mencegah perdagangan curang dan melakukan proteksi guna melindungi industri dan pasar domestiknya. Tanpa adanya kerugian secara material maka suatu negara pengimpor tidak boleh melakukan tindakan anti dumping dan kewajiban kompensasi. 41 Pada awalnya, ketentuan GATT yang mengatur tata cara dan prosedur pelaksanaan antidumping dalam Article VI dirasakan masih bersifat tidak jelas dan perlu dipertegas serta diperluas, untuk itu perlu dilakukan suatu penyempurnaan melalui berbagai perundingan multilateral. Sehingga perbaikan pertama dicapai pada Putaran Kennedy tahun 1964-1967. Kemudian, diperbaharui lagi dalam Putaran Tokyo pada tahun 1973-1979, 42 sehingga menghasilkan Antidumping Code 1979 yang merupakan implementasi dari ketentuan pada Article VI dan telah disepakati serta mengikat 22 negara yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1980. Antidumping Code 1979 ini kemudian digantikan oleh Antidumping Code 1994 yang dihasilkan dalam Putaran Uruguay (1986-1994) dengan nama Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, instrumen hukum ini ditandatangani 40 The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1947), Article VI point 1. 41 Sukarmi, op. cit., hlm. 30. 42 Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 35.

28 bersamaan dengan penandatanganan Agreement Establishing the World Trade Organization di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994. Dengan demikian, Antidumping Code 1994 ini sudah merupakan suatu bagian integral dari Agreement Establishing the WTO, suatu institusi yang bertujuan antara lain untuk memajukan perdagangan bebas dunia di antara anggotanya. 43 Setelah Antidumping Code 1994 disepakati, maka semua negara anggota diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan selambatlambatnya sebelum WTO secara resmi berdiri, yaitu tanggal 1 Januari 1995, untuk mengadakan ataupun menyesuaikan undang-undang, peraturan-peraturan maupun prosedur administratif yang berkaitan dengan antidumping yang telah ada dimasing-masing negara anggotanya dengan ketentuan yang tercantum dalam Antidumping Code 1994. 44 Indonesia sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdagangan Multilateral, telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564). Dengan meratifikasi Agreement Establishing the WTO, Indonesia secara sekaligus telah meratifikasi pula Antidumping Code 1994. 45 Dan sebagai konsekuensinya, Indonesia kemudian membuat ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya dalam Undang-Undang 43 Ibid., hlm. 44. 44 Ibid., hlm. 19-20 lihat juga Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, Article 18.4. 45 Ibid., hlm. 19.

29 Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Nomor 3612) Tanggal 30 Desember 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93) Tanggal 15 November 2006. Ketentuan antidumping dalam Undang-Undang tersebut diakomodasi di dalam Bab IV mengenai Bea Masuk Anti-Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan, Pasal 18 dan 19. 46 Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ini yang kemudian menjadi dasar bagi pembuatan peraturan pelaksanaan tentang antidumping Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan yang kini telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan dan beberapa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Dari hal-hal di atas sudah begitu jelas perkembangan ketentuan antidumping dari sebelum GATT-WTO terbentuk sampai sekarang sehingga jelas pula perlindungan hukum yang mampu melindungi produk-produk dalam negeri dari praktik dumping yang terjadi di negara-negara anggota GATT-WTO khususnya di Indonesia. 46 Christhophorus Barutu, op. cit., hlm.130.

30 C. Pengertian dan Pengaturan Dumping serta Antidumping dalam Kerangka GATT WTO Dumping adalah sistem penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan harga yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga kembali). 47 Dalam Black s Law dictionary, Pengertian dumping dinyatakan sebagai, The act of selling in quantity at a very low price or practically regard less of the price; also selling (surplus goods) abroad at less than the market price at home. 48 Di mana dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebagai sebuah tindakan yang menjual barang dalam kuantitas harga yang sangat rendah atau hampir mengabaikan harga, juga menjual barang-barang luar negeri kurang dari harga pasar di tempat asalnya. Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, dumping adalah penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai yang wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga di pasar domestiknya atau di negara ketiga. Sedangkan pengertian dumping dalam Kamus Hukum Ekonomi diartikan sebagai praktik dagang yang dilakukan ekportir dengan menjual komoditi di pasaran Internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual 49 47 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua), (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 110. 48 Henry Campbell Black, Black s Law Dictionary, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1990), hlm. 347. 49 Departemen Perindustrian dan Perdagangan, op. cit.

