LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG Nomor 6 Tahun 2002 Seri B PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN PENGAMBILAN AIR BAWAH TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan pasal 10 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan; b. bahwa ketentuan pasal 10 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas, telah ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b tersebut di atas, maka pengaturan tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, TLN Nomor 3024); 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209); 3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 18, TLN Nomor 3518); 4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 41, TLN Nomor 3685) yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 246, TLN Nomor 4048; 5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, TLN Nomor 3685); 6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, TLN Nomor 3839); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36, TLN Nomor 3258); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1991 tentang Rawa (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 35, TLN Nomor 3441); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, TLN Nomor 3952); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 119); 11. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 70); 12. Keputusan Menteri energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1451.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah. 2 Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tangerang M E M U T U S K A N Menetapkan : PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG TENTANG PENGENDALIAN PENGAMBILAN AIR BAWAH TANAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Daerah Kota Tangerang; 2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Tangerang; 3. Walikota adalah Walikota Tangerang; 4. Dinas adalah Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang; 5. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang; 6. Instansi yang berwenang adalah lembaga atau unit kerja yang membidangi tugasnya meliputi pengelolaan air bawah tanah;
7. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang retribusi Daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; 8. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Comanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan bentuk apapun, Persekutuan, perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi atau organisasi yang sejenis, Lembaga, Dana, Pensiun, Bentuk Usaha Tetap serta Bentuk Badan Usaha lainnya. 9. Air Bawah Tanah adalah semua air yang terdapat dalam lapisan batuan yang mengandung air di bawah permukaan tanah, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah; 10. Aquifer atau lapisan pembawa air adalah lapisan batuan di bawah permukaan tanah jenuh air yang dapat menyimpan dan meneruskan air dalam jumlah yang cukup dan mempunyai nilai ekonomis; 11. Cekungan air bawah tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batuan-batuan dimana semua kejadian hidrogeologi proses pengimbuhan pengaliran, dan pelepasan air bawah tanah berlangsung; 12. Hidrogeologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai air bawah tanah yang berkaitan dengan cara terdapat, penyebaran, pengaliran, potensi dan sifat kimia air bawah tanah; 13. Pengambilan air bawah tanah adalah setiap kegiatan pengambilan air bawah tanah yang dilakukan dengan cara penggalian, pengeboran atau dengan cara membuat bangunan penurapan lainnya, untuk dimanfaatkan airnya dan atau untuk tujuan lain; 14. Pengelolaa Air Bawah Tanah adalah pengelolaan dalam arti luas mencakup segala usaha inventarisasi, pengaturan, pemanfaatan, perijinan, pengawasan dan pengendalian, serta konservasi air bawah tanah; 15. Sumur Bor adalah sumur yang pembuatannya dilakukan dengan cara pengeboran dan kontruksi dengan pipa bergaris tengah lebih dari dua inchi (+2 cm); 16. Sumur Pasak adalah sumur yang pembuatannya dilakukan dengan cara pengeboran dan dikontruksi dengan pipa bergaris tengah maksimum dua inchi (+2 cm); 17. Sumur Pantau adalah