KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KE DEPAN 1

dokumen-dokumen yang mirip
KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

KENDALA, TANTANGAN DAN KEBIJAKAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PEMANTAPAN KETAHANAN DAN KEMANDIRIAN PANGAN NASIONAL KE DEPAN 1. oleh : Achmad Suryana 2

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

ARAH DAN STRATEGI PERWUJUDAN KETAHANAN PANGAN

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN

REVITALISASI PERTANIAN

Pangan Nasional Tahun

KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL 1

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN

Pendahuluan. Rakornas Bidang Pangan Kadin 2008

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

5 / 7

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus

PENDAHULUAN Latar Belakang

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Ketahanan Pangan dan Gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

Politik Pangan, Upaya Dalam Membentuk Sistem Ketahanan Pangan Nasional.

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: ANTISIPATIF DAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL. Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG KETAHANAN PANGAN DAN GIZI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG

PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN ANDALAN PEMBANGUNAN NASIONAL 1

BAB III KEBIJAKAN STABILISASI HARGA

Pelaksanaan Revitalisasi Pertanian

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. LATAR BELAKANG POKOK BAHASAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI KETAHANAN PANGAN NASIONAL Posisi Pangan dalam Pembangunan Nasional

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Rangkuman Kebutuhan Investasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

BAB IV VISI DAN MISI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG TAHUN

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

PENDAHULUAN Latar Belakang

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

Ketahanan Pangan dan Pertanian. disampaikan pada : Workshop Hari Gizi Nasional (HGN) ke-55

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Matrik Keterkaitan Dukungan Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG KETAHANAN PANGAN

Rencana Pembangunan Jangka Menengah strategi juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan tranformasi,

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

ARAH PEMBANGUNAN PERTANIAN JANGKA PANJANG

BAB VI LANGKAH KEDEPAN

TINJAUAN AKHIR (PEBRUARI 2005) :

JURIDIKTI, Vol. 6 No. 1, April ISSN LIPI :

BAB II PERENCANAAN KINERJA

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL I. PENDAHULUAN

Transkripsi:

KEBIJAKAN, KENDALA, DAN TANTANGAN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KE DEPAN 1 oleh : Achmad Suryana 2 I. PENDAHULUAN Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang setiap waktu merupakan hak azasi yang layak dipenuhi. Berdasar kenyataan tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintahan suatu negara. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu kebijakan pemantapan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan kerja bagi penduduk guna memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan merupakan dua komponen utama dalam perwujudan ketahanan pangan. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah terwujudnya stabilitas pangan nasional Sesuai Undang-Undang No 7 Tahun 1996, pangan dalam arti luas mencakup makanan dan minuman hasil-hasil tanaman dan ternak serta ikan baik produk primer maupun olahan. Dengan definisi pangan seperti itu tingkat ketersediaan pangan nasional untuk konsumsi diukur dalam satuan energi dan protein pada tahun 2000 sebesar 2992 Kkal/kapita/hari dan 80 gr protein/kapita/hari (Suryana, 2002). Angka tersebut telah melebihi standar kecukupan energi dan protein yang direkomendasikan dalam Widyakarya 1 Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Bidang IPTEK yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (DPP-IMM), Hotel Sopyan Cikini Jakarta, 12 Maret 2005 2 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian IV-96

Nasional Pangan dan Gizi VII Tahun 2000 masing-masing sebesar 2500 Kkal/kapita/hari dan 55 gr protein/kapita/hari ( LIPI, 2000). Walaupun secara makro ketersediaan pangan telah melebihi standar kecukupan energi dan protein, namun kecukupan di tingkat nasional tersebut tidak menjamin kecukupan konsumsi di tingkat rumahtangga atau individu. Tingkat konsumsi per kapita per hari rata-rata penduduk Indonesia pada tahun 1999 sebesar 1849 Kkal atau 82.2 persen dari standar kecukupan (BPS, Susenas 1999). Ketidakcukupan pangan ini tercermin pula adanya fakta (a) masih tingginya prevalensi balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk masing-masing 24.9 persen dan dan 7.7 persen pada tahun 1999 (Suryana, 2002) dan (b) proporsi rumahtangga rawan pangan di Indonesia tahun1999 yang diukur dengan indikator silang antara tingkat konsumsi energi 80 persen dari standar kecukupan dan pangsa pengeluaran pangan > 60 persen dari total pengeluaran mencapai sekitar 30 persen (Saliem, H.P et al, 2001), serta (c) jumlah penduduk miskin di Indonesia (yang juga dapat diidentikkan penduduk yang tidak atau kurang tahan pangan) pada tahun 1998 sebesar 24.23 persen (Irawan dan Romdiati, 1999). Permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini terkait dengan adanya fakta bahwa pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya (Suryana, 2002). Permintaan yang meningkat cepat tersebut merupakan resultante dari peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat dan perubahan selera. Sementara itu kapasitas produksi pangan nasional pertumbuhannya lambat bahkan stagnan disebabkan oleh adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dan air serta stagnannya pertumbuhan produktivitas lahan dan tenaga kerja pertanian. Ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan dan pertumbuhan kapasitas produksi nasional tersebut mengakibatkan adanya kecenderungan meningkatnya penyediaan pangan nasional yang berasal dari impor. Ketergantungan terhadap pangan impor ini terkait dengan upaya mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional. Makalah ini membahas kebijakan, kendala dan tantangan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional. Setelah mengungkap secara umum latar belakang pentingnya kebijakan pemantapan ketahanan pangan dan permasalahan utama yang dihadapi, selanjutnya disajikan keragaan perkembangan penyediaan pangan nasional, kebijakan yang ada serta kendala IV-97

dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional. Pada bagian penutup akan disampaikan perspektif ke depan upaya mewujudkan stabilitas penyediaan pangan nasional. Namun sebelum menguraikan lebih lanjut pokok bahasan makalah ini, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai program Departemen Pertanian, 2005-2009 secara singkat untuk memberikan gambaran masalah ketahanan pangan dalam program departemen Pertanian. II. PROGRAM DEPARTEMEN PERTANIAN 2005-2009 A. Ruh, Visi dan Misi Sebelum merumuskan kebijakan dan program, perlu digariskan apa yang selayaknya menjadi ruh yang merupakan nilai (value) dan jiwa (spirit), yang melandasi pembangunan dan penyelenggaraan pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian tanpa dilandasi ruh yang menjadi dasar pijakan akan kehilangan arah dan semangat yang akhirnya dapat menyimpang dari tujuan dan sasaran pembangunan. Apalagi untuk sektor pertanian yang obyek pembangunannya adalah benda hidup, yakni manusia, hewan, tanaman dan lingkungannya (human activity system), maka ruh pembangunan sangat diperlukan, agar pembangunan tidak bersifat eksploitatif dan merusak kelestarian dari obyek pembangunan. Seiring dengan semangat reformasi dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) oleh pemerintah yang bersih (clean government), maka selayaknya semangat reformasi ini dijadikan sebagai ruh di dalam pembangunan pertanian oleh Departemen Pertanian. Selain itu, semangat penyelenggaraan pemerintah yang baik oleh suatu pemerintahan yang bersih diharapkan dapat memperoleh hasil-hasil pembangunan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, ruh kepedulian harus menjadi nilai dan orientasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Tidak berlebihan jika Departemen Pertanian dalam penyelenggaraan pembangunan pertanian Indonesia melandaskan pada nilai dan ruh yang Bersih dan Peduli. Bersih berarti bebas dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), amanah, transparan dan akuntabel. Peduli berarti memberikan fasilitasi, pelayanan, IV-98

