BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obyek target, perilaku seseorang satu dengan yang lainnya akan selalu berbeda atau dapat disebut

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka menjadi adonan yang kemudian dibentuk menjadi bola-bola seukuran bola

TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang diijinkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

PERAN CHITOSAN SEBAGAI PENGAWET ALAMI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN DAN ORGANOLEPTIK BAKSO AYAM SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. makanan dari kerusakan. Kemasan makanan di masa modern sudah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik

KULIAH KE VIII EDIBLE FILM. mampu membuat kemasan edible yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan.

II. TINJAUAN PUSTAKA Nugget Ayam Menurut SNI (2002) nugget merupakan salah satu produk olahan daging

II. TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1. Syarat Mutu Sosis Daging Menurut SNI

Karakteristik mutu daging

Sosis ikan SNI 7755:2013

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sangat terkenal dan digemari oleh semua lapisan masyarakat, karena memiliki

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

PENDAHULUAN. ekonomi yang masih lemah tersebut tidak terlalu memikirkan akan kebutuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

PENGANTAR. Latar Belakang. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk kebutuhan pangan

PENGARUH PENGGUNAAN EDIBLE COATING TERHADAP SUSUT BOBOT, ph, DAN KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BUAH POTONG PADA PENYAJIAN HIDANGAN DESSERT ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ariansah (2008), itik masih sangat populer dan banyak di manfaatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daging dan tepung. Makanan ini biasanya disajikan dengan kuah dan mie.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MODUL 1 BAKSO IKAN. A. Deskripsi Bakso Ikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. digiling halus ditambah bahan pengisi pati atau tepung topioka dan bumbubumbu.

ABSTRAK. Kata kunci: Penaeus sp, stick, limbah kulit udang PENDAHULUAN

PEMBERIAN CHITOSAN SEBAGAI BAHAN PENGAWET ALAMI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN DAN ORGANOLEPTIK PADA BAKSO UDANG

Natallo Bugar dan Hermansyah, Uji Sensoris Pada Pembuatan Mie Basah Dengan Penambahan Surimi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

TINJAUAN PUSTAKA Belut ( Monoptherus albus Zuieuw)

Siomay ikan SNI 7756:2013

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produk daging yang dihasilkan dari kelinci ada dua macam yaitu fryer dan roaster. Kelinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Bakso ikan Sumber: Dokumentasi Junide (2009)

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bakso adalah produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging yang

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULAN

ANALISIS ORGANOLEPTIK PADA HASIL OLAHAN SOSIS IKAN AIR LAUT DAN AIR TAWAR

I PENDAHULUAN. Dewasa ini kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai gizi suatu produk

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sehingga daging kelinci dapat dikelompokkan ke dalam. sekali untuk menjaga kesehatan jaringan tubuh, membentuk sel-sel dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max Merr) dengan kandungan

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN

TEKNIK PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN Interaksi Bahan dan Teknologi Pengemasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apokat (KBBI: Avokad), alpukat, atau Persea americana Mill merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

III. TINJAUAN PUSTAKA

SNI Standar Nasional Indonesia. Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permen jelly merupakan salah satu produk pangan yang disukai semua orang dari kalangan anak-anak hingga dewasa.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN. dapat diperoleh di pasar atau di toko-toko yang menjual bahan pangan. Abon dapat

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. tengah masyarakat harus segera diatasi. Maraknya penggunaan daging babi yang

KARAKTERISTIK EDIBLE FILM BERBAHAN DASAR KULIT DAN PATI BIJI DURIAN (Durio sp) UNTUK PENGEMASAN BUAH STRAWBERRY

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Beras bahan makanan yang dihasilkan oleh padi. Meskipun sebagai bahan

I. PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar belakang, (1.2) Identifikasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah,

