BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Konstipasi adalah kesulitan buang air besar dengan konsistensi feses yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Definisi yang berbeda mengenai konstipasi telah dijelaskan oleh berbagai literatur.

KEBUTUHAN ELIMINASI BOWEL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama

BAB I PENDAHULUAN. dasar (usia 6-12 tahun) adalah pola makan yang tidak tepat. Anak usia sekolah dasar

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Serikat. American Hearth Association tahun 2013 melaporkan sekitar

BAB 1 PENDAHULUAN. di daerah anus yang berasal dari pleksus hemoroidalis (Simadibrata, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. 2005, angka harapan hidup orang Indonesia adalah 70,0 tahun. Tahun 2006

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar

BAB I PENDAHULUAN. Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada masa anak dan dapat

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN UKDW. serius bila tidak ditangani dengan baik. Menurut the North American

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja secara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Meissner dan pleksus mienterikus Auerbach. Sembilan puluh persen kelainan ini

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Definisi konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja

BAB I PENDAHULUAN. pergeseran pola konsumsi pangan. Seiring dengan kemajuan zaman dan perbaikan

1. DEFINISI 2. KLASIFIKASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

DEFINISI Kanker kolon adalah polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal dan meluas ke dalam struktur sekitar.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB I KONSEP DASAR. saluran usus (Price, 1997 : 502). Obserfasi usus aiau illeus adalah obstruksi

Laporan Pendahuluan Eliminasi Alvi

Asuhan Persalinan Normal. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

SISTEM PENGELUARAN (EKSKRESI ) Rahmad Gurusinga

BAB I PENDAHULUAN. dunia industri secara global. Tiap tahun angka pekerja terus meningkat yaitu

SISTEM PENGELUARN (EKSKRESI )

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman modern ini banyak ibu yang memilih melakukan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengobati kondisi dan penyakit terkait dengan proses menua (Setiati dkk, 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GANGGUAN ELIMINASI. Dr. Noorhana, SpKJ(K)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. terhentinya migrasi kraniokaudal sel krista neuralis di daerah kolon distal pada

Pelayanan Kesehatan bagi Anak. Bab 7 Gizi Buruk

Farmakoterapi I Diar dan konstipasi. Ebta Narasukma A, M.Sc., Apt

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

BAB II. Mega kolon adalah dilatasi dan atonikolon yang disebabkan olah. Mega kolon suatu osbtruksi kolon yang disebabkan tidak adanya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN. 2. Jadwal Penelitian. November- Januari Desember. Desember Persiapan Pelaksanaan Penyusunan Laporan Pengiriman Laporan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan adalah modal utama bagi manusia, kesehatan

BAB 4 HASIL. Grafik 4.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis. 20 Universitas Indonesia. Karakteristik pasien...,eylin, FK UI.

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,

Keluhan-keluhan Selama Kehamilan

BAB I PENDAHULUAN. Osteoarthritis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteo yang berarti tulang,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hemoroid merupakan salah satu penyakit. anorektal yang sering dijumpai. Hemoroid adalah bantalan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. B DENGAN POST OP HEMOROIDECTOMI DI RUANG MELATI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. cair, dengan atau tanpa darah dan atau lendir, biasanya terjadi secara

BAB I KONSEP DASAR. saluran cerna tinggi artinya disertai dengan pengeluaran banyak aliran cairan dan

DIARE VS KONSTIPASI. Yeni Farida S.Farm., M.Sc., Apt

BAB II KONSEP DASAR. A. Pengertian. Hemoroid adalah bagian vena yang berdilatasi dalam kanal anal.

KONSEP DASAR KEBUTUHAN ELIMINASI

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. menjadi lansia, yang masing-masing mempunyai kekhususan (Noorkasiani,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

MAKALAH DIARE DAN KONSTIPASI

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Epidemiologi ISK pada anak bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Neonatus yang baru lahir akan ditimbang dalam beberapa menit setelah

DIVERTICULITIS DIVERTICULITIS

UNIVERSITAS INDONESIA ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN KONSTIPASI MELALUI MASSASE ABDOMEN, POSISI DEFEKASI, DAN PEMBERIAN CAIRAN

MASALAH ELIMINASI FECAL

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besa

BAB I PENDAHULUAN. apabila terjadi kerusakan. Salah satu keluhan yang sering dialami lansia akibat

HIPOKALSEMIA DAN HIPERKALSEMIA. PENYEBAB Konsentrasi kalsium darah bisa menurun sebagai akibat dari berbagai masalah.