perlindungan, pembelaan, pemberdayaan, dan keberpihakan terhadap kepentingan umum (masyarakat pertanian) di atas kepentingan pribadi dan golongan (demokratis) dan aspiratif. Untuk mencapai visi Pembangunan Pertanian tersebut, Departemen Pertanian mengemban misi yang harus dilaksanakan periode 2005-2009 adalah: (1) Mewujudkan birokrasi pertanian yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi; (2) Mendorong pembangunan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan; (3) Mewujudkan ketahanan pangan melalui peningkatan produksi dan penganekaragaman konsumsi; (4) Mendorong peningkatan peran sektor pertanian terhadap perekonomian nasional; (5) Meningkatkan akses pelaku usaha pertanian terhadap sumberdaya dan pelayanan; (6) Memperjuangkan kepentingan dan perlindungan terhadap petani dan pertanian Indonesia dalam sistem perdagangan domestik dan global. B. Masalah dan Tantangan Paling sedikit ada tujuh tantangan (challenges) yang akan dihadapi dalam pembangunan pertanian periode 2005 2009 mendatang. Tiga tantangan di antaranya telah menjadi perhatian masyarakat dunia yang dituangkan dalam Millenium Development Goals yaitu: (1) penurunan proporsi jumlah penduduk miskin dengan pendapatan kurang dari 1 dolar AS per kapita per hari sebesar 50 persen selama periode 1990-2015; dan (2) penurunan proporsi jumlah penduduk yang kelaparan sebesar 50 persen selama periode 1990-2015 dan (3) pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik. 1. Membangun Pemerintahan yang Baik dan Memposisikan Pertanian sebagai Sektor Andalan Perekonomian Nasional Cara penyelengaraan pemerintahan yang baik (good governance) sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan pertanian, yaitu : bersih (clean), berkemampuan (competent), memberikan hasil positif (credible) dan secara publik dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Pembangunan pertanian akan berhasil jika diawali dengan cara penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dimana pemerintah merupakan agen pembangunan yang sangat menentukan IV-99

keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana membangunan pemerintahan yang bersih, berkemampuan, berhasil dan dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu, politik pertanian kita masih lemah. Walaupun semua komponen bangsa menyadari akan pentingnnya sektor pertanian dalam memperkuat struktur perekonomian nasional, perhatian pemerintah dan elit politik belum sebesar peran sektor pertanian itu sendiri. 2. Mewujudkan Kemandirian Pangan dalam Tatanan Perdagangan Dunia yang Bebas dan Tidak Adil Kecukupan pangan merupakan masalah hidup dan matinya suatu bangsa, sehingga kemandirian pangan merupakan prioritas tujuan pembangunan pertanian. Tantangan ke depan yang dihadapi dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan adalah meningkatnya derajat globalisasi pergangan dunia yang tidak adil. Sebagai anggota WTO, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling patuh menjalankan komitmen untuk mewujudkan perdagangan bebas. Indonesia sejak krisis ekonomi tahun 1998 telah mengurangi seluruh tarif bea masuk komoditi pertanian dan menghapus semua subsidi kepada petani, kecuali kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk gabah/beras. Namun banyak negara, khususnya negara maju, ternyata belum/tidak melaksanakan komitmen tersebut dengan baik, sehingga petani Indonesia dihadapkan pada persaingan tidak adil dengan petani dari negara-negara lain yang dengan mudah mendapat perlindungan tarif dan non tarif serta subsidi langsung dan tidak langsung dari pemerintahnya. Serbuan impor beberapa komoditas pangan utama meningkat, seperti beras, gula, kedelai, jagung dan daging sapi. Akibatnya komoditas pangan Indonesia kalah bersaing dengan komoditas pangan negara lain. Kalau ini dibiarkan terus, maka keberlanjutan pertanian pangan akan tidak terjamin yang berarti jutaan petani pangan akan kehilangan mata pencaharian. Indonesia juga menghadapi permasalahan dalam negeri yang berkaitan dengan produksi pangan yaitu: (1) upaya meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi jumlah petani gurem, sementara pada saat bersamaan muncul gejala pelambatan produktivitas dan penurunan nilai tukar petani; (2) upaya mempertahankan momentum pertumbuhan tinggi produksi pangan dan membalikkan kecenderungan deselerasi pertumbuhan produksi menjadi IV-100

akselerasi; (3) upaya mengatasi fenomena ketidakstabilan produksi; dan (4) upaya meningkatkan daya saing produk pangan. 3. Mengurangi Jumlah Petani Miskin, Membangun Basis bagi Partisipasi Petani, dan Pemerataan Hasil Pembangunan Krisis multi dimensi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 melonjak menjadi sekitar 32 juta orang (26%) di pedesaan dan sekitar 18 juta orang (22%) di perkotaan. Namun pada tahun 2002, jumlah tersebut telah menurun drastis menjadi sekitar 25 juta orang (21,1%) di pedesaan dan sekitar 13 juta orang (14,5%) di perkotaan. Dengan mengacu pada target tujuan pembangunan era milenium, maka pada tahun 2015 proporsi penduduk miskin akan menjadi 8,54 juta orang (7,15%) di pedesaan dan 4,52 juta orang (8,40%) di perkotaan. Oleh karena itu, selama periode 2002 2015, Indonesia harus mampu mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 16,46 juta orang (13,94%) di pedesaan dan 8,48 juta orang (6,10%) di perkotaan. Apabila hal ini dikaitkan dengan fakta bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk di wilayah pedesaan bergantung pada sektor pertanian, maka hal ini berarti bahwa permasalahan kemiskinan sangat terkait dengan sektor pertanian. Dalam kaitan itu, sektor pertanian berperan sangat strategis dalam pengentasan penduduk miskin di wilayah pedesaan karena sebagian besar penduduk miskin di wilayah pedesaan bergantung pada sektor tersebut. Dengan kata lain, sektor pertanian merupakan sektor yang sangat strategis untuk dijadikan sebagai instrumen dalam pengentasan penduduk miskin. Kemajuan sektor pertanian akan memberikan kontribusi besar dalam penurunan jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan. Demikian pula, basis bagi partisipasi petani untuk melakukan perencanaan dan pengawasan pembangunan pertanian harus dibangun sehingga petani mampu mengaktualisasikan kegiatan usahataninya secara optimal untuk menunjang pertumbuhan pendapatannya. Hasil-hasil pembangunan harus terdistribusi makin merata antar sektor, antar subsektor dalam sektor pertanian dan antar lapisan masyarakat agar tidak ada lagi lapisan masyarakat yang tertinggal dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan meningkat. IV-101

