HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kondisi Existing Usahatani di DAS Siulak Biofisik lahan

dokumen-dokumen yang mirip
METODOLOGI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Komoditas Caisin ( Brassica rapa cv. caisin)

PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

III. BAHAN DAN METODE. Universitas Lampung pada titik koordinat LS dan BT

BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PERBENIHAN BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan

TEKNIK BUDIDAYA TOMAT

Peluang Usaha Budidaya Cabai?

MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG

Pengenalan Penyakit yang Menyerang Pada Tanaman Kentang

Tri Fitriani, Tamaluddin Syam & Kuswanta F. Hidayat

TEKNOLOGI BUDIDAYA UBI KAYU UNTUK MENCAPAI PRODUKSI OPTIMAL

PERTUMBUHAN DAN HASIL KENTANG MERAH DI DATARAN MEDIUM KABUPATEN REJANG LEBONG BENGKULU PENDAHULUAN

Oleh Administrator Kamis, 07 November :05 - Terakhir Diupdate Kamis, 07 November :09

I. PENDAHULUAN. atau jamu. Selain itu cabai juga memiliki kandungan gizi yang cukup

IX. DISAIN MODEL PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA BERBASIS AGROEKOLOGI PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG

BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

Teknik Budidaya Kubis Dataran Rendah. Untuk membudidayakan tanaman kubis diperlukan suatu tinjauan syarat

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Vol 2 No. 2 April Juni 2013 ISSN :

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KENTANG MERAH PADA LAHAN DATARAN TINGGI KABUPATEN REJANG LEBONG BENGKULU ABSTRAK

Teknologi Produksi Ubi Jalar

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. METODE PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan

VI ANALISIS RISIKO PRODUKSI CAISIN

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani.

BUDIDAYA BAWANG MERAH DI LAHAN KERING

POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING

ANALISIS USAHATANI SAYURAN DI DATARAN TINGGI KERINCI PROVINSI JAMBI. Suharyon Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. aktivitas dan produktivitas kerja. Jumlah petani pada pola tanam padi-ubi

Peluang Usaha Budidaya Cabe Merah

BALITSA & WUR the Netherlands,

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

PENDAHULLUAN. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Jurnal Cendekia Vol 12 No 1 Januari 2014 ISSN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Mei 2017 di Lahan Fakultas

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Usahatani Tumpang Sari Tanaman Tomat dan Cabai di Dataran Tinggi Kabupaten Garut

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BAWANG MERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Teknik Budidaya Bawang Merah Ramah Lingkungan Input Rendah Berbasis Teknologi Mikrobia PGPR

PENGARUH BERBAGAI JENIS BAHAN ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.)

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR

Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian di DAS Ciliwung hulu tahun ,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 2 Tahun

MODUL BUDIDAYA KACANG TANAH

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

Sistem Usahatani Konservasi Tanah pada Pertanaman Kubis Dataran Tinggi

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

PENGENALAN AGROTEKNOLOGI TANAMAN KENTANG SPESIFIK LOKASI DI KECAMATAN KAYU ARO BARAT, KABUPATEN KERINCI

PETUNJUK PELAKSANAAN GELAR TEKNOLOGI BUDIDAYA TOMAT

Efektivitas Pupuk Organik Kotoran Sapi dan Ayam terhadap Hasil Jagung di Lahan Kering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai

DAMPAK TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH LOKAL PALU TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA

LAPORAN HASIL PERCOBAAN

Teknologi Budidaya Tumpangsari Ubi Kayu - Kacang Tanah dengan Sistem Double Row

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

geografi Kelas X PEDOSFER III KTSP & K-13 H. SIFAT KIMIA TANAH a. Derajat Keasaman Tanah (ph)

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Screen House, Balai Penelitian Tanaman Sayuran

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. dengan ketinggian tempat ± 25 di atas permukaan laut, mulai bulan Desember

PETUNJUK LAPANGAN ( PETLAP ) PEMUPUKAN TEPAT JENIS dan DOSIS UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS PADI. Oleh :

PERENCANAAN USAHATANI SAYURAN BERKELANJUTAN BERBASIS KENTANG DI DAS SIULAK, KABUPATEN KERINCI JAMBI HENNY H.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Model Usahatani Konservasi Berbasis Sumberdaya Spesifik Lokasi di Daerah Hulu Sungai (Studi Kasus: Lahan Pertanian Berlereng di Hulu Sub DAS

I. PENDAHULUAN. negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di

LAMPIRAN. Lampiran 1. Layout Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cabai (Capsicum annuum L.) adalah salah satu komoditas hortikultura

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kondisi Existing Usahatani di DAS Siulak Biofisik lahan Penggunaan lahan pertanian sayuran berbasis kentang di DAS Siulak saat ini sesuai dengan kemampuan lahan, dan lahan dikelompokkan pada kelas II, III dan IV dengan hambatan adalah kecuraman lereng yaitu berombak atau landai (II-I 1 ), bergelombang atau agak miring (III-I 2 ), dan berbukit atau miring (IV-I 3 ) masing-masing pada lahan dengan kemiringan lereng 3-8 persen (SLP-2), 8-15 persen (SLP-3), dan 15-25 persen (SLP-4). Hambatan pada lahan dengan topografi datar (kemiringan lereng 0-3 persen) adalah kedalaman tanah yang tergolong sedang (II-k 1 ) (Tabel 9, Lampiran 17). Secara keseluruhan lahan pertanian campuran di DAS Siulak mempunyai kedalaman tanah tergolong sedang dan diduga akibat telah terjadinya pengurangan kedalaman oleh erosi. Hal ini terkait dengan ciri Andisol yang umumnya mempunyai solum dalam tetapi peka terhadap erosi (Prasetyo 2005), karena mempunyai kandungan debu tinggi dan berada pada daerah berlereng dengan curah hujan tinggi (Dariah dan Husen 2004, Kurnia et al. 2004). Oleh karena itu dalam penggunaan lahan untuk usahatani sayuran sebagaimana penggunaan saat ini, perlu penerapan teknik KTA untuk mengendalikan erosi sekaligus menjaga kedalaman tanah yang cukup untuk produktivitas tanaman yang optimal. Namun usahatani sayuran oleh petani di DAS Siulak dengan guludan tanaman searah lereng yang tidak sesuai dengan kaidah KTA, karena mempercepat aliran permukaan dan meningkatkan erosi dan pada gilirannya akan menyebabkan degradasi lahan. Hasil prediksi erosi menunjukkan bahwa erosi yang terjadi di DAS Siulak bervariasi dengan pola tanam dan kemiringan lereng. Diprediksi erosi 6.87-11.73 ton/ha/tahun pada lahan datar (< Etol 24.09 ton/ha/tahun), 36.23-61.89 ton/ha/tahun pada lahan landai (> Etol 21.94 ton/ha/tahun), 81.38-139.03 ton/ha/tahun pada lahan agak miring (> Etol 22.84 ton/ha), dan 134.13-229.14 ton/ha/tahun pada lahan miring (> Etol 20.89 ton/ha/tahun) (Gambar 5, Lampiran 18). Dengan demikian ancaman bahaya penurunan kualitas lahan di DAS Siulak akibat erosi cukup tinggi dan membutuhkan teknik KTA yang memadai. Pola tanam kentang-cabe menyebabkan erosi paling besar, sebaliknya pada pola tanam kentang-kubis-rumput/semak erosi yang terjadi paling kecil dibandingkan dengan pola tanam lainnya. Perbedaan erosi antar pola tanam