TUGAS BIOLOGI DASAR DIARE. Oleh : Nama : Yunika Dewi Wulaningtyas NIM : Prodi : Pendidikan Matematika (R) Angkatan : 2008/2009

BAB I PENDAHULUAN. persendian melakukan aktivitas atau gerakan (Helmi, 2012). Usia tua merupakan salah satu faktor risiko terjadi osteoarthritis.

KONSEP KEBUTUHAN ELIMINASI MASYKUR KHAIR

Gangguan Neuromuskular

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. rektum yang khusus menyerang bagian sekum yang terjadi akibat gangguan

Pengkajian : Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada individu yang mengalami masalah eliminasi urine : 1. inkontinensia urine 2.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sistem perkemihan merupakan salah satu system yang tidak kalah

BAB VI PEMBAHASAN. subyek penelitian di atas 1 tahun dilakukan berdasarkan rekomendasi untuk. pemberian madu sampai usia 12 bulan.

BAB 1 PENDAHULUAN. tertinggi, mencapai 12,31/ (Japaries, 2013). dari pasien terdiagnosis pada late stage, sehingga penanganan sulit dilakukan

CATATAN PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. priyanto,2008). Apendisitis merupakan peradangan akibat infeksi pada usus

BAB I PENDAHULUAN. Megacolon kongenital merupakan Penyakit bawaan sejak lahir,bagian tubuh

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan yang dapat mengganggu proses kerja sehingga menjadi kurang

PREVALENSI KONSTIPASI DAN FAKTOR RISIKO KONSTIPASI PADA ANAK

Transkripsi:

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Konstipasi Konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per minggu dan konsistensi tinja lebih keras dari biasanya. Konstipasi fungsional didasarkan atas tidak dijumpainya kelainan organik ataupun patologis yang mendasarinya walau telah dilakukan pemeriksaan objektif yang menyeluruh. Pasien yang mengalami konstipasi memiliki persepsi gejala yang berbeda-beda. Menurut World Gastroenterology Organization (WGO) beberapa pasien (52%) mendefinisikan konstipasi sebagai defekasi keras, tinja seperti pil atau butir obat (44%), ketidakmampuan defekasi saat diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang (33%). Menurut North American Society of Gastroenterology and Nutrition, konstipasi didefinisikan dengan kesulitan atau lamanya defekasi, timbul selama 2 minggu atau lebih, dan menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien. Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology menjelaskan definisi konstipasi sebagai defekasi yang terganggu selama 8 minggu dengan mengikuti minimal dua gejala sebagai berikut: defekasi kurang dari 3 kali per minggu, inkontinensia, frekuensi tinja lebih besar dari satu kali per minggu, massa tinja yang keras yang dapat mengetuk 8 4,7 4

kloset, massa tinja teraba di abdomen, perilaku menahan defekasi, nyeri saat defekasi. 9 2.2. Epidemiologi Konstipasi Konstipasi sering terjadi pada anak. Loening-Baucke melaporkan prevalensi konstipasi pada anak usia 4 sampai 17 tahun adalah 22,6% 10 sedangkan untuk usia di bawah 4 tahun hanya memiliki prevalensi kejadian konstipasi sebesar 16%. 11 Pada studi longitudinal, Saps dkk melaporkan 16% anak usia 9 sampai 11 tahun menderita konstipasi. Konstipasi yang tersering adalah konstipasi fungsional. Didapati 90% sampai 97% kasus konstipasi yang terjadi pada anak merupakan suatu konstipasi fungsional. 6,13 12 2.3. Patogenesis Ada beberapa faktor penyebab yang dijumpai untuk terjadinya konstipasi. Penyebab terjadinya konstipasi dapat dibedakan berdasarkan struktur atau gangguan motilitas dan fungsi atau gangguan bentuk pelvik. Gangguan motilitas dapat disebabkan oleh nutrisi tidak adekuat, motilitas kolon melemah, dan faktor psikiatri. Gangguan bentuk pelvik dapat berupa fungsi pelvik dan sfingter melemah, obstruksi pelvik, prolapsus rektum, enterokel, intususepsi rektum, dan rektokel. 8

2.4. Istilah- istilah yang berkaitan dengan konstipasi Menurut kriteria Paris Consensus on Childhood Constipation Terminology (PaCCT), ada beberapa istilah yang berhubungan dengan konstipasi yaitu, sebagai berikut : 14 1. Konstipasi kronik Dalam 8 minggu memenuhi dua atau lebih dari kriteria berikut : frekuensi defekasi kurang dari 3 kali per minggu, lebih dari satu kali episode inkontinensia feses per minggu, tinja yang banyak di rektum atau abdomen dan teraba pada pemeriksaan fisik, feses yang melewati rektum terlalu banyak sehingga dapat menyebabkan obstruksi di kloset, perilaku menahan defekasi, dan nyeri defekasi. 2. Inkontinensia fekal yaitu aliran feses pada tempat yang tidak seharusnya. 3. Inkontinensia fekal organik yaitu inkotinensia fekal yang didapat dari kelainan organik. 4. Inkontinensia fekal fungsional yaitu inkontinensia fekal yang didapat dari penyakit non organik, dapat berupa konstipasi yang berhubungan dengan inkontinensia fekal, dan inkontinensia fekal non retensi. 5. Konstipasi berhubungan dengan inkontinensia fekal yaitu inkontinensia fekal fungsional yang berhubungan dengan kehadiran konstipasi.