31 kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor. 50 Menurut Agus Brotosusilo, secara umum, dumping adalah bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut. 51 Dan menurut Muhammad Ashri, dumping adalah suatu persaingan curang dalam bentuk diskriminasi harga yaitu suatu produk yang ditawarkan di pasar negara lain lebih rendah dibandingkan dengan harga normalnya atau dari harga jual di negara ketiga. 52 Selain itu, dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947 (Article VI GATT 1947), dumping didefenisikan sebagai: The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less than the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry. 53 Terjemahan bebas dari Pasal VI GATT di atas adalah Para pihak dalam perjanjian mengakui bahwa dumping, dimana barang-barang dari suatu negara diperdagangkan ke negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga normal dari barang tersebut, dilarang apabila dumping tersebut dapat menimbulkan kerugian materiil baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik. 50 A.F. Elly Erawati, J.S. Badudu, op. cit. 51 Sukarmi, op. cit., hlm. 25. 52 Ibid. 53 The General Agreement on Tariffs and Trade 1947, Article VI point 1.

32 Kemudian Putaran Uruguay memberikan pengertian dumping yang baru, yang merupakan penyempurnaan dari Article VI di atas, yang kini diatur dalam Article 2.1 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, yaitu: For the purpose of the agreement,a product is to be concidered as being dumped i.e introcduced into the commerce of another country at less than its normal value, if the export price of the product exported from one country to another is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country. 54 Article 2.1 di atas menjelaskan bahwa suatu produk dianggap sebagai dumping apabila harga barang yang diperdagangkan dari suatu negara ke wilayah negara lain lebih rendah dibandingkan nilai normal di negara barang tersebut, pada tingkat perdagangan yang wajar. Barang tersebut harus serupa dan ditujukan untuk dikonsumsi di negara tujuan ekspor. Berdasarkan beberapa pengertian di atas menunjukkan bahwa dumping adalah salah satu bentuk praktik perdagangan yang tidak sehat berupa diskriminasi harga dimana pengekspor menjual produk/ komoditinya ke negara lain dengan harga yang lebih murah (rendah) dari harga normal barang sejenis di negara sendiri maupun negara pengimpor, sehingga menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri di negara pengimpor. Harga/ nilai normal dapat diartikan sebagai harga untuk produk-produk yang sama yang dijual di negara sendiri atau di pasar pengekspor. Dengan menjual suatu jenis barang produksi ekspor dengan harga lebih rendah daripada pasar domestik (negara pengimpor) dapat menyebabkan matinya 54 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, Article 2.

33 pasar barang sejenis dari industri dalam negeri dan hal ini membuat barangbarang sejenis tidak lagi dapat bersaing secara kompetitif dan adil akibat perbedaan harga yang sangat jauh. Namun di balik itu semua, hanya praktik dumping yang menimbulkan kerugian yang dapat dikategorikan sebagai unfair trade practices. Oleh karena itu, untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping diperlukan sebuah kebijakan perdagangan yang dikenal dengan istilah antidumping. Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, Antidumping adalah tindakan kebijakan pemerintah negara pengimpor terhadap barang dumping yang merugikan industri dalam negeri melalui pembebanan bea masuk antidumping (antidumping duties). 55 Selain itu, antidumping juga dapat didefenisikan sebagai kebijakan yang dibuat atau diciptakan oleh pemerintah dalam suatu negara untuk mencegah timbulnya berbagai kegiatan curang oleh pelaku usaha asing melalui produk impor, perbuatan curang ini berkaitan dengan aspek harga dan produk. Negara yang merasa dirugikan dengan adanya dumping itu bisa melakukan tindakan balasan yang biasanya diwujudkan dalam bentuk pengenaan Bea Masuk Anti Dumping. 56 Tujuan hukum diciptakannya pengaturan anti dumping adalah upaya perlindungan bagi industri lokal atau nasional dalam suatu negara. Ketentuan mengenai antidumping diatur oleh GATT-WTO dalam Pasal VI (Article VI) GATT 1947 yang kemudian diimplementasikan dalam Agreement on 55 Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, op. cit., hlm. 22. 56 Romina Purnama, Hukum Antidumping Sebagai Pelindung Produk Industri dalam Negeri dalam Rangka ACFTA, (Skripsi Sarjana, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2012), hlm. 29.