HASIL DAN PEMBAHASAN

KADAR PROTEIN DAN BETAKAROTEN BAKSO IKAN TUNA YANG DIPERKAYA JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) DAN UMBI WORTEL NASKAH PUBLIKASI

mempengaruhi atribut kualitas dari produk tersebut (Potter, 1986). Selama proses

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga

Lampiran 1. Uji Post Hoc One Way Anova Rendemen Kelolosan Tepung Bengkuang "Lokal 1" dan "Lokal 2 dengan Berbagai Perlakuan Pretreatment

BAB I PENDAHULUAN. Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang dikonsumsi selain

II. TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Dan Respon Konsumen Definisi dari perilaku konsumen yaitu, tindakan khusus yang ditujukan pada beberapa obyek target, perilaku seseorang satu dengan yang lainnya akan selalu berbeda atau dapat disebut bahwa perilaku merupakan suatu sifat yang dominan dimiliki oleh seseorang, sedangkan konsumen merupakan individu yang secara langsung terlibat dalam mengkonsumsi produk barang atau jasa dalam rangka memuaskan hasrat mereka (Sudarmadji et al., 2003). Dalam hal ini yang dimaksud perilaku konsumen adalah suatu sifat yang menunjukkan kesukaan dan kecenderungan sekelompok manusia dalam menyukai suatu hal dan lebih cenderung untuk dipilih dan diminati yang dapat membuat konsumen merasa puas. Respon berasal dari kata response yang berarti tanggapan (reaction), reaksi atau jawaban. Respon adalah istilah yang digunakan oleh psikologi untuk menamakan reaksi terhadap rangsangan yang diterima oleh panca indera. Respon biasanya diwujudkan dalam bentuk perilaku yang muncul setelah terjadinya rasa terhadap subyek atau konsumen (Simamora et al., 2003). Respon adalah reaksi konsumen terhadap stimuli tertentu, karena reaksi konsumen dapat berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal meliputi produk dan kualitas sedangkan faktor eksternal meliputi teknologi yang digunakan dan keamanan produk (Kotler, 2000). Hubungan perilaku konsumen dan respon konsumen berkaitan dengan pengukuran komponen komponen kognitif (berfikir) dan afektif (perasaan) dari respon konsumen, hasil pengukuran dapat digunakan untuk meramalkan hasil dari konsumen dengan pengaruh komponen kognitif dan afektif.

1.2 Pengujian Mutu Organoleptik Pengujian secara organoleptik suatu produk makanan merupakan kegiatan penilaian dengan alat pengindera yaitu indera penglihatan, pencicip, pembau dan peraba. Melalui hasil pengujian organolpetik akan diketahui daya penerimaan panelis (konsumen) terhadap produk tersebut (Soekarto,1985). Sifat organoleptik bahan dan produk pangan merupakan hal pertama yang diperhatikan oleh konsumen, sebelum mereka menilai lebih jauh misalnya pada aspek nilai gizinya. Di industri pangan, pengujian sifat organoleptik dapat dilakukan untuk tujuan pengembangan dan pengujian mutu produk. Kesimpulan yang diperoleh dari suatu pengujian organoleptik sangat tergantung pada tahap persiapan, keterandalan panelis, sarana dan prasarana, jenis analisis organoleptik serta metode analisis data. Pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat melakukan pengujian organoleptik yang baik perlu dimiliki, untuk dapat mencapai hal tersebut diperlukan pengetahuan dasar mengenai penerapan pengujian organoleptik ( Soekarto,1985 ). Tingkat kesukaan konsumen dapat diukur menggunakan uji organoleptik melalui alat indra. Kegunaan uji ini diantaranya untuk pengembangan produk baru. Penilailan dengan indera yang juga disebut penilaian organoleptik atau penilaian sensoris merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif. Penilaian dengan indra banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan ( Soekarto, 1985 ). Uji kesukaan pada dasarnya merupakan pengujian yang panelisnya mengemukakan responnya yang berupa senang tidaknya terhadap sifat bahan yang diuji. Pengujian ini umumnya digunakan untuk mengkaji reaksi konsumen terhadap suatu bahan. Oleh karena itu panelis sebaiknya diambil dalam jumlah besar, yang mewakili populasi masyarakat tertentu. Skala nilai