6. Fekal inkontinensia non retensi yaitu aliran feses tidak sesuai tempat, terjadi pada anak usia empat tahun atau lebih tanpa ada riwayat dan gejala klinis konstipasi. 7. Feses keras yaitu massa feses mengeras dan membatu pada rektum atau abdomen yang tak dapat bergerak. Massa feses dapat terlihat dan dipalpasi di abdomen. 8. Disinergi pelvik yaitu ketidakmampuan pelvik relaksasi ketika defekasi. 2.5. Patofisiologi Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum. Regangan tersebut menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna yang akan direspon dengan kontraksi sfingter anus eksterna. Saat proses defekasi, sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis mengadakan relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus dan rektum terbuka, membentuk jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui anus. Kemudian dengan mengedan, yaitu meningkatnya tekanan abdomen dan kontraksi rektum, akan mendorong tinja keluar melalui anus. 4,6 Pada posisi jongkok, sudut antara anus dan rektum ini akan menjadi lurus akibat fleksi maksimal dari paha. Hal ini akan memudahkan proses defekasi dan tidak memerlukan tenaga mengedan yang kuat. Pada posisi duduk, sudut antara anus dan rektum ini menjadi tidak cukup lurus sehingga membutuhkan tenaga mengedan yang lebih kuat. Akibat

semakin kuat tenaga mengedan yang dibutuhkan, lama - kelamaan dapat menimbulkan kerusakan pada daerah rektoanal yang dapat menimbulkan konstipasi dan hemorrhoid. 4,6 Gambar 2.1. Anatomi daerah anorektal Keuntungan posisi jongkok dibandingkan posisi duduk yaitu: 15 1. Posisi jongkok memanfaatkan gravitasi di mana berat tubuh yang ditopang paha memudahkan kompresi kolon sehingga mengurangi ketegangan saat defekasi. Defekasi menjadi lebih cepat, lebih mudah, dan lancar. 2. Posisi jongkok mencegah kontaminasi pada usus halus akibat kebocoran pada katup ileosekal 3. Posisi jongkok mengangkat kolon sigmoid untuk mengurangi kekakuan di pintu masuk rektum. 4,6

4. Posisi jongkok melindungi saraf yang mengontrol prostat, kandung kemih, dan uterus. 2.6. Diagnosis Konstipasi Pada umumnya, gejala klinis dari konstipasi adalah frekuensi defekasi kurang dari 3 kali per minggu, feses keras dan kesulitan untuk defekasi. Anak sering menunjukkan perilaku tersendiri untuk menghindari proses defekasi. Pada bayi, nyeri ketika akan defekasi ditunjukkan dengan menarik lengan dan menekan anus dan otot-otot bokong untuk mencegah pengeluaran feses. Balita menunjukkan perilaku menahan defekasi dengan menaikkan ke atas ibu jari-ibu jari dan mengeraskan bokongnya. Sesuai dengan Kriteria Rome III, diagnosis konstipasi fungsional berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut: Kriteria diagnostik harus memenuhi dua atau lebih dari kriteria di bawah ini, dengan usia minimal 4 tahun: 1. Kurang atau sama dengan 2 kali defekasi per minggu. 2. Minimal satu episode inkontinensia per minggu. 3. Riwayat retensi tinja yang berlebihan. 4. Riwayat nyeri atau susah untuk defekasi. 5. Teraba massa fekal yang besar di rektum. 6. Riwayat tinja yang besar sampai dapat menghambat kloset. Kriteria dipenuhi sedikitnya 1 kali dalam seminggu dan minimal terjadi 2 bulan sebelum diagnosis. 16 4