sayuran tersebut disebabkan oleh perbedaan nilai C masing-masing tanaman dan pola tanam. Nilai faktor C kentang, cabe dan rumput/semak masing-masing 0.4, 0.9 dan 0.3 (Lampiran 11), nilai faktor C kubis dan tomat masing-masing 0.46 dan 0.8, dan nilai faktor C pola tanam sayuran berurutan 0.6266 (analisis faktor C oleh Zubair 1994), sehingga nilai faktor C sayuran dengan pola tanam berurutan yang dominan diterapkan petani di DAS Siulak adalah 0.26 (kentangkubis-kentang), 0.37 (kentang-kubis-tomat), 0.24 (kentang-kubis-rumput/semak), 0.31 (kentang-rumput/semak-tomat) dan 0.41 (kentang-cabe). Erosi (ton/ha/tahun) 250 200 150 100 50 0 PT1 PT2 PT3 PT4 PT5 Etol CPmaks 0-3 % 7,44 10,59 6,87 8,87 11,73 24,09 0,842 3-8 % 39,25 55,85 36,23 46,79 61,89 21,94 0,1453 8-15 % 88,16 125,46 81,38 105,12 139,03 22,84 0,0674 15-25 % 145,31 206,78 134,13 173,25 229,14 20,89 0,0479 PT1 = kentang-kubis-kentang, PT2 = kentang-kubis-tomat, PT3 = kentang-kubis-rumput/semak, PT4 = kentang-rumput/semak-tomat, PT5 = kentang-cabe Gambar 5 Prediksi erosi pada lahan pertanian campuran dengan pola tanam sayuran berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Sebagaimana petani di sentra produksi sayuran dataran tinggi (terutama kentang) lainnya di Indonesia (Kurnia et al. 2004), petani di DAS Siulak umumnya enggan menerapkan teknik KTA (terutama guludan memotong lereng atau sejajar kontur) dengan alasan : 1) setelah hujan dapat menyebabkan genangan air pada saluran diantara guludan sehingga meningkatkan kelembaban tanah di dalam guludan tersebut dan merupakan media bagi berkembangnya jamur penyebab penyakit busuk akar atau umbi; 2) sulit, berat dan membutuhkan waktu yang lama dalam mengerjakannya; dan 3) penerapan 54

teknik KTA membutuhkan waktu cukup lama untuk dapat bekerja efektif, sedangkan tanaman sayuran umumnya berumur pendek sehingga penerapan teknik KTA tersebut tidak segera memberi keuntungan Berdasarkan karakteristik lahan dan persyaratan tumbuh tanaman, secara umum lahan pertanian campuran di DAS Siulak cukup sesuai (S2) untuk kentang dan sesuai marjinal (S3) untuk kubis, cabe dan tomat dengan faktor pembatas utama adalah retensi hara yakni kejenuhan basa (KB) sangat rendah (3.34-9.90 persen) dan reaksi tanah masam hingga agak masam (ph 5.0-6.1) serta bahaya erosi (kemiringan lereng, dengan topografi bergelombang hingga berbukit), kecuali SLP-1 (Lampiran 17). Namun untuk kubis, cabe dan tomat kesesuaian lahan mempunyai faktor pembatas utama lainnya yaitu ketersediaan air dari curah hujan (1789.16 mm/tahun, Lampiran 9) melebihi kebutuhan tanaman karena kubis, cabe dan tomat masing-masing membutuhkan curah hujan 350-800 mm/tahun, 600-1200 mm/tahun dan 400-700 mm/tahun (Lampiran 8, Djaenudin et al. 2003). Oleh karena itu usahatani sayuran di DAS Siulak juga perlu peningkatan ph dan KB tanah serta pengaturan pola tanam. Kombinasi jenis tanaman dan pengelolaannya serta teknik KTA yang dibutuhkan untuk lahan pertanian campuran di DAS Siulak ditentukan oleh nilai CP maksimum (CP maks ) pada masing-masing SLP yaitu 0.8420 (SLP-1), 0.0674 (SLP-2), 0.1453 (SLP-3) dan 0.0479 (SLP-4) (Lampiran 18). Semua kombinasi jenis tanaman dan pengelolaannya serta teknik KTA yang memberikan nilai CP maks yang memadai tersebut merupakan teknik KTA yang cocok untuk SLP tersebut (Arsyad 2009, Sinukaban 1989). Selanjutnya nilai CP maks tersebut diaplikasikan untuk merancang teknik KTA alternatif yang akan diintegrasikan ke dalam model usahatani sayuran berbasis kentang yang akan dibangun untuk lahan pertanian campuran di DAS Siulak. Karakteristik sosial-ekonomi petani di DAS Siulak Petani di DAS Siulak sebagian besar dalam usia produktif dengan tingkat pendidikan relatif rendah yakni berusia 20-54 tahun (84.68 % responden), sisanya 55-60 tahun (12.96 % responden) dan 61-82 tahun (2.36 % responden), 35.43 % lulusan sekolah dasar (SD), 26.77 % lulusan sekolah menengah pertama, 25.98 % lulusan sekolah menengah atas dan 3.94 % tidak sekolah dan tidak lulus SD. Usahatani sayuran merupakan pekerjaan atau mata pencaharian utama sebagian besar petani (97.64 % responden) dan sebagian besar petani tersebut (71.65 % responden) tidak mempunyai perkerjaan 55

sampingan. Usaha sampingan sebagian petani terutama yang tidak memiliki lahan dan petani dengan kepemilikan lahan < 0.25 ha adalah warung kecil, tukang ojek, usaha bengkel, tukang perabot, memelihara ternak (kambing, sapi) dan buruh tani; sedangkan petani yang memiliki lahan cukup luas (> 1 ha) dan cukup modal mempunyai usaha kios pupuk/pestisida atau pedagang pengumpul. Status lahan usahatani sebagian besar petani (91.49 % responden) adalah milik sendiri yang diperoleh dengan cara beli dari petani lain (dulu membuka hutan) dan sebagian petani (4.84 % responden) dari membuka hutan dan sebagian lagi (7.87 % responden) warisan dari orang tua yang dulunya membuka hutan. Sebagian kecil petani (2.13 % responden) dengan status lahan numpang/minjam. Luas lahan petani tersebar pada skala < 0.25 ha, 0.25-0.50 ha, 0.50-1.00 ha, 1.00-2.00 ha dan > 2.00 ha. Sebagian besar petani (35.11 % responden) memiliki lahan dalam skala > 0.50-1.00 ha (rata-rata 0.82 ha), sedangkan rata-rata kepemilikan lahan paling kecil (< 0.25 ha) adalah 0.12 ha (20.21 % responden). Dengan demikian 32.56 % responden dengan lahan < 0.5 ha, dan sebagian besar (55.82 % responden) dengan lahan 0.25-1.00 (Tabel 6). Tabel 6 Sebaran responden petani berdasarkan luas kepemilikan lahan di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Kepemilikan lahan Responden Rata-rata (ha) Jumlah (%) (ha) < 0.25 11 12.79 0.12 0.25-0.50 17 19.77 0.44 > 0.50-1.00 31 36.05 0.82 > 1.00-2.00 19 22.09 1.52 > 2.00 8 9.30 3.39 86 100.00 Total 94 responden, 6 responden dengan status sewa dan 2 responden dengan status numpang Sumber utama pendapatan petani adalah dari usahatani kentang, kubis, cabe dan tomat dengan tenaga kerja sebagian besar (98.43 % responden) adalah anggota keluarga (terutama bapak dan ibu) dibantu oleh buruh tani. Sumber modal sebagian besar petani adalah modal tunai sendiri ditambah dengan nyaham (terutama untuk usahatani kentang), karena modal tunai sebagian besar petani kurang dari 10 juta rupiah (1-5 juta rupiah 34.32 % responden, 5-10 juta rupiah 47.26 % responden, > 10 juta rupiah 18.42 % responden). Sistem nyaham adalah modal tunai atau pupuk dan pestisida dari pedagang pengumpul dan hasil panen harus dijual kepada pedagang pengumpul tersebut dengan harga lebih rendah (100-200 rupiah per kg hasil panen dibandingkan dengan harga jual saat panen). 56

Agroteknologi petani dalam usahatani sayuran di DAS Siulak Hampir semua petani di DAS Siulak menanam kentang dan sebagian petani menanam kubis, cabe dan tomat dengan 5 pola tanam berurutan berbasis kentang yang dominan yaitu : 1) kentang-kubis-kentang (PT1), 2) kentangkubis-rumput/semak (PT2), 3) kentang-rumput/semak (PT3), 4) kentang-kubistomat (PT4), dan 5) kentang-cabe (PT5). Tanaman lain yang juga ditanam sebagian kecil petani adalah bawang merah, bawang daun, sawi, ubi rambat, bawang bombai, buncis dan wortel dalam luasan kecil (Gambar 6). Persentase responden 120 100 80 60 40 20 98,94 37,23 27,66 17,02 12,77 kentang-kubis-kentang kentang-kubis-rumput/semak kentang-rumput/semak-tomat kentang-kubis-tomat kentang-cabe lain-lain 9,57 6,38 26,6 0 kentang kubis cabe tomat komoditas 21,28 Persentase responden 23,4 (a) (b) Gambar 6 Sebaran responden petani berdasarkan komoditas (a) dan pola tanam (b) yang dominan diusahakan petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Umumnya petani melakukan usahatani campuran (multiple cropping) yaitu menanam 2-3 jenis tanaman atau komoditas dalam waktu yang sama pada satu hamparan lahan yang digarap/dimiliki). Selain karena penanaman kentang monokultur dalam skala luas membutuhkan modal cukup besar, juga sebagai upaya antisipasi gagal panen (akibat serangan penyakit) atau pendapatan yang tidak menguntungkan (akibat harga yang sering fluktuatif). Hal ini sesuai dengan Kurnia et al. (2004) yang mengemukakan bahwa petani sayuran menerapkan sistem tanam campuran umumnya untuk mengurangi resiko kegagalan salah satu komoditas, baik kegagalan secara agronomis maupun ekonomis. Namun multiple cropping juga menguntungkan bagi konservasi sumberdaya lahan dan termasuk dalam payung pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), karena efisien dalam penggunaan sumberdaya lahan dan memberikan penutupan lahan cukup banyak sehingga mengurangi erosi dan memelihara topsoil (Jones 1992). 57

