BAB IV. yang tidak terikat dan didasarkan pada keahlian professional yang dimilikinya. 1

dokumen-dokumen yang mirip
PEDOMAN WAWANCARA. 1. Bagaimana perbedaan fixed base dengan Permanent Establishment dalam

BAB I PENDAHULUAN. berganda (double taxation). Untuk menghindari double taxation, maka dibuat

PAJAK INTERNASIONAL. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

BAB III GAMBARAN UMUM INDEPENDENT PERSONAL SERVICES DAN PERMANENT ESTABLISHMENT

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

BERITA NEGARA. No.1193, 2012 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Visa. Saat Kedatangan. Perubahan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.825, 2015 KEMENKUMHAM. Visa Kunjungan. Saat Kedatangan. Ketujuh. Perubahan.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KEHUTANAN Nomor.: P.3/II-KEU/2010 TENTANG

BAB II KERANGKA PEMIKIRAN DAN METODE PENELITIAN. dilakukan oleh Tian Xu dengan judul Observation on former Article 14 of OECD

JUMLAH KUNJUNGAN KE TAMAN NASIONAL KOMODO MENURUT NEGARA ASAL TAHUN 2012

2 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik

Bab 8 BENTUK USAHA TETAP (BUT)

KEDUDUKAN HUKUM P3B, METODE PENERAPAN, DAN STRUKTUR P3B

REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN-PMA

(WITHHOLDING) TAX DAN KREDIT PAJAK (TAX CREDIT)

Anggota Klaster yang terbentuk adalah sebagai berikut :

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Bebas Visa K

DAFTAR PUSTAKA. Anderson, James E. Public Policy Making, Newyork: Holt, Renehart and Wisto

REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN - PMA TRIWULAN I TAHUN 2017

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 123/PMK.04/2011 TENTANG

Sekilas tentang Bom Curah (cluster bombs) dan Dunia

PASAL 5 AGEN TIDAK BEBAS YANG DAPAT MENIMBULKAN BUT BAGI SUATU PERUSAHAAN

REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN - PMA TRIWULAN I TAHUN 2016

REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN PMA TRIWULAN I TAHUN 2014

PASAL 4 PENENTUAN STATUS PENDUDUK

TABEL 62. PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA KE LUAR NEGERI MENURUT NEGARA TUJUAN D.I YOGYAKARTA TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. Penentuan status..., Benny Mangoting, FH UI, 2010

REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN - PMA TRIWULAN II DAN JANUARI JUNI TAHUN 2016

BADAN PUSAT STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perdagangan dan investasi internasional, permasalahan yang sering

PT.PRESSTI ASIA INDONESIA

PERKEMBANGAN EKSPOR KALIMANTAN TENGAH DESEMBER 2014

REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN-PMA

MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN TENTANG MEMUTUSKAN:

BUPATI JENEPONTO PROVINSI SULAWESI SELATAN KEPUTUSAN BUPATI JENEPONTO NOMOR 17 TAHUN 2018 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

IV. METODE PENELITIAN

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTER! KEUANGAN NOMOR

Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. Tgl. Berlaku : Mei 2012 Versi/Revisi : 01/00

BAB 1 PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Penerimaan Dalam Negeri, (dalam miliar rupiah)

PERKEMBANGAN EKSPOR KALIMANTAN TENGAH MEI 2015

PENGANTAR PAJAK INTERNASIONAL

Lampiran 1 DAFTAR P3 INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Controlled Foreign..., Stenny Mariani Lumban Tobing, FISIP UI, 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. Industri pariwisata dalam beberapa kurun waktu terakhir telah mendapat

PASAL 11 & 12 TARIF PPh PASAL 26 ATAS BUNGA DAN ROYALTI UNTUK P3B YANG SUDAH BERLAKU EFEKTIF MAUPUN YANG BARU DIRATIFIKASI

MMStax-Info Mei 2011 Edisi Bahasa Indonesia

RENCANA DAN REALISASI INVESTASI DAN TENAGA KERJA PMDN MENURUT SEKTOR EKONOMI DI NTB TAHUN 2013

PERKEMBANGAN EKSPOR KALIMANTAN TENGAH APRIL 2015

PERKEMBANGAN EKSPOR KALIMANTAN TENGAH DESEMBER 2015

PERPAJAKAN INTERNASIONAL BAB 1 : PENDAHULUAN

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.01.IZ TAHUN 2005.