2.7. Faktor risiko konstipasi Pengenalan dini faktor-faktor risiko pencetus konstipasi dapat membantu untuk mencegah konstipasi itu sendiri. Pengembangan faktor-faktor risiko yang dapat mencetus konstipasi mencakup berbagai segi studi penelitian. 17 Tabel 2.1. Faktor-fator risiko konstipasi pada anak Faktor risiko konstipasi pada anak A. Jenis kelamin B. Tingkat pergerakan C. Asupan serat harian D. Asupan cairan harian E. Penggunaan kamar mandi F. Kondisi fisiologis: 1. Gangguan metabolik 2. Gangguan bentuk panggul 3. Gangguan neuromuskular 4. Gangguan endokrin 5. Gangguan abdominal 6. Kolorektal G. Kondisi psikologis: 1. Gangguan psikiatri 2. Gangguan belajar atau demensia H. Medikasi: 1. Anti emetik: 2. Obat-obatan penghambat saluran kalsium 3. Suplemen besi 4. Analgetik: analgetik non-opioid, opioid 5. Antikolinergik: anti kejang, anti depresi, anti Parkinson, anti spasmodik 6. Kemoterapi sitotoksik: agen sitotoksik, agen alkaloid Vinca 17 2.8. Penatalaksanaan Penatalaksanaan konstipasi fungsional melibatkan faktor non farmakologi dan faktor farmakologi. 18 Secara umum tatalaksana konstipasi fungsional meliputi:

1. Evakuasi tinja Evakuasi tinja adalah proses yang dilakukan untuk mengeluarkan massa tinja atau skibala yang teraba pada pada palpasi regio abdomen bawah. Evakuasi skibala ini perlu dilakukan sebelum terapi rumatan. Evakuasi tinja dapat dilakukan dengan obat oral atau rektal. 4,19-21 Tabel 2.2. Anjuran obat yang diberikan untuk evakuasi tinja pada anak Obat-obatan 1. Bayi ( di bawah 1 tahun) Gliserin supositoria Enema: 6 ml/kgbb, maksimal 135 ml 20 2. Anak anak ( di atas 1 tahun) Evakuasi tinja secara cepat Enema: 6 ml/kg (maksimal 135 ml) setiap 12 sampai 24 jam 1 sampai 3 kali Minyak mineral Fosfat Pengobatan kombinasi: enema,supositoria, dan pencahar Hari 1: enema setiap 12 sampai 24 jam Hari 2: Bisakodil supositoria (10 mg) setiap 12 sampai 24 jam Hari 3: Bisakodil tablet setiap 12 sampai 24 jam PEG secara oral atau NGT: 25 ml/kgbb/jam (maksimal 1000 ml/jam) selama 4 jam perhari Evakuasi tinja secara lebih lambat Minyak mineral secara oral: 15 sampai 30 ml/tahun usia/hari untuk 3 atau 4 hari Senna oral: 15 ml setiap 12 jam untuk 3 dosis Magnesium sitrat (maksimal 300 ml) 2. Terapi rumatan Segera setelah berhasil melakukan evakuasi tinja, terapi ditujukan untuk mencegah kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku, edukasi pada orang tua, konsultasi dan pemberian

obat- obatan untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang sempurna. 4,23-25 Terapi rumatan mungkin diperlukan selama beberapa bulan. Bila defekasi telah normal, terapi rumatan dapat dikurangi untuk kemudian dihentikan. Pengamatan perlu dilakukan karena angka kekambuhan tinggi, dan pada pengamatan jangka panjang banyak anak yang masih memerlukan terapi rumatan sampai dewasa. Tabel 2.3. Anjuran obat untuk terapi rumatan pada anak. Obat- obatan 20 2,7,26,27 Lubrikan: minyak mineral: 1 sampai 3 ml/kgbb/hari Laksatif osmotik: Laktulosa Mg hidroksida (konsentrasi 400 mg/5ml) 1 sampai 3 ml/kgbb/hari dosis terbagi Mg hidroksida (konsentrasi 800 mg/5ml) 0,5 ml/kgbb/hari dosis terbagi PEG (17 gr/240 ml air) 1 gr/kgbb/hari dosis terbagi Sorbitol: 1 sampai 3 ml/kgbb/hari dosis terbagi Laksatif stimulan: Sirup senna Bisakodil tablet: 1 sampai 3 tab/hari Pemberian melalui rektal: Gliserin supositoria Bisakodil supositoria

2.9. Kerangka Konseptual Asupan serat harian Asupan cairan harian Kondisi fisiologis Kondisi psikologis Medikasi Posisi BAB - Jongkok - Duduk Penderita Konstipasi Kriteria Rome III Edukasi Perubahan tingkah laku Pencahar Obat-obatan mempengaruhi aktivitas anak sehari-hari 3 episode dalam satu periode waktu selama 3 bulan Feses keras& Frekuensi 2 x/minggu : yang diamati dalam penelitian Gambar 2.2. Kerangka konsep penelitian