BAB II KERANGKA HUKUM PERDAGANGAN BEBAS DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION. Perdagangan internasional pada Perang Dunia II berada dalam keadaan yang

dokumen-dokumen yang mirip
Conduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO)

I. PENDAHULUAN. yang berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya. Salah satu usaha

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World

BAB II HAMBATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA GATT/ WTO. A. Sejarah Lahirnya GATT 1947 Hingga Berdirinya World Trade

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009

IMPLIKASI PRINSIP MOST FAVOURED NATION DALAM UPAYA PENGHAPUSAN HAMBATAN PEDAGANGAN INTERNASIONAL

Pengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement.

PRINSIP WTO IKANINGTYAS

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI

UU 7/1994, PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10

IDENTITAS MATA KULIAH

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II PENGATURAN KEGIATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL

DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv

SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

BAB II KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT WTO

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION

BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2008

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dhiani Dyahjatmatmayanti, S.TP., M.B.A.

PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO (WORLD TRADE ORGANIZATION)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUMEN INTERNASIONAL DI BIDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB II KEDUDUKAN TARIF DALAM KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL MENURUT KETENTUAN WTO DAN AFTA

perdagangan, industri, pertania

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) saat ini merupakan satu satunya organisasi

BAB III KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DI INDONESIA. 1. Dasar Hukum Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI)

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) DISUSUN OLEH:

MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI, M E M U T U S K A N :

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas dunia merupakan dua hal yang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PRODUK BERAS DALAM NEGERI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. Oleh: Angelliyen

WORLD TRADE ORGANIZATION Structure & Membership FETRYCIA ANGELA OCTORY/ KEN SWARI MAHARANI /

Sessi. Dosen Pembina:

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana

BAB I PENDAHULUAN. sekutu, maka dimulailah upaya membentuk lembaga-lembaga ekonomi

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Perdagangan Internasional Dan Lingkungan Hidup

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

II TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Produksi dan Ekspor CPO (Crude palm Oil) Indonesia

Bab I. Pendahuluan. adalah akumulasi keuntungan yang sebesar-besarnya (optimum profit). Tujuan ini

RELEVANSI PRINSIP NON DISKRIMINASI DALAM WTO DARI SUDUT PELAYANAN JASA PARIWISATA BALI Oleh : I Kadek Setiawan, S.H. Kanwil Kementerian Hukum dan HAM

KAJIAN YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 2

BAB I. A. Latar Belakang

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1

Materi Minggu 5. Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional Pengertian, Instrumen dan Tujuan Kebijakan Ekonomi Internasional

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

BENTUK KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL.

BAB I PENDAHULUAN. Cina mulai mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO sejak Juli 1986

Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini.

RAHASIA DAGANG SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN PENGATURANNYA DI INDONESIA. Widyarini Indriasti Wardani * ABSTRACT

HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula. pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Presented by: M Anang Firmansyah IMF. system Perserikatan Bangsa-bangsa yang didirikan berdasarkan perjanjian

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LAPORAN AKHIR ANALISIS KESIAPAN INDONESIA DALAM PENERAPAN SAFEGUARD MEASURES PADA PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. terhadap negara lainnya merupakan salah satu faktor penyebab semakin maraknya

BAB II KEBIJAKAN KANDUNGAN LOKAL MENURUT KESEPAKATAN WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) AGREEMENT ON TRADE RELATED INVESTMENT MEASURES (TRIMS)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Penerapan Skema CEPT-AFTA Dalam Kerjasama Perdagangan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

SALINAN. t,',?s r. *, J.Tnt NOMOR 17 TAHUN Menimbang : a. pembangunan nasional di bidang ekonomi dalam rangka memajukan kesejahteraan umum

PENEGAKAN PRINSIP SPECIAL AND DIFFERENTIAL TREATMENT DALAM PERSEPEKTIF HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Kata Kunci: National Treatment, Pajak Impor Dalam Industri Telepon Genggam, Kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

Transkripsi:

BAB II KERANGKA HUKUM PERDAGANGAN BEBAS DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION A. World Trade Organization 1. Pendirian WTO Perdagangan internasional pada Perang Dunia II berada dalam keadaan yang tidak menentu. Banyak perangkat dari subsistem yang menunjang kelancaraan perdagangan yang telah merusak baik institusional maupun fisik. Dan pada akhir Perang Dunia II 1945, negara-negara sekutu sebagai pihak pemenang perang mulai mengambil upaya untuk membenahi sistem perekonomian dan perdagangan internasional berdasarkan kerjasama antarnegara. ECOSOC suatu badan dibawah PBB, pada sidang pertamanya telah mengambil resolusi untuk mengadakan konferensi guna menyusun piagam internasional di bidang perdagangan. Pada waktu yang bersamaan, pemerintah Amerika Serikat (AS) mengeluarkan suatu draft mengenai piagam untuk International Trade Organization (ITO) sebagai langkah menangani masalah perdagangan internasional pada bulan Februari 1946. 26 Suatu panitia persiapan ITO dibentuk dan bersidang di Landon 18 Oktober sampai 26 Desember 1946 sebagai langkah menyusun inisiatif tersebut. Panitia persiapan berhasil mengeluarkan suatu rancangan Piagam Landon (The Landon Draft Charter). Namun anggota peserta pertemuan itu gagal oleh karena AS (Amerika Serikat) sebagai salah satu peserta tidak bersedia meratifikasi mencapai kata sepakat untuk mengesahkan rancangan piagam tersebut. 26 H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO (Jakarta: Universitas Indonesia Press (UI Press), 1996), hlm. 64 18