Sebagian besar petani melakukan usahatani sayuran dalam skala sempit yaitu < 0.25 ha dan 0.25-0.50 ha untuk kentang, < 0.25 ha untuk kubis, cabe dan tomat (Tabel 7) yang disebabkan oleh keterbatasan lahan dan/atau modal. Petani yang mempunyai lahan cukup luas (> 0.5 ha) menanam 2-3 jenis tanaman (terutama petani dengan lahan > 1 ha), sedangkan petani dengan lahan sempit (< 0.25 ha) umumnya hanya menanam satu jenis tanaman dengan pola tanam bervariasi. Hal ini sebagaimana menurut Adiyoga et al. (2000) bahwa luas usahatani sayuran dataran tinggi di tingkat petani umumnya rata-rata hanya 0.2-0.3 ha, selain disebabkan oleh kepemilikan atau lahan garapan yang sempit, juga karena biaya usahatani sayuran relatif mahal, modal petani terbatas dan resiko kegagalan yang harus ditanggung sendiri oleh petani. Menurut Widatono (2009) petani dengan lahan cukup luas kesulitan dalam melakukan usahatani campuran karena keterbatasan modal dan waktu, sedangkan petani dengan lahan sempit umumnya sulit atau tidak bisa melakukan usahatani campuran sehingga kegagalan panen berarti gagal untuk memperoleh pendapatan yang menjadi satu-satunya harapan dan akan mengganggu kontinuitas usahatani. Tabel 7 Rata-rata skala luas lahan usahatani, hasil dan pendapatan serta kelayakan finansial usahatani kentang, kubis, cabe dan tomat oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Skala usahatani (ha) Ratarata (ha) Responden (%) Produk -si (ton) Biaya (Rp/musim tanam) Pendapatan (Rp/musim tanam) BCR RCR Kentang < 0.25 0.17 41.49 3.45 5 810 815 4 366 685 0.75 1.75 0.25-0.50 0.33 43.62 6.19 12 079 588 6 180 912 0.51 1.51 > 0.50-1.00 0.89 10.64 16.75 27 201 426 22 211 074 0.81 1.81 > 1.00 1.67 4.26 38.36 70 712 082 42 449 918 0.60 1.60 Kubis < 0.25 0.15 60.00 5.20 1 019 000 1 481 000 1.45 2.45 0.25-0.50 0.39 40.00 12.93 2 877 571 3 587 429 1.25 2.25 Cabe < 0.25 0.14 69.23 1.78 6 276 470 6 183 530 0.99 1.99 0.25-0.50 0.33 23.08 4.02 10 655 000 17 485 000 1.64 2.64 0.50-1.00 0.80 7.69 11.49 32 916 600 47 513 400 1.44 2.44 Tomat < 0.25 0.13 81.25 4.03 10 038 000 2 052 000 0.20 1.20 0.25-0.50 0.43 18.75 11.33 26 348 600 7 641 400 0.30 1.30 Khusus untuk usahatani kentang, skala luas usahatani yang sempit juga disebabkan oleh kekhawatiran petani akan tingginya ancaman serangan penyakit busuk daun oleh Phytophthora sp dan penyakit layu oleh Fusarium sp. Purwantisari et al. (2008) mengemukakan bahwa penyakit busuk batang dan 58

daun tanaman kentang oleh Phytophthora infestans sering terjadi di dataran tinggi yang bersuhu rendah dengan kelembaban tinggi dan dapat menurunkan produksi hingga 90 %. Belum ada fungisida yang benar-benar efektif dan belum ada varietas kentang yang benar-benar tahan terhadap penyakit tersebut, sehingga merupakan masalah krusial atau paling serius diantara penyakit yang menyerang tanaman kentang di Indonesia. Namun hampir semua petani di DAS Siulak menggunakan bibit kentang dari hasil panen sendiri terus menerus, tanpa seleksi di lapangan dan di penyimpanan. Menurut Purwantisari et al. (2008) saat di lapangan P. infestans dalam masa inkubasi, jika disimpan untuk bibit menyebabkan jamur ini berkembang di tempat penyimpanan dan selanjutnya penyakit tersebut berkembang di lapangan pada musim tanam selanjutnya. Oleh karena itu penggunaan bibit kentang hasil panen terus menerus oleh petani dapat menjadi salah satu penyebab tingginya serangan penyakit oleh P. infestans pada usahatani kentang di DAS Siulak. Rata-rata produktivitas kentang oleh petani di DAS Siulak 20.20 ton/ha, kubis 33.91 ton/ha, cabe 12.99 ton/ha dan tomat 27.20 ton/ha, cukup baik dibandingkan dengan rata-rata produktivitas kentang, kubis, cabe dan tomat nasional pada tahun 2009 masing-masing 16.51 ton/ha, 20.03 ton/ha, 5.89 ton/ha dan 12.0 ton/ha (BPS 2009). Namun hanya usahatani kubis yang mempunyai BCR > 1 dan RCR > 2, sedangkan usahatani kentang, cabe dan tomat pada masing-masing skala usahatani mempunyai BCR < 1 (kecuali cabe 0.25-0.5 ha dan > 0.5-1 ha). Hal ini menunjukkan bahwa usahatani kubis dan cabe (0.33 dan 0.80 ha) efisien dan menguntungkan. Usahatani kubis efisien dan menguntungkan disebabkan oleh rendahnya penggunaan pupuk dan bahkan sebagian petani tidak melakukan pemupukan sehingga biaya usahatani lebih kecil (Lampiran 19). Petani umumnya menanam kubis setelah kentang dan menganggap kebutuhan pupuk terpenuhi dari sisa pupuk pertanaman kentang. Berdasarkan pola tanam dan luas laha, hanya pola tanam kentang-cabe pada lahan 0.82 ha yang efisien dan menguntungkan (BCR 1.18), sedangkan pola tanam lain dengan lahan 0.12, 0.44 dan 0.82 hektar mempunyai BCR < 1. Selanjutnya pendapatan usahatani sebesar Rp 3 367 866 - Rp 8 382 534 (lahan 0.12 ha), Rp 12 288 572 - Rp 12 288 572 (lahan 0.44 ha), dan Rp 24 511 491 - Rp 69 165 370 (lahan 0.82 ha), dan lebih kecil dengan pola tanam kentangkubis-rumput/semak dan kentang-rumput/semak-tomat yaitu masing-masing Rp 355 597.17 - Rp 2 042 624.25 (23.4 % responden), dan Rp 280 655.50-59