sumur yang dibuat untuk memantau muka dan mutu air bawah tanah dari lapisan pembawa air (aquifer) tertentu; 18. Sumur Imbuhan adalah sumur yang digunakan untuk usaha penambahan cadangan air bawah tanah dengan cara memasukkan air kedalam lapisan pembawa air (aquifer); 19. Penurapan Mata Air adalah kegiatan mengubah bentuk alamiah mata air berupa upaya mempertinggi permukaan mata air, penampungan dan atau pemipaan yang dialirkan sesuai dengan keperluan; 20. Ijin Pengambilan Air Bawah Tanah yang selanjutnya disingkat IPABT adalahijin pengambilan dan atau penggunaan air bawah tanah yang berasal dari sumur bor, sumur pasak, sumur gali serta mata air; 21. Ijin Pengeboran Air Bawah Tanah yang selanjutnya disingkat IP adalah ijin melakukan pengeboran, penurapan dan pengaliran air bawah tanah; 22. Meter Air adalah alat ukur untuk mengetahui volume pengambilan air yang telah ditera atau dikalibrasi oleh instansi yang berwenang; 23. Pembinaan adalah segala usaha yang mencakup pemberian pengarahan, petunjuk, bimbingan dan penyuluhan dalam pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah; 3
4 24. Pengendalian adalah segala usaha yang mencakup kegiatan pengaturan, penelitian dan pemantauan pengambilan air bawah tanah untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana demi menjaga kesinambungan, ketersediaan air dan mutunya; 25. Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjamin tegaknya peraturan perundangan dibidang air bawah tanah; 26. Zona Pengambilan Air Bawah Tanah adalah wilayah pengambilan air bawah tanah dikaitkan dengan daya dukung alamnya dan potensi ketersediaan air bawah tanah setempat; 27. Akreditasi adalah pengakuan atas kelayakan peralatan pengeboran yang telah memenuhi persyaratan teknis sesuai peraturan perundangan yang berlaku; 28. Pencemaran Air Bawah Tanah adalah masuknya atau dimasukkannya unsur, zat, komponen fisika, kimia atau biologi kedalam air bawah tanah dan atau berubahnya tatanan air bawah tanah oleh kegiatan manusia sehingga terjadinya proses alamiah yang mengakibatkan mutu air bawah tanah turun ketingkat tertentu. BAB II AZAS DAN LANDASAN Pasal 2 (1) Pengelolaan air bawah tanah berdasarkan azas pemanfaatan, keseimbangan dan kelestarian; (2) Teknis pengelolaan air bawah tanah berlandaskan atas cekungan air bawah tanah; (3) Hak air bawah tanah adalah hak guna air. BAB III PERUNTUKAN DAN PEMANFAATAN AIR Pasal 3 (1) Air bawah tanah dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dengan urutan prioritas peruntukannya sebagai berikut : a. Air minum; b. Air untuk rumah tangga; c. Air untuk irigasi; d. Air untuk pertanian; e. Air untuk industri; f. Air untuk usaha pertambangan dan energi; g. Air untuk usaha perkotaan; h. Air untuk kepentingan lainnya. (2) Prioritas peruntukan air bawah tanah sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini ditentukan dengan memperhatikan kepentingan umum dan hidrogeologi setempat.
5 BAB IV P E R I J I N A N Bagian Kesatu Ijin dan Jenis Ijin Pasal 4 (1) Setiap pengambilan air bawah tanah untuk berbagai keperluan tertentu hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat ijin dari Walikota; (2) Pengeboran dan pengambilan air bawah tanah yang tidak memerlukan ijin adalah : a. Keperluan air minumdan rumah tangga dengan jumlah tidak lebih dari 100 M 3 (seratus meter kubik) per bulan dan tidak dapat dipergunakan untuk tujuan komersil; b. Keperluan peribadatan, penanggulangan kebakaran dan keperluan penelitian yang tidak menimbulkan kerusakan atas sumber air bawah tanah dan lingkungannya; c. Keperluan pembuatan sumur imbuhan. Pasal 5 Jenis ijin pengelolaan air terdiri dari : a. Ijin pengeboran Air Bawah Tanah (IP); b. Ijin Pengambilan Air Bawah Tanah (IPABT); c. Ijin ekplorasi air bawah tanah; d. Ijin penurapan mata air; e. Ijin pengambilan air mata air. Pasal 6 (1) Ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 Peraturan Daerah ini, ditetapkan oleh Walikota atau pejabat lain yang ditunjuk berdasarkan saran teknis dari Dinas; (2) Ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, diberikan atas nama pemohon untuk setiap titik pengambilan air/sumber air; (3) Ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini, tidak dapat dipindahtangankan kecuali dengan ijin tertulis dari Walikota atau pejabat yang ditunjuk. Bagian Kedua Tata Cara Memperoleh Ijin Pasal 7 (1) Untuk memperoleh ijin sebagaimana dimaksud pada pasal 5 Peraturan Daerah ini, pemohon mengajukan permohonan secara tertulis kepada Walikota melalui Dinas dengan dilampiri :