34 Implementation of Article VI of GATT 1994 (Antidumping Code 1994). Pengaturan mengenai dumping dan antidumping dalam kerangka GATT-WTO dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Penentuan Dumping dalam GATT-WTO Dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947 terdapat kriteria umum bahwa tindakan dumping yang dilarang oleh GATT adalah dumping yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 57 a. Dumping yang dilakukan oleh suatu negara dengan di bawah harga normal atau less than fair value; b. Menyebabkan kerugian material atau ada ancaman atas kerugian material tersebut terhadap industri domestik yang memproduksi barang sejenis di negara pengimpor; dan c. Terdapat hubungan sebab akibat (causal link) antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi. Tindakan dumping yang memenuhi unsur-unsur di atas dilarang oleh GATT, sehingga GATT memberikan hak kepada para anggota GATT untuk dapat menerapkan tindakan-tindakan antidumping jika praktik dumping yang terjadi telah memenuhi unsur-unsur di atas. Namun, apabila telah dilakukan dumping yang dibawah harga normal/ less than fair value di negara pengimpor tetapi tidak menimbulkan kerugian, maka dumping itu tidak dilarang. Selanjutnya dalam pasal VI GATT 1947 tersebut diuraikan tentang pengertian less than fair value atau di bawah harga normal, yaitu: 58 57 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, op. cit., hlm. 39.

35 a. Jika harga ekspor produk yang diekspor dari satu negara ke negara lain kurang dari harga saing (comparable price) yang berlaku dalam pasar yang wajar, bagi produk sejenis itu ketika diperuntukkan bagi konsumsi di negara yang mengimpor; atau b. Jika dalam hal tidak terdapat harga domestik, maka harga tersebut harus lebih rendah dari harga saing tertinggi dari barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga dalam pasar yang wajar atau dengan biaya produksi di negara asal ditambah jumlah yang sepantasnya untuk biaya penjualan dan keuntungan. 2. Penentuan Kerugian dalam GATT-WTO Pasal VI ayat (1) GATT 1947 memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dilarang oleh GATT adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian material baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik. Pasal tersebut kemudian dijabarkan lagi dalam Pasal 3 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 yang menyatakan bahwa Penentuan kerugian dalam Pasal VI GATT didasarkan pada bukti-bukti positif dan melibatkan pengujian objektif mengenai: 59 a. Volume produk impor harga dumping dan dampaknya terhadap hargaharga di pasar dalam negeri untuk produk sejenis, dan b. Dampak impor itu terhadap produsen dalam negeri yang menghasilkan produk sejenis. 58 Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 40-41. 59 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, Article 3.1.

36 Sehubungan dengan adanya volume impor dengan harga dumping, pihak yang berwenang akan mempertimbangkan apakah telah terjadi peningkatan yang berarti dari impor produk dumping tersebut, baik dalam nilai absolut maupun relatif terhadap produksi atau konsumsi di negara pengimpor. Apabila akibat impor produk dumping itu berhubungan dengan harga-harga, pihak yang berwenang akan mempertimbangkan apakah ada pemotongan harga yang berarti pada impor produk dumping dibandingkan dengan harga produk sejenis negara pengimpor atau apakah akibat impor seperti itu tidak akan menekan harga-harga pada tingkat yang berarti. 60 Selanjutnya, pengujian dampak produk impor dengan harga dumping terhadap industri dalam negeri akan mencakup penilaian terhadap semua faktor ekonomi yang meliputi: penurunan penjualan dalam negeri, penurunan keuntungan, penurunan output (produksi), penurunan market share, penurunan produktivitas, penurunan utilisasi kapasitas produksi, gangguan terhadap Return On Investment, gangguan terhadap harga dalam negeri, the magnitute of dumping margin, perkembangan cash flow yang negatif, inventory meningkat, pengurangan tenaga kerja/ penurunan gaji dan PHK, gangguan terhadap pertumbuhan perusahaan, gangguan terhadap investasi, dan gangguan terhadap kemampuan meningkatkan modal. 61 Kesemua faktor ekonomi di atas tidak harus diderita oleh suatu perusahaan agar dapat dikatakan mengalami kerugian secara materil. Satu atau beberapa 60 Ibid., Article 3.2. 61 Ibid., Article 3.4.