yang digunakan dapat berupa nilai numerik dengan keterangan verbalnya, atau keterangan verbalnya saja dengan kolom yang dapat diberi tanda oleh panelis. Skala nilai dapat dinilai dalam arah vertikal atau horizontal (Kartika et al., 1988). Pengujian mutu organoleptik dilakukan dengan cara menggunakan indera pengecap, pembau dan peraba pada bahan pangan yang dikonsumsi. Interaksi hasil penelitian dengan alat inderawi dipakai untuk mengukur mutu bahan pangan dalam rangka pengendalian mutu dan perkembangan produk (Idris, 1994). Metode pengujian mutu organoleptik bahan pangan digunakan untuk membedakan kualitas bahan pangan pada aroma, rasa dan tekstur secara langsung. Mutu organoleptik dari suatu bahan pangan akan mempengaruhi diterima atau ditolak bahan pangan tersebut oleh konsumen sebelum menilai kandungan gizi dari bahan pangan (Winarno, 1995 ). Pengujian bahan pangan tidak hanya dilihat dari aspek kimiawinya saja, tetapi juga ditilik dari cita rasa dan aroma. Rasa merupakan kriteria penting dalam menilai suatu produk pangan yang banyak melibatkan indra pengecap yaitu lidah, rasa sangat dipengaruhi oleh senyawa kimia, suhu, konsistensi dan interaksi dengan komponen penyusun makanan seperti protein, lemak, vitamin dan banyak komponen lainnya (Winarno, 1997 ). Disamping panelis mengemukakan tanggapan senang, suka atau kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaanya. Tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik. Misalnya dalam hal suka, dapat mempunyai skala hedonik seperti : amat sangat suka, sangat suka, agak suka. Sebaliknya jika tanggapan itu tidak suka, dapat mempunyai skala hedonik seperti : amat sangat tidak suka, sangat tidak suka, tidak suka, agak tidak suka. Diantara agak suka dan agak tidak suka kadang kadang ada tanggapan yang disebut netral, yaitu bukan suka tetapi juga bukan tidak suka ( neither like nor dislike ) ( Soekarto, 1985 ).

1.3 Edible Edible merupakan bahan berupa cairan yang digunakan sebagai pengemas produk olahan seperti daging atau disebut edible packaging. Edible packaging adalah kemasan yang dapat dimakan karena terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan seperti pati, protein atau lemak. Jika dibuang, Edible packaging dapat didegradasi melalui proses fotokimia atau dengan menggunakan mikroba penghancur Paramawati dan Donald (2001). Keuntungan dari edible packaging adalah dapat melindungi produk pangan, penampakan asli produk dapat dipertahankan dan dapat langsung dimakan serta aman bagi kesehatan. Edible packaging dibagi jadi dua kelompok besar, yaitu yang berfungsi sebagai pelapis (edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible film). Edible coating banyak digunakan untuk pelapis produk daging beku, makanan semi basah (intermediate moisture food), produk konfeksionari, ayam beku, produk hasil laut, sosis, buah-buahan dan obat-obatan terutama untuk pelapis kapsul (Krochta, 1994). Edible film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan yang berfungsi sebagai penghambat transfer masa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan zat terlarut) dan atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif dan atau untuk meningkatkan penanganan makanan (Krochta, 1994). Edible film harus mempunyai sifat-sifat yang sama dengan film kemasan seperti plastik, yaitu harus memiliki sifat menahan air sehingga dapat mencegah produk kehilangan kelembaban, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna, pigmen alami dan gizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan. Penggunaan edible film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti sosis, buah-buahan dan sayuran