19 Suatu pertemuan diadakan pada tanggal 21 November 1947 sampai dengan 24 Maret 1948 yang berlangsung di Havana. Pertemuan ini membahas piagam ITO oleh delegasi dari 66 negara. Pertemuan berhasil mengesahkan piagam Havana. Namun sampai dengan pertengahan tahun 1950 negara-negara peserta menemui kesulitan dalam meratifikasi piagam ITO. Dengan kegagalan ITO dijadikan realitas maka telah dibentuk apa yang dinamakan dengan GATT (General Agreement on Tariff and Trade). GATT sendiri sebenarnya menjelma setelah pada akhir Perang Dunia II, negara-negara yang telah menang perang ini tidak berhasil mendirikan apa yang mereka namakan International Trade Organization. Menurut tujuannya semula, maka ITO ini akan dibentuk sebagai Specialized Agency dari PBB. ITO ini semula diharapkan agar dapat membangun kembali sistem ekonomi moneter sebelum perang dunia dengan mengatasi kekurangan yang telah dikemukakan terhadap perdagangan bebas. 27 Sejarah GATT dipengaruhi oleh berbagai faktor politis, baik ekonomi maupun institusional di negara penandatanganan perjanjian. Dalam proses ke arah terwujudnya GATT dapat dicatat bahwa inisiatif utama untuk mengambil langkah, yang akhirnya sampai pada pembentukan GATT diambil Amerika Serikat dan sekutunya terutama Inggris, pada waktu Perang Dunia II masih melanda. GATT yang telah ditandatangani pada 30 Oktober 1947 oleh 23 negara, bukanlah merupakan suatu konstitusi atau anggaran dasar tetapi merupakan suatu Common Code Coducy untuk internasional. GATT merupakan alat untuk stabilisasi secara progresif dari tarif bea masuk dan merupakan forum untuk 27 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Perdagangan Internasional (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 108

20 konsultasi, forum perundingan untuk bicara secara berkala antara negara-negara peserta (Contracting Practicess-CPS). Disamping itu juga disediakan prosedur untuk konsiliasi dan penyelesaian sengketa atau biasa disebut dengan (Seetlement of Dispute Mechanism). GATT dibentuk sebagai suatu dasar wadah yang sifatnya sementara setelah Perang Dunia II. Pada masa itu timbul kesadaran masyarakat internasional akan suatu lembaga multilateral disamping Bank Dunia dan International Monetaring Fund (IMF). Kebutuhan akan adanya suatu lembaga multilateral yang khusus pada waktu ini sangat dirasakan benar. Pada waktu itu masyarakat internasional menemui kesulitan untuk mencapai kata sepakat mengenai pengurangan dan penghapusan berbagai kuantitatif serta diskriminasi perdagangan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terulangnya praktik proteksionisme yang berlangsung pada tahun 1930-an yang memukul perekonomian dunia. 28 GATT mendirikan usaha di Palais Des Nation dari Liga Bangsa-bangsa lama yang digantikan oleh PBB. Palais tersebut berada di Jenewa, dimana GATT sejak saat itu mendirikan bangunan kantor pusat untuk menempatkan sekretariatnya. Untuk mengurangi tarif dan rintangan perdagangan lainnya, perundingan GATT diselenggarakan dalam delapan putaran yang dimulai pada tahun 1947. Delapan putaran tersebut adalah Putaran Jenewa tahun 1947, Putaran Annecy tahun 1949, Putaran Turki tahun 1951, Putaran Jenewa tahun 1956, Putaran Jenewa (Dillon) tahun 1960-1961, Putaran Jenewa (Kennedy) tahun 1964-1967, Putaran Jenewa (Tokyo) tahun 1973-1979, Putaran Jenewa (Uruguay) tahun 1986-1994, dan Putaran Doha tahun 2001 yang masih berlangsung sampai dengan saat ini. 28 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 102

21 Sebagai hasil dari kesimpulan perundingan GATT Putaran Uruguay yang berhasil, pada tanggal 1 Januari 1995 maka WTO menggantikan Sekretariat GATT dan mulai mengatur sistem hukum perdagangan internasional. World Trade Organization adalah organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk mengatur dan menfasilitasi perdagangan internasional. WTO adalah suatu lembaga perdagangan multilateral yang permanen, peranan WTO akan lebih kuat daripada GATT. Hal ini secara langsung tercermin dalam struktur organisasi dan pengambil keputusan. 29 GATT sebagai lembaga yang telah mengalami transformasi telah menjelma sebagai suatu lembaga baru dengan wewenang dan wawasan substantif yang jauh lebih luas. Rangkaian perjanjian yang disepakati mencakup penyempurnaan aturan GATT yang ada. Dengan perluasan wewenang dan wawasan substantif tersebut maka WTO sebagai lembaga penerus GATT akan mempunyai peranan luas pada tahun-tahun mendatang. 2. Tujuan WTO Tujuan utama WTO adalah untuk menciptakan persaingan sehat di bidang perdagangan internasional bagi para anggotanya dan juga membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan perdagangan. Tujuan WTO adalah: 30 a. Untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan; b. Menjamin terciptanya lapangan pekerjaan; c. Meningkatkan produksi dan perdagangan serta; 29 Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional (Dalam Kerangka Studi Analisis), (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2005), hlm. 51 30 Suci Yunita Siregar, Penerapan Prinsip Non Diskriminasi pada Sistem Perdagangan Multilateral dalam Kerangka WTO (World Trade Organization), (Skripsi, Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara), hlm. 22

22 d. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia. Para pihak WTO memasuki suatu rencana timbal balik yang menguntungkan yang diarahkan untuk mengurangi tarif dan rintangan-rintangan pada perdagangan lainnya dan menghilangkan diskriminasi dalam perdagangan internasional. Dengan memperhatikan tujuan-tujuan di atas sangat umum sifatnya, yang mana rencana itu ditujukan untuk dapat memberikan sumbangannya secara tidak langsung pada tujuan ini melalui promosi perdagangan yang bebas dan multilateral. 3. Fungsi WTO WTO harus betul-betul menjalankan fungsinya secara baik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Ada tiga fungsi WTO dalam mencapai tujuannya, yaitu: 31 a. Sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negara-negara anggota dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan (the rule of the road for the trade). b. Sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan. Disini diupayakan agar praktik perdagangan dapat dibebaskan dari rintanganrintangan yang mengganggu (liberalism perdagangan). Selain itu, WTO mengupayakan agar aturan atau praktik perdagangan demikian itu menjadi jelas agar aturan atau praktik perdagangan demikian itu menjadi jelas (predictable), baik melalui pembukaan pasar nasional atau melalui penegakkan atau penyebarluasan pemberlakuan peraturannya. 31 Huala Adolf, Op. Cit., hlm. 98-102