37 faktor ekonomi saja sudah dapat menjadi petunjuk bahwa suatu perusahaan mengalami kerugian secara materil bergantung pada permasalahan yang ada. 62 Sebagaimana yang diketahui bahwa untuk terjadinya dumping harus ada causal link (hubungan sebab akibat) antara harga dumping dan kerugian yang terjadi. Hubungan sebab akibat tersebut dapat diketahui dengan menganalisis volume impor dumping dan pengaruh impor dumping pada harga di pasar domestik untuk produk sejenis. Apabila volume impor dumping semakin meningkat, sedangkan pangsa pasar petisioner dan pangsa pasar impor lain semakin menurun, volume impor dumping secara langsung turut mempengaruhi berkurangnya pangsa pasar petisioner. Selain itu, jika harga impor dumping berada di bawah harga petisioner atau memotong harga petisioner (price undercutting), dan atau harga petisioner mempunyai kecenderungan menurun secara terus menerus selama periode tiga tahun karena tekanan harga impor dumping (price depression), dan atau petisioner tidak dapat menjual harganya di atas biaya produksi (price suppression), harga impor dumping secara langsung mempengaruhi harga petisioner. 63 Sedangkan dalam membuat penentuan mengenai adanya ancaman kerugian material, maka harus mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut: 64 a. Laju kenaikan yang besar produk impor dengan harga dumping di pasar dalam negeri yang menunjukkan kemungkinan meningkatnya besar. 62 Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 45. 63 Ibid., hlm. 45-46. 64 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, Article 3.6.

38 b. Peningkatan yang berarti dalam kapasitas eksportir yang menunjukkan kemungkinan peningkatan yang berarti ekspor dengan harga dumping ke pasar anggota pengimpor dengan mempertimbangkan kemampuan pasar-pasar ekspor lain menyerap setiap tambahan ekspor. c. Apakah impor dengan harga yang akan mempunyai akibat menekan atau menahan atas harga-harga dalam negeri, dan akan meningkatkan permintaan impor selanjutnya. d. Persediaan produk yang sedang dalam penyelidikan. 3. Penyelidikan Awal dan Lanjutan Dalam Pasal 5 ayat (1) Antidumping Code 1994 dinyatakan bahwa Except as provided for in paragraph 6, an investigation to determine the existence, degree and effect of any alleged dumping shall be initiated upon a written application by or on behalf of the domestic industry. 65 Yang dalam terjemahan bebas dapat diartikan bahwa Penyelidikan untuk menentukan keberadaan, tingkat, dan akibat setiap tuduhan dumping akan diawali dari permohonan tertulis oleh atau atas nama industri dalam negeri. Permohonan tertulis tersebut akan meliputi adanya bukti: a. Dumping b. Kerugian dengan pengertian Pasal VI GATT c. Hubungan sebab akibat antara impor dumping dan kerugian yang dituduhkan. Permohonan akan berisi informasi sebagai berikut: 65 Ibid., Article 5.1.

39 a. Identitas pemohon dan gambaran volume serta nilai produksi dalam negeri produk sejenis pemohon. b. Deskripsi lengkap dari produk yang dituduh dumping, nama-nama pengekspor atau negara asal, identitas dari setiap eksportir serta daftar importir produk itu yang diketahuinya. c. Informasi harga produk yang dipermasalahkan ketika diperuntukkan tujuan konsumsi dalam negeri negara pengekspor dan informasi harga ekspor. d. Informasi mengenai evolusi volume dumping impor yang dituduhkan, pengaruh impor itu terhadap harga-harga produk sejenis di pasar domestik dan pada industri domestik. 66 Suatu penyelidikan tentang dumping tidak akan dimulai kecuali yang berwenang telah menentukan bahwa permohonan itu telah dibuat oleh atau atas nama industri domestik. Permohonan tersebut dianggap telah dibuat oleh atau atas nama industri domestik dengan syarat tertentu yaitu harus ada dukungan dari produsen-produsen domestik itu yang secara kolektif mempunyai output mewakili lebih dari 50 persen total produksi barang sejenis. Barang sejenis itu dihasilkan oleh bagian dari industri domestik yang menyatakan baik yang mendukung atau menolak permohonan tersebut. Akan tetapi, penyelidikan tidak akan dimulai apabila produsen domestik yang menyatakan mendukung permohonan berjumlah 66 Ibid., Article 5.2.

