II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

A. Sifat Fisik Kimia Produk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DESKRIPSI PROSES

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4 Pembahasan Degumming

HASIL DAN PEMBAHASAN

SNI Standar Nasional Indonesia. Biodiesel. Badan Standardisasi Nasional

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jarak duri (Ricinus communis L.) termasuk dalam famili

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SURFAKTAN DAN KINERJA SURFAKTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN MES DARI MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN REAKTAN H 2 SO 4. Oleh : SAIFUDDIN ABDU F

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KIMIA. Sesi HIDROKARBON (BAGIAN II) A. ALKANON (KETON) a. Tata Nama Alkanon

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. produksi biodiesel karena minyak ini masih mengandung trigliserida. Data

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

PROSES PEMBUATAN SABUN CAIR DARI CAMPURAN MINYAK GORENG BEKAS DAN MINYAK KELAPA

Jurnal Teknologi Kimia Unimal 5 : 1 (2016) homepage jurnal:

lebih ramah lingkungan, dapat diperbarui (renewable), dapat terurai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2.

Bab IV Hasil dan Pembahasan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil

sidang tugas akhir kondisi penggorengan terbaik pada proses deep frying Oleh : 1. Septin Ayu Hapsari Arina Nurlaili R

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Materi Penunjang Media Pembelajaran Kimia Organik SMA ALKENA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lemak sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat, C 18 H 36 O 2 dan asam

TINJAUAN PUSTAKA. Minyak Inti Sawit

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama halnya dengan minyak goreng yang belum digunakan, tetapi dalam minyak goreng bekas mengandung senyawa-senyawa hasil dekomposisi minyak. Minyak jelantah biasanya dihasilkan dari menggoreng bahan pangan dengan teknik deep frying, yaitu merendam seluruh bahan pangan di dalam minyak goreng. Sisa minyak goreng tersebut biasanya tidak langsung dibuang, melainkan ditambahkan sedikit minyak goreng yang baru untuk digunakan kembali secara berulang-ulang (Kahar, 2004). Pemanasan dan penggunaan minyak jelantah yang berulang-ulang akan mengubah komposisi kimiawi dari minyak goreng. Perubahan ini dapat disebabkan proses oksidasi, polimerisasi, hidrolisis dan karamelisasi yang terjadi di dalamnya. Proses pemanasan yang tinggi dari minyak goreng dapat menyebabkan komponen-komponen di dalam minyak seperti karoten dan klorofil mengalami oksidasi. Terjadinya reaksi oksidasi ditandai dengan perubahan warna minyak menjadi lebih gelap, sehingga semakin sering digunakan warna minyak semakin gelap. Minyak goreng bekas memiliki kandungan asam lemak bebas yang tinggi

7 akibat proses oksidasi dan hidrolisis komponen minyak goreng. Proses hidrolisis minyak goreng terjadi bila sejumlah air terkandung di dalam bahan pangan. Selain mengubah warna minyak menjadi lebih gelap, penggunaan minyak jelantah secara berulang-ulang dapat menyebabkan pembentukan busa, timbul bau tengik, serta peningkatan viskositas dan massa jenis minyak. Bau tengik dari minyak jelantah disebabkan minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan pemanasan berulang, sehingga menghasilkan senyawa aldehid, keton, hidrokarbon, alkohol serta senyawa-senyawa aromatik. Peningkatan viskositas dan massa jenis disebabkan adanya komponen-komponen sekunder hasil reaksi hidrolisis, oksidasi maupun polimerisasi minyak goreng bekas (Ketaren,2005). Reaksi hidrolisis dari minyak goreng akan menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Tingginya asam lemak bebas tersebut akan meningkatkan bilangan asam minyak goreng. Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak dengan oksigen, biasanya oksidasi dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya adalah terurainya asam-asam lemak hasil proses oksidasi disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid, keton serta asam-asam lemak bebas (Ketaren, 2005). Pembentukan senyawa polimer selama proses menggoreng dapat terjadi akibat adanya reaksi polimerisasi adisi dari asam lemak tak jenuh di dalam minyak goreng. Hal ini terbukti dengan terbentuknya bahan menyerupai gum yang mengendap pada dasar wadah (Ketaren, 2005). Pemanasan yang tinggi juga mengubah asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh. Minyak yang mengandung asam lemak tak jenuh lebih mudah diabsorpsi oleh usus