23 c. Sebagai suatu pengadilan internasional dimana para anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota-anggota WTO lainnya. Fungsi penyelesaian sengketa ini sifatnya penting dan pengaturannya mengalami perkembangan yang menarik. WTO semula hanyalah aturan kesepakatan mengenai perdagangan internasional. WTO bukan lembaga khusus yang dilengkapi dengan badan khusus atau aturan khusus tentang penyelesaian sengketa perdagangan multilateral. WTO adalah satu-satunya instrument multilateral di bidang perdagangan internasional yang disepakati bersama dengan negara-negara anggotanya (Contracting Parties). Disamping pedoman bagi hubungan internasional, WTO juga merupakan forum dimana negara anggotanya dapat membahas dan menanggulangi masalah-masalah perdagangan yang dihadapi. Sesuai dengan fungsinya, WTO sebagai lembaga internasional yang mengatur sistem dan mekanisme perdagangan internasional yang telah menciptakan kerangka kerja dalam Uruguay Round. Tujuan dari putaran atau perundingan ini bertujuan untuk mempercepat liberalisasi perdagangan internasional. Putaran perundingan perdagangan ini mempunyai keuntungan-keuntungan sebagai berikut: 32 a. Perundingan-perdagangan memungkinkan para pihak secara bersama-sama dapat memecahkan masalah-masalah perdagangan yang cukup luas. b. Para pihak akan lebih mudah membahas komitmen-komitmen perdagangan di suatu putaran perundingan daripada membahasnya di lingkup bilateral. 32 Ibid., hlm. 99

24 c. Negara-negara sedang berkembang dan negara-negara kurang maju akan lebih memiliki kesempatan yang lebih luas dalam membahas sistem perdagangan multilateral dalam lingkup suatu perundingan dan akan lebih menguntungkan negara-negara berkembang dibandingkan apabila mereka berunding langsung dengan negara-negara maju. 4. Struktur Organisasi WTO Fungsi WTO terpenting adalah melancarkan pelaksanaannya, administrasinya serta lebih meningkatkan tujuan dan perjanjian pembentukan WTO akan menjadi forum negosiasi bagi para anggota di bidang yang menyangkut perdagangan multilateral, forum penyelesaian sengketa dan melaksanakan peninjauan atas kebijakan perdagangan, WTO dilengkapi dengan sejumlah organ yakni: 33 a. Ministrial Conference Ini merupakan organ utama yang anggotanya adalah seluruh negara anggota dan akan melakukan pertemuan sedikitnya dua tahun sekali. Organ ini akan menjalankan fungsi WTO, organ ini sekaligus memiliki kekuasaan untuk mengambil segala keputusan atas persoalan yang diatur salah satu Multilateral Trade Agreement jika dikehendaki oleh suatu anggota, sesuai dengan pernyataan khusus bagi pengambilan keputusan dalam perjanjian ini dan dalam Multilateral Trade Agreement lain yang relevan. b. General Council 33 Syahmin AK, Op. Cit., hlm. 51

25 Organ ini terdiri dari utusan negara anggota. Organ ini melaksanakan fungsi-fungsi Ministrial Confrence pada waktu diantara pertemuanpertemuan Ministrial Confrence, General Council juga akan melaksanakan tugas yang dibebankan padanya oleh perjanjian ini. Organ ini akan menetapkan prosedurnya sendiri, serta menyetujui peraturan procedural dari komite-komite WTO dan mengadakan pertemuan dibawah Multilateral Trade Agreement maupun Plurilatual Trade Agreement. c. Council for Trade in Goods (Dewan Perdagangan Barang) Dewan ini dibawah General Council yang bertugas memantau pelaksanaan persetujuan yang dicapai dibidang perdagangan barang. d. Council of Trade Aspects of International Property Rights (Dewan untuk aspek dagang yang terkait dengan HAKI) Badan ini dibawah General Council yang bertujuan memantau pelaksanaan persetujuan di bidang aspek perdagangan HAKI. e. Council of Trade in Service (Dewan Perdagangan Jasa) Badan ini dibawah General Council dan bertugas memantau pelaksanaan persetujuan yang dicapai dibidang perdagangan jasa dan mengakomodasi pemberitahuan dari negara-negara anggota dan menentukan bantuanbantuan teknis untuk negara-negara berkembang. f. Dispute Settlement Body (Badan Penyelesaian Sengketa) Badan ini dibawah Ministrial Conference yang menyelenggarakan forum pelaksanaan penyelesaian sengketa perdagangan yang timbul di antara negara anggota. Badan penyelesaian sengketa ini terdiri dari dua badan utama yaitu panel penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Panels) dan

26 badan banding (Appellate Body). Badan banding disini lebih merupakan alternatif terhadap rekomendasi ataupun putusan panel penyelesaian sengketa. g. Trade Policy Review Body (Badan Peninjauan Kebijakan Perdagangan) Badan ini dibawah Ministrial Conference yang bertujuan menyelenggaraan mekanisme pemantauan kebijakan dibidang perdagangan. Dalam memenuhi pelaksanaan kewajibannya badan peninjauan kebijakan perdagangan dapat menetukan sendiri prosedur dan ketentuan yang diperlukan. Seperti yang telah disebutkan diatas pada dasarnya tingkatan-tingkatan dalam WTO adalah sebagai berikut: a. Tingkat pertama : The Ministrial Conference b. Tingkat Kedua : General Council c. Tingkat Ketiga : Council untuk bidang perdagangan yang luas d. Tingkat Keempat : Subsidiary Bodies Selain badan-badan yang telah disebutkan diatas didalam WTO terdapat pula badan lain yang masih termasuk dalam struktur WTO dalam rangka mengantisipasi perkembangan perdagangan dunia. Badan-badan yang dimaksud adalah : committee on trade in aircraft, committee government procurement, international dairy council, international meat council, committee on trade and environment, committee on trade and development, committee on regional trade agreement, committee on balance of payment restrictions, committee on budget finance and administration and working parties on accesson. 34 34 Astim Riyanto, World Trade Organization (Organisasi Perdagangan Dunia) (Bandung: Yapemendo, 2003), hlm. 49