40 kurang dari 25 persen dari total produksi sejenis yang dihasilkan oleh industri domestik. 67 Setelah menerima petisi (permohonan penyelidikan dumping), maka penyidik berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh industri domestik dalam waktu 30 hari sudah harus menetapkan apakah telah terjadi dumping dan apakah ada bukti-bukti terjadinya kerugian material. Setelah ditemukan bukti-bukti tersebut, maka tujuh hari sebelum diumumkannya secara resmi tentang penyelidikan antidumping, pemerintah negara yang bersangkutan diberi tahu terlebih dahulu. Para eksportir diberi waktu 37 hari untuk mengisi dan mengembalikan pertayaan yang dikirim. Penyelidikan antidumping harus selesai dalam waktu satu tahun dan apabila diperlukan dapat diperpanjang maksimum tidak lebih dari 18 bulan. 68 4. Penghentian Penyelidikan Pada dasarnya suatu penyelidikan harus dihentikan bila salah satu dari de minimus standards dipenuhi, antara lain sebagai berikut: 69 a. Produsen yang mendukung permohonan jumlahnya kurang dari 25 persen dari produksi dalam negeri. b. Margin dumping kurang dari 2 persen dari landed export price. c. Volume impor dari satu negara kurang dari 3 persen dari total impor, kecuali volume impor dari semua negara yang diselidiki lebih dari 7 persen dari total impor. 67 Ibid., Article 5.4. 68 Sukarmi, op. cit., hlm. 50-51. 69 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, Article 5.8.

41 5. Pengenaan Bea Masuk Antidumping (Antidumping Duties) Terhadap praktik dumping, WTO memperkenankan anggotanya untuk melakukan sanksi berupa pemberlakuan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap barang perusahaan yang terindikasi kuat telah terjadi dumping. Pasal 9 dan 11 Antidumping Code 1994 mengatur penerapan dan pengumpulan bea masuk antidumping serta jangka waktu dan tinjauan BMAD dan penyesuaian harga. Dalam penerapan BMAD, hal penting yang perlu diperhatikan adalah: 70 a. Jumlah BMAD tidak akan melebihi selisih antara harga ekspor dengan nilai normal barang yang dipermasalahkan (margin of dumping). b. Hanya diterapkan sepanjang dan sejauh dibutuhkan untuk mengambil tindakan untuk menghapus kerugian yang diakibatkan oleh dumping. c. Dihentikan paling lambat lima tahun setelah diterapkan, kecuali terbukti bahwa hal ini akan menjurus kepada kerugian akibat dumping yang terus menerus dan berulang-ulang. Apabila telah diputuskan pengenaan BMAD, maka pemungutannya tidak boleh diskriminatif, dengan kata lain BMAD diterapkan kepada semua produk impor yang terbukti dumping dan menimbulkan kerugian, tanpa melihat asal barang tersebut. Selain BMAD, WTO juga mengatur tentang pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping Sementara (BMADS). BMADS dapat diterapkan untuk jangka waktu empat sampai sembilan bulan, tergantung pada keadaannya, dengan persyaratan sebelumnya telah ditemukan adanya dumping dan injury. 44. 70 Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, op. cit., hlm. 43-

42 6. Komisi Praktik Antidumping (Committee on Antidumping Practices) Perjanjian Putaran Uruguay (GATT-WTO) telah membentuk komite tentang praktik antidumping yang selanjutnya disebut komite yang terdiri atas wakil dari tiap anggota. Komite akan menjalankan tanggung jawabnya sebagaimana ditugaskan menurut persetujuan tersebut atau oleh para anggota. Komite akan memberikan kesempatan kepada para anggota untuk berkonsultasi mengenai setiap masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan atau kelanjutan dari tujuan-tujuannya. 71 Dalam menjalankan fungsinya, komite boleh berkonsultasi dan mencari informasi dari setiap sumber yang dianggap perlu. Akan tetapi, sebelum mencari informasi dari suatu sumber yang berada dalam daerah wewenang anggota, komite akan mengkonfirmasikan kepada anggota yang terlibat. Hal itu harus mendapat persetujuan dari anggota dan setiap perusahaan yang akan dikonsultasi. 72 7. Konsultasi dan Penyelesaian Sengketa GATT-WTO mengatur mengenai konsultasi dan penyelesaian sengketa dalam Pasal 17 Antidumping Code 1994. Langkah awal yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah adalah dengan melakukan konsultasi di antara para pihak yang terkena masalah. Jika konsultasi yang dilakukan gagal mencapai penyelesaian bersama, dan apabila tindakan akhir telah dilakukan oleh yang berwenang dari anggota pengimpor untuk mengenakan BMAD atau menerima penyesuaian harga, maka hal ini dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian 71 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, Article 16.1. 72 Ibid., Article 16.3.

