KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

dokumen-dokumen yang mirip
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

Berdasarkan angka 1 dan 2 diatas dan dengan pertimbangan hal-hal, antara lain: 1. Azas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

1. Penerapan KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORI

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Mencermati Peradilan di Indonesia

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 49/PUU-X/2012 Tentang Persetujuan Majelis Pengawas Daerah Terkait Proses Peradilan

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG PERMOHONAN KASASI PERKARA PIDANA YANG TERDAKWANYA BERADA DALAM STATUS TAHANAN

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

Meminimalisir Bolak Baliknya Perkara Antara Penyidik dan Penuntut Umum.

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

LAPORAN KEJADIAN NO... Nama :... Jenis kelamin :... Pekerjaan :... Tempat Tinggal :... Kebangsaan :...

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

QANUN KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 12 TAHUN 2008 PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH (PPNSD) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN ACEH TENGAH

Demikian untuk menjadi maklum

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN LAMONGAN

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

Demikian untuk dilaksanakan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI PELAPOR DAN SAKSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

SURAT USULAN PEMBENTUKAN TIM PEMERIKSA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 5 TAHUN 2009 TENTANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SELAYAR. dan BUPATI SELAYAR

PROSEDUR TINDAKAN KEPOLISIAN TERHADAP PEJABAT NEGARA. Oleh INDARTO BARESKRIM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Rep

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI PELAPOR DAN SAKSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan pr

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bagian Kedua Penyidikan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN PASURUAN

SURAT EDARAN Nomor : 2 Tahun 1998 Tentang Pemohonan Kasasi Perkara Perdata Yang Terdakwanya berada dalam Status Tahanan

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM PASER UTARA,

BUPATI KAPUAS HULU PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 8 TAHUN 2014

SALINAN. jdih.bulelengkab.go.id

diatur dalam KUHAP belum dilaksanakan secara konsekuen.

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129/PMK.03/2012 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

SURAT EDARAN NOMOR 12 TAHUN 1985

SURAT EDARAN Nomor : 01 Tahun 1975

Jakarta, 17 Nopember No. : MA/Pemb./3832/83. Lampiran : 2 (dua) copy surat. Kepada: Yth. Sdr. Ketua Pengadilan Negeri di Seluruh Indonesia.

Transkripsi:

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-399/E/9/1993 Sifat : PENTING Lampiran : 1 (satu) Exp. Perihal : Tata Cara Tindakan Kepolisian Terhadap Pelabat-pejabat Tertentu Dilingkungan Badan Peradilan. Jakarta, 7 September 1993 KEPADA YTH. SDR. KEPALA KEJAKSAAN TINGGI Di - SELURUH INDONESIA Berdasarkan hasil pengamatan kami terhadap Pelaksanaan wewenang Jaksa Agung untuk melakukan tindakan Kepolisian terhadap pejabat-pejabat tertentu dilingkungan badan peradilan, ternyata masih diperlukan adanya petunjuk teknis agar kewenangan tersebut dapat ditakukan secara tertib dan cermat. Sehubungan dengan itu dan sebagai tindak lanjut hasil Rapat kerja Kejaksaan Tahun 1993, bersama ini disampaikan teknis sebagai berikut : 1. Dalam hal penyidik akan melakukan tindakan Kepolisian dalam bentuk penangkapan atau penahanan terhadap : Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Agung, Ketua Muda dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, atau Ketua/Wakil Ketua, Hakim Anggota Pengadilan Agama, sebelum pelaksanaannya harus dipenuhi persyaratan berupa izin Jaksa Agung untuk menangkap/menahan pejabat-pejabat dimaksud. lzin tersebut diajukan dengan cara sebagai berikut : a. Pejabat penyidik yang berkepentingan mengajukan permohonan izin kepada Jaksa Agung R.I. melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dengan tembusan kepada : - Ketua Mahkamah Agung RI/Menteri Kehakiman RI/Menteri Agama RI; - Kajati dan Kajari dalam daerah hukum penyidik yang bersangkutan.