Rp 2 356 955.42 (21.28 % responden). Dengan demikian pendapatan usahatani dengan lahan < 0.5 ha (32.56 % responden) tidak memenuhi pendapatan untuk kebutuhan hidup layak (Rp 28 000 000/tahun), dan makin kecil dengan penerapan pola tanam kentang-kubis-rumput/semak dan kentang-rumput/semaktomat. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya pendapatan petani di DAS Siulak disebabkan oleh keterbatasan lahan dan usahatani yang dilakukan tidak efisien. Tabel 8 Pendapatan dan kelayakan usahatani sayuran dengan pola tanam berbasis kentang oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Pola tanam Biaya Penerimaan Pendapatan BCR RCR... Rp/tahun... Lahan 0.12 ha Kt - Kb - Kt 9 018 704 16 368 236 7 349 532 0.81 1.81 Kt - Kb - Tm 15 791 451 20 344 117 6 161 320 0.39 1.39 Kt - Kb - R/S 4 916 952 9 184 118 4 267 166 0.87 1.87 Kt - R/S - Tm 14 976 251 18 344 117 3.367 866 0.23 1.23 Kt - Cb 9 481 583 17 864 117 8 382 534 0.88 1.88 Lahan 0.44 ha Kt - Kb - Kt 35 458 724 55 988 512 12 288 572 0.58 1.58 Kt - Kb - Tm 46 313 743 66 421 645 20 107 902 0.43 1.43 Kt - Kb - R/S 19 352 607 31 641 179 12 288 572 0.64 1.64 Kt - R/S - Tm 30 312 784 59 127 799 15 882 616 0.53 1.53 Kt - Cb 43 067 784 61 867 332 18 799 548 0.44 1.44 Lahan 0.82 ha Kt - Kb - Kt 53 370 466 98 346 092 44 975 626 0.84 1.84 Kt - Kb - Tm 55 269 614 87 600 435 32 330 821 0.59 1.59 Kt - Kb - R/S 28 308 478 52 819 969 24 511 491 0.87 1.87 Kt - R/S - Tm 52 023 124 80 306 589 28 283 465 0.54 1.54 Kt - Cb 58 801 503 127 966 873 69 165 370 1.18 2.18 KHL = Rp 28 000 000,- ; Kt = kentang, Kb = kubis, Tm = tomat, R/S = rumput/semak, Cb = cabe Penilaian Keberlanjutan Usahatani Sayuran di DAS Siulak Penggunaan lahan pertanian sayuran berbasis kentang di DAS Siulak sesuai dengan kemampuan lahan, namun agroteknologi yang diterapkan petani tidak sesuai dengan karakteristik tanah dan kebutuhan tanaman. Diprediksi terjadi erosi melebihi erosi yang dapat ditoleransikan (kecuali pada lahan datar) dan pendapatan usahatani lebih kecil dari kebutuhan petani untuk hidup layak, kecuali dengan lahan > 0.5 ha (rata-rata 0.82 ha) (Tabel 9). Dengan demikian usahatani sayuran berbasis kentang di DAS Siulak tidak berkelanjutan karena tidak memenuhi indikator keberlanjutan usahatani. Oleh karena itu diperlukan perbaikan agroteknologi yakni penerapan teknik KTA yang tepat dan memadai dan peningkatan kesuburan dan produktivitas tanah sesuai dengan karakteristik tanah dan kebutuhan tanaman untuk produktivitas yang optimal. 60

Tabel 9 Kemiringan lereng, kelas kemampuan lahan, agroteknologi, produktivitas, prediksi erosi dan pendapatan usahatani dengan pola tanam sayuran berbasis kentang oleh petani di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi (kondisi existing) Pola tanam Kemiringan lereng (%) Kelas KL Agroteknologi Produktivitas (ton/ha) Erosi (ton/ha/tahun) 0.12 ha 0.44 ha 0.82 ha A Etol Pendapatan (Rp/tahun) BCR Pendapatan (Rp/tahun) BCR Pendapatan (Rp/tahun) PT1 0-3 II-k 1 20.20 7.44 24.09 3-8 II-I 1 (kentang) 39.25 21.94 33.91 7 349 532 0.81 20 529 788 0.58 44 975 626 0.84 8-15 III-I 2 88.16 22.84 15-25 (kubis) IV-I 3 Guludan 145.31 20.89 PT2 0-3 II-k 1 tanaman 20.20 10.59 24.09 3-8 searah (kentang) II-I 1 55.85 21.94 lereng, 33.91 (kubis) 6 161 320 0.39 20 107 902 0.43 32 330 821 0.59 8-15 III-I 2 27.20 125.46 22.84 15-25 bibit IV-I 3 (tomat) 206.78 20.89 kentang PT3 0-3 II-k 1 20.20 6.87 24.09 mutu 3-8 II-I 1 (kentang) rendah, 36.23 21.94 33.91 4 267 166 0.87 12 288 572 0.64 24 511 491 0.87 8-15 III-I 2 takaran 81.38 22.84 15-25 (kubis) IV-I 3 pupuk 134.13 20.89 PT4 0-3 II-k 1 dan 20.20 8.87 24.09 3-8 II-I kapur 1 (kentang) 46.79 21.94 tidak 27.20 3 367 866 0.23 15 882 616 0.53 28 283 465 0.54 8-15 III-I 2 105.12 22.84 sesuai (tomat) 15-25 IV-I 3 173.25 20.89 anjuran PT5 0-3 II-k 1 20.20 11.73 24.09 3-8 II-I 1 (kentang) 61.89 21.94 12.90 8 382 534 0.88 18 799 548 0.44 69 165 370 1.18 8-15 III-I 2 139.03 22.84 (cabe) 15-25 IV-I 3 229.14 20.89 PT 1 = kentang-kubis-kentang, PT 2 = kentang-kubis-tomat, PT 3 = kentang-kubis-rumput/semak, PT 4 = kentang-rumput/semak-tomat, PT 5 = kentang-cabe; KL = kemampuan lahan; A = prediksi erosi, Etol = erosi yang dapat ditoleransikan; BCR = benefit cost ratio; Kebutuhan hidup layak (KHL) = Rp 28 000 000/tahun BCR 61

Efektivitas Teknik KTA pada Pertanaman Kentang dan Kubis Erosi Erosi pada musim tanam pertama (MT-1) maupun pada musim tanam kedua (MT-2) dan pada musim tanam ketiga (MT-3) nyata lebih kecil dengan guludan memotong lereng (P 4 ) dan miring 15 dan 30 derajat (P 5 dan P 6 ) dibandingkan dengan guludan searah lereng (P 0 ) (Tabel 10, Gambar 7). Hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi permukaan tanah akibat perbedaan arah guludan tersebut yang mempengaruhi aliran permukaan dan pada gilirannya mempengaruhi jumlah tanah yang tererosi. Sebagaimana dikemukakan oleh Arsyad (2009) bahwa aliran permukaan adalah air yang mengalir di permukaan tanah dan bentuk aliran ini yang paling penting sebagai penyebab erosi. Jumlah dan kecepatan aliran permukaan merupakan sifat aliran yang mempengaruhi kemampuannya untuk menimbulkan erosi, sedangkan sifat aliran permukaan tersebut dipengaruhi oleh tipe tanah, topografi dan sistem pengelolaan tanah. Tabel 10 Pengaruh teknik KTA terhadap aliran permukaan dan erosi pada pertanaman kentang dan kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan Aliran permukaan Erosi mm % CH ton/ha PETK (%) MT-1 (kentang) P 0 152.29 a 17.92 22.94 a - P 1 98.93 c 11.64 9.62 d 58.06 P 2 92.42 cd 10.88 9.99 cd 56.45 P 3 83.56 d 9.83 7.81 de 65.95 P 4 51.40 e 6.05 4.31 e 81.21 P 5 86.84 d 10.22 4.45 e 80.60 P 6 110.08 b 12.95 17.54 b 23.54 MT-2 (kentang) P 0 24.22 a 4.00 7.79 a - P 1 13.87 c 2.29 3.85 c 50.58 P 2 14.46 bc 2.39 3.15 cd 59.56 P 3 11.86 c 1.96 2.43 de 68.81 P 4 6.83 c 1.13 1.43 e 81.64 P 5 10.94 c 1.81 1.75 e 77.54 P 6 17.93 b 2.96 5.77 b 25.93 MT-3 (kubis) P 0 94.97 a 12.59 17.62 a - P 1 48.09 b 6.38 9.03 bc 51.25 P 2 46.43 b 6.16 7.80 cde 55.73 P 3 41.27 b 5.47 7.33 de 58.40 P 4 30.02 b 3.98 3.96 e 77.53 P 5 41.00 b 5.44 5.86 de 66.74 P 6 52.57 b 6.97 11.53 bc 34.56 * Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk setiap musim tanam tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT * CH (curah hujan) MT-1 = 849.79 mm; MT-2 = 606.03 mm; MT-3 = 754.33 mm (Lampiran 20) * % CH = persentase aliran permukaan terhadap curah hujan * PETK = persentase penurunan erosi terhadap kontrol (P 0)