43 Sengketa (Dispute Settlement Body/ DSB). Apabila suatu tindakan sementara mempunyai dampak berarti dan anggota yang meminta konsultasi mempertimbangkan bahwa tindakan yang diambil itu berlawanan dengan ketentuan mengenai tindakan sementara, maka anggota juga boleh merujuk masalah yang demikian kepada DSB. 73 Tindakan antidumping yang dilakukan berdasarkan ketentuan antidumping dalam GATT-WTO sebagaimana yang diuraikan di atas merupakan upaya untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping dan harus dilakukan secara adil dan proporsional sehingga dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan dunia usaha. D. Jenis Jenis Dumping dalam Praktik Perdagangan Internasional Para ahli ekonomi pada umumnya mengklasifikasikan dumping dalam tiga kategori, yaitu dumping yang bersifat sporadis (sporadic dumping), dumping yang bersifat menetap (persistent dumping) dan dumping yang bersifat merusak (predatory dumping). Di samping itu, dalam perkembangannya, muncul istilah diversinary dumping dan downstream dumping. Kelima jenis dumping tersebut masing-masing akan diuraikan sebagai berikut: 74 1. Sporadic Dumping Sporadic Dumping adalah dumping yang dilakukan dengan menjual barang pada pasar luar negeri (pasar ekspor) pada jangka waktu yang pendek dengan harga di bawah harga dalam negeri negara pengekspor atau biaya produksi 73 Ibid., Article 17.4. 74 Sukarmi, op. cit., hlm. 40-42.

44 barang tersebut. Dumping jenis ini merupakan diskriminasi harga pada waktu tertentu yang dilakukan oleh produsen yang mempunyai keuntungan karena terjadi over produksi (karena perubahan dalam pasar dalam negeri yang tidak terantisipasi atau buruknya perencanaan produksi). Untuk mencegah penumpukan barang di pasar domestik, produsen menjual kelebihan produksinya tadi kepada pembeli luar negeri dengan harga yang telah direduksi, sehingga harganya menjadi lebih rendah dari harga di dalam negeri. 2. Persistent Dumping Persistent Dumping atau disebut juga diskriminasi harga internasional adalah penjualan barang pada pasar luar negeri dengan harga di bawah harga domestik atau biaya produksi yang dilakukan secara menetap dan terus menerus yang merupakan kelanjutan dari penjualan barang yang dilakukan sebelumnya. Penjualan tersebut dilakukan oleh produsen barang yang mempunyai pasar secara monopolistik di dalam negeri dengan maksud untuk memaksimalkan total keuntungannya dengan menjual barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dalam pasar domestiknya. Dumping jenis ini biasanya terjadi karena perbedaan keadaan pasar di negara importir dan negara eksportir. 3. Predatory Dumping Predatory Dumping terjadi apabila perusahaan untuk sementara waktu membuat diskriminasi harga tertentu sehubungan dengan adanya para pembeli asing. Diskriminasi ini untuk menghilangkan pesaing-pesaingnya dan kemudian menaikkan lagi harga barangnya setelah persaingan tidak ada lagi. Predatory

45 Dumping adalah dumping yang paling buruk, karena dumping ini dipraktikkan hanya untuk tujuan merebut keuntungan monopoli dan membatasi perdagangan untuk jangka waktu yang lama, meskipun hal ini menyebabkan kerugian jangka pendek. 4. Diversinary Dumping Diversinary Dumping adalah dumping yang dilakukan oleh produsen luar negeri yang menjual barangnya ke dalam pasar negara ketiga dengan harga di bawah yang adil dan barang tersebut nantinya diproses dan dikapalkan untuk dijual ke pasar negara lain. 5. Downstream Dumping Downstream Dumping adalah dumping yang dilakukan apabila produsen luar negeri menjual produknya dengan harga di bawah harga normal kepada produsen yang lain di dalam pasar dalam negerinya dan produk tersebut diproses lebih jauh dan dikapalkan untuk dijual kembali ke pasar negara lain. Sementara itu Menurut Robert Willig, mantan kepala ahli ekonomi pada divisi Antitrust Departemen Hukum Amerika Serikat, ada lima tipe dumping berdasarkan tujuan dari eksportir, kekuatan pasar dan struktur pasar impor, yaitu sebagai berikut: 75 75 Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 33-34.