PERKEMBANGAN EKSPOR KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2015

VI. PEREDARAN HASIL HUTAN

Neraca Perdagangan Beberapa Negara (juta US$),

BAB 2 LANDASAN TEORI Pengertian Hukum Pajak Internasional. pendapat ahli hukum pajak, yaitu:

No Nama Pengajar Alamat 1

7 Angkutan, Pergudangan, dan Komunikasi Lembaga Keuangan, Real Estat, Usaha Persewaan, dan

2015, No c. bahwa dengan beralihnya status Bandar Udara Polonia ke Bandar Udara Internasional Kualanamu dan Bandar Udara Selaparang ke Bandar Ud

INFORMASI KEHIDUPAN BERBAGAI BAHASA

ASPEK HUKUM PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL. Abstrak

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR BIAYA OPERASIONAL GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR BANTEN TAHUN 2016

REALISASI PENANAMAN MODAL PMDN - PMA TRIWULAN III DAN JANUARI SEPTEMBER TAHUN 2016

MMStax-Info Agustus 2011 Edisi Bahasa Indonesia

KAPAL KAPAL KERETA BUS UDARA LAUT API

ORGANIZATION THEORY AND DESIGN

Landasan Hukum: Pasal 24 UU PPh, KMK No. 164/ KMK.03/ 2002

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS EMPLOYEE STOCK OPTION. A. Analisis Saat Pengenaan Pajak yang Tepat atas ESOP

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Pembagian Hak Pemajakan Atas Suatu Jenis Penghasilan Tulisan Ilmiah Perpajakan Internasional Jurnal Perpajakan KUP

TAX JURISDICTION. Original Paper Created by : Eka Daswindar

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR KALIMANTAN TENGAH OKTOBER 2012

HUKUM PAJAK ( TAX LAW ) MK-14 JULIUS HARDJONO

Silabus. EKA 5341 Perpajakan Internasional. Program Studi: Strata 1 (S-1) Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR KALIMANTAN TENGAH JUNI 2012

Ruth Rassita Kembaren. Universitas Bina Nusantara Jalan Rawa Belong Raya No.8, Kemanggisan Jakarta Barat

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi saat ini semakin memudarkan batas geografis antar negara

BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan bermutu yang didasarkan pada Standar Nasional Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan tugas wajib bagi negera-negara di dunia

BAB III. Berdasarkan peraturan perpajakan yang ada sampai dengan bulan Mei 2008,

BAHAN AJAR PAJAK INTERNASIONAL

BAB 1 PENDAHULUAN. Seluruh negara di dunia memperoleh sumber pendanaan utamanya adalah dari

ANALISIS KETENTUAN BENTUK USAHA TETAP AKTIVITAS ATAS PEMBERIAN JASA PADA TAX TREATY INDONESIA - JEPANG

BAB 2 LANDASAN TEORI

MMStax-Info Oktober 2011 Edisi Bahasa Indonesia

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional

MMStax-Info Februari 2012 Edisi Bahasa Indonesia

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR SULAWESI TENGAH

Achmad Abrar. Dosen Pembimbing: Maya Safira Dewi, SE., Ak., M.Si ABSTRAK

Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA

BIPA Pendukung Internasionalisasi Bahasa Indonesia

ANALISIS PERBANDINGAN BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA UNTUK NEGARA SINGAPURA, MALAYSIA, DAN JEPANG

Bab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)

PROGRAM KEPENDUDUKAN TETAP UNI EROPA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional Indonesia merupakan suatu proses yang dilakukan