27 Mengenai keanggotaan suatu negara, dalam WTO disebutkan bahwa negaranegara anggota GATT pada saat persetujuan pembentukan WTO menjadi Original Members WTO sepanjang sudah memenuhi persyaratan mengenai komitmen dan konsesi. B. Prinsip Prinsip Perdagangan Bebas dalam Kerangka WTO 1. Perlindungan melalui Tarif GATT pada prinsipnya hanya memperkenalkan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya. (non-tarif commercial measures). Perlindungan melaui tarif ini menunjukkan dengan jelas tingkat perlindungan yang diberikan dan masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat. 35 Kebijakan untuk mengatur masuknya barang ekspor dari luar negeri, pengenaan tarif ini masih dibolehkan dalam GATT. Negara-negara GATT umumnya banyak menggunakan cara ini untuk melindungi industri dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan bagi negara yang bersangkutan. Meskipun dibolehkan, penggunaan tarif ini tetap tunduk pada ketentuanketentuan GATT. Misalnya saja, pengenaan atau penerapan tarif tersebut sifatnya tidak boleh diskriminatif dan tunduk pada komitmen tarifnya kepada GATT/WTO. Komitmen tarif ini maksudnya adalah tingkat tarif dari suatu negara terhadap suatu produk tertentu. Tingkat tarif ini menjadi komitmen negara tersebut menjadi komitmen negara tersebut yang sifatnya mengikat. Oleh karena itu, suatu negara 35 Huala Adolf, Op. Cit., hlm. 114

28 yang telah menyatakan komitmennya atas suatu tarif tidak dapat semena-mena menaikkan tingkat tarif yang telah ia sepakati, kecuali diikuti dengan negosiasi mengenai pemberian mengenai kompensasi dengan mitra-mitra dagangnya (Pasal XXVII). 36 Perlu dikemukakan disini bahwa negosiasi tarif di antara negara-negara merupakan salah satu pekerjaan GATT (yang juga sekarang dilanjutkan oleh WTO). Tujuan GATT dalam hal ini adalah berupaya menurunkan tingkat tarif ke titik atau level yang serendah-rendahnya. Ketika GATT terbentuk pada tahun 1948 sampai dengan disahkannya perjanjian hasil Putaran Uruguay, tingkat tarif yang diterapkan negara-negara telah turun cukup tajam. Dari rata-rata sebesar 38% di tahun 1948, pada tahun 1994 telah jatuh menjadi sekitar 4% saja. Dalam Putaran Uruguay, komitmen negara-negara terhadap akses pasar yang lebih besar dicapai, antara lain melalui penurunan suku bunga yang dilakukan oleh lebih dari 120 negara. Komitmen negara-negara ini dituangkan dalam 22.500 halaman national tariff schedules. 37 Dalam pengurangan tarif ini, WTO mensyaratkan agar pengurangan tersebut dapat diturunkan sampai 40% (khususnya terhadap produk-produk industri di negara-negara maju) untuk jangka waktu lima tahun (tahun 2000). Pada waktu putaran Uruguay ditutup (1994), tingkat tarif yang umumnya berlaku adalah sekitar 6,8%. Dengan tingkat tarif yang menurun demikian, diharapkan akan 36 Ibid., hlm. 114-115 37 Ibid., hlm. 115

29 terjadi peningkatan penerimaan produk-produk industri maju yang memperoleh pembebasan bea masuk (yakni dari 20% menjadi 4% di negara-negara maju). 38 Seperti halnya tarif, GATT juga mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk menerapkan prinsip transparansi. Prinsip ini pula yang menjadi kunci bagi prasyarat perdagangan yang pasti (predictable). Prinsip transparansi ini mensyaratkan keterbukaan atau transparansi hukum atau perundang-undangan nasional dan praktik perdagangan suatu negara. Cukup banyak aturan dalam perjanjian WTO memuat prinsip transparansi yang mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk mengumumkan pada lingkup nasional dengan menerbitkan pada lembaran-lembaran resmi negara atau dengan cara memberitahukannya secara formal kepada WTO. 39 2. Non Diskriminasi Prinsip ini meliputi : Prinsip Most Favoured Nation (MFN Principle,), dan Prinsip National Treatment (NT Principle) a. Prinsip Most Favoured Nations (MFN) Prinsip ini diatur dalam Article I section (1) GATT 1947, yang berjudul General Favoured National Treatment, merupakan prinsip Non Diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO. Article I section (1) GATT 1947 mengharuskan perlakuan MFN atas semua konsesi tarif yang telah diperjanjikan oleh para pesertanya dengan menentukan bahwa : 40 With respect to custom, duties and charges and any kind imposed on or in connection with importation or exportation or imposed or the international transfer of payment for imports and exports, and with respect to all rules and formalities in connection with importation and exportation; and with respect to all matters referred to in paragraph 2 and 38 Ibid. 39 Ibid., hlm. 116 40 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 41-42

30 4 of Article III, any advantage, favour, privilege, or immunity granted by contracting, party to any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negaranegara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta menyangkut biaya-biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat (immediately and anconditionally) terhadap produk yang berasal atau yang ditujukan kepada semua anggota GATT. Karena itu, suatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Maksudnya apabila suatu negara pertama memberikan kemudahan atau fasilitas perdagangan internasional kepada negara kedua, maka kemudahan serupa harus pula diberikan kepada negara ketiga, keempat, dan seterusnya. Dengan kata lain, suatu negara yang memberikan keuntungan kepada negara yang satu, wajib menyebarluaskan keuntungan yang serupa kepada negara lainnya. 41 Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat (immediately and unconditianally) terhadap semua produk yang berasal atau yang diajukan kepada semua anggota GATT. Oleh karena itu, suatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Prisip ini tampak dalam Paal 4 perjanjian yang terikat dengan hak kekayaan intelektual (TRIPs) dan tercantum pula dalam Pasal 2 Perjanjian mengenai jasa (GATs). 42 41 Ibid., hlm. 42 42 Ibid., hlm. 108-109