segar dapat memperlambat penurunan mutu. Hal ini disebabkan karena edible film dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida dan uap air serta komponen flavor. Kemampuan ini menciptakan kondisi atmosfir internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas. Komponen penyusun edible film akan mempengaruhi bentuk morfologi maupun karakteristik pengemas secara langsung. Menurut (Duodu, 2004), komponen utama penyusun edible film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit. Bahan-bahan tambahan yang sering dijumpai dalam pembuatan edible film adalah antimikroba, antioksidan, flavor dan pewarna. Bentuk lain dari edible packaging adalah edible coating, yaitu pelapisan bahan pangan dengan pelapis yang dapat dimakan (Nata, 2003). Bahan-bahan baku untuk pembuatan edible coating sama dengan edible film, hanya saja dalam pembuatan edible coating tidak ada penambahan plastisizer, sehingga pelapis yang dihasilkan tidak berbentuk film. Contoh prosedur standar pembuatan edible coating adalah dengan bahan dasar isolate protein kedele (ISP). Cara-cara pelapisan untuk edible coating adalah pencelupan, penyemprotan atau penaungan. Metode pencelupan dilakukan dengan cara mencelupkan bahan makanan ke dalam edible coating. Untuk mendapatkan permukaan rata, dibutuhkan suatu mantel. Setelah pencelupan, kelebihan mantel dialirkan ke produk dan kemudian dikeringkan agar diperoleh tekstur yang keras. Metode yang lebih praktis, penyemprotan, dilakukan dengan cara menyemprotkan edible coating pada bahan pangan di salah satu sisinya sehingga hasilnya lebih seragam. Metode penuangan dilakukan dengan cara menuangkan edible coating ke bahan yang akan dilapisi ( Buckle et al., 1998). Teknik ini menghasilkan bahan yang lembut dan permukaan yang datar, tapi ketebalannya harus diperhatikan karena mempengaruhi permukaan bahan. Nilai permeabilitas suatu edible digunakan untuk memperkirakan daya simpan produk yang dikemas

di dalamnya. Nilai permebilitas juga dapat menentukan produk apa yang dapat dikemas dalam film tersebut. Nilai permeabilitas mencakup permeabilitas terhadap uap air dan gas (Nurwitri, 1992). Aplikasi dari edible film atau edible coating dibagi atas kelompok kemasan primer, barrier, pengikat, dan pelapis ( Nurwitri,1992). Sebagai kemasan primer dari produk pangan edible film atau edible coating telah dipakai untuk mengemas produk olahan seperti sosis, daging, produk hasil laut serta permen, sayur-sayuran dan buah-buahan segar, Sebagai pelapis, edible berguna untuk menggantikan bahan kimia pengawet pada produkproduk olahan. Keuntungannya adalah produk dapat menghambat kontaminasi oleh mikroba. Keuntungan penggunaan edible untuk kemasan bahan pangan adalah untuk mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-kerusakan, sehingga lebih mudah disimpan, diangkut dan dipasarkan. Sebagai fungsi tambahannya adalah untuk menarik konsumen dalam industri makanan dan keamanan bahan pangan terjaga. Kelebihan edible dibanding kemasan sintetik adalah dapat dimakan bersama produk yang dikemasnya dan terutama sifatnya yang ramah lingkungan. Besarnya potensi edible sebagai kemasan alternatif yang ramah lingkungan diharapkan dapat mendorong dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk menemukan bahan pembuatan edible yang selama ini belum diberdayakan. Selain untuk mengurangi masalah limbah plastik, diharapkan dapat pula ditemukan bahan edible dengan memiliki karakteristik terbaik (Soeharsono dan Robinson, 2010) Aplikasi edible utamanya edible coating dapat diaplikasikan pada produk bakso untuk menjaga kerusakan bakso akibat mikroba dan pengaruh edible untuk mengawetkan bakso agar bertahan dalam jangka waktu yang lama tanpa mengubah bahan pokoknya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan metode edible coating. Edible menggunakan gelatin yang diproduksi dari