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN PENGARUH ASIMILASI PASAL INDEPENDENT PERSONAL SERVICES DALAM PASAL PERMANENT ESTABLISHMENT JIKA DITERAPKAN DALAM PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) INDONESIA A. DAMPAK ASIMILASI PASAL INDEPENDENT PERSONAL SERVICES DALAM PASAL PERMANENT ESTABLISHMENT TERHADAP WACANA PERUBAHAN KEBIJAKAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) INDONESIA. Independent personal services merupakan kegiatan pemberian jasa oleh individu yang tidak terikat dan didasarkan pada keahlian professional yang dimilikinya. 1 Dikatakan independent personal services jika mempunyai karakteristik antara lain, personal know-how 2, pemberian jasa secara independen 3, dan dilakukan di tempat yang berbeda. 4 Pengenaan pajak independent personal services ditentukan dengan fixed base rule, time test rule, dan borne rule. Selain tiga ketentuan tersebut, pemajakan individu dapat berdasarkan monitery test. 5 Monitery test adalah pajak dikenakan di negara sumber dimana penghasilan yang diterima melebihi ambang batas (threshold), tanpa memperhatikan time test. Asimilasi Pasal 14 dalam Pasal 7 terjadi karena tidak ada perbedaan antara konsep Permanent Establishmet dengan fixed base. Pada dasarnya, fixed base 1 Darussalam dan Danny Septriadi, Log.Cit, (dalam Inside Tax, edisi September 2007), hal. 37. 2 J.W.J. de Kort, Op.Cit., hal. 72. 3 Gunadi, Taxation on Personal Service IncomeBased on Income Tax Law and Tax treaty, (Jakarta, 2001), hal. 30. 4 Tian Xu, Op.Cit., hal. 213. 5 Hasil wawancara dengan John Hutagaol (DJP), pada tanggal 27 Mei 2008 pada pukul 07.15 s/d 07.40 di Kantor Kasubdit Dampak Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak.

maupun Permanent Establishment merupakan alat uji untuk menentukan jurisdiksi pemajakan suatu penghasilan, apakah dikenakan pajak oleh negara domisili atau negara sumber. Permanent Establishment merupakan konsep yang dipergunakan secara luas dalam perpajakan internasional, untuk menentukan apakah suatu penghasilan seharusnya atau tidak dipajaki di negara sumber penghasilan. 6 Persamaan konsep antara fixed base dengan Permanent Establishment tidak hanya secara praktek, tetapi juga teori. Di Indonesia secara praktek, Permanent Establishment dan fixed base mensyaratkan tempat tetap. Hal tersebut untuk membedakan yang pribadi dan badan, karena mengacu pada definisi UU PPh Pasal 2 ayat (5) yaitu Permanent Establishment merupakan suatu bentuk usaha tetap oleh badan dan orang pribadi. 7 Bentuk-bentuk Permanent Establishment, seperti fasilitas, konstruksi, hubungan keagenan 8, fisik, dan aktifitas. Fixed base dikatakan sama dengan Permanent Establishment berdasarkan fisik dan aktifitas. 9 Fisik terkait dengan suatu tempat tetap, sedangkan aktifitas terkait dengan time test. Secara teoretis, antara fixed base dengan Permanent Establishment merupakan hal yang sama. OECD Model sebelum tahun 2001 mengatur perbedaan antara jasa dengan bisnis. Bisnis diberikan kriteria pemajakan yang lebih berat dibandingkan 6 T. Arsono, Permanent Establishment dalam Penentuan Hak Pemajakan Suatu Negara-OECD Model Convention, (dalam Inside Tax, edisi Desember 2007), hal. 43. 7 Hasil wawancara dengan Rachmanto Surahmat (Praktisi Perpajakan), pada tanggal 8 Mei 2008 pada pukul 16.00 s/d 16.20 di KAP Ernst & Young. 8 Richard L Doenberg, Op.Cit., hal. 207. 9 Hasil wawancara, John Hutagaol, Log.Cit.

dengan jasa, sebagai contoh adalah perbedaan tempat dilakukannya kegiatan usaha maupun pemberian jasa. 10 Tempat dilakukannya kegiatan usaha adalah fixed place, sedangkan untuk pemberian jasa di tempat yang bukan untuk usaha, tetapi secara regularly ada. Misalnya di hotel yang bukan merupakan tempat usaha, tetapi jika digunakan untuk melakukan kegiatan penyerahan jasa, maka hotel tersebut dianggap sebagai tempat usaha. Tingkat permanence yang lebih rendah pada fixed base, dibandingkan dengan Permanent Establishment berdasarkan fakta, bahwa suatu kegiatan usaha harus dijalankan melalui Permanent Establishment, sementara fixed base hanya melalui regularly available. 11 Permanent dalam hal ini berhubungan dengan dua unsur, yaitu : 1. Permanent in term of time terkait dengan lamanya suatu kegiatan dilakukan 2. Permanent in term of geographical location, terkait dengan lokasi kegiatan usaha yang tidak boleh berpindah tempat. Lain halnya di Jerman, karena ada putusan bahwa jasa bisa berpindah, tergantung dari motivasi bisnis, misal bisnis pertunjukan komedi, harus berpindah tempat agar mendapatkan penonton yang banyak. 12 Perbedaan teoretis antara fixed base dengan Permanent Establishment adalah perbedaan subjektif. 13 Jika Subjek Pajak perusahaan, maka digunakan istilah Permanent Establishment, sedangkan Subjek Pajak Orang Pribadi digunakan istilah fixed base. 10 Hasil wawancara dengan Gunadi (Akademisi Perpajakan), pada tanggal 12 Mei 2008 pada pukul 12.15 s/d 12.30 di PPATK. 11 Edwin van der Bruggen, Op.Cit., hal. 602. 12 Hasil wawancara dengan Gunadi (Akademisi Perpajakan), pada tanggal 12 Mei 2008 pada pukul 12.15 s/d 12.30 di PPATK. 13 Hasil wawancara dengan Mansury (Akademisi Perpajakan), pada tanggal 31 Mei 2008 pada pukul 14.15 s/d 14.40 di Jl. Kemang Timur V No. 18A.