31 Semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya prinsip ini mendapat pengecualian-pengecualiannya, khususnya dalam menyangkut kepentingan negara sedang berkembang. Jadi, berdasarkan prinsip itu, suatu negara anggota pada pokoknya dapat menuntut untuk diperlakukan sama terhadap produk impor dan ekspornya di negara-negara anggota lain. 43 Terdapat beberapa pengecualian dalam prinsip ini, pengecualian tersebut sebagian ada yang ditetapkan dalam pasal-pasal GATT itu sendiri dan sebagian lagi ada yang ditetapkan dalam putusan-putusan dalam konferensi GATT melalui suatu penanggalan (waiver) dan prinsip-prinsip GATT berdasarkan Pasal XXV. Pengecualian yang dimaksud adalah sebagai berikut: 44 1) Keuntungan yang diperoleh karena jarak lalu lintas (frontier traffic advantage), tidak boleh dikenakan terhadap anggota GATT lainnya (Pasal VI). 2) Perlakuan preferensi di wilayah-wilayah tertentu yang sudah ada (misalnya kerja sama ekonomi dalam British Commonwealth ; the French Union (Perancis dengan negara-negara bekas koloninya); dan Banelux (Banelux Economic Union), tetap boleh terus dilaksanakan namun tingkat batas preferensinya tidak boleh dinaikkan (Pasal I ayat 2-4. 3) Anggota-anggota GATT yang membentuk suatu Customs Union atau Free Trade Area yang memenuhi persyaratan Pasal XXIV tidak harus 43 Ibid., hlm. 109 44 Ibid., hlm. 109-110

32 memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya. Untuk negara-negara yang membentuk pengaturan-pengaturan prefensial regional dan bilateral yang tidak memenuhi persyaratan Pasal XXIV, dapat membentuk pengecualian dengan menggunakan alasan penanggalan (waiver) terhadap ketentuan GATT. Penanggalan ini dapat pula dilakukan atau diminta oleh suatu negara anggota. Menurut prinsip ini, suatu negara dapat, memohon pengecualian dari kewajiban tertentu yang ditetapkan oleh GATT ketika ekonominya atau keadaan perdagangannya dalam keadaan yang sulit. 4) Pemberian prefensi tarif oleh negara-negara maju kepada produk impor dari negara yang sedang berkembang atau negara-negara yang kurang beruntung (least developed) melalui fasilitas Generalized System of Preference (sistem preferensi umum). Menurut Muhammad Sood, Pengecualian terhadap prinsip Most Favoured Nations (MFN) sebagaimana diatur dalam Article XXIV GATT 1947, yaitu tidak berlaku: 45 1) Dalam hubungan ekonomi negara-negara anggota Free Trade Area/Customs Union dengan negara-negara yang bukan anggota, misalnya antara negara anggota AFTA (Indonesia) dengan India. 2) Dalam hubungan dagang antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang melalui GSP (Generalized System of Preferences). Pengecualian lainnya adalah apa yang disebut dengan ketentuan pengamanan (safeguard rule). Pengecualian ini mengakui bahwa suatu 45 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 42

33 pemerintah, apabila tidak mempunyai upaya lain, dapat melindungi atau memproteksi untuk sementara waktu industri dalam negerinya. Pengaturan safeguard ini, yang diatur dalam Pasal XIX, memperbolehkan kebijakan demikian, namun hanya dipakai dalam keadaan-keadaan tertentu saja. Suatu negara anggota dapat membatasi atau menangguhkan suatu konsesi tarif pada produk-produk yang diimpor dalam suatu jumlah (kuantitas) yang meningkat dan yang menyebabkan kerusakan serius (serious injury) terhadap produsen dalam negeri. Dalam tahun-tahun belakangan ini, cukup banyak anggota GATT yang menerapkan pengaturan bilateral diskriminatif yang juga sering kali disebut dengan voluntary export restraints (VERs). Kebijakan perdagangan ini dilakukan untuk menghindari salah satu isu yang cukup hangat dibahas dalam Putaran Uruguay yakni perdagangan tekstil. VERS adalah cara halus negara maju untuk menekan negara sedang berkembang yang umumnya adalah penghasil tekstil. Untuk membatasi masuknya produk tekstil ke dalam pasar dalam negerinya, negara maju secara halus menyatakan kepada negara berkembang untuk mengekspor tekstilnya dalam jumlah tertentu saja. Dalam hal ini, negara maju menekankan bahwa pembatasan jumlah tersebut semata-mata haruslah sukarela sifatnya yang datang atau berasal dari kehendak negara berkembang. 46 GSP merupakan salah satu pengecualian dari prinsip non diskriminasi khususnya Prinsip MFN (Most Favoured Nations) sebagaimana diatur dalam 46 Ibid., hlm. 110-111