4. Meningkatkan Pertumbuhan Sektor Pertanian Pertumbuhan sektor pertanian sangat dibutuhkan untuk mengakselerasi perekonomian pedesaan. Sektor pertanian Indonesia, hingga saat ini masih sangat tergantung pada hasil primer, sehingga nilai tambah yang diperoleh masih rendah dan kurang kompetitif di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Ke depan, pemerintah harus dapat mendorong perkembangan produk pertanian olahan primer, selain untuk meningkatkan nilai tambah juga meningkatkan dan memperluas pangsa pasar di dalam dan luar negeri. Negara berkembang penghasil produk pertanian, saat ini banyak yang melakukan pengembangan produk pertanian untuk mensiasati perdagangan dunia yang tidak adil. Apabila hal dapat dilakukan maka sektor pertanian akan tumbuh lebih cepat dan tinggi lagi dibandingkan dengan yang telah dicapai selama ini. Pertumbuhan sektor pertanian yang makin cepat akan memacu pertumbuhan sektor-sektor lain secara lebih cepat melalui kaitan ke belakang dan ke depan dalam kegiatan produksi dan konsumsi. Dengan demikian, sektor pertanian akan lebih dikenal sebagai pengganda tenaga kerja, dan bukan sekedar pencipta kesempatan kerja. 5. Membangunan Sistem Agribisnis Terkoordinatif Struktur agribisnis kita saat ini dapat digolongkan sebagai tipe dispersal. Struktur agribisnis dispersal dicirikan oleh tiadanya hubungan organisasi fungsional diantara setiap tingkatan usaha. Jaringan agribisnis praktis hanya diikat dan dikoordinir oleh mekanisme pasar (harga). Hubungan diantara sesama pelaku agribisnis praktis bersifat tidak langsung dan impersonal. Dengan demikian setiap pelaku agribisnis hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan tidak menyadari bahwa mereka saling membutuhkan. Bahkan hubungan di antara pelaku agribisnis cenderung berkembang menjadi bersifat eksploitatif yang pada akhirnya menjurus ke kematian bersama. Lebih ironisnya lagi, pola agribisnis dispersal tersebut diperburuk pula oleh berkembangnya asosiasi pengusaha horizontal (usaha sejenis) yang bersifat asimetri dan cenderung berfungsi sebagai kartel. Sifat asimetri terlihat dari tiadanya asosiasi para pelaku agribisnis yang efektif di tingkat hulu (petani), seangkan asosiasi pelaku agribisnis di tingkat hilir (industri pengolahan, pedagang/eksportir) sangatlah kuat. Hal inilah yang membuat organisasi usaha dalam sektor agribisnis cenderung berperan sebagai sebuah kartel yang memiliki IV-102

kekuatan monopsonistis maupun kekuatan monopolistik. Kekuatan monopsonistis akan menekan harga yang diterima oleh petani, sedangkan kekuatan monopolistis akan meningkatkan harga yang dibayar konsumen. Dengan demikian, asosiasi pengusaha agribisnis horizontal di tingkat hilir yang mengarah pada kartel cenderung merugikan petani produsen maupun konsumen, tidak efisien, serta menurunkan produksi agregat (anti pertumbuhan). Tiadanya ikatan institusional, asosiasi pengusaha yang bersifat asimetri, kemampuan bisnis yang tidak berimbang (kutub hulu, yaitu petani, bersifat serba gurem; sedangkan kutub hilir, yaitu agroindustri dan eksportir, bersifat serba kuat) ditambah pula sifat intrinsik permintaan dan penawaran komoditi pertanian yang sangat tidak elastis membuat rantai vertikal agribisnis bersifat dualistik (Bell and Tai, 1969). Struktur agribisnis yang bersifat dualistik inilah yang menyebabkan munculnya masalah transmisi (pass through problems) dalam agribisnis (Simatupang, 1995). Pass through problems ini terdiri dari empat aspek strategis: 1. Terjadinya transmisi harga yang tidak simetris: Penurunan harga ditransmisikan dengan cepat dan sempurna ke petani, sedangkan kenaikan harga ditransmisikan dengan lambat dan tidak sempurna (Simatupang, 1989; Simatupang dan Situmorang, 1988). 2. Informasi pasar, termasuk preferensi konsumen, ditahan dan bahkan dijadikan alat untuk memperkuat posisi monopsonistik atau monopolistik oleh agribisnis hilir (Bell and Tai, 1969; Wharton, 1962). 3. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki atau yang dapat diperoleh agribisnis hilir tidak ditransmisikan ke agribisnis hulu (petani). 4. Modal investasi yang relatif lebih banyak dimiliki oleh agribisnis hilir tidak disalurkan dengan baik dan bahkan cenderung digunakan untuk mengeksploitasi agribisnis hulu (Stiffel, 1975; Wharton, 1962). Pass through problems tersebut di atas jelas sangat menghambat pembangunan pertanian. Secara lebih tegas lagi, menurut pendapat saya, inilah masalah utama yang dihadapi bila pembangunan pertanian dilaksanakan dengan pendekatan agribisnis seperti yang kita jalankan saat ini. Dengan perkataan lain, struktur agribisnis dispersal tidak kondusif bagi pembangunan pertanian dengan pendekatan agribisnis. Hubungan impersonal-eksploitatif dan tiadanya asosiasi agribisnis vertikal tentu akan menyebabkan kualitas produk (komoditi) pertanian tidak dapat IV-103

disesuaikan dan dijamin seperti yang diinginkan oleh konsumen. Hal ini kiranya sangat jelas karena: (1) Informasi tentang karakteristik produk yang diinginkan konsumen tidak sampai dengan cepat dan tepat ke seluruh tingkatan agribisnis muai dari hilir hingga ke hulu (petani); (2) Kegiatan setiap tahapan agribisnis tidak terpadu secara vertikal sehingga kualitas produk akhir yang dihasilkan pun tidak dapat dijamin; (3) Pasar cenderung terdistorsi sehingga tidak ada insentif untuk meningkatkan mutu produk. Jelaslah bahwa struktur agribisnis dispersal tidak sesuai dengan tuntutan perubahan fundamental dalam pasar global saat ini, lebihlebih di masa mendatang. Kiranya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa inilah salah satu yang menyebabkan daya saing agribisnis Indonesia pada umumnya masih lemah. Dari segi transfer teknologi (modernisasi), struktur agribisnis dispersal juga tidak baik. Sesuai dengan relungnya (niche) pada rantai agribisnis, yang paling mengetahui dan akses terhadap perkembangan teknologi modern adalah kelompok agribisnis yang berada pada kutub hilir (eksportir/agroindustri). Kutub hulu (petani) berada di pedesaan sehingga kurang akses terhadap informasi maupun pasokan teknologi modern. Oleh karena itu, apabila struktur agribisnis vertikal tidak terkoordinir dengan baik maka modernisasi teknologi pertanian pun akan semakin lambat. Di samping itu, akan muncul pula dualisme kemajuan teknologi pada sektor agribisnis yang ditunjukkan oleh perbedaan tingkat kemajuan teknologi yang sangat kontras pada kedua kutub alur agribisnis vertikal: kutub hulu (petani) tetap menggunakan teknologi tradisional, sedangkan kutub hilir (agroindustri) telah menggunakan teknologi mutakhir. Secara singkat dapatlah disimpulkan bahwa struktur agribisnis dispersal tidak sesuai dengan kebutuhan modernisasi teknologi agribisnis, apalagi pada era bioteknologi mendatang, yang sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing. Dari uraian di atas, kiranya jelas bahwa struktur agribisnis dispersal tidak kondusif, baik untuk kehidupan dan perkembangan agribisnis (mikro) maupun untuk pembangunan pertanian secara umum (makro). Oleh karena itu, kita harus sudah mulai merubah struktur agribisnis tersebut menjadi struktur pertanian industrial. IV-104