kulit kaki ayam yang baik untuk pertumbuhan karena memiliki zat protein yang tinggi sehingga produk aplikasi contohnya pada bakso mempunyai kandungan zat yang dapat meningkatkan masa pertumbuhan utamanya pada anak. (Nata, 2003) Tabel 2.1 Kandungan yang terdapat dalam kulit kaki ayam broiler: No Kandungan Besarnya 1 Kandungan Air 65,90 % 2 Protein kasar 22,98 % 3 Lemak 5,60 % 4 Abu 3,49 % 5 Substansi lainnya 2,03 % Sumber: (Purnomo, 1992) 1.4 GELATIN Gelatin adalah suatu polipeptida larut berasal dari kolagen, yang merupakan konstituen utama dari kulit, tulang, dan jaringan ikat binatang. Gelatin diperoleh melalui hidrolisis parsial dari kolagen (Zhou dan Regenstein, 2005). Pemanfaatan kulit kaki atau ceker ayam (shank) sebagai bahan baku gelatin perlu dikaji potensinya, mengingat komponen tersebut keberadaannya sangat melimpah yang selama ini pemanfaatannya belum optimal, tetapi memiliki komposisi kimia yang mendukung. Saat ini ceker ayam baru hanya dimanfaatkan sebagai campuran sup dan krupuk ceker. Nilai tambah dari kedua produk tersebut masih rendah. Tingginya kandungan protein pada kulit kaki ayam membuka peluang untuk dapat mengisolasi gelatin secara ekstraksi sehingga menambah nilai ekonomi dari ceker tersebut. Namun disisi lain, belum diperoleh metode yang efektif dan efisien untuk mengekstraksi protein kolagen pada kulit kaki ayam broiler agar dihasilkan gelatin yang sesuai dengan SNI dan bebas lemak.

Gelatin dibedakan berdasarkan proses curing yang dilakukan sebelum ekstraksi yaitu gelatin tipe A (asam) dan tipe B (basa). Tujuan jangka panjang dari penelitian yang dilakukan adalah menemukan metode yang tepat untuk mengisoalsi gelatin dari kulit kaki ayam broiler agar dihasilkan gelatin dengan kulaitas yang setara atau lebih tinggi dari gelatin yang diisolai dari kulit dan tulang babi dan sapi, sehingga bisa menggantikan sumber gelatin yang selama ini digunakan. Ada beberapa metode yang telah dikembangkan, Radiman (1976) menyebutkan bahwa metode ekstraksi yang bisa digunakan dalam ekstraksi protein kolagen kulit sapi adalah dengan cara ekstraksi bertingkat yang menekankan pada variasi suhu ekstraksi. Hasil dari metode ini dipastikan akan diperoleh gelatin dengan kandungan lemak/minyak yang tinggi serta viskositas atau kekentalannya rendah, sehingga kualitas gelatin menjadi rendah karena mudah tengik (Anonim, 2005). Bailey (1992) telah melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh metode curing menggunakan garam terhadap kelarutan protein kulit sapi. Hasilnya, terjadi pelepasan (terekstrak) protein kulit selama curing menggunakan garam 0,6% dari berat kulit segar, namun kandungan lemaknya relatif masih tinggi sehingga dipastikan gelatin yang dihasilkan juga cepat tengik. Selain itu, Miller et al., (1983) telah berhasil mengekstrak protein kolagen dari kulit yaitu dengan melakukan pemisahan menggunakan campuran kloroform dan metanol dengan perbandingan 50:50. Kelebihan metode Miller ini, yakni telah ada upaya untuk meminimalkan kandungan lemak dalam gelatin. Akan tetapi kelemahan metode ini adalah proses ekstraksi akan berjalan lambat, karena campuran larutan pengekstrak kloroform dan metanol yang digunakan merupakan larutan pengekstrak semipolar kuat, sehingga menyebabkan kolagen menjadi