34 Article XXIV GATT 1947, yakni pengecualian dalam hubungan dagang antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang yang berlaku sejak 1971. Pada dasarnya GSP ialah sejenis bantuan atau fasilitas dalam perdagangan internasional yang diberikan oleh pemerintah dari suatu negara maju kepada negara berkembang, seperti : batuan pemerintahan Inggris kepada negara-negara berkembang yang merupakan anggota Commonwealth; bantuan Perancis melalui organisasi French Union; bantuan pemerintah Belanda terhadap Indonesia melalui IGGI (International Government Group of Indonesia) dan bantuan pemerintah Amerika kepada negara-negara Timur Tengah (Israel, Mesir, Jordania, Turki), demikian pula kepada Afghanistan, Pakistan, India dan Korea Selatan. Bantuan ini bukan semata-mata ditujukan untuk pengembangan ekonomi, akan tetapi lebih bernuansa politik sebagai salah satu cara guna menekan negaranegara berkembang agar tetap mengikuti kebijakan dari negara-negara maju. Dengan demikian, bantuan tersebut dapat dicabut apabila negara-negara penerima bantuan tidak melaksanakan kepentingan negara maju (pemberi GSP), terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tidak mendukung demokratisasi social, mengabaikan lingkungan hidup (tidak pro lingkungan) dan sebagainya. 47 b. Prinsip National Treatment (NT) Prinsip National Treatment terdapat dalam Pasal III GATT. Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Prinsip ini berlaku luas. Prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Ia berlaku pula terhadap perundang-undangan, pengaturan dan 47 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 43

35 persyaratan-persyaratan (hukum) yang memengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan terhadap proteknisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif. 48 Prinsip National Treatment dan prinsip MFN merupakan prinsip sentral dibandingkan dengan prinsip-prinsip lainnya dalam GATT. Kedua prinsip ini menjadi prinsip pada pengaturan bidang-bidang perdagangan yang kelak lahir di dalam perjanjian putaran Uruguay. Misalnya, prinsip ini tercantum dalam Pasal 3 perjanjian TRIPs. Kedua prinsip diberlakukan pula dalam the General Agreement on Trade in Service (GATs). Dalam GATs, negara-negara anggota WTO diwajibkan untuk memberlakukan perlakuan yang sama (MFN treatment) terhadap jasa-jasa atau para pemberi jasa dari suatu negara dengan negara lainnya. Meskipun demikian, perjanjian WTO membolehkan suatu negara untuk meminta pembebasan dari penerapan kewajiban MFN ini yang mencakup upayaupaya tertentu (specific measures) yang pada mulanya tidak dapat menawarkan perlakuan demikian. Untuk maksud tersebut, ketika suatu negara meminta pembebasan kewajiban MFN, permintaan tersebut akan ditinjau setiap lima tahun. Pembebasan dari penerapan kewajiban MFN ini hanya boleh dilakukan untuk jangka waktu 10 tahun. Prinsip national treatment merupakan suatu kewajiban dalam GATS yang mana negara-negara secara eksplisit harus menerapkan prinsip ini terhadap jasajasa atau kegiatan jasa-jasa tertentu. Oleh karena itulah prinsip National 48 Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 111-112

36 Treatment atau perlakuan nasional ini pada umumnya merupakan hasil dari negosiasi atau perundingan di antara negara-negara anggota. 49 Prinsip ini diatur dalam Article III GATT 1947, berjudul National Treatment on International Taxation and Regulation, yang menyatakan bahwa, this standard provides for inland parity that is say equality for treatment between nation and foreigners. Berdasarkan ketentuan diatas, bahwa prinsip ini tidak menghendaki adanya diskriminasi antarproduk dalam negeri dengan produk serupa dari luar negeri. Artinya, apabila suatu produk impor telah memasuki wilayah suatu negara karena diimpor, maka produk impor itu harus mendapat perlakuan yang sama, seperti halnya pelakuan pemerintah terhadap produk dalam negeri yang sejenis. 50 Menurut Mosler dalam Mahmul Siregar, bahwa unsur-unsur penting yang terkandung dalam Prinsip National Treatment adalah sebagai berikut: 51 1) Adanya kepentingan lebih dari satu negara 2) Kepentingan tersebut terletak di wilayah yuridiksi suatu negara. 3) Negara tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik terhadap kepentingan sendiri maupun kepentingan negara lain yang berada di wilayahnya. 4) Perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi negara tuan rumah sendiri dan merugikan kepentingan negara lain. Penerapan prinsip National Treatment merupakan pencerminan dari pembatasan kedaulatan suatu negara. Hal ini kerapkali diperjanjikan dalam rangka 49 Ibid., hlm. 112-113 50 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 43-44. 51 Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal (Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005) hlm. 67-68

37 mewujudkan suatu kompromi antara kepentingan nasional dengan kepentingan internasional yang sering bertentangan. Sehubungan dengan hal tersebut menurut Herman Mosler dalam Taryana Sunandar 52 menyatakan bahwa, Prinsip National Treatment semata-mata merupakan urusan hukum nasional yang termasuk yuridiksi domestik suatu negara. Sehingga sukar dituntu berdasarkan hukum internasional. Namun demikian, dalam praktik terutama dalam perjanjian bisnis internasional, prinsip ini sering dipergunakan. Menurut Taryana Sunandar, tujuan prinsip ini adalah untuk menciptakan harmonisasi dalam perdagangan internasional agar tidak terjadi perlakuan yang diskriminatif antara produk domestik dan produk impor, artinya kedua produk tersebut harus mendapatkan perlakuan yang sama. 53 3. Resiprositas (Reciprocity) Prinsip resiprositas (Reciprocity Principle) yang diatur dalam Article II GATT 1947, mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik diantara sesama negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional. Artinya, apabila suatu negara, dalam kebijaksanaan perdagangan internasionalnya menurunkan tarif masuk atas produk impor dari suatu negara, maka negara pengekspor produk tersebut wajib juga menurunkan tarif masuk untuk produk dari negara yang pertama tadi. Berdasarkan prinsip ini diharapkan setiap negara secara timbal balik saling memberikan kemudahan bagi lalu lintas barang dan jasa. Dengan demikian, 52 Taryana Sunandar, Perdagangan Hukum Perdagangan Internasional dari GATT 1947sampai terbentuknya WTO,(Jakarta: BPHN, Departemen Kehakiman RI, 1996), hlm. 25 53 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 44-45