a. Peta lokasi titik sumur bor skala 1 : 1.000 dan peta situasi skala 1 : 10.000 dan peta topograpi skala 1 : 50.000; 6 b. Ijin lokasi/imb dan HO dari instansi yang berwenang. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum pekerjaan dimulai; (3) Walikota atau pejabat lain yang ditunjuk dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, yang sudah lengkap persyaratan teknisnya dapat menerima atau menolak permohonan tersebut disertai dengan alasan yang dapat dipertanggung jawabkan; (4) Tata Cara dan prosedur serta persyaratan lain untuk memperoleh ijin ditetapkan lebih lanjut oleh Walikota. Bagian Ketiga Masa Berlaku dan Daftar Ulang Ijin Pasal 8 (1) Ijin pemboran air bawah tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 Peraturan Daerah ini, diberikan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan. (2) Ijin pemboran air bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, hanya berlaku untuk lokasi yang diajukan dalam permohonan. Pasal 9 (1) Ijin pengambilan air bawah tanah, berlaku selama kondisi fisik tanah sekitar pengambilan air bawah tanah masih dimungkinkan untuk dimanfaatkan ditinjau dari segi teknis geologi; (2) Pemegang ijin wajib mendaftar ulang ijin yang dimilikinya setiap 2 (dua) tahun sekali. Pasal 10 Setiap rencana penambahan lokasi dan atau perubahan ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 Peraturan Daerah ini, pemegang ijin diwajibkan mengajukan permohonan baru. Bagian Keempat Pencabutan Ijin Pasal 11 (1) Ijin pemboran air bawah tanah dicabut apabila : a. Pemegang ijin tidak memenuhi/mentaati ketentuan yang telah ditetapkan dalam surat ijin; b. Bertentangan dengan kepentingan umum dan atau menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup;
c. Pemegang ijin tidak mengajukan daftar ulang/perpanjangan ijin. 7 (2) Ijin pengambilan air bawah tanah dicabut apabila : a. Pemegang ijin tidak memenuhi/mentaati ketentuan yang telah ditetapkan; b. Ternyata bertentangan dengan kepentingan umum dan atau mengganggu keseimbangan air atau menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup; c. Tidak melakukan daftar ulang; d. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan teknis tidak layak lagi untuk diambil airnya; e. Dikembalikan oleh pemegang ijin. Pasal 12 (1) Pencabutan ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) Peraturan Daerah ini, didahului dengan penutupan dan atau penyegelan secara fisik atas titik atau bangunan pengambilan air; (2) Penutupan dan atau penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, dilakukan oleh instansi teknis terkait. Bagian Kelima Hak dan Kewajiban Pemegang Ijin Paragraf 1 Hak Pemegang Ijin Pasal 13 Pemegang ijin berhak untuk melakukan pemboran dan atau pengambilan air bawah tanah sesuai dengan ijin yang diberikan Paragraf 2 Kewajiban Pemegang Ijin Pasal 14 Pemegang ijin berkewajiban : a. melaporkan hasil kegiatan pemboran dan atau pengambilan air secara tertulis setiap bulan kepada Walikota melalui Kepala Dinas. b. Memakai meter air (water meter) atau alat pengukur debit pada setiap titik pengambilan sumber air; c. Membayar retribusi ijin sesuai dengan tarif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini, dan membayar leges sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Memberikan sebagian air yang diambil untuk kepentingan masyarakat disekitarnya apabila diperlukan dengan kesepakatan antara pemegang ijin dengan masyarakat 8 BAB V RETRIBUSI Pasal 15 (1) Setiap ijin sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (1) dan pasal 5 Peraturan Daerah ini, dikenakan retribusi; (2) Retribusi tersebut pada ayat (1) pasal ini, terdiri dari : a. Ijin pemboran sumur bor; b. Ijin pemboran sumur pantek atau sumur