Guludan memotong lereng dapat berperan sebagai penghambat sehingga mengurangi kecepatan aliran permukaan, sehingga sebagian air hujan yang jatuh di permukaan tanah mempunyai waktu yang lebih lama untuk masuk ke dalam tanah. Sebaliknya pada pertanaman dengan guludan searah lereng, air hujan yang jatuh di permukaan tanah relatif lebih sedikit yang bisa masuk ke dalam tanah, sehingga sebagian besar langsung mengalir sebagai aliran permukaan. Kondisi ini didukung oleh kapasitas infiltrasi yang relatif lebih besar pada P 3, P 4 dan P 5 dibandingkan dengan P 0 (Tabel 11) dan pada gilirannya aliran permukaan lebih kecil. Kapasitas infiltrasi merupakan variabel tanah yang menentukan jumlah aliran permukaan yang akan terjadi dari suatu kejadian hujan, karena infiltrasi merupakan peristiwa atau proses masuknya air ke dalam tanah dan umumnya melalui permukaan tanah secara vertikal. Aliran permukaan akan terjadi jika intensitas hujan melampaui kapasitas infiltrasi. Oleh karena itu tingginya kapasitas infiltrasi atau kemampuan tanah menyimpan air akan dapat mengurangi aliran permukaan (Arsyad 2009). Guludan memotong lereng yang dapat mengurangi kecepatan dan energi aliran permukaan pada gilirannya mengurangi jumlah erosi atau tanah yang terbawa aliran permukaan tersebut. Sebaliknya pada guludan searah lereng, air hujan yang jatuh di permukaan tanah relatif tidak mempunyai waktu yang lama untuk masuk ke dalam tanah dan mengalir dengan cepat di permukaan karena tidak ada penghalang aliran permukaan tersebut. Akibatnya air hujan yang jatuh langsung mengalir dengan kecepatan lebih tinggi dan mengikis permukaan tanah, sehingga aliran permukaan dan erosi lebih besar. Tabel 11 Pengaruh teknik KTA terhadap kapasitas infiltrasi pada pertanaman kentang dan kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan MT-1 (kentang) MT-2 (kentang) MT-3 (kubis)... cm/jam.. P 0 6.59 a (s) 7.57 a (s) 5.84 b (s) P 1 11.59 a (c) 12.95 a (c) 13.00 ab (c) P 2 14.27 a (c) 15.51 a (c) 11.82 ab (c) P 3 15.66 a (c) 20.79 a (sc) 19.71 a (c) P 4 16.61 a (c) 18.48 a (c) 18.79 a (c) P 5 18.02 a (c) 19.33 a (c) 18.96 a (c) P 6 11.45 a (c) 13.84 a (c) 13.51 ab (c) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT; (s) = sedang, (c) = cepat, (sc) = sangat cepat Pertanaman dengan guludan searah lereng juga dapat mengendalikan erosi dengan adanya guludan memotong pada setiap jarak 4.5 m (P 1, P 2, P 3 ). 63

Erosi pada P 1, P 2 dan P 3 lebih besar dibandingkan dengan erosi pada P 4, namun nyata lebih kecil dibandingkan dengan erosi pada P 0. Efektivitas guludan memotong lereng dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi meningkat dengan adanya rorak kecil (P 3 ) yang dapat berperan sebagai penampung, menahan dan menyimpan sebagian aliran permukaan. Erosi pada P 3 tidak berbeda nyata dengan erosi pada P 4 dan P 5. Guludan tanaman memotong lereng (P 4 ) dapat menekan erosi + 80 % dibandingkan dengan guludan searah lereng (P 0 ) (Tabel 10). Namun efektivitasnya berkurang dengan guludan memotong lereng miring 15 dan 30 derajat, karena guludan yang miring tersebut menyebabkan air hujan yang jatuh di permukaan tanah mengalir lebih cepat akibat berkurangnya waktu untuk masuk ke dalam tanah, sehingga volume aliran permukaan menjadi lebih besar. Guludan memotong lereng miring 15 0 (P 5 ) tidak berbeda nyata kemampuannya menekan erosi dibandingkan dengan P 4. Hal ini disebabkan guludan memotong lereng meskipun miring 15 0 masih mampu berperan mengurangi kecepatan aliran permukaan dan pengikisan permukaan tanah serta menahan hanyutnya tanah bersama aliran permukaan. Aliran permukaan dan erosi pada MT-1 lebih besar dibandingkan dengan MT-2 yang sama-sama ditanami kentang dan MT-3 dengan tanaman kubis (Tabel 11, Gambar 6). Hal ini lebih disebabkan oleh perbedaan curah hujan, MT-1 adalah musim hujan selama + 4 bulan (Januari - Mei) dengan curah hujan lebih besar (849.79 mm) dibandingkan dengan MT-2 yang juga + 4 bulan tetapi musim kemarau (Juni - Oktober) dengan curah hujan lebih rendah (606.03 mm) dan MT-3 juga musim hujan tetapi + 3 bulan (November - Februari) dengan curah hujan (754.33 mm), lebih rendah dari curah hujan MT-1. Aliran permukaan (mm) 160 140 120 100 80 60 40 20 0 AP MT-1 (kentang) AP MT-2 (kentang) AP MT-3 (kubis) P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 Perlakuan Erosi (ton/ha) 25 20 15 10 5 0 Erosi MT-1 (kentang) Erosi MT-2 (kentang) Erosi MT-3 (kubis) P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 Perlakuan Gambar 7 (a) (b) Pengaruh teknik KTA terhadap aliran permukaan (a) dan erosi (b) pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi 64

Jumlah C-organik, N, P dan K terbawa erosi Teknik KTA dapat menekan jumlah erosi dan sekaligus juga menurunkan jumlah C-organik dan unsur hara yang terbawa erosi. Oleh karena itu secara keseluruhan jumlah C-organik, N, P dan K yang terbawa erosi pada ketiga musim tanam nyata lebih kecil pada pertanaman dengan guludan memotong lereng (P 4 ) dibandingkan pertanaman dengan guludan searah lereng (P 0 ) (Tabel 12). Hal ini disebabkan oleh jumlah erosi nyata lebih kecil pada perlakuan dengan guludan memotong lereng dibandingkan dengan searah lereng (Tabel 10). Tabel 12 Pengaruh teknik KTA terhadap jumlah C-organik, N-total, P dan K terbawa erosi pada pertanaman kentang dan kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan C-organik (kg/ha) N-total (kg/ha) P 2O 5 (g/ha) K 2O (g/ha) MT-1 (kentang) P 0 2232.06 a 626.26 a 740 a 2600 ab P 1 1484.37 ab 449.25 ab 420 b 2110 ab P 2 866.13 ab 488.51 a 510 ab 3010 a P 3 777.09 ab 472.50 a 420 b 2410 ab P 4 950.78 b 342.21 b 240 c 1550 ab P 5 1027.50 b 257.65 b 250 c 1460 b P 6 2045.16 a 588.06 a 610 a 2470 ab MT-2 (kentang) P 0 759.45 a 211.07 a 260 a 880 a P 1 604.81 ab 185.95 ab 170 bc 870 a P 2 601.50 ab 161.93 ab 160 bcd 980 a P 3 487.42 ab 146.59 ab 130 bcd 740 a P 4 301.39 b 112.82 ab 80 d 510 a P 5 409.84 b 106.51 b 90 cd 590 a P 6 673.30 a 194.32 ab 200 ab 810 a MT-3 (kubis) P 0 1337.04 a 306.93 a 410 a 2470 a P 1 979.79 ab 189.57 ab 280 ab 1540 a P 2 1017.47 ab 243.93 ab 260 ab 1740 a P 3 1227.64 ab 253.14 ab 350 ab 2450 a P 4 626.34 b 163.99 b 240 b 1290 a P 5 1011.19 ab 203.74 ab 340 ab 2070 a P 6 1317.45 a 205.58 ab 350 ab 2550 a Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama untuk masing-masing tanaman tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT Jumlah C-organik terbawa erosi jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah N, P dan K. Hal ini menunjukkan bahwa kehilangan bahan organik akibat erosi merupakan masalah yang lebih serius karena mempercepat kerusakan tanah dan penurunan kesuburan tanah. Hal ini karena penurunan bahan organik tanah berkorelasi dengan kerusakan struktur tanah, meningkatnya kepadatan, pengkerakan, erodibilitas tanah dan pencucian serta menurunnya infiltrasi dan status hara tanah. Oleh karena itu konservasi tanah sekaligus konservasi bahan organik tanah merupakan suatu keharusan, sehingga level bahan organik di dalam tanah merupakan salah satu indikator keberlanjutan sumberdaya lahan 65