46 1. Market Ekspansion Dumping Perusahaan pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan Mark up yang lebih rendah di pasar impor karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah. 2. Cyclical Dumping Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait. 3. State Trading Dumping Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi moneternya. 4. Strategic Dumping Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di negara pengimpor melalui strategi keseluruhan dari negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor. 5. Predatory Dumping Istilah ini dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasaran, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping

47 jenis ini adalah matinya perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis di negara pengimpor. E. Dampak Praktik Dumping terhadap Negara Importir dan Eksportir Dampak dari praktik dumping dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi negara importir dan eksportir, yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Dampak Dumping di Negara Importir 76 ukur, yaitu: Dampak dumping di negara importir dapat dilihat dari beberapa tolak a. Tingkat produksi (level of output) Total output dari keadaan di bawah diskriminasi harga mungkin lebih besar dibandingkan dengan keadaan di bawah harga monopoli tunggal. Kenyataannya dalam pasar yang diskriminatif, jika setiap pembeli bersedia membayar sesuai dengan kurva permintaan klasik (pada saat permintaan meningkat harga akan meningkat, demikian juga sebaliknya), maka total output akan cenderung sama dengan output pada situasi industri yang sangat kompetitif. Bagi negara importir, diskriminasi harga dalam perdagangan internasional cenderung mengurangi hasil produksi dari produsen pesaing lokal, tetapi hal ini dapat meningkatkan hasil produksi dari industri hilir. 76 Ibid., hlm. 49-50.

48 b. Penyebaran pendapatan (income distribution) Di satu sisi, pesaing lokal yang merupakan produsen barang sejenis bisa kehilangan keuntungan karena praktik dumping ini. Karena itu, para pemegang saham akan kehilangan dividen dan beberapa pekerja mungkin akan kehilangan pekerjaan untuk sementara waktu. Di sisi lain, barang-barang dengan harga rendah ini akan secara langsung meningkatkan kondisi keuangan dari para konsumen. c. Dampak terhadap proses kompetisi dalam perdagangan internasional. Dampak dari diskriminasi harga terhadap proses kompetisi dalam perdagangan internasional adalah sebagai berikut: (1) Jika diskriminasi harga ini merupakan hasil transisi dari monopoli total ke kebiasaan yang lebih kompetitif, maka diskriminasi harga akan berpihak kepada persaingan. (2) Jika diskriminasi harga membantu proses pengrusakan kartel internasional, maka diskriminasi harga ini akan menjadi prokompetitif terhadap negara importir dan juga negara eksportir. (3) Jika diskriminasi harga merupakan bukti adanya praktik pemangsaan, maka diskriminasi harga bisa juga menjadi antikompetitif. Dalam perdagangan internasional, dumping tampaknya menguntungkan bagi industri hilir di negara pengimpor. Adanya produk impor dengan harga rendah (pada umumnya yang berbentuk bahan baku) akan meningkatkan keuntungan bagi industri dalam negeri yang menggunakannya.

49 2. Dampak Dumping di Negara Eksportir 77 Dalam pola diskriminasi harga internasional, pasar yang kurang elastis atau mempunyai peraturan bisnis yang sangat kaku, pada umumnya cenderung memberlakukan harga tinggi untuk konsumen dalam negeri. Di sisi lain, dengan memperluas kesempatan pasar ekspor, diskriminasi harga yang berupa dumping ini dapat menguntungkan konsumen dalam negeri dengan memungkinkan adanya biaya produksi yang rendah, investasi yang lebih besar untuk produk-produk baru dan juga peningkatan kapasitas produksi yang dapat menambahkan kesejahteraan dari konsumen barang dumping. Sebagai konsekuensi terhadap praktik dumping yang dilakukan oleh eksportir, maka akan terjadi pembatasan penjualan dalam negeri, sehingga akan membatasi untuk investasi pada penelitian dan pengembangan serta peningkatan sumber daya manusia. Disamping itu akan terjadi kecenderungan tertutupnya pasar negara pengekspor terhadap produk yang sejenis dari negara lain, terutama jika terjadi subsidi silang atas barang dumping tersebut. Hal ini dapat merugikan negara eksportir. F. Pengaruh Ketentuan Antidumping terhadap Perlindungan Industri dalam Negeri Lahirnya WTO menjanjikan harapan yang besar untuk dapat meletakkan kegiatan perdagangan internasional dalam suatu koridor hukum yang mengusung prinsip-prinsip perdagangan yang adil. Prinsip umum perdagangan bebas adalah 77 Ibid., hlm. 50-51.