kering atau kolagen menjadi sulit pecah. Tentunya, waktu proses ekstraksi menjadi sangat lambat. 2.6 DAGING AYAM DAN GIZINYA Menurut Lawrie (1995) mengatakan bahwa daging mengandung sekitar 75% air, protein 19%, lemak 25% dan kandungan substansi non protein 3,5 %. Selain itu komposisi daging dipengaruhi beberapa faktor antara lain jenis ternak, jenis kelamin, umur dan jenis makanan yang diberikan kepada ternak tersebut. Menurut Soeparno dan Sawitri (1994), daging berdasarkan sifat fisiknya dapat dikelompokan menjadi : a. Daging segar tanpa pelayuan dan yang dilayukan b. Daging segar yang dilayukan dan didinginkan c. Daging segar yang dilayukan kemudian dibekukan d. Daging masak e. Daging asap dan f. Daging olahan Tabel 2.2 Perbandingan gizi dari beberapa jenis daging Jenis daging Kalori Protein Lemak Besi Vitamin Sapi 129 20 5 2,1 65 Kambing 162 17 10 2,1 60 Itik 129 20 5 2,0 100 Ayam 125 20 5 2,0 3 Sumber : Lembaga makanan rakyat (Murtidjo, 1990) Dilihat dari nilai gizinya, daging ayam merupakan sumber gizi yang baik karena banyak mengandung unsur unsur yang diperlukan untuk hidup manusia diantaranya protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin yang berbeda dengan manusia (Mountney dan Parkhust,1995). Kualitas daging ayam ditentukan oleh komposisi kimia daging ayam

dipengaruhi oleh jenis turunan. Jenis kelamin, umur, dan pengaturan gizi dalam ransum (Buckle et al., 1987) Daging adalah bagian dari tubuh ternak kecuali tanduk, kuku, tulang dan bulu yang mengandung protein, lemak, mineral, dan vitamin dalam komposisi yang berbeda tergantung pada bangsa, makanan, jenis ternak dan umur ternak. Daging juga dapat didefinisikan semua jaringan hewan dan semua bentuk olahannya yang dapat dimakan dan tidak membahayakan kesehatan bagi yang memakannnya (Pallupi dan Bade, 1986) 2.7 BAKSO Bakso merupakan suatu produk gel dari protein daging, baik daging ayam, sapi, ikan, udang maupun tahu. Bakso dilihat dari daging yang telah digiling dengan penambahan tapioka, dan bumbu bumbu, berbentuk bulat seperti kelereng dengan berat sekitar 25 30 gram perbutir dan diameter 2-7 cm atau sesuai dengan selera dan kebutuhan. Kualitas bakso sangat bervariasi tergantung dari bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan, proporsi daging dengan tepung, serta proses pembuatannya (Widyaningsih dan Murtini, 2006) dan Suprapti et al., 2003). Standar mutu bakso daging menurut Badan Standarisasi Nasional (SNI) 01-3818-1995 mendefinisikan bakso daging sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak dengan kadar daging tidak kurang dari 50% dan pati atau serealia dengan atau tanpa bahan tambahan pangan yang diizinkan. Bakso yang banyak dipasarkan di Indonesia umumnya dibuat dari daging ayam dan sapi. Namun, sebenarnya bakso dapat dibuat dari berbagai jenis daging seperti daging ikan, daging kelinci, daging babi, bahkan daging ikan cucut. Karakteristik yang berbeda-beda dari setiap jenis daging tersebut tentunya berpengaruh terhadap cara pengolahan dan mutu bakso yang dihasilkan.