gali; c. Ijin pengambilan air bawah tanah; d. Ijin pengambilan sumur pantek atau sumur gali; e. Ijin ulang pengambilan air sumur bor, sumur pantek atau sumur gali. BAB VI GOLONGAN RETRIBUSI Pasal 16 Retribusi ijin pengambilan air bawah tanah digolongkan sebagai retribusi perijinan tertentu. BAB VII PRINSIP DAN SASARAN DALAM PENETAPAN STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI Pasal 17 (1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif retribusi adalah untuk penggantian atas pelayanan yang diberikan; (2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, meliputi biaya administrasi, sarana dan prasarana, pengawasan dan pengendalian. BAB VIII STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF Pasal 18 Struktur dan besarnya tarif retribusi ditetapkan sebagai berikut : 1. Ijin Pemboran Air Bawah Tanah Sumur ke - 1 Sumur ke-2 Sumur ke-3
Sumur bor Rp.1.000.000,- Rp. 1.500.000,- Rp. 2.000.000,- 9 Sumur Pantek atau Sumur Galian Rp. 150.000,- Rp. 200.000,- - 2. Ijin Pengambilan Air Bawah Tanah Sumur ke - 1 Sumur ke-2 Sumur ke-3 dst Sumur bor Rp. 1.000.000,- Rp. 1.500.000,- Rp. 2.000.000,- Sumur Pantek atau Sumur Galian Rp. 250.000,- Rp. 500.000,- - 3. Daftar Ulang Ijin Pengambilan Air Bawah Tanah Sumur ke - 1 Sumur ke-2 Sumur ke-3 dst Sumur bor Rp. 250.000,- Rp. 500.000,- Rp. 750.000,- Sumur Pantek atau Sumur Galian Rp. 50.000,- Rp. 75.000,- - BAB IX PELAKSANAAN PENGAMBILAN AIR BAWAH TANAH Pasal 19 (1) Setiap orang atau badan yang melakukan pengambilan air bawah tanah sebagaimana dimaksud pada pasal 5 Peraturan daerah ini, berkewajiban menyediakan lahan dan/atau sumur resapan air bawah tanah; (2) Setiap pengambilan air bawah tanah yang lebih dari 5 (lima) buah sumur, wajib menyediakan 1 (satu) buah sumur pantau yang dilengkapi dengan alat untuk memantau muka air bawah tanah; (3) Penyediaan lahan resapan air bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, diatur sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; Pasal 20 (1) Pengambilan air bawah tanah wajib dilengkapi dengan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) apabila : a. Pengambilan air bawah tanah dengan debit lebih dari 50 liter/detik yang berasal dari 1 (satu) sumur; b. Pengambilan air bawah tanah dengan debit lebih dari 50 liter/detik yang berasal dari 5 (lima) sumur dalam areal kurang dari 10 (sepuluh) hektar.
(2) Setiap kegiatan pengambilan air bawah tanah yang tidak diatur dalam ayat (1) pasal ini, wajib dilengkapi dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). 1 0 Pasal 21 (1) Pelaksana pemboran dalam rangka pengambilan air bawah tanah harus mempunyai Surat Ijin Usaha Perusahaan Pemboran Air Bawah Tanah (SIPPAT) atau Instansi Pemerintah yang pelaksanaan dan peralatan pengeborannya telah mendapat akreditasi dari Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral; (2) Pelaksanaan penurapan mata air harus mendapat petunjuk teknis dari Direktor Geologi Tata Lingkungan. Pasal 22 Apabila dalam pelaksanaan pengambilan air bawah tanah ditemukan kelainan-kelainan yang dapat mengganggu kelestarian sumber air serta merusak lingkungan hidup, maka pihak yang melaksanakan kegiatan tersebut diwajibkan menghentikan kegiatan dan mengusahakan penanggulangannya serta segera melaporkan kepada Walikota; Pasal 23 Pemegang SIPA dilarang menjual air yang diambilnya kepada pihak lain, kecuali dengan ijin tertulis dari Walikota. Pasal 24 Pemegang SIPA yang diperbolehkan menjual air adalah : a. Perusahaan pembangunan perumahan, yang lokasinya tidak terjangkau oleh Perusahaan daerah Air Minum (PDAM); b. Perusahaan kawasan industri; c. Perusahaan industri yang di daerah sekitarnya secara teknis tidak memungkinkan untuk mengambil air secara sendiri-sendiri dan atau belum terjangkau oleh Perusahaan Daerah Air Minum; d. Pihak-pihak yang diijinkan oleh Walikota. Pasal 25 Pengaturan mengenai penjualan air sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 Peraturan Daerah ini, lebih lanjut diatur oleh Walikota. BAB X PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Pasal 26 (1) Pengawasan dan pengendalian pengambilan air bawah tanah dilakukan oleh Dinas bersama-sama dengan Instansi terkait;