(Wolf dan Snyder 2003, Khisa 2002, Stocking 1994). Jika level bahan organik tanah berkurang dari level yang ada pada tanah tersebut akibat suatu pengelolaan, maka sistem tersebut dikatakan tidak sustainable (Greenland 1994). Dengan demikian keberlanjutan (sustainability) sumberdaya lahan hanya dapat dicapai jika erosi dapat dikendalikan dan kandungan bahan organik tanah dapat dipertahankan dan/atau ditingkatkan (Wolf dan Snyder 2003). Jumlah N terbawa erosi jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah P dan K (Tabel 16). Hal ini disebabkan oleh N di dalam tanah merupakan unsur hara yang berasal dari bahan organik tanah dan peningkatan jumlah N di dalam tanah karena peningkatan kandungan bahan organik tanah dan adanya pemberian pupuk N serta melalui air hujan. Namun bahan organik merupakan sumber N yang utama di dalam tanah, selain unsur hara lainnya dengan perbandingan 100:10:1:1:sangat sedikit (C:N:P:S:unsur mikro) (Hardjowigeno 2010). Dengan demikian jumlah C-organik yang besar akibat terbawa erosi diikuti oleh jumlah N yang juga cukup besar. Kondisi ini menunjukkan bahwa usahatani kentang dan kubis sebagai tanaman semusim mempercepat degradasi lahan terutama akibat erosi (physical degradation) dan penurunan kandungan bahan organik tanah (biological degradation) serta kehilangan hara (chemical degradation) (Stocking 1994). Namun dengan teknik konservasi tanah yang memadai, erosi dan kehilangan bahan organik serta unsur hara dapat dikendalikan. Total C-organik dan N terbawa erosi selama dua musim tanam kentang dan satu musim tanam kubis jauh lebih besar dibandingkan dengan total P dan K (Gambar 8). kg/ha 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 C-organik 4328,55 3068,97 2485,1 2492,15 1878,51 2448,53 4035,91 N-total 1144,26 824,77 894,37 872,23 619,02 567,9 987,96 6000 5000 g/ha 4000 3000 2000 1000 0 P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P2O5 1410 870 930 900 560 680 1160 K2O 5950 4520 5730 5600 3350 4120 5830 Gambar 8 Pengaruh teknik KTA terhadap kehilangan C-organik dan hara N, P dan K pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi 66

Tabel 13 Pengaruh teknik KTA terhadap kehilangan C-organik dan hara N, P dan K setara pupuk kandang ayam, Urea, SP-36 dan KCl*) pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan (C-organik) (N-total) (P 2 O 5 ) K 2 O Total Pukan ayam Urea SP-36 KCl Nilai Ekonomi... kg/ha... (Rp/ha) P 0 10 266.96 2 487. 52 3.92 10.82 7 096 768 P 1 7 279.43 1 792. 98 2.42 8.22 5 088 798 P 2 5 894.45 1 945. 15 2.58 10.42 5 132 392 P 3 5 911.17 1 896. 15 2.50 11.36 5 036 214 P 4 4 455.67 1 345. 70 1.56 6.09 3 619 487 P 5 5 807.71 1 234. 57 1.89 7.49 3 676 030 P 6 9 572.84 2 147. 74 3.22 10.60 6 279 090 Berdasarkan kandungan hara pupuk kandang ayam (42.18 % C-organik), Urea (46 % N), SP-36 (36 % P 2O 5), KCl (55 % K 2O) (Tim Balittanah) dengan harga pupuk kandang Rp 200/kg, Urea Rp 2000/kg, SP-36 Rp 2500/kg, KCl Rp 5500/kg Jumlah C-organik dan N terbawa erosi masing-masing setara dengan 4.45-10.26 ton/ha pupuk kandang dan 1.23-2.49 ton/ha pupuk Urea (Tabel 13). Kondisi ini menunjukkan bahwa erosi bukan hanya menyebabkan penurunan kualitas tanah akibat hilangnya bahan organik dan unsur hara tanah, namun juga akan meningkatkan input yang harus diberikan ke dalam tanah untuk mempertahankan kandungan bahan organik dan unsur hara tanah terutama N dengan nilai ekonomi cukup besar (Rp 890 712.00 - Rp 2 052 418.00 per hektar untuk C-organik dan Rp 2 469 120.00 - Rp 4 975 040.00 per hektar untuk N). Total nilai ekonomi kehilangan bahan organik dan hara N, P dan K pada perlakuan dengan guludan tanaman memotong lereng (P 4 ) (Rp 3 619 487/ha) dan miring 15 0 terhadap lereng (P 5 ) (Rp 3 676 030/ha) serta pembuatan guludan memotong lereng + rorak kecil pada pertanaman dengan guludan searah lereng (P 3 ) (Rp 5 036 214/ha) lebih kecil dibandingkan penanaman dengan guludan searah lereng (P 0, sistem petani) (Rp 7 096 768/ha). Dengan demikian penerapan teknik konservasi tersebut (P 4, P 5, P 3 ) dapat mengendalikan kerugian ekonomi akibat erosi atau memberikan keuntungan masing-masing sebesar Rp 3 477 281/ha (P 4 ), Rp 3 420 738/ha (P 5 ) dan Rp 2 060 554/ha (P 3 ) per tahun dibandingkan dengan penerapan guludan sistem petani (P 0 ). Serangan penyakit tanaman kentang Penyakit yang menyerang tanaman kentang baik pada MT-1 maupun musim MT-2 adalah penyakit busuk daun dan batang oleh Phytophthora sp dan penyakit layu Fusarium sp serta penyakit daun menggulung oleh virus. Penyakit busuk daun dan batang serta penyakit layu mulai terlihat saat tanaman kentang 67

berumur 52 hari setelah tanam (HST) pada MT-1 (Gambar 9) dan 36 HST pada MT-2 (Gambar 10) dengan tingkat serangan ringan dan meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Penyakit daun menggulung oleh virus terlihat saat tanaman berumur 63 HST pada MT-1 dan 47 HST pada MT-2. Gejala serangan penyakit virus ditunjukkan oleh daun tanaman agak tebal, menggulung ke atas (cekung ke arah tulang daun) dan kedudukan tangkai daun lebih tegak dan diraba terasa kaku, dibandingkan dengan tanaman sehat (Duriat et al. 2006). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diduga virus ini berasal dari tanaman bawang daun yang ditanam di dekat petak percobaan, disebarkan dan ditularkan oleh kutu daun Myzus persicae (sebagai vektor) sebagaimana dikemukakan oleh Duriat et al. (2006) dan dijelaskan bahwa gejala infeksi primer virus lebih ringan dan berada pada daun muda atau pucuk. Kondisi tersebut diatasi dengan penyemprotan insektisida, 1-2 minggu kemudian tidak ditemui lagi kutu daun dan kondisi tanaman cukup baik. Pengamatan selanjutnya fokus pada serangan penyakit busuk daun Phytophthora sp dan penyakit layu Fusarium sp. Serangan awal penyakit busuk daun atau blaster oleh P. infestans ditandai oleh adanya bercak basah pada bagian tepi dan/atau tengah daun. Kemudian bercak melebar membentuk bagian berwarna coklat. Peningkatan serangan ditandai oleh tangkai daun dan batang juga menjadi busuk, berwarna hitam dan mengering. Sementara itu serangan penyakit layu F. oxysporum ditandai oleh terhambatnya pertumbuhan tanaman (kerdil), daun bagian bawah klorosis, menguning dan kemudian tanaman layu dan daun mengering (hanya pada sebagian cabang) (Duriat et al. 2006, Sunarjono 2007). Kerusakan tanaman kentang oleh Phytophthora sp dan penyakit layu Fusarium sp.pada MT-1 terjadi pertama kali pada perlakuan P 0 dan P 4 dengan tingkat serangan ringan (Gambar 9); sedangkan pada MT-2 mulai terjadi pada perlakuan P 0, P 1, P 3 da P 4 dengan tingkat serangan juga ringan (Gambar 10). Serangan patogen meningkat dengan bertambahnya umur tanaman, menyerang semua petak percobaan (dengan intensitas bervariasi dan serangan agak tinggi saat tanaman berumur 80 HST pada MT-1 dan 70 HST pada MT-2. Kondisi ini menunjukkan bahwa serangan penyakit tersebut terjadi pada semua perlakuan. Kondisi ini dapat menjawab kekhawatiran petani yang beranggapan bahwa penanaman kentang pada bedengan memotong lereng menyebabkan makin tingginya serangan Phytophthora sp dan Fusarium sp karena tingginya kelembaban tanah diantara bedengan (saluran/parit antara bedengan). Hal ini 68