b. Pengajuan permohonan dilakukan dengan memperhitungkan tenggang waktu yang wajar bagi penyelesaian izin tersebut dan pelaksanaan penangkapan dan/atau penahanan dimaksud. c. Khusus bagi pengajuan permohonan izin untuk menangkap/menahan Ketua/Wakil Ketua, Ketua Muda, Hakim Anggota Mahkamah Agung, tembusan sebagaimana dimaksud huruf a, disampaikan pula kepada Presiden. lzin untuk menangkap/menahan pejabat-pejabat dimaksud dapat dikeluarkan setelah mendapat persetujuan Presiden (sesuai ketentuan pasal 17 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985); d. Penangkapan dan/atau penahanan baru dapat dilaksanakan penyidik setelah izin Jaksa Agung sebagaimana dimaksud butir 1 diterima oleh Penyidik; e. Setelah melakukan penangkapan dan/atau penahanan, penyidik melaporkan hal itu kepada atasannya dengan tembusan kepada pejabat-pejabat tersebut huruf a dan c; f. Pengajuan permohonan izin dilakukan dengan menggunakan fasilitas tercepat. 2. Sesuai fatwa Ketua Mahkamah Agung R.I. No. KMA/ 125/RHS/VII/1991 tanggal 31 Agustus 1991 pemanggilan untuk kepentingan pemeriksaan pro yustisia hanya dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung, setelah mendapat persetujuan dari Ketua Mahkamah Agung/Menteri Kehakiman/ Menteri Agama. Untuk mendapatkan perintah tersebut, agar diajukan permohonan sesuai dengan Tata Cara tersebut butir 1. 3. Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud butir 1 dan 2, tidak berlaku dalam hal: a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan atau, b. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana mati, atau; c. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

4. Kajati dan Kajari yang menerima tembusan surat permohonan dimaksud butir 1 huruf a dan c, segera mempelajarinya dan kemudian menyampaikan pendapatnya kepada Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Tindak Pidana Umum dengan menggunakan sarana tercepat. 5. Kajati meneruskan petunjuk tehnis ini kepada para Kajari/ Kacabjari dalam daerah hukumnya masing-masing dan menindak lanjuti dalam bentuk koordinasi dengan penyidik POLRI. Demikian untuk maklum dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA UMUM ttd I.N. SUWANDHA, S.H. TEMBUSAN: 1. YTH. BAPAK JAKSA AGUNG; (sebagai laporan) 2. YTH. BAPAK WAKIL JAKSA AGUNG; 3. YTH. SDR PARA JAKSA AGUNG MUDA 4. Arsip.

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 31 Agustus 1991 Nomor : KMA/125/RHS/VIll/1991 Lampiran : - Perihal : Permohonan Fatwa Kepada Yth. SDR. JAKSA AGUNG RI. Di - JAKARTA. Memperhatikan surat Saudara tanggal 12 Juli 1991 Nomor: B-029/A- 5/7/1991 perihal diatas, bersama ini disampaikan pendapat Mahkamah Agung sebagai berikut : Meskipun ketentuan perundang-undangan hanya menyebut "ditangkap' atau "ditahan" bagi Hakim yang harus atas perintah Jaka Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman/Menteri Agama, namun demi pengertian posisi Hakim yang harus dihormati kami berpendapat bahwa untuk 'memanggil" atau untuk "meminta keterangan"-pun harus ada perintah Jaksa Agung terlebih dahulu setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman/Menteri Agama, sepanjang hal itu dilakukan dalam hubungan adanya dugaan bahwa seorang Hakim telah melakukan tindak pidana atau menjadi saksi dalam perkara pidana (pemanggilan pro Yustisia). Dalam hubungannya dengan permohonan fatwa ini kiranya perlu kami ingatkan kembali akan adanya surat Jaksa Agung No. : R-214/A- 3/12/1977 tanggal: 27 Desember 1997 perihal Pemeriksaan Saksi/Tersangka NOOR EFFENDI, SH., Hakim Pengadilan Negeri Singkawang yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung Rl yang intinya meminta persetujuan Ketua Mahkamah Agung untuk kepentingan kelancaran pemeriksaan karena yang bersangkutan menduduki jabatan Hakim.