38 pada akhirnya diharapkan setiap negara akan saling menikmati hasil perdagangan internasional yang lancar dan bebas. 54 Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip ini tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tariff yang didasarkan atas dasar timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Paragraf 3 Preamblue GATT menyatakan sebagai berikut. 55 Being desirous of contributing to these objectives by entering into reciprocal and mutually advantageous arrangements directed to the substantial reduction of tariffs and other varries to trade and to the eliminations of discriminatory treatment in international commerce. Prinsip ini diterapkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang antara dua negara secara timbal balik, dan menghendaki adanya kebijaksanaan atau konsesi yang seimbang dan saling menguntungkan antara negara yang satu dengan yang lainnya dalam perdagangan internasional. 56 C. Pengecualian-Pengecualian Hukum WTO menyediakan peraturan-peraturan untuk menjembatani liberalisasi perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Peraturan-peraturan ini ada dalam wujud pengecualian yang sangat luas terhadap disiplin dasar dari WTO. Terdapat lima kategori utama dalam pengecualian ini : 1. Pengecualian umum yang terdapat di Pasal XX GATT 1994 dan Pasal XIV GATS; 54 Ibid., hlm. 45 55 Huala Adolf,Op. Cit., hlm. 116-117 56 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 45

39 2. Pengecualian untuk keamanan nasional dan internasional dalam Pasal XXI GATT 1994 dan Pasal XIV bis GATS; 3. Pengecualian dalam keadaan ekonomi yang darurat yang tercantum dalam Pasal XIX GATT dan the Agreement on Safeguards; 4. Pengecualian atas integrasi regional dalam Pasal XIV GATT 1994 dan Pasal V GATS; 5. Pengecualian atas dasar neraca perdagangan dalam Pasal XII dan XVIII:B GATT 1994 dan Pasal XII GATS; dan 6. Pengecualian untuk pembangunan ekonomi dalam Pasal XVIII:A GATT 1994 dan Enabling Clause. Pengecualian-pengecualian ini memerbolehkan anggota WTO, dalam situasi tertentu, untuk mengadopsi dan mempertahankan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan guna melindungi nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya yang sangat penting, meskipun peraturan atau tindakan-tindakan tersebut bertentangan dengan disiplin substantif yang terkandung dalam GATT 1994 atau GATS. Pengecualian-pengecualian ini secara jelas memerbolehkan anggota WTO, dalam situasi tertentu, untuk memberikan prioritas lebih tinggi terhadap nilai-nilai dan kepentingan sosial tertentu daripada liberalisasi perdagangan. 57 1. Pengecualian umum dalam Pasal XX GATT 1994 dan Pasal XIV GATS Pengecualian yang paling penting dalam menjembatani liberalisasi perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya adalah pengecualian umum yang tercantum dalam Pasal XX GATT 1994 dan Pasal XIV GATS. Dalam menentukan apakah suatu tindakan yang seharusnya tidak 57 Peter van den Bossche, Op. Cit., hlm. 52-53

40 konsisten dengan peraturan yang ada di GATT dapat dibenarkan berdasarkan Pasal XX GATT 1994, haruslah selalu dievaluasi: a. Pertama, apakah tindakan ini bisa sementara dibenarkan menurut salah satu pengecualian yang secara spesifik disebutkan dalam ayat (a) sampai (j) dalam Pasal XX; dan, kalau dapat dibenarkan, b. Kedua, apakah dalam pengaplikasian dari tindakan ini telah sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam kalimat pembukaan dalam pasal tersebut yang biasanya disebut sebagai chapeu dari Pasal XX. Pasal XX GATT 1994 dalam ayat (a) sampai (j) memberikan dasar pembenaran yang jumlahnya terbatas, dimana setiap dasar pembenar memiliki aplikasi persyaratan yang berbeda. Pasal XX dapat dijadikan dasar pembenaran terhadap tindakan-tindakan, diantaranya: a. Yang diperlukan guna melindungi moral/nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Pasal XX(a)); b. Yang diperlukan guna melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, binatang atau tumbuhan (Pasal XX(b)); c. Yang diperlukan guna menjaga kesesuaian dengan peraturan nasional, seperti peraturan kepabenan atau hak kekayaan intelektual, dimana peraturan tersebut pada hakekatnya tidak bertentangan dengan GATT (Pasal XX(d)); dan d. Yang berhubungan dengan konservasi sumber daya alam yang habis terpakai (Pasal XX (g)). Anggota WTO tidak dapat mendasarkan suatu tindakan pembenaran di luar apa yang sudah disebutkan dalam Pasal XX. Berdasarkan keputusan dalam kasus-

41 kasus di WTO terdahulu, keseimbangan antara liberalisasi perdagangan di satu sisi dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya, merupakan titik sentral dalam menginterpretasikan Pasal XX. Hal ini dapat diartikan bahwa interpretasi yang terlalu sempit tidaklah dibenarkan sama halnya dengan interpretasi yang terlalu luas. 58 Kesamaan antara Pasal XX GATT 1994 dan Pasal XIV GATS sangatlah mengejutkan. Tetapi, ada juga perbedaan di antara kedua pasal tersebut. Berdasarkan Pasal XIV (a) sampai (e) GATS, anggota WTO bisa membenarkan tindakan yang seharusnya tidak sesuai dengan GATS, antara lain jika: a. Diperlukan untuk melindungi moral/nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat atau untuk memertahankan ketertiban umum (Pasal XIV(a)); b. Diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, binatang atau tumbuhan (Pasal XIV(b)); atau c. Diperlukan untuk menjaga kesesuaian dengan peraturan nasional dimana peraturan tersebut pada hakekatnya tidak bertentangan dengan GATS (Pasal XIV(c)). 59 2. Pengecualian untuk keamanan nasional dan internasional dalam Pasal XXI GATT 1994 dan Pasal XIV bis GATS Menurut Pasal XXI GATT 1994 dan Pasal XIV bis GATS, anggota WTO bisa menerapkan suatu tindakan yang seharusnya dilarang oleh GATT atau GATS guna melindungi kedamaian dan keamanan nasional atau internasional. Pasal XXI(b) GATT 1994 dan Pasal XIV bis (b) GATS memperbolehkan anggota WTO untuk mengadopsi atau mempertahankan suatu tindakan yang dianggap 58 Ibid., hlm. 53-54 59 Ibid., hlm. 63