didukung oleh data kadar air tanah yang tidak berbeda nyata antar perlakuan (Gambar 9, Gambar 10). Tanaman yang terserang penyakit cukup serius dicabut dan dimusnahkan (tanaman mati) dan persentase tanaman yang mati tersebut tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 14). Kondisi ini makin menunjukkan bahwa sistem guludan tanaman tidak nyata mempengaruhi kelembaban atau drainase tanah. Diketahui bahwa pertumbuhan dan hasil kentang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah terutama drainase yang sangat mempengaruhi produksi umbi. Tanah berdrainase jelek akan menyebabkan busuknya umbi dan meningkatnya serangan penyakit layu dan busuk batang (Sunarjono 2007, Duriat et al. 2006). Intensitas serangan (%) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 36 HST 43 HST 50 HST 57 HST 63 HST 70 HST 77 HST Hari Setelah Tanam P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 Kadar air tanah (%) 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 36 HST 43 HST 50 HST 57 HST 63 HST 70 HST 77 HST Hari Setelah Tanam P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 (a) (b) Gambar 9 Pengaruh teknik KTA terhadap intensitas serangan Phytophthora sp dan Fusarium sp (a) dan kadar air tanah (b) pada pertanaman kentang MT-1 pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Intensitas serangan (%) 40 35 30 25 20 15 10 5 Kadar air tanah (%) 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 52 HST 59 HST 66 HST 73 HST 80 HST 0 52 HST 59 HST 66 HST 73 HST 80 HST Hari Setelah Tanam Hari Setelah Tanam P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 Gambar 10 (a) (b) Pengaruh teknik KTA terhadap intensitas serangan Phytophthora sp dan Fusarium sp (a) dan kadar air tanah (b) pada pertanaman kentang MT-2 pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi 69

Tabel 14 Pengaruh teknik KTA terhadap populasi dan persentase tanaman kentang yang mati pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan Populasi MT-1 MT-2 tanam Populasi (tan/ha) Tanaman Populasi (tan/ha) Tanaman (tan/ha) 35 HST Panen mati (%) 35 HST Panen mati (%) P 0 51.000 47333 a 45500 a 3.87 a 48500 a 46833 a 3.44 a P 1 52.000 48166 a 46500 a 3.46 a 49833 a 48333 a 3.01 a P 2 51.500 47000 a 45500 a 3.19 a 47500 a 45666 a 4.02 a P 3 51.000 47333 a 45833 a 3.17 a 48333 a 47166 a 2.41 a P 4 49.000 47166 a 46166 a 2.12 a 47654 a 46500 a 3.12 a P 5 47.500 39333 b 38500 c 2.12 a 40333 c 38833 c 4.96 a P 6 48.500 42166 b 41000 b 2.77 a 43167 b 41833 c 3.09 a Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT Produksi tanaman dalam satuan luas tertentu ditentukan oleh populasi dan kondisi pertumbuhan tanaman tersebut. Perbedaan teknik KTA pada pertanaman kentang dan kubis menyebabkan berbedanya populasi tanaman. Populasi tanaman dengan guludan searah lereng (P 0 ) relatif tidak berbeda dengan guludan memotong lereng (P 4 ); namun dengan diberi guludan pada setiap jarak 4.5 m (P 1, P 2, P 3 ) dan juga ditanami dengan kentang atau kubis, populasi tanaman sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan guludan searah lereng maupun memotong lereng. Selanjutnya guludan memotong lereng miring 15 dan 30 derajat (P 5,P 6 ) mengurangi populasi tanaman cukup besar. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Dariah dan Husen (2009) bahwa penerapan teknik konservasi tanah berdampak pada pengurangan luas bidang olah yang selanjutnya berdampak pada pengurangan populasi tanaman. Penanaman dengan guludan searah kontur diperkirakan mengurangi areal tanam 6-18 % tergantung kemiringan lahan. Namun populasi tanaman baik pada umur 35 HST dan saat panen pada MT-1 dan MT-2 tidak berbeda nyata antar perlakuan, kecuali perlakuan P 5 dan P 6 yang nyata lebih kecil dan hal ini lebih disebabkan oleh populasi awal tanaman pada perlakuan tersebut memang lebih kecil. Produktivitas tanaman dan pendapatan usahatani Persentase umbi kentang yang busuk akibat serangan penyakit tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa sistem guludan tidak nyata mempengaruhi kelembaban tanah sekaligus juga menjawab kekhawatiran petani yang beranggapan bahwa penanaman kentang dengan guludan memotong lereng akan menyebabkan kelembaban yang tinggi di daerah perakaran yang memicu meningkatnya serangan penyakit layu dan busuk daun 70

dan batang pada kentang. Selanjutnya hasil umbi sehat juga tidak berbeda nyata antar perlakuan, baik berdasarkan ukuran umbi maupun total hasil pada MT-1 maupun pada MT-2. Namun produktivitas kentang cenderung lebih kecil pada P 5 dan P 6, karena populasi tanaman saat tanam juga lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya; sedangkan adanya guludan memotong lereng pada setiap jarak 4.5 m tidak mempengaruhi produktivitas kentang, karena guludan tersebut juga ditanami kentang. Pengaruh beberapa teknik KTA juga tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan dan produktivitas kubis (Tabel 16). Tabel 15 Pengaruh teknik KTA terhadap hasil kentang pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan Umbi busuk (%) Produktivitas kentang (ton/ha) ukuran- L (> 60 g) M (30 60 g) S (< 30 g) Total produktivitas (ton/ha) MT-1 MT-2 MT-1 MT-2 MT-1 MT-2 MT-1 MT-2 MT-1 MT-2 P 0 17.46 21.20 16.59 16.45 3.25 2.59 0.62 0.40 20.45 19.44 P 1 15.49 17.17 16.84 16.42 3.09 2.59 0.62 0.47 20.54 19.47 P 2 20.92 16.67 16.92 16.59 3.67 1.84 0.72 0.34 21.29 18.76 P 3 16.35 16.03 16.75 17.44 2.50 2.17 0.47 0.42 19.72 20.02 P 4 14.92 17.17 16.59 16.92 2.59 2.34 0.64 0.42 19.81 19.67 P 5 11.43 14.17 16.34 15.55 3.34 2.04 0.64 0.30 20.31 17.89 P 6 16.01 12.17 16.25 15.25 2.67 2.52 0.57 0.42 19.48 18.18 Angka-angka pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT Tabel 16 Pengaruh teknik KTA terhadap produktivitas dan sisa tanaman pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan Krop Sisa tanaman kg/ptk ton/ha kg/ptk ton/ha P 0 150.67 75.33 6.72 3.36 P 1 160.33 80.16 6.56 3.28 P 2 147.33 73.00 6.63 3.31 P 3 146.00 73.66 6.02 3.01 P 4 152.33 76.16 6.34 3.17 P 5 137.67 68.84 6.26 3.13 P 6 147.67 73.83 6.01 3.01 * Angka-angka pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % menurut DNMRT Total erosi dalam 2 MT kentang dan 1 MT kubis (+ 1 tahun) pada perlakuan P 3 (17.67 ton/ha), P 4 (9.70 ton/ha), dan P 5 (12.08 ton/ha) lebih kecil dari Etol (20.89 ton/ha/tahun), sebaliknya total erosi pada perlakuan lainnya (P 0, P 6, P 2, P 1 ) (48.35-20.94 ton/ha) lebih besar dari Etol (20.89 ton/ha) (Tabel 17, Lampiran 21). Dengan demikian jika petani menerapkan pola tanam kentang-kubiskentang (pola tanam dominan di DAS Siulaki) dengan guludan memotong lereng (P 4 ) atau miring 30 0 (P 5 ) atau guludan memotong lereng + rorak pada setiap jarak 71