Asimilasi Pasal 14 dalam pasal 7 yang dilakukan oleh OECD Model sudah tepat bagi negara maju, karena mereka mempunyai kepentingan tertentu. 14 OECD mewakili kepentingan negara maju dalam rangka perundingan P3B. Apa yang diusulkan oleh negara maju, tidak harus diterima oleh negara berkembang, yang selama ini konservatif menjaga hak pemajakannya, agar tidak kehilangan haknya. 15 Asimilasi Pasal 14 dalam Pasal 7 harus dikaji dan dipertimbangkan oleh negara berkembang, dengan memperhatikan apakah hal tersebut akan mengorbankan kepentingannya. Ada kemungkinan Indonesia untuk mengikuti perubahan tersebut dalam P3B. UU PPh Indonesia yang terkait dengan Permanent Establishment sudah mendefinisikan bahwa jasa termasuk dalam pengertian Permanent Establishment, hal ini sesuai dengan perubahan yang dilakukan oleh OECD Model. Sehingga, hal tersebut akan lebih sempurna jika berada dalam business income daripada berdiri sendiri. 16 Sebelum terjadi asimilasi, pemberian jasa oleh individu dibedakan berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 14. Pasal 5 digunakan untuk pemberian jasa oleh individu atas nama perusahaan. Pasal 14 pemberian jasa dilakukan oleh individu yang independent. Terdapat dua pengertian jasa yang dilakukan oleh individu, untuk menghindari pengertian berganda antara fixed place dengan fixed base, dilakukan asimilasi tersebut. Sekarang tidak dibedakan antara Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan. 17 Akibat dari asimilasi tersebut adalah hak pemajakan ditentukan berdasarkan time test. 14 Hasil wawancara, John Hutagaol, Log.Cit. 15 Ibid. 16 Hasil wawancara dengan Rachmanto Surahmat (Praktisi Perpajakan), pada tanggal 8 Mei 2008 pada pukul 16.00 s/d 16.20 di KAP Ernst & Young. 17 Hasil wawancara dengan Gunadi (Akademisi Perpajakan), pada tanggal 12 Mei 2008 pada pukul 12.15 s/d 12.30 di PPATK.

Perubahan yang dilakukan oleh OECD Model umumnya diikuti UN Model atau UN melakukan penyempurnaan dan atau UN tetap bertahan dengan kondisi awal. 18 Pendapat dari Mansury terkait dengan hal ini adalah sebagai berikut: anggota-anggota ahli perpajakan UN pernah membahas itu, dan kami sepakat untuk tetap mempertahankan. Tidak menjadi masalah jika terdapat perbedaan antara UN dengan OECD 19 UN terdiri dari negara berkembang dan maju, dua kelompok itu sepakat untuk mempertahankan Pasal 14, tetapi berbeda dengan sesama negara OECD. Artinya, negara maju mengakomodasi kepentingan negara berkembang yang ingin mempertahankan fixed base. Indonesia sebagai negara berkembang yang mengacu pada UN Model dalam membuat P3B, berpeluang untuk mengikuti perubahan yang dilakukan oleh OECD Model, dengan mengasimilasi Pasal 14 dalam Pasal 7. Indonesia sudah menggunakan konsep Permanent Etstablishment dalam UU Domestik sejak 1984 dan tidak mempunyai konsep fixed base. Ketentuan tersebut belum diatur pada P3B. Asimilasi Pasal 14 dalam Pasal 7 tidak menimbulkan masalah berkaitan dengan pelaksanaan UU PPh. Pada saat penerapannya dalam P3B dan mengikat perjanjian dengan negara lain tidak ada persoalan, karena sudah sesuai dengan ketentuan domestik. 20 Hal ini tergantung dari negosiasi dengan negara lain, apakah negara yang bersangkutan mau atau tidak melakukan asimilasi tersebut. 21 18 Hasil wawancara, John Hutagaol, Log.Cit. 19 Hasil wawancara, Mansury, Log.Cit. 20 Hasil wawancara dengan Rachmanto Surahmat (Praktisi Perpajakan), pada tanggal 8 Mei 2008 pada pukul 16.00 s/d 16.20 di KAP Ernst & Young. 21 Hasil wawancara dengan Gunadi (Akademisi Perpajakan), pada tanggal 12 Mei 2008 pada pukul 12.15 s/d 12.30 di PPATK.