6. Melestarikan Sumberdaya Alam dan Fungsi Lingkungan Hidup Permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi banyak berkaitan dengan penurunan kualitas lingkungan di wilayah hulu yang berakibat langsung pada kualitas lingkungan di wilayah hilir. Meningkatnya permintaan lahan akibat pertumbuhan penduduk selain menyebabkan penurunan luas baku lahan pertanian juga meningkatnya intensisitas usahatani di daerah aliran sungai (DAS) hulu. Penurunan luas baku lahan pertanian, khususnya lahan sawah, yang telah berlangsung sejak paruh kedua dekade 1980-an, saat ini cenderung makin besar seiring dengan peningkatan konversi ke non pertanian, khususnya di pulau Jawa. Pada beberapa tahun terakhir, luas baku lahan sawah di luar Jawa juga telah mengalami penurunan. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan pangan juga meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan pangan telah dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian pangan. Salah satu dampak dari ekstensifikasi antara lain adalah penggundulan hutan. Luas hutan Indonesia menurun dari 65% dari total daratan pada tahun 1985 menjadi hanya 47% pada tahun 2000. Di Pulau Jawa, konversi lahan sawah irigasi menjadi pemukiman dan tapak industri terus berlangsung dengan akselerasi yang meningkat. Dampak dari penggundulan hutan dan konversi lahan tersebut antara lain adalah berubahnya iklim secara global serta meningkatnya erosi, banjir dan kekeringan. Penurunan luas baku sawah di daerah hilir pada kondisi jumlah petani tetap bahkan bertambah telah mendorong peningkatan intensitas usahatani di daerah hulu yang berakibat pada penurunan kualitas DAS. Penurunan kualitas DAS menyebabkan efisiensi saluran irigasi menurun dan penurunan efsiensi ini makin cepat karena kurangnya pemeliharaan dan rehabilitasi sebagai akibat terbatasnya dana pemerintah. 7. Membangun Sistem IPTEK yang Efisien Permasalahan utama yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan pemanfaatan IPTEK Pertanian adalah belum terbangunnya secara efisien sistem IPTEK Pertanian mulai dari hulu (penelitian tinggi dan strategis) sampai hilir (pengkajian teknologi spesifik lokasi dan diseminasi penelitian kepada petani). Efisiensi sistem IPTEK di sektor pertanian ini perlu dibangun melalui sinkronisasi program litbang pertanian mulai dari hulu sampai hilir dan sinkronisasi program litbang pertanian dengan lembaga penelitian lainnya. Selain itu, efisiensi sistem IV-105

IPTEK pertanian ini perlu didukung dengan sistem pendidikan pertanian yang mampu menghasilkan peneliti yang berkemampuan (competent) dan produktif (credible). Juga perlu dibangun kembali sistem penyuluhan petani yang lebih efektif dan efisien. C. Strategi Umum Agenda dan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009, telah menetapkan Revitalisasi Pertanian sebagai salah satu prioritas pembangunan bidang ekonomi. Revitalisasi Pertanian diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sebagian besar rakyat dan meletakkan landasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi. Konsep tersebut merupakan komitmen politik yang harus didukung dan dijabarkan lebih lanjut operasionalnya oleh semua instansi yang terkait dengan pertanian. Strategi Umum dalam upaya mewujudkan visi pembangunan pertanian adalah sebagai berikut: (1) Melaksanakan manajemen pembangunan yang bersih, transparan dan bebas KKN. Manajemen pembangunan seperti itu diharapkan akan berdampak pada pemanfaatan sumberdaya pertanian secara optimal dan memberikan insentif bagi investasi. (2) Meningkatkan koordinasi dalam penyusunan kebijakan dan manajemen pembangunan pertanian. Koordinasi adalah salah satu kunci keberhasilan karena kebijakan yang terkait dengan pembangunan pertanian tidak sepenuhnya menjadi kewenangan Departemen Pertanian. Sebagian besar kewenangan tersebut berada di institusi lain. (3) Memperluas dan memanfaatkan basis produksi secara berkelanjutan. Kekayaan Indonesia yang beragam baik ekosistem maupun budayanya perlu dimanfaatkan dan dikembangkan untuk menciptakan saling ketergantungan yang menguntungkan antar wilayah, memacu kegiatan perdagangan domestik maupun global, mengembangkan investasi untuk menciptakan sumber pertumbuhan dan pendapatan baru dengan menempatkan petani sebagai pelaku utamanya. (4) Meningkatkan kapasitas dan memberdayakan sumberdaya manusia pertanian. Pemberdayaan masyarakat perlu ditingkatkan dengan meningkatkan kemampuan mereka untuk bergerak sendiri secara proaktif di IV-106

dalam kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian dalam wadah organisasi petani yang kuat dan mandiri. Fasilitasi pemerintah harus diselenggarakan untuk mendorong kreativitas masyarakat, dan memberdayakan usaha masyarakat. (5) Meningkatkan ketersediaan prasarana dan sarana pertanian. Kondisi sarana dan aturan sampai saat ini belum berpihak kepada petani sehingga petani memiliki posisi tawar yang lemah. Kajian kebutuhan prasarana dan sarana serta sistem pemasaran yang mendalam diikuti dengan pembangunan sarana yang diperlukan merupakan kunci untuk memperbaiki pembagian keuntungan yang lebih adil kepada petani di antara para pelaku dalam rantai tataniaga produk pertanian. (6) Meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna. Rendahnya produktivitas dan kualitas produk pertanian Indonesia merupakan akibat langsung dari rendahnya tingkat inovasi teknologi yang diterapkan petani. Hal itu terkait erat dengan relevansi program, efektivitas teknologi yang tersedia, dan efisiensi proses alih teknologi yang dihasilkan. Sistem penelitian dan pengembangan serta keterkaitannya dengan sistem pengantaran dan penerapan teknologi perlu ditata dan dikelola dengan baik. (7) Mempromosikan dan memproteksi komoditas pertanian. Karantina menjadi sangat penting dalam menangkal masuknya organisme pengganggu tanaman dan hewan, sementara market intelligent, informasi pasar, kebijakan perdagangan, subsidi yang tepat, dan kebijakan fiskal lainnya akan diterapkan secara tepat, agar komoditas pertanian dan olahannya meningkat dayasaingnya di pasar internasional maupun domestik. D. Program Utama Sesuai dengan Visi, Misi, Tujuan dan Strategi pembangunan pertanian, maka Program Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009, dirumuskan dalam tiga program, yaitu; (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, (2) Program Peningkatan Nilai Tambah dan Dayasaing Produk Pertanian; dan (3) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani. IV-107