8 dibandingkan minyak yang mengandung asam lemak jenuh, sehingga penggunaan minyak yang mengandung asam lemak jenuh dapat mengakibatkan arthero sclerosis. Selain itu, proses tersebut juga dapat menghasilkan senyawa-senyawa radikal bebas yang bersifat karsinogenik di dalam minyak goreng bekas (Sidjabat, 2004). 2.2. Surfaktan Surfaktan adalah suatu zat yang mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan (surface tension) suatu medium dan menurunkan tegangan antarmuka (interfacial tension) antar dua fasa yang sama tetapi berbeda derajat polaritasnya dalam suatu medium yaitu dengan cara melarutkan surfaktan ke dalam medium tersebut. Surfaktan banyak dimanfaatkan dan digunakan secara luas dalam berbagai produk yang diaplikasikan pada berbagai industri dan rumah tangga karena kemampuannya dalam mempengaruhi tegangan permukaan dan tegangan antarmuka suatu medium. Antarmuka (interface) adalah bidang kontak antara dua senyawa dalam fasa yang sama, sedangkan permukaan (surface) adalah jika antarmuka antara dua senyawa tidak dalam fasa yang sama. Tegangan permukaan dari suatu cairan adalah tekanan internal di bawah permukaan cairan yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik antar molekul cairan itu sendiri. Gaya tarik menarik tersebut menimbulkan tekanan dari dalam cairan melawan tekanan dari atas permukaan cairan, sehingga cairan tersebut cenderung untuk membentuk lapisan antarmuka dengan zat yang lain. Surfaktan dapat mempengaruhi kemampuan dari molekul cairan tersebut agar dapat berinteraksi dengan zat yang lain dengan cara menurunkan tegangan permukaannya (Durrant, 1953).

9 Karakteristik utama surfaktan adalah pada aktifitas permukaannya. Surfaktan mampu meningkatkan kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan antar muka suatu cairan, meningkatkan kemampuan pembentukan emulsi minyak dalam air, mengubah kecepatan agregasi partikel terdispersi yaitu dengan menghambat dan mereduksi flokulasi dan coalescence partikel yang terdispersi sehingga kestabilan partikel yang terdispersi makin meningkat. Surfaktan juga mampu mempertahankan gelembung atau busa yang terbentuk lebih lama (Bergenstahl, 1997). Molekul surfaktan dapat digambarkan seperti berudu yang terdiri dari bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air) yang merupakan bagian yang sangat polar, dan bagian ekor yang bersifat hidrofobik (tidak suka air) bersifat non polar. Kepala dapat berupa anion, kation dan non ion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linear atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi kepala ekor ini membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di industri (Hui, 1996; Hasenhuettl, 1997). Gugus nonpolar mengandung rantai hidrokarbon dengan gugus alkil atau alkilbenzena. Gugus polar mengandung heteroatom seperti O, S, P atau N yang terikat dalam gugus fungsional seperti alkohol, tiol, eter, ester, asam, sulfat, sulfonat, fosfat, amina, amida, dan lain sebagainya (Salager, 2002). Jenis surfaktan dibagi menjadi empat berdasarkan muatan pada gugus polarnya yaitu surfaktan anionik, nonionik, zwitterionik, dan kationik. Surfaktan anionik adalah senyawa yang pada bagian hidrofiliknya bermuatan negatif. Keberadaan gugus sulfat atau sulfonat menyebabkan sifat hidrofilik. Surfaktan non ionik adalah senyawa yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul pada gugus hidrofiliknya. Sifat hidrofiliknya disebabkan karena keberadaan gugus

10 oksigen eter atau karboksil. Kelompok surfaktan non ionik ini dibagi menjadi dua kelompok yakni ester asam lemak dari polihidrik alkohol dan turunan polialkoksilat. Surfaktan kationik adalah senyawa yang gugus hidrofiliknya bermuatan positif. Sifat hidrofilik ini umumnya disebabkan karena garam ammonium (Rieger, 1985). Surfaktan amfoterik adalah senyawa yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya. Muatannya tergantung pada nilai ph. Pada kisaran nilai ph rendah, senyawa ini akan bermuatan negatif dan pada kisaran nilai ph tinggi akan bermuatan positif (Matheson, 1996). Berdasarkan jumlah konsumsi surfaktan dunia, surfaktan anionik merupakan surfaktan yang paling banyak digunakan (50 persen), kemudian disusul nonionik (45 persen), kationik (4 persen), dan yang paling sedikit penggunaannya adalah surfaktan dari jenis amfoterik (1 persen) (Salager, 2002). Struktur surfaktan secara umum diperlihatkan pada Gambar 1. a b Gambar 1. Struktur surfaktan (a. Unimer surfaktan b. Agregat surfaktan ) Sumber : Edison, 2009 Menurut Matheson (1996), MES yang termasuk dalam kelompok surfaktan anionik telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk

11 pembersih (washing and cleaning products). Pemanfaatan surfaktan jenis ini pada beberapa produk karena MES memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water). Surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester dan fatty alkohol. Proses-proses yang dapat diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya yaitu asetilasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, amidasi, sukrolisis, dan saponifikasi (Sadi, 1994). 2.3. Metil Ester Definisi metil ester menurut SNI (1999) adalah ester lemak yang dibuat melalui proses esterifikasi asam lemak dengan alkohol, berwujud cairan. Metil ester merupakan produk antara yang dapat digunakan sebagai bahan baku surfaktan yang berasal dari minyak dan lemak selain asam lemak (fatty acid) dan alkohol lemak (fatty alcohol). Metil ester memiliki sifat tidak korosif (seperti halnya asam lemak nabati), lebih tahan terhadap oksidasi dan tidak mudah berubah warna (Darnoko dkk, 2001). Metil ester dapat dihasilkan dengan dua cara yaitu : (1) esterifikasi asam lemak dan (2) transesterifikasi trigliserida. Menurut Hui (1996), esterifikasi adalah reaksi antara asam lemak dengan alkohol dengan bantuan katalis untuk membentuk ester. Transesterifikasi adalah penggantian gugus alkohol dari ester dengan alkohol lain dalam suatu proses yang menyerupai hidrolisis. Namun berbeda dengan hidrolisis, pada proses transesterifikasi bahan yang digunakan bukan air

12 melainkan alkohol. Umumnya katalis yang digunakan adalah NaOH atau KOH (Hambali dkk, 2006). Bahan baku yang mengandung kadar asam lemak bebas lebih dari 2%, perlu dilakukan proses praesterifikasi untuk menurunkan kadar asam lemak bebas hingga sekitar 2% sebagai proses pendahuluan. Selanjutnya dilakukan proses transesterifikasi menggunakan katalis alkali pada temperatur 40-50 o C (Ramadhas dkk., 2005). Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol untuk menghasilkan metil ester (biodiesel) disajikan pada Gambar 2. Minyak/lemak Metanol Metil ester Gliserol Gambar 2. Reaksi transesterifikasi antara trigliserida dan metanol Sumber : Hart, 1990 Faktor utama yang mempengaruhi rendemen ester yang dihasilkan pada reaksi transesterifikasi adalah rasio molar antara trigilserida dan alkohol, jenis katalis yang digunakan, suhu reaksi, waktu reaksi, kandungan air, dan kandungan asam lemak bebas pada bahan baku yang dapat menghambat reaksi. Faktor lain yang mempengaruhi kandungan ester pada biodiesel, diantaranya kandungan gliserol, jenis alkohol yang digunakan pada reaksi transesterifikasi, dan jumlah katalis. Pada proses transesterifikasi, selain menghasilkan metil ester hasil sampingannya adalah gliserol. Penetapan standar metil ester antara satu negara dengan negara lainnya berbeda-beda. Standar ini disesuaikan dengan iklim dan kondisi masing-

13 masing negara (Hambali dkk, 2006). Standar mutu metil ester Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Standar mutu metil ester Indonesia (RSNI EB 020551) No Parameter dan satuan Batas nilai Metode uji Metode setara 850-890 ASTM D 1298 ISO 3675 1 Massa jenis pada 40 o C, Kg/m 3 2 Viskositas kinematik pada 2,3-6,0 ASTM D 445 ISO 3104 40 o C, mm 2 /s (cst) 3 Angka setana Min. 51 ASTM D 613 ISO 5165 4 Titik nyala (mangkok Min. 100 ASTM D 93 ISO 2710 tertutup), o C 5 Titik kabut o C Maks. 18 ASTM D 2500-6 Korosi bilah tembaga Maks. No. ASTM D 130 ISO 2160 (3 jam, 50 o C) 3 7 Residu karbon (%-b) Maks. 0,05 ASTM D 4530 (maks. 0,3) - dalam contoh asli Maks. 0,05 (maks. 0,3) - dalam 10% ampas distilasi Maks. 0,05 (maks. 0,3) 8 Air dan sedimen, %-vol Maks. 0,05 ASTM D 2709 9 Temperatur distilasi 90%, o C Maks. 360 ASTM D 1160 10 Abu tersulfatkan, %-b Maks. 0,02 ASTM D 874 11 Belerang, ppm-b (mg/kg) Maks. 100 ASTM D 5453 12 Fosfor, ppm-b (mg/kg) Maks. 10 AOCS Ca 12-55 13 Angka asam, mg-koh/g Maks. 0,8 AOCS Cd 3-63 14 Gliserol bebas, %-b Maks. 0,02 AOCS Ca 14-56 15 Gliserol total, %-b Maks. 0,24 AOCS Ca 14-56 17 Angka iodium, %-b Maks. 115 AOCS Cd 1-25 (g-12/100g) 18 Uji Halphen Negatif AOCS Cb 1-25 Sumber : Forum Biodiesel Indonesia (2006) dalam (Hambali et al., 2006) 2.4. Metil Ester Sulfonat Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik. Bagian aktif permukaan (surface-active) surfaktan MES mengandung gugus sulfonat. Formula umum surfaktan MES adalah RSO3Na, dimana gugus R merupakan grup hidrokarbon yang dapat didegradasi pada struktur molekul surfaktan. Grup