50 menyingkirkan hambatan-hambatan teknis perdagangan dengan mengurangi atau menghilangkan tindakan-tindakan yang merusak perdagangan yaitu melalui upaya pengurangan tarif untuk menciptakan perdagangan yang baik. Perundingan perdagangan multilateral bertujuan untuk menghapuskan atau sekurangkurangnya mengurangi hambatan tarif dan nontarif dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas perdagangan internasional, baik yang meliputi nilai maupun volume barang yang diperdagangkan dimana jika arus perdagangan internasional lancar, secara otomatis, baik volume maupun nilai perdagangan akan meningkat secara simultan. 78 Dengan meningkatnya volume dan nilai perdagangan dalam tataran perdagangan yang fair, maka berimplikasi terhadap meningkatnya pertumbuhan industri sehingga semakin memperluas lapangan pekerjaan dan hal ini akan mampu mendorong meningkatnya perekonomian negara sehingga negara mampu memberikan kemakmuran bagi rakyatnya. Namun, di sisi lain hal ini dapat melahirkan masalah baru di mana dengan dibukanya pintu perdagangan yang bebas dengan kebijakan pengurangan atau penghapusan tarif dan nontarif, maka ada anggapan bahwa pasar dalam negeri akan semakin terbuka lebar terhadap barang-barang impor sehingga angka impor akan semakin besar dan menjadi tidak terkendali serta memungkinkan bagi importir untuk melakukan tindakan dumping yang pada akhirnya akan memukul dan menghancurkan produk-produk dalam negeri akibat tidak mampu bersaing dengan produk impor barang sejenis. Di sini terjadi persaingan dagang yang tidak sehat dan akan bermuara pada kehancuran 78 Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 30.

51 ekonomi suatu negara yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar GATT/WTO. 79 Demi melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, maka GATT/WTO mengeluarkan suatu instrumen kebijaksanaan perdagangan yang dikenal dengan istilah antidumping. Kebijaksanaan antidumping merupakan ketentuan-ketentuan yang menyoroti praktik dumping dan penjatuhan sanksi/ hukuman terhadap pelaku praktik dumping melalui upaya penetapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). Dalam WTO, keberadaan ketentuan antidumping diatur dalam Agreement on Implementation of Article VI of the GATT 1994 yang dikenal dengan sebutan Antidumping Code 1994 yang dihasilkan oleh Uruguay Round. Tindakan antidumping diberlakukan terhadap tindakan menjual suatu barang di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar dalam negeri (harga normal) di mana selanjutnya pemerintah negara pengimpor dapat mengenakan bea masuk antidumping untuk menutupi kerugian sebagai dampak dari dumping tersebut. 80 Namun, tindakan antidumping ini juga dapat disalahgunakan sebagai trik-trik perdagangan untuk melindungi industri di dalam negeri di suatu negara atau bahkan mematikan industri di suatu negara. Jika hal itu menjadi kenyataan, maka akan terjadi gejala proteksionisme. 81 Dengan demikian, produsen atau industri di dalam negeri cenderung meminta proteksi atau mengajukan petisi antidumping kepada pemerintah untuk menahan produk impor. 79 Ibid., hlm. 31. 80 Ibid., hlm. 32. 81 Dalam hal ini, proteksionisme merupakan suatu paham perlindungan untuk melindungi produsen dalam negeri dari persaingan asing dengan melarang impor atau memberlakukan tarif bea masuk yang tinggi.

52 Untuk mencegah terjadinya hal-hal tersebut maka WTO, dalam Antidumping Code 1994, mengatur tentang cara dan mekanisme untuk melakukan investigasi dan jangka waktu pengenaan antidumping yang bertujuan untuk mengatur agar negara-negara pengguna instrumen ini tidak melakukan praktik penyalahgunaan terhadap instrumen ini untuk melakukan proteksi yang berlebihan dan tidak perlu yang dapat menimbulkan ketidakpastian dalam perdagangan internasional. Selain itu juga mengatur suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang disebut Dispute Settlement Body (DSB), di mana negara-negara anggota WTO dapat mengajukan keberatan melalui DSB jika merasa dirugikan oleh penggunaan instrumen antidumping secara tidak proporsional oleh negara anggota lainnya.