1. Program Peningkatan Ketahanan Pangan Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah diperoleh rumah tangga, aman dikonsumsi dan harga yang terjangkau. Ketahanan pangan mencakup komponen: (1) ketersediaan pangan, (2) distribusi dan konsumsi pangan, (3) penerimaan oleh masyarakat, (4) diversifikasi pangan, dan (5) keamanan pangan. Program peningkatan ketahanan pangan merupakan fasilitasi bagi terjaminnya masyarakat untuk memperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat dan halal. Ketahanan pangan rumahtangga berkaitan dengan kemampuan rumahtangga untuk dapat akses terhadap pangan di pasar, dengan demikian ketahanan pangan rumahtangga dipengaruhi oleh kemampuan daya beli/pendapatan rumahtangga. Sejalan dengan itu maka peningkatan pendapatan rumahtangga merupakan faktor kunci dari peningkatan ketahanan pangan rumahtangga. Pangan dalam arti luas mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan. Sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) dicapainya ketersediaan pangan tingkat nasional, regional dan rumah tangga yang cukup, aman dan halal, (2) meningkatnya keragaman produksi dan konsumsi pangan masyarakat, dan (3) meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengatasi masalah kerawanan pangan. Kegiatan utama Program Peningkatan Ketahanan Pangan meliputi: (1) Peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, (2) Pengembangan diversifikasi produksi dan konsumsi pangan yang bertumpu pada sumberdaya lokal, (3) Penyusunan kebijakan dan pengendalian harga pangan, (4) Penyusunan dan penerapan standar kualitas dan keamanan pangan, dan (5) Penanggulangan kasus/kejadian kerawanan pangan. Rencana tindak program meliputi: (1) Peningkatan produksi pangan pokok, (2) Koordinasi kebijakan ketersediaan dan distribusi pangan, (3) Pengembangan sumber pangan alternatif berbasis sumberdaya lokal, (3) Koordinasi penyusunan kebijakan harga pangan, (4) Koordinasi pengendalian harga pangan, (5) Koordinasi penetapan standar kualitas dan keamanan pangan, (6) Pengawasan lalu lintas pertanian dan hewan serta penerapan GAP dan HACCP produk pangan, dan (7) Koordinasi penanggulangan kasus/kejadian kerawanan pangan. IV-108

2. Program Peningkatan Nilai Tambah dan Dayasaing Produk Pertanian Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, maka arah yang perlu ditempuh adalah memperluas cakupan kegiatan ekonomi produktif petani. Perluasan kegiatan ekonomi yang memungkinkan untuk dilakukan adalah peningkatan nilai tambah melalui pengolahan. Dengan demikian, program ini dimaksudkan untuk memfasilitasi: (1) berkembangnya usaha pertanian agar produktif dan efisien menghasilkan berbagai produk pertanian yang memiliki nilai tambah dan daya saing tinggi baik di pasar domestik maupun pasar internasional, dan (2) meningkatnya kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian nasional, terutama melalui peningkatan devisa dan pertumbuhan PDB.Sasaran dari program ini adalah: (1) berkembangnya usaha di sektor hulu, usahatani (on-farm), hilir (agroindustri) dan usaha jasa penunjang; (2) Meningkatnya ekspor produk pertanian segar dan olahan; dan (3) Meningkatnya pertumbuhan PDB sektor pertanian. Kegiatan utama mencakup: (1) Peningkatan produksi dan mutu produk pertanian, (2) Pengembangan agro-industri pedesaan, (3) Pengembangan produk sesuai dengan standar internasional, (4) Penerapan kebijakan insentif, (5) Pengembangan informasi pasar, (6) Pengembangan prasarana dan sarana usaha, (7) Pengembangan pasar, (8) Perlindungan produk domestik, dan (9) Harmonisasi regulasi/deregulasi. Rencana tindak program meliputi: (1) Pengembangan produksi komoditas unggulan, (2) Perbaikan pasca panen, (3) Pengembangan kelembagaan pengolahan hasil pertanian, (4) Penerapan standar produk sesuai standar internasional, (5) Pengendalian harga produk pertanian, (6) Pengembangan jaringan informasi distribusi, (7) Pengembangan sarana pengolahan dan pemasaran, (8) Peningkatan market intelligent, (9) Perlindungan produk domestik, dan (10) Peningkatan kerjasama antar negara di bidang karantina. 3. Program Peningkatan Kesejahteraan Petani Definisi kesejahteraan yang dimaksud disini adalah dibatasi pada kesejahteraan ekonomi atau lebih spesifik lagi pendapatan rumah tangga. Pelaksanaan kedua program terdahulu tidak secara otomatis meningkatkan pendapatan petani. IV-109

Program Peningkatan Kesejahteraan Petani bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani melalui pemberdayaan dan peningkatan akses petani terhadap sumberdaya usaha pertanian. Sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) meningkatnya kapasitas, posisi tawar, dan pendapatan petani/pelaku usaha pertanian; dan (2) meningkatnya akses petani terhadap sumberdaya produktif. Kegiatan utama yang akan dilakukan adalah: (1) Peningkatan kapasitas dan kualitas SDM pelaku usaha pertanian terutama petani; (2) Pengembangan kelembagaan pertanian; (3) Peningkatkan akses petani terhadap sumberdaya pertanian (lahan, modal, pasar, teknologi dan informasi); dan (4) Perlindungan dan jaminan usaha petani terhadap resiko alam dan persaingan yang tidak adil. Uraian di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa ketahanan pangan merupakan salah satu program utama Departemen Pertanian. Dengan demikian perhatian Departemen Pertanian terhadap masalah pangan dapat dikatakan cukup besar dan telah diiplementasikan dalam bentuk program utama. III. PERKEMBANGAN KETAHANAN PANGAN A. Kondisi Dunia Ketahahan pangan banyak berkaitan dengan kemiskinan. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa upaya pengentasan kemiskinan di dunia berjalan sangat lamban. Data UNDP menunjukkan pada tahun 1990 jumlah penduduk sangat miskin di dunia (pengeluaran di bawah 1 dolar US/hari) mencapai 1,3 milyar jiwa atau sekitar 29,6 persen dari total penduduk dunia. Sepuluh tahun kemudian (1999) jumlah penduduk sangat miskin turun menjadi sekitar 1,2 milyar jiwa atau sekitar 23,2 persen dari total penduduk dunia. Kondisi jumlah penduduk sangat miskin semakin memprihatikan apabila dilihat dari sebaran geografisnya. Di Amerika Latin, selama kurun waktu yang sama jumlah penduduk sangat miskin justru semakin meningkat dari 48 juta jiwa pada tahun 1990 menjadi 57 juta jiwa pada tahun 1999. Kondisi yang lebih buruk terjadi di Sub Sahara Afrika, dimana jumlah penduduk sangat miskin pada tahun tahun 1990 mencapai 241 juta jiwa dan meningkat menjadi 315 juta jiwa pada tahun 1999. Kondisi yang sangat kontras terjadi Asia Selatan dan pasifik, yang berhasil menurunkan jumlah penduduk sangat miskin dari sekitar 486 juta jiwa pada tahun 1990 menjadi sekitar 279 juta jiwa pada tahun 1999. IV-110