Hasil survey yang dilakukan oleh Andayani (1999), menunjukkan bahwa karakteristik bakso ayam yang disukai konsumen adalah rasanya yang gurih, agak asin, mempunyai rasa daging yang kuat, berwarna abu-abu pucat atau, muda, beraroma daging rebus, memiliki tekstur yang empuk dan agak kenyal, serta berbentuk bulat dengan ukuran sedang (diameter 3-5 cm). Bakso mempunyai kandungan nutrisi cukup baik karena terbuat dari daging ayam yang kadar proteinnya tinggi dan kadar lemak berkisar 2.8% (lean meat) (Varnam dan Sutherland, 1995). Kualitas protein daging juga tinggi, jenis dan rasio asam-asam amino dalam daging ayam memenuhi kebutuhan untuk perawatan dan pertumbuhan jaringan tubuh manusia. Namun, selain kaya nutrisi daging ayam juga memiliki kadar air yang tinggi. menyebabkan bakso sangat rentan terhadap kerusakan secara mikrobiologis. Kualitas bakso dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bahan pengisi, kadar air, lemak, dan protein bakso. Penurunan kadar air terjadi akibat mekanisme interaksi pati dan protein sehingga air tidak dapat diikat secara sempurna karena ikatan hydrogen yang seharusnya mengikat air telah dipakai untuk interaksi pati dan protein (Manullang et al., 1995). Tabel 2.3 Kriteria Mutu Sensoris Bakso Parameter Penampakan Warna Bau Rasa Bakso Daging Bakso bulat halus,berukuran seragam, bersih, dan cemerlang, tidak kusam sedikitpun tidak berjamur dan tidak berlendir. Coklat muda cerah sedikit agak kemerahan, atau coklat muda agak keputihan,atau abu- abu,warna tersebut rata tanpa warna lain yang mengganggu. Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa, tanpa bau tengik, masam,basi atau busuk,bau bumbu cukup tajam Rasa lezat, enak, rasa daging dominan rasa bumbu cukup menonjol tetapi tidak berlebihan, tidak terdapat rasa asing yang

mengganggu. Tekstur kompak, elastis, kenyal,tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, Tekstur tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh. Sumber: Wibowo, (2006) Penurunan kadar protein dapat disebabkan banyaknya jumlah protein berbentuk globular di dalam bakso. Protein berbentuk globular lebih mudah untuk terdenaturasi saat proses pemanasan dibandingkan protein berbentuk fibriler (Pandisurya, 1983 ; Winarno, 1992). Menurut Farahita dan Lee (2012) menyatakan bahwa perusakan protein menjadi ikatan peptida yang pendek dan asam amino yang selanjutnya menjadi senyawa amin dan amino yang memberikan bau tajam dan citarasa yang khas. Tabel 2.4 Standar mutu bakso daging menurut Badan Standarisasi Nasional No Kriteria Satuan Persyaratan 1. Keadaan 1.1 Bau - Normal, khas daging 1.2 Rasa - Gurih 1.3 Warna - Normal 1.4 Tekstur - Kenyal 2. Air % b/b Maksimal 70,0 3. Abu % b/b Maksimal 3,0 4. Protein % b/b Minimal 9,0 5. Lemak % b/b Maksimal 2,0 6. Boraks - Tidak boleh ada 7 Bahan tambahan makanan Sesuai dengan SNI 01-0222- 1995 8. Cemaran logam : 8.1 Timbal (Pb) Mg/kg Maksimal 2.0 8.2 Tembaga (Cu) Mg/kg Maksimal 20,0 8.3 Seng (Zn) Mg/kg Maksimal 40,0 8.4 Timah (Sn) Mg/kg Maksimal 40,0 8.5 Raksa (Hg) Mg/kg Maksimal 0,03 9. Cemaran arsen (As) Mg/kg Maksimal 1,0 10. Cemaran mikroba: 10.1 Angka lempeng total Koloni/g Maksimal 1x10³ 10.2 Bakteri bentuk koli APM/g Maksimal 10

10.3 Escherichia koli APM/g < 3 10.4 Enterococci Koloni/g Maksimal 1x10³ 10.5 Clostridium perfringens Koloni/g Maksimal 1x10² 10.6 Salmonella - Negatif 10.7 Staphylococcus aureus Koloni/g Maksimal 1x10² Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1995)