4.5 m pada pertanaman dengan guludan searah lereng (P 3 ) dapat diharapkan akan mengendalikan erosi hingga lebih kecil dari Etol. Selanjutnya hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa pendapatan usahatani masing-masing perlakuan Rp 97 179 939 - Rp 81 688 688 melebihi pendapatan untuk pemenuhan KHL (Rp 28 000 000/tahun). Oleh karena itu perlakuan P 3, P 4 dan P 5 dapat sebagai alternatif teknik KTA untuk mengendalikan erosi hingga lebih kecil dari Etol dan memberikan pendapatan usahatani lebih besar dari KHL Tabel 17 Pengaruh teknik KTA terhadap total aliran permukaan, erosi dan pendapatan serta BCR dan RCR pada 2 MT kentang dan 1 MT kubis pada Andisol Desa Kebun Baru di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi Perlakuan AP Erosi Biaya Pendapatan BCR RCR (mm) (ton/ha) (Rp/ha) (Rp/ha) P 0 271.48 48.35 85 314 000 96 288 000 1.13 2.13 P 1 160.89 22.50 86 857 312 97 751 688 1.13 2.13 P 2 153.31 20.94 86 762 812 94 922 188 1.09 2.09 P 3 136.69 17.67 86 589 562 96 508 438 1.12 2.12 P 4 88.25 9.70 84 983 062 97 179 939 1.14 2.14 P 5 138.78 12.08 79 890 562 82 927 438 1.04 2.04 P 6 180.58 34.84 81 754 312 81 688 688 0.99 1.99 Alternatif Model Usahatani Sayuran Berkelanjutan Berbasis Kentang di DAS Siulak Deskripsi agroteknologi Altermatif model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang (UTSBK) di DAS Siulak adalah model usahatani sayuran yang dapat memberikan pendapatan sama atau lebih besar dari kebutuhan hidup layak petani (pendapatan > KHL Rp 28 000 000,-/tahun) dan mengendalikan erosi hingga lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (erosi < Etol 24.09 ton/ha/tahun pada SLP-1, 21.94 ton/ha/tahun pada SLP-2, 22.84 ton/ha/tahun pada SLP-3 dan 20.89 ton/ha/tahun pada SLP-4, Tabel 10) melalui agroteknologi yang dapat diterima dan diterapkan petani sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki petani. Alternatif model UTSBK dirancang untuk lahan 0.44 ha dan 0.82 ha pada kemiringan lereng 3, 7, 14 dan 20 persen dengan agroteknologi alternatif (skenario berdasarkan modifikasi atau penyempurnaan kondisi existing dan hasil percobaan erosi petak kecil). Teknik KTA yang diintegrasikan ke dalam agroteknologi alternatif untuk model UTSBK di DAS Siulak adalah teknik KTA yang sesuai karakteristik tanah, 72

kebutuhan tanaman dan karakteristik sosial-ekonomi petani setempat untuk mengendalikan erosi sekaligus meningkatkan produktivitas tanaman dan pendapatan petani (Latuladio et al. 2009). Kemudian teknik budidaya dalam agroteknologi alternatif untuk model UTSBK tersebut dirancang dengan pendekatan konsep PHT (pengandalian hama terpadu) atau GAPs (Good Agricultural Practices) yang mencakup : 1) penggunaan bibit unggul berkualitas, 2) persiapan lahan dan pengolahan tanah sesuai karakteristik tanah dan kebutuhan tanaman untuk pertumbuhan dan produktivitas optimal, 3) penggunaan kapur berdasarkan ph tanah dan ph optimum yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan produksi optimal, 4) penggunaan pupuk sesuai dengan kondisi dan status hara tanah serta kebutuhan hara tanaman sayuran untuk pertumbuhan dan produksi optimal, 5) pemeliharaan tanaman (penyiangan, pendangiran, pemangkasan tunas atau cabang) sesuai kebutuhan tanaman untuk produksi optimal, 6) pengendalian hama dan penyakit tanaman melalui penggunaan pestisida kimia yang minimal (seperlunya), sesuai kondisi tanaman dan karakteristik hama dan patogen yang menyerang tanaman (Latuladio et al. 2009, Duriat et al. 2006, Sastrosiswojo et al. 2005). Berdasarkan kondisi existing, maka agroteknologi alternatif untuk model UTSBK di DAS Siulak mencakup : a) teknik KTA berdasarkan pola tanam yang umumnya diterapkan petani sesuai karakteristik lahan (kemiringan lahan) dan kondisi sosial-ekonomi petani (dapat diterima dan diterapkan oleh petani), b) bibit kentang berkualitas atau sertifikasi (Varietas Granola G-3 atau G-4 dari BBIK Kayu Aro), dan c) pengapuran, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit tanaman sesuai anjuran (Tabel 18). a. Teknik konservasi tanah dan air Teknik KTA untuk model UTSBK di DAS Siulak adalah : 1) guludan tanaman memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 3 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) untuk lahan dengan kemiringan lereng 7 % (nilai faktor P = 0.5 x 0.5); 2) guludan memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) pada pertanaman sayuran ) dengan guludan searah lereng untuk lahan dengan kemiringan lereng 14 % (nilai faktor P = 0.5 x 0.3); dan 3) guludan memotong lereng + mulsa penahan air (sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik) + rorak (1 m x 0.3 m x 0.4 m) pada pertanaman sayuran dengan guludan searah lereng untuk lahan dengan kemiringan lereng 20 % (nilai faktor P = 0.5 x 0.3 x 0.3). 73

Tabel 18 Deskripsi agroteknologi alternatif dalam model usahatani sayuran berkelanjutan berbasis kentang di DAS Siulak, Kabupaten Kerinci, Jambi A B C D E Pola tanam Agroteknologi kentangkubiskentang kentangkubistomat kentang- kubis- R/S kentang- R/Stomat kentangcabe Teknik konservasi tanah pada kemiringan lereng 3 % 7 % 14 % 20 % Tanpa teknik KTA Guludan tanaman memotong lereng + mulsa sisa tanaman 3 ton/ha/tahun atau mulsa plastik Guludan memotong lereng + mulsa sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik pada pertanaman dengan guludan searah lereng Guludan memotong lereng + mulsa sisa tanaman 6 ton/ha/tahun atau mulsa plastik + rorak (1 x 0.3 x 0.4) m pada pertanaman dengan guludan searah lereng Bibit kentang varietas Granola (G-3 atau G-4) dari BBIK Kayu Aro, Kabupaten Kerinci Teknik budidaya kentang dan kubis mengacu pada rekomendasi Balitsa Lembang (Duriat et al. 2006, Sastrosiswojo et al. 2005), budidaya tomat dan cabe mengacu pada Maynard dan Hocmuth 1999 dalam Susila 2006) Tanaman diberi Dolomit 2 ton/ha (kecuali kentang) dan pupuk kandang 10 ton/ha Pupuk kentang (300 kg Urea + 400 kg ZA + 300 kg SP-36 + 300 kg KCl) Pupuk kubis (100 kg Urea + 250 kg ZA + 250 kg SP-36 + 200 kg KCl), Pupuk tomat (499 kg Urea + 311 kg SP-36 + 225 kg KCl Pupuk cabe (499 kg Urea + 311 kg SP-36 + 226 kg KCl) Pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida minimal, sesuai kondisi tanaman dan karakteristik hama dan patogen, dosis sesuai anjuran di kemasan Berdasarkan nilai faktor P masing-masing teknik KTA tersebut, maka nilai faktor CP pada lahan dengan kemiringan lereng 7 % untuk setiap pola tanam adalah 0.065 (kentang-kubis-kentang), 0.0925 (kentang-kubis-tomat), 0.06 (kentang-kubis-rumput/semak), 0.1025 (kentang-rumput/semak-tomat), dan 0.0775 (kentang-cabe). Setiap nilai CP tersebut lebih kecil dari nilai CP maks (0.1453). Pada lahan dengan kemiringan lereng 14 %, nilai faktor CP untuk setiap pola tanam adalah 0.039 (kentang-kubis-kentang), 0.0555 (kentang-kubistomat), 0.036 (kentang-kubis-rumput/semak), 0.0615 (kentang-rumput semaktomat), 0.0465 (kentang-cabe). Setiap nilai CP tersebut lebih kecil dari nilai CP maks (0.0674). Pada lahan dengan kemiringan lereng 20 %, nilai faktor CP untuk setiap pola tanam adalah 0.0117 (kentang-kubis-kentang), 0.01665 (kentang-kubis-tomat), 0.0108 (kentang-kubis-rumput/semak), 0.01845 (kentangrumput semak-tomat), 0.01395 (kentang-cabe). Setiap nilai CP tersebut lebih kecil dari nilai CP maks (0.0479). 74