Tabel 1. Jumlah Penduduk Dunia Dengan Pengeluaran Di Bawah $ 1 dan $2 per hari, 1990-1999 dan Proyeksi 2015 Wilayah Kurang dari $ 1 per Hari Juta jiwa % 1990 1999 2015 1990 1999 2015 East Asia and Pacific 486 279 80 30,5 35,6 3,9 Excluding China 110 57 7 24,2 10,6 1,1 Europe and Central Asia 6 24 7 1,4 5,1 1,4 Latin America and 48 57 47 11,0 11,1 7,5 Caribbean Middle East and North 5 6 8 2,1 2,2 2,1 Africa South Asia 506 488 264 45,0 36,6 16,7 Sub-Saharan Africa 241 315 404 47,4 49,0 46,0 Total 1.292 1.169 809 29,6 23,2 13,3 Excluding China 917 945 735 28,5 25,0 15,7 Kurang dari 2 $ per Hari East Asia and Pacific 1.114 897 339 69,7 50,1 16,6 Excluding China 295 269 120 64,9 50,2 18,4 Europe and Central Asia 31 97 45 6,8 20,3 9,3 Latin America and 121 132 117 27,6 26,0 18,9 Caribbean Middle East and North 50 68 62 21,8 23,3 16,0 Africa South Asia 1.010 1.126 1.139 89,8 84,8 68,0 Sub-Saharan Africa 386 480 618 76,0 74,7 70,4 Total 2.712 2.902 2.320 62,1 55,6 38,1 Excluding China 1.692 2,173 2,101 58,7 57,5 44,7 Sumber : UNDP Melihat perkembangan penurunan jumlah penduduk sangat miskin yang sangat lamban tersebut tersebut, target Bank Dunia yang memproyeksikan penurunan jumlah penduduk sangat miskin hingga mencapai 809 juta jiwa pada tahun 2015 nampaknya akan sulit dicapai. Kenyataan ini didukung oleh adanya situasi perdagangan internasional yang tidak adil, dinamika iklim global yang semakin sulit diprediksi dan dikendalikan, serta situasi politik dan keamanan dunia yang belum sepenuhnya kondusif. Kemiskinan dengan kelaparan berkaitan sangat erat. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kondisi penduduk kurang makan di dunia juga masih cukup tinggi. Data FAO menunjukkan bahwa jumlah penduduk kurang makan (malnourishment) di negara berkembang selama kurun waktu 1990-2000 praktis tidak berubah, yaitu sekitar 800 juta jiwa. Sama seperti halnya dengan kondisi IV-111

kemiskinan, jumlah penduduk kurang makan di Sub Sahara Afrika juga menunjukkan peningkatan, yaitu dari sekitar 168 juta jiwa pada tahun 1990 menjadi 196 juta jiwa pada tahun 2000. Khusus untuk Indonesia, FAO melaporkan jumlah penduduk yang kurang makan menunjukkan penurunan dari sekitar 17 juta jiwa pada tahun 1990 menjadi sekitar 12 juta jiwa, atau hanya sekitar 6 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Dengan gambaran seperti di atas, maka upaya pengurangan jumlah penduduk yang kurang makan hingga mencapai separonya pada tahun 2015 di negara berkembang nampaknya akan sulit dicapai. Tabel 2. Prevalensi Penduduk Kurang Makan di Negara Berkembang, 1990-2000 dan Proyeksi 2015 Jumlah Penduduk (juta jiwa) Wilayah 1990-1995- 1998-2015 1992 1997 2000 Persentase thd Populasi 1990-1995- 1998-2015 1992 1997 2000 Developing world 815 791 799 610 20 18 17 11 Indonesia 17 11 12 n.d 9 6 6 n.d Asia and the Pacific 564 525 508 330 20 17 16 8 Near East and North 25 33 40 37 8 9 10 7 African Sub-Saharan African 168 180 196 205 35 33 33 23 Latin American and 59 53 55 40 13 11 11 6 Caribbean Sumber : FAO Kondisi di atas semakin dipersulit dengan semakin menurunnya alokasi dana ODA dari negara-negara maju, yaitu dari sekitar US$ 103 juta pada tahun 1990 menjadi sekitar US$ 84 juta pada tahun 1999. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah pangsa alokasi dana ODA untuk pembangunan pertanian dan pedesaan juga semakin menurun, dari sekitar 12,6 persen pada tahun 1990 menjadi sekitar 10,7 persen pada tahun 1999 (Tabel 3). IV-112

Tabel 3. Total Official Development Assistance (ODA) dari Negara-Negara Industri Year Total Komitmen ODA ( juta US $) Total Komitmen untuk Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (juta US $) Pangsa Dana Pembangunan Pertanian dan Pedesaan terhadap Total ODA (%) 1990 103 13 12.6 1991 94 10 10.6 1992 82 11 13.4 1993 85 8 9.4 1994 85 9 10.6 1995 79 9 11.3 1996 80 9 11.3 1997 76 11 14.5 1998 83 10 12.0 1999 84 9 10.7 Sumber : FAO B. Kondisi Indonesia Dari berbagai indikator ketahanan pangan tahun 2004, dapat diketahui kondisi ketahanan pangan nasional saat ini, baik secara makro (agregat) dan mikro (individu). Secara makro, kemampuan nasional untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk Indonesia ditunjukkan oleh besarnya produksi beberapa komoditas pangan penting pada tahun 2004 sebagai berikut: produksi padi 54,34 juta ton GKG, jagung 11,35 juta ton, ubi kayu 19,2 juta ton, kedelai 0,73 juta ton biji kering, daging ternak termasuk unggas 1,9 juta ton, telur 0,9 juta ton, minyak sawit 5,0 juta ton dan ikan laut dan tawar 6,0 juta ton. Sebagian dari hasil produksi tersebut dipasarkan melalui ekspor, antara lain dalam bentuk udang, ikan laut dan minyak sawit, dengan nilai ekspor pangan secara keseluruhan pada tahun 2002 mencapai US $ 6,5 milyar. Sebaliknya, Indonesia juga mengimpor bahan pangan baik primer maupun olahan antara lain gandum, beras, gula dan kedelai, dengan nilai impor secara keseluruhan mencapai US $ 3,1 milyar. Besarnya impor bahan pangan ini merupakan salah satu indikator adanya potensi kerawanan pangan. Impor bahan pangan bagi Indonesia yang berpenduduk besar mempunyai potensi untuk menciptakan ketergantungan pada pihak asing yang besar dan dapat memberikan dampak yang membahayakan kedaulatan negara. IV-113