14 hidrokarbon R berupa alkil dan produk tersebut dapat dicampur secara acak dengan isomer lainnya selama isomer tersebut tidak mengandung rantai bercabang yang dapat mengganggu sifat biodegradable gugus sulfonat (Watkins, 2001). Jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan metil ester sulfonat (MES) adalah kelompok minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, atau tallow (Watkins, 2001). Menurut Matheson (1996), MES berbahan minyak nabati memiliki kinerja yang sangat menarik, diantaranya adalah karakteristik dispersi dan sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water), tidak mengandung ion fosfat, ester asam lemak C 14, C 16 dan C 18 memberikan tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi. Pada umumnya surfaktan dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester asam lemak (fatty acid) dan alkohol lemak (fatty alcohol). Salah satu proses untuk menghasilkan surfaktan adalah proses sulfonasi untuk menghasilkan MES (Sadi, 1994). Menurut Bernardini (1983), proses sulfonasi menghasilkan produk turunan yang terbentuk melalui reaksi kelompok sulfat dengan minyak, asam lemak, ester, dan alkohol lemak. Diistilahkan sebagai sulfonasi karena proses ini melibatkan penambahan gugus sulfat pada senyawa organik. Jenis minyak yang biasanya disulfonasi adalah minyak yang mengandung ikatan rangkap ataupun gugus hidroksil pada molekulnya. Bahan baku minyak yang digunakan industri adalah minyak berwujud cair yang kaya akan ikatan rangkap.

15 Proses sulfonasi dapat dilakukan dengan mereaksikan asam sulfat, sulfit, NaHSO 3, atau gas SO 3 dengan ester asam lemak (Bernardini, 1983; Watkins 2001). Pereaksi kimia yang banyak digunakan adalah gas SO 3 yang sangat reaktif dan bereaksi cepat dengan beberapa komponen organik. Proses sulfonasi dengan gas SO 3 menghasilkan produk dengan kualitas yang tinggi, tetapi kelemahannya yaitu proses ini bersifat kontinyu dan paling sesuai untuk volume produksi yang besar, membutuhkan peralatan yang mahal dengan tingkat ketepatan yang tinggi, dan mensyaratkan personil pengoperasian yang memiliki kemampuan tinggi (highly trained), selain itu memiliki sifat yang sangat reaktif sehingga diperlukan kontrol yang sangat ketat agar tidak terbentuk produk intermediat dan warna produk yang hitam sehingga memerlukan proses pemucatan. MES yang dihasilkan pada proses sulfonasi masih mengandung produk-produk samping yang dapat mengurangi kinerja surfaktan sehingga memerlukan proses pemurnian. Menurut Watkins (2001), proses produksi MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester dan gas SO 3 dalam failing film reactor pada suhu 80-90 o C. Proses sulfonasi ini akan menghasilkan produk berwarna gelap, sehingga dibutuhkan proses pemurnian meliputi pemucatan dan netralisasi. Untuk mengurangi warna gelap tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan larutan H 2 O 2 atau larutan metanol, yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan menambahkan larutan alkali (KOH atau NaOH), setelah melewati tahap netralisasi, produk yang berbentuk pasta dikeringkan sehingga produk akhir yang dihasilkan berbentuk pasta, serpihan, atau granula.

16 Menurut Foster (1996), hal yang harus dipertimbangkan untuk menghasilkan kualitas MES terbaik adalah rasio mol, suhu reaksi, lama reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, bahan untuk sulfonasi (NaHSO 3, H 2 SO 4 ), waktu netralisasi, ph dan suhu netralisasi. Untuk mendapatkan produk yang unggul dari reaksi sulfonasi, rasio mol reaktan merupakan faktor utama yang harus dikendalikan. Faktor-faktor lain tersebut memang memberikan pengaruh pada kualitas produk, namun pengaruhnya tidak sebesar pengaruh akibat rasio mol. Gambar 3 berikut menunjukkan reaksi sulfonasi metil ester dengan menggunakan H 2 SO 4. O O H 2 SO 4 + R CH 2 C OCH 3 R CH C OCH 3 + H 2 O SO 2 OH Asam sulfat Metil Ester Metil Ester Sulfonat Air Gambar 3. Reaksi sulfonasi menggunakan asam sulfat Sumber : Hart, 1990