42 diperlukan guna melindungi kepentingan keamanan yang dianggap sangat fundamental seperti: a. Yang berkaitan dengan materi atom yang bisa memecah belah/fissionable materials (contoh: nuklir); atau b. Yang berkaitan dengan perdagangan persenjataan atau dalam bentuk materi lainnya, atau penyediaan jasa yang secara langsung atau tidak langsung digunakan untuk keperluan militer. 60 Anggota WTO juga diperbolehkan untuk menerapkan tindakan yang bertentangan dengan GATT atau GATS bila: a. Dalam keadaan perang atau keadaan darurat lainnya yang berkaitan dengan hubungan internasional; atau b. Untuk menjalankan kewajibannya sesuai dengan piagam PBB guna menjaga perdamaian dan keamanan internasional (seperti: sanksi ekonomi yang diterapkan oleh Dewan Keamaan PBB). 61 3. Pengecualian dalam keadaan ekonomi yang darurat yang tercantum dalam Pasal XIX GATT dan the Agreement on Safeguards; Aturan WTO juga mengatur mengenai pengecualian dalam keadaan ekonomi darurat. Pengecualian ini, yang diatur dalam Pasal XIX GATT 1994 dan Agreement on Safeguards, memerbolehkan anggota untuk mengadopsi tindakan yang seharusnya dilarang oleh WTO, dalam situasi terjadi adanya lonjakan impor yang menyebabkan, atau adanya ancaman yang akan menyebabkan, kerugian yang serius terhadap industri domestik. Tindakan ini tidak diatur dalam GATS, 60 Ibid., hlm. 67 61 Ibid., hlm. 67-68

43 tetapi sangatlah terbuka kemungkinan agar masalah ini diatur di masa yang akan datang untuk melengkapi GATS. Ketika anggota WTO ingin mengenakan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard), persyaratan-persyaratan yang sangat ketat dalam Pasal XIX GATT 1994 dan Agreement on Safeguards harus dipenuhi. Alasan dan persyaratan yang sangat ketat terhadap perdagangan yang fair. Pengeksporan tidaklah melakukan kesalahan produk impor tidak dijual dengan harga dumping atau diberikan subsidi. Tetapi hanya dikarenakan, produk impor yang sangat kompetitif sehingga mereka memenangkan persaingan terhadap produk domestik di pasar. Terdapat tiga kategori pengaturan yang diterapkan untuk tindakan-tindakan pengamanan perdagangan, yaitu peraturan yang berkaitan dengan: a. Karakteristik dari tindakan pengamanan perdagangan; b. Persyaratan substantif yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan tindakan pengamanan perdagangan; dan c. Persyaratan procedural di tingkat nasional dan internasional yang dipenuhi oleh anggota WTO bila ingin menerapkan tindakan pengamanan perdagangan. 62 4. Pengecualian atas integrasi regional Ketentuan WTO juga mengatur mengenai pengecualian atas integrasi regional. Pasal XXIV GATT 1994 (sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam Understanding on Article XXIV) dan Pasal V GATS memperbolehkan anggota WTO untuk perdagangan bebas dengan lebih cepat di antara anggota-anggota tertentu yang membentuk suatu kelompok. Ketika anggota WTO membentuk, 62 Ibid., hlm. 68-69

44 sebagai contoh, integrasi kepabeanan (customs union), mereka memberikan perlakuan berbeda yang lebih baik di antara mereka dalam hal perdagangan (seperti penghapusan seluruh bea masuk) yang mana tidak diberikan kepada anggota WTO lainnya yang bukan merupakan bagian dari customs union tersebut. Hal ini sangat bertentangan dengan kewajiban MFN yang terdapat dalam Pasal 1 GATT 1994. Pengecualian atas integrasi regional dapat dijadikan dasar untuk membenarkan suatu tindakan yang melanggar kewajiban MFN tersebut atau kewajiban lainnya dalam kerangka GATT 1994 dan GATS. 63 5. Pengecualian untuk pembangunan ekonomi Pengecualian terakhir yang diberikan oleh ketentuan WTO adalah pengecualian untuk pembangunan ekonomi untuk membantu negara berkembang. Hampir semua perjanjian di WTO mengatur mengenai perlakuan yang khusus dan berbeda (special and differential treatment) untuk anggota negara berkembang guna memfasilitasi mereka untuk masuk ke dalam sistem perdagangan dunia dan untuk mendorong pembangunan ekonomi mereka. Ketentuan ini, yang biasa disebut sebagai S&D treatment, bisa dibagi ke dalam enam kategori: a. Ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan peluang perdagangan anggota negara berkembang; b. Ketentuan untuk anggota WTO yang seyogyanya harus melindungi kepentingan anggota negara berkembang; c. Flexibilitas dari komitmen, dalam bentuk tindakan, dan penggunaan instrumen kebijakan; d. Jangka waktu transisi; 63 Ibid., hlm. 76

45 e. Bantuan teknis; dan f. Ketentuan yang berkaitan dengan anggota negara terbelakang (leastdeveloped-country Members). Enabling Clause, yang sekarang merupakan bagian dari GATT 1994, memerbolehkan anggota negara maju untuk memberikan perlakuan tarif yang lebih menguntungkan (preferensial) bagi impor yang berasal dari negara berkembang. Pengecualian ini memerbolehkan anggota untuk bertindak menyimpang dari kewajiban dasar perlakuan MFN dalam Pasal I:1 GATT 1994 dalam rangka untuk memajukan pembangunan ekonomi anggota negara berkembang. Sebagai contoh perlakuan yang diperbolehkan dalam kerangka Enabling Clause adalah: a. The Generalised System of Preference (GSP), dimana Uni Eropa memberikan perlakuan tarif preferensial kepada negara berkembang dengan persyaratan tertentu; b. Ketentuan Everything But Arms, dimana Uni Eropa tidak mengenakan bea masuk atau kuota untuk produk yang berasal dari negara terbelakang. 64 64 Ibid., hlm. 79-81