Dari data produksi, cadangan, impor dan ekspor pangan tersebut diperoleh tingkat ketersediaan energi yang siap untuk dikonsumsi. Data Neraca Bahan Makanan FAO menunjukkan tingkat ketersediaan energi Indonesia pada tahun 2002 mencapai 2.903 Kkal per kapita per hari, namun sekitar 50 persen lebih masih berasal dari pangan beras. Untuk protein, tingkat ketersediaannya mencapai 64 gram per kapita per hari dan sekitar 42 persen berasal dari pangan beras, 12 persen dari pangan kedele dan 11 persen dari pangan ikan. Ketersediaan energi dan protein ini telah melebihi rekomendasi tingkat kecukupan konsumsi per kapita, yang masing-masing besarnya 2.500 kilo kalori per hari dan 55 gram per hari. Namun demikian, komposisi ketersediaannya masih belum berimbang, karena masih didominasi oleh pangan nabati. Walaupun secara makro ketersediaan pangan telah memenuhi standar kecukupan, namun kecukupan tingkat nasional tersebut tidak tercermin dalam tingkat konsumsi pangan per kapita atau secara mikro. Kondisi ketahanan pangan di tingkat mikro (rumahtangga) dapat dilihat dari kondisi konsumsi energi dan protein per kapita per hari, serta kondisi rumah tangga yang defisit energi dan protein. Data Susenas 2002 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi energi baru mencapai sekitar 1.987 Kkal/kapita/hari atau sekitar 90,3 persen dari angka kecukupan gizi (AKG) yang sebesar 2.200 Kkal/kapita/hari. Sementara itu, untuk tingkat konsumsi protein sudah mencapai 54,4 gram/kapita/hari, sudah melampaui AKG yang sebesar 48 gram/kapita/hari (Tabel 4). Tabel 4. Perkembangan Tingkat Kecukupan Konsumsi Energi dan Protein Wilayah Energi (Kkal) Kota Desa Kota+Desa Protein (Gram) Kota Desa Desa+Kota 1993 1996 1999 2002 Nilai % Nilai % Nilai % Nilai % 1804 1982 1923 47,2 47,7 47,3 82,0 90,1 87,4 98,3 98,7 98,5 2031 2088 2068 58,1 55,8 56,6 92,3 94,9 94,0 121,0 116,2 118,0 1802 1881 1848 49,3 48,2 48,7 Sumber : BPS, Susenas 1993, 1996, 1999, 2002 Keterangan : Nilai persen energi terhadap AKG 2.200 Kkal; protein 48 gram 81,9 85,5 84,0 102,7 100,4 101,5 1954 2013 1987 116,7 110,8 113,3 88,8 91,5 90,3 116,7 100,8 113,3 IV-114

Selanjutnya jika dilihat dari indikator defisit konsumsi energi (< 70 persen AKG), data Susenas 2002 menunjukkan adanya defisit energi pada kelompok berpendapatan rendah sekitar 6,5 28,2 persen, kelompok berpendapatan sedang sekitar 8,1-25,7 persen, dan pada kelompok berpendapatan tinggi sekitar 7,1-19,3 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa defisit energi ternyata terjadi pada semua kelompok pendapatan. Dan kesimpulan yang lebih penting lagi adalah tingkat konsumsi energi tidak hanya ditentukan oleh faktor pendapatan saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain, seperti tingkat pengetahuan pangan dan gizi. Belum tercapainya kecukupan pangan tingkat individu juga ditunjukkan oleh masih tingginya kasus gizi kurang pada bayi bawah umur lima tahun (balita). Data Susenas 2002 menunjukkan masalah gizi kurang pada balita sebesar 27,3 persen atau sekitar 5,01 juta balita, dan 1,47 juta balita diantaranya menderita gizi buruk. Keadaan ini lebih baik jika dibandingkan dengan keadaan tahun 1998, dimana gizi kurang pada balita mencapai 6 juta balita (29,5 %), dan 2,2 juta balita diantaranya menderita gizi buruk. Tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk berhubungan erat dengan tingginya kematian balita. Menurut WHO, 54 persen kematian balita didasari oleh gizi kurang pada balita atau 70 persen kasus kematian balita disebabkan oleh gizi kurang, pneumonia, diare, campak dan malaria. Angka kematian balita (AKBA) di Indonesia pada tahun 2000 mencapai 46 orang per 1000 balita. Kerawanan pangan mempunyai korelasi positif dan erat kaitannya dengan kemiskinan. Krisis ekonomi yang terjadi beberapa tahun sebelumnya telah menyebabkan jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat lagi (dari sekitar 17,7 % pada tahun 1996 menjadi 24,2 % pada tahun 1998). Namun pembangunan nasional pasca krisis, secara pelan tapi pasti mampu menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 17,42 persen, bahkan pada tahun 2004 BPS memperkirakan angka kemiskinan mencapai 16,6 persen (Tabel 5). Dari total jumlah penduduk miskin yang ada di Indonesia, sekitar 68 persen berada di pedesaan, sementara sisanya di perkotaan. Dengan melihat kenyataan bahwa sebagian besar penduduk pedesaan bermata pencaharian utama sebagai petani, maka dapat dikatakan mayoritas orang miskin menggantungkan nasibnya pada sektor pertanian. Kondisi ini memberikan implikasi yang sangat luas. Pertama, walaupun tingkat kemiskinan di daerah pedesaan (dan sektor pertanian) IV-115

telah mengalami penurunan yang sangat signifikan, tetapi kemiskinan di daerah pedesaan dan sektor pertanian masih memerlukan perhatian dan prioritas utama. Kedua, alokasi anggaran untuk mengatasi kemiskinan tetap harus mendapat prioritas mengingat besarnya kedalaman tingkat kemiskinan di daerah pedesaan dan pertanian. Ketiga, tingginya intensitas kemiskinan akan membuat program anti kemiskinan di sektor pertanian mesti didesain lebih hati-hati mengingat heterogenitas dalam faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan tersebut. Tabel 5. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin 1993 2004. Tahun Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang) Persentase Penduduk Miskin Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+De sa 1993 8,7 17,2 25,9 13,4 13,8 13,7 1996 7,2 15,3 22,5 9,7 12,3 11,3 1996 1),3) 9,6 24,9 34,5 13,6 19,9 17,7 1998 1),2) 17,6 31,9 49,5 21,9 25,7 24,2 1999 1),3) 15,7 32,7 48,4 19,5 26,1 23,5 2000 1),4) 12,3 26,4 38,7 14,6 22,3 19,1 2001 1) 8,6 29,3 37,9 9,7 24,8 18,4 2002 1) 13,3 25,1 38,4 14,4 21,1 18,2 2003 12.3 25.1 37.3 13.5 20.2 17.4 2004 11.5 24.6 36.1 12.6 19.5 16.6 Rataan 1993-1997 8.5 19.1 27.6 12.2 15.3 14.2 1998-1999 16.7 32.3 49.0 20.7 25.9 23.9 2000-2004 11.6 26.1 37.7 13.0 21.6 18.0 Sumber : BPS (2002) 1) Berdasarkan standar Kemiskinan tahun 1998 2) SUSENAS, Desember 1998 3) SUSENAS reguler Februari, tanpa Timor-Timur 4) SUSENAS 2000, tanpa NAD dan Maluku Menurut Mason (1996) dan Iksan (1998) ada beberapa determinan kemiskinan di pedesaan. Pertama, human capital endowment yang belum memadai, sehingga menyulitkan proses transformasi tenaga kerja antar sektor. Terdapat perbedaan yang menyolok antara net atau gross enrollment ratio antara desa dan kota, khususnya pada tingkat sekolah menengah pertama dan atas. Kedua, kuantitas dan kualitas infrastruktur yang belum memadai. Kedua hal tersebut mempunyai peranan penting dalam mengatasi masalah kemiskinan di daerah pertanian, yaitu (a) kuantitas dan kualitas infrastruktur yang memadai akan IV-116