1 1 (2) Dalam melakukan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, Kepala Dinas berwenang melakukan pemeriksaan dan mengumpulkan keterangan yang diperlukan. Pasal 27 (1) Setiap pengambilan air bawah tanah baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama wajib menyediakan 1 (satu) buah sumur pantau yang dilengkapi dengan alat untuk memantau muka air bawah tanah serta membuat sumur imbuhan; (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, yaitu : a. Pada satu lokasi yang dimiliki terdapat 5 (lima) buah sumur; b. Pengambilan air bawah tanah dengan debit lebih dari 50 liter/detik yang berasal dari 5 (lima) sumur dalam kawasan kurang dari 10 (sepuluh) hektar; c. Pengambilan air bawah tanah dengan debit lebih dari 50 liter/detik yang berasal dari 1 (satu) sumur; d. Ditempat-tempat tertentu yang kondisi air bawah tanahnya dianggap rawan. (3) Lokasi dan konstruksi sumur pantau atau sumur imbuhan ditentukan oleh Dinas; (4) Tata cara pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Walikota. BAB XI LARANGAN Pasal 28 Setiap orang atau badan dilarang : a. Merusak, melepas, menghilangkan meter/alat ukur debit air dan atau merusak segel tera dan segel instansi teknis terkait pada meter air atau alat ukur debit air; b. Mengambil air dari pipa sebelum meter air; c. Mengambil air melebihi yang ditentukan dalam ijin; d. Menyembunyikan titik air atau lokasi pengambilan air; e. Melakukan pemboran terlebih dahulu sebelum surat ijin pemboran diterbitkan; f. Mengambil air bawah tanah sebelum memiliki ijin;
g. Memindahkan letak titik atau lokasi pengambilan air tanpa persetujuan instansi teknis terkait; h. Memindahkan rencana letak titik pemboran dan atau letak titik atau lokasi pengambilan air tanpa persetujuan instansi teknis terkait. 1 2 BAB XII SANKSI ADMINISTRASI PENGAMBILAN AIR Pasal 29 Setiap pengambilan air yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (1), pasal 6 ayat (3), pasal 9 ayat (2), pasal 23, pasal 25 dan pasal 26 Peraturan Daerah ini dikenakan tindakan berupa : a. Pencabutan ijin usaha perusahaan pemboran air bawah tanah; b. Penyegelan titik pengambilan air; c. Pencabutan ijin pengambilan air bawah tanah; d. Penutupan sumur bor; BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 30 (1) Barang siapa melanggar ketentuan pasal 4 ayat (1) dan pasal 15 Peraturan Daerah ini, diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya 5 (lima) juta rupiah; (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, adalah pelanggaran. BAB XIV P E N Y I D I K A N Pasal 31 (1) Penyidikan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada pasal 30 ayat (2) Peraturan Daerah ini dilaksanakan oleh Penyidik Umum dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah; (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, mempunyai wewenang dan kewajiban sebagai berikut : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penyitaan benda dan/atau surat; e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 1 3 g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari Penyidik Umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui Penyidik Umum memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya; i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum sesuai yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka ijin yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelum Peraturan Daerah ini tetap berlaku sampai dengan batas waktu daftar ulang atau perpanjangan. BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur kemudian oleh Walikota. Pasal 34 Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Tangerang. Ditetapkan di T a n g e r a n g. Pada tanggal 18 Maret 2002.
1 4 WALIKOTA TANGERANG C a p / T t d Drs. H. MOCHAMAD THAMRIN Diundangkan di T a n g e r a n g. Pada tanggal 25 Maret 2002. SEKRETARIS DAERAH KOTA TANGERANG Cap/Ttd Drs. H. ACHMAD SUDJAI, M.Si Pembina Utama Madya NIP. 010 047 670 LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG TAHUN 2002 NOMOR 6 SERI B C ;/Doc.Huk/LD.Besar/LD.2002/LD.Air Bwh Tanah 02/COM B/02