Demikian pendapat kami, kiranya untuk masa-masa yang akan datang persoalan ini tidak akan menimbulkan masalah lagi. TEMBUSAN: 1. Yth. Sdr. Menteri Kehakiman - RI 2. Yth. Sdr. Menteri Agama - RI 3. Yth. Sdr. Kepala Kepolisian RI 4. Arsip. KETUA MAHKAMAH AGUNG - RI ttd ALI SAID, SH.

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 12 Juli 1991 Nomor : B-020/A-5/7/1991 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Permohonan Fatwa. KEPADA YTH. SDR. KETUA MAHKAMAH AGUNG RI Di - JAKARTA. Diberitahukan dengan hormat bahwa akhir-akhir ini sering diterima laporan dari daerah tentang berbagai kasus yang menyangkut panyidikan terhadap anggota MPR/DPR, pejabat Kepala Daerah maupun Hakim. Dari hasil pengamatan kami mengenai penyidikan yang dilakukan terhadap para pejabat MPR/DPR maupun pejabat Kepala Daerah pada umumnya penyidik tidak mengalami kesulitan karena ketentuan dalam Undang-Undang yang mengatur tata cara tindakan kepolisian terhadap anggota/pimpinan MPR, DPR dan pejabat Kepala Daerah cukup jelas sebagaimana diatur dalam pasal I dan pasal 3 UU No. 13 Tahun 1970 tentang tata cara tindakan kepolisian terhadap anggota/pimpinan MPR dan DPR dan pasal 83 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Namun mengenai penyidikan terhadap para Hakim baik Hakim Agung, Hakim Pengadilan Umum maupun Hakim Pengadilan Agama, tata cara tindakan kepolisian tersebut diatur dalam pasal 37 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung, pasal 26 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang bunyinya sebagai berikut : Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Menteri Agama kecuali..dst.

Sehubungan dengan hal tersebut ada pihak yang berpendapat bahwa untuk memanggil seorang Hakim atau untuk meminta keterangan, harus diartikan identik/analog dengan tindakan kepolisian "menangkap" dan "menahan", dengan demikian pelaksanaannya harus atas perintah Jaksa Agung dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman atau Menteri Agama (khusus Hakim Agama), sedangkan menurut bunyi pasal 37 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, pasal 26 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 dan pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, surat perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman/Menteri Agama itu apabila Hakim Agung, Hakim Pengadilan Negeri/Hakim Pengadilan Agama tersebut akan ditangkap dan ditahan (sebahagian dari tindakan kepolisian). Mengingat istilah penangkapan dan penahanan telah diatur dalam pasal I butir 20 dan 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (penafsiran otentik), maka menurut pendapat kami sulit untuk difahami apabila pengertian ditangkap dan ditahan tersebut dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun I NO harus diartikan sama dengan tindakan kepolisian sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1970. Dalam pada itu karena adanya perbedaan pendapat sebagaimana yang kami uraikan diatas, maka mohon kiranya Saudara Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan dan pendapat/fatwa mengenai masalah ini, teristimewa masalah pemanggilan seorang Hakim atau meminta keterangan, apakah dipelukan terlebih dahulu perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan dari Ketua Mahkamah Agung, dan Menteri Kehakiman atau Menteri Agama (untuk Hakim Agama). Demikian untuk dimaklumi dan atas kerjasama yang baik dalam hal ini diucapkan terima kasih. TEMBUSAN : 1. YTH. SDR. MENTERI KEHAKIMAN R.I. 2. YTH. SDR. MENTERI AGAMA R.I. 3. YTH. SDR. KEPALA KEPOLISIAN R.I. 4. ARSIP JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Ttd SINGGIH, SH.