mengurangi marjin transportasi; apalagi dikaitkan dengan berbagai studi yang menunjukkan bahwa peranan biaya transportasi makin meningkat dalam total harga harga pada tingkat konsumen. Pengurangan marjin transportasi akan memberikan tambahan keuntungan bagi para petani; dan (b) perbaikan jumlah stok dan kualitas infrastruktur juga akan memberikan bargaining position yang lebih kuat bagi petani dalam mengatasi ketidaksempurnaan pasar, baik dalam sektor keuangan maupun pemasaran. Ketiga, distribusi kepemilikan lahan yang semakin kecil, khususnya di Jawa. Hasil kajian Iksan (2001) menunjukkan bahwa ada korelasi yang sangat kuat antara pemilikan lahan dengan tingkat kemiskinan, dimana semakin luas kepemilikan lahan maka semakin rendah tingkat kemiskinannya dan sebaliknya. Keempat, kebijakan pemerintah yang terlalu bias kepada beras selama ini telah mendistorsi harga relatif komoditi pertanian lain yang sebenarnya mempunyai keunggulan komparatif dan nilai tambah yang lebih baik. Keadaan di atas menggambarkan bahwa walaupun secara makro tingkat ketahanan pangan nasional memadai, namun secara mikro ketahanan pangan sebagian penduduk Indonesia masih rentan. Hal ini apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat, akan berdampak pada pembentukan generasi yang lemah fisik maupun intelegensia pada waktu yang akan datang. IV. KEBIJAKAN PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN Secara umum kebijakan pemantapan ketahanan pangan nasional yang dirumuskan adalah terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pangan tahun 1996 yang ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2001. Kebijakan yang dirumuskan diselaraskan dengan isu global yang disepakati dalam Pertemuan Puncak Pangan Dunia tahun 2002 (World Food Summit-WFP:fyl) yaitu mencapai ketahanan pangan bagi setiap orang dan mengikis kelaparan di seluruh dunia. Untuk melaksanakan tugas tersebut, diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 132 Tahun 2001 tanggal 31 Desember tentang Dewan Ketahanan Pangan (DKP). Tugas DKP sesuai Keppres adalah (1) merumuskan kebijakan di bidang ketahanan pangan nasional yang meliputi aspek ketersediaan, distribusi, dan IV-117

konsumsi serta mutu, gizi, dan keamanan pangan; dan (2) melaksanakan evaluasi dan pengendalian pemantapan ketahanan pangan nasional. Langkah penting yang telah dilakukan dalam rangka merumuskan kebijakan ketahanan pangan nasional adalah melalui DKP telah terbangun kesepahaman dan kesepakatan melalui Rapat-rapat Pokja, Seminar/Lokakarya, Sidang para Bupati/Walikota, Sidang para Gubernur, dan Konferensi. Adapu kesepahaman dan kesepakatan tersebut adalah (1) arah pembangunan perlu direformasi, dengan memfokuskan pembangunan pada sektor pertanian dan pedesaan, (2) Indonesia harus mempunyai target/sasaran. Strategi yang ditempuh dan tindakan bersama dalam paya penurunan jumlah penduduk miskin; WFS:fyl telah menetapkan sasaran penurunan kemiskinan 20 persen selama 5 tahun sebanyak 20 juta jiwa atau 10 persen (6 juta jiwa) per tahun, (3) kemiskinan identik dengan pemilikan lahan sempit, sehingga diperlukan Peraturan Pemerintah yang mengatur penataan struktur penguasaan dan pemilikan tanah/lahan serta pembangunan irigasi, dan (4) hasil kesepakatan tersebut perlu dievaluasi dan dibahas secara berkala/reguler, komitmen pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota sangat diperlukan di dalam operasional pelaksanaannya (Sekretariat DKP, 2003). Beberapa kebijakan yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan upaya mewujudkan stabilitas (ketersediaan) pangan nasional adalah (1) kebijakan dan strategi diversifikasi pangan di Indonesia serta program aksi diversifikasi pangan, (2) di bidang perberasan: kebijakan harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) dan tarif impor, (3) kemandirian pangan, dan (4) kebijakan (pangan) transgenik. Kebijakan dan strategi serta rencana program aksi diversifikasi pangan dilaksanakan dengan tujuan (1) menyadarkan masyarakat agar dengan sukarela dan atas dasar kemampuannya sendiri melaksanakan diversifikasi pangan dan meningkatkan pengetahuannya, dan (2) mengurangi ketergantungan terhadap beras dan pangan impor dengan meningkatkan konsumsi pangan, baik nabati maupun hewani dengan meningkatkan produksi pangan lokal dan produk olahannya. Beberapa upaya percepatan diversifikasi pangan dalam jangka pendek adalah (a) internalisasi, sosialisasi, promosi dan publikasi rencana aksi diversifikasi pangan; (b) peningkatan ketersediaan pangan berbasis pada potensi sumberdaya wilayah yang berwawasan lingkungan; (c) peningkatan kemampuan dan kapasitas sumberdaya manusia dalam pengembangan diversifikasi IV-118

produktivitas; (d) pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan diversifikasi pangan: (e) peningkatan akses pangan dalam pemantapan ketahanan pangan keluarga; (f) pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi; dan (g) pemantauan kegiatan diversifikasi pangan dalam pemantapan ketahanan pangan. Pelaksanaan Inpres No 9 Tahun 2001 dinilai cukup efektif dalam meningkatkan ekonomi beras nasional tahun 2002, karena diikuti dengan penetapan tariff dalam melindungi harga beras dalam negeri, pembelian gabah dalam negeri oleh pemerintah, dan penyaluran beras untuk masyarakat miskin. Penetapan Inpres No 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan sebagai pengganti Inpres No 9 Tahun 2001 menunjukkan arah kebijakan perberasan nasional yang komprehensif yaitu tentang upaya-upaya (a) peningkatan produktivitas dan produksi padi/beras; (b) pengembangan diversifikasi usaha pertanian; (c) penetapan kebijakan harga gabah/beras; (d) penetapan kebijakan impor beras yang melindungi produsen dan konsumen; serta (e) pemberian jaminan penyediaan beras/pangan lain bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan. Untuk lebih memantapkan ketahanan pangan nasional terutama beras, pemerintah telah mengeluarkan Impres No 2 Tahun 2005 sebagai pengganti Impres No 9 Tahun 2002. Impres No 2 Tahun 2005 lebih banyak memperhatikan kepentingan petani teritama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas produksi melalui insentif dimana harga pembelian pemerintah dalam bentuk GKP (Gabah Kering Panen). Dengan cara demikian diharapkan petani harga yang diterima petani sesuai dengan yang dibeli pemerintah. Beberapa kebijakan yang terkait dengan upaya untuk mewujudkan kemandirian pangan antara lain adalah; (a) kebijakan yang mempunyai dampak sangat positif dalam jangka pendek, yakni subsidi input dan peningkatan harga output dan perdagangan pangan termasuk intervensi distribusi; (b) kebijakan yang sangat positif untuk jangka panjang, yakni perubahan teknologi,ekstensifikasi, jaring pengaman ketahanan pangan, investasi infrastruktur, serta kebijaksanaan makro, pendidikan, dan kesehatan; (c) kebijakan yang mendorong pertumbuhan penyediaan produksi di dalam negeri yakni (1) perbaikan mutu intensifikasi, perluasan areal, perbaikan jaringan irigasi, penyediaan sarana produksi yang terjangkau oleh petani, pemberian insentif produksi melalui penerapan kebijakan harga input dan harga output, (2) pengembangan teknologi panen dan pasca IV-119