Apabila terjadi asimilasi Pasal 14 dalam Pasal 7, maka pemajakan penghasilan independent personal services diatur dalam Pasal 7. Alat uji yang digunakan negara sumber untuk mengenakan pajak penghasilan tersebut berdasarkan Pasal 5 ayat (3b) atau Pasal yang terkait dengan furnishing of services, yaitu hanya berdasarkan time test. Pengaruh asimilasi Pasal 14 dalam Pasal 7 terhadap P3B Indonesia, jika diadopsi dalam kebijakan (kemudian hari), yaitu: 1. Jika Pasal independent personal services diasimilasikan dengan Pasal furnishing of services, maka hak pemajakan Indonesia akan berkurang karena time test menjadi bertambah lama, yaitu seperti yang disajikan dalam Tabel IV.1 berikut ini: Tabel IV.1 Negara dengan Time test Furnishing of Services yang Lebih Lama Negara Pasal Independent Pasal Furnishing of Personal Services Services Belgia 91 hari 183 hari Bulgaria 91 hari 120 hari Filipina 90 hari 183 hari Hungaria 90 hari 4 bulan Polandia 91 hari 120 hari Vietnam 90 hari 6 bulan Sumber : Tax Treaty Sumber : Tax Ttreaty 2. Jika Pasal independent personal services diasimilasikan dengan Pasal Royalti dan Furnishing of Services of Permanent Establishment, maka Indonesia

mempunyai hak untuk mengenakan pajak atas jasa yang diberikan oleh independent personal services, walaupun WPLN tersebut tidak datang atau dalam pemberian jasa, kedatangannya tidak melewati time test di Indonesia, yaitu seperti yang disajikan dalam Tabel IV.2 berikut ini: Tabel IV.2 Negara yang Menggunakan Persentase untuk Mengenakan Pajak atas Kegiatan Furnishing of Services Negara Sumber : Tax Ttreaty 3. Jika Pasal independent personal services diasimilasikan dengan Pasal furnishing of services, maka hak pemajakan Indonesia akan bertambah karena time test hak untuk mengenakan pajak menjadi berkurang, yaitu seperti yang disajikan dalam Tabel IV.3 berikut ini: Pasal Independent Personal Services Pasal Furnishing of Services (Technical Services) Jerman 120 hari 7.5 % Luxemburg 91 hari 10% Pakistan 90 hari 15% Swiss 183 hari 5% Venezuela 90 hari 10% Tabel IV.3 Negara dengan Time test Furnishing of Services yang Lebih Sedikit Negara Pasal Independent Pasal Furnishing of Personal Services Services Aljazair 91 hari 3 bulan Bangladesh 183 hari 91 hari Belanda 91 hari 3 bulan Brunei 183 hari 3 bulan China 183 hari 6 bulan Denmark 91 hari 3 bulan Jepang 183 hari 6 bulan Korea (Democratic) 183 hari 6 bulan Kuwait 183 hari 3 bulan

Malaysia 183 hari 3 bulan Mongolia 91 hari 3 bulan Republik Ceko 91 hari 3 bulan Thailand 183 hari 6 bulan Tunisia 120 hari 3 bulan Ukraina 183 hari 4 bulan Yordania 90 hari 1 bulan Sumber : Tax Treaty 4. Jika Pasal independent personal services diasimilasikan dengan Pasal furnishing of services, maka tidak akan berdampak terhadap hak pemajakan Indonesia, karena time test sama, yaitu seperti yang disajikan dalam Tabel IV.4 berikut ini: Tabel IV.4 Negara dengan Time test Furnishing of Services Sama Dengan Independent personal services Negara Pasal Independent Pasal Furnishing of Personal Services Services Afrika Selatan 120 hari 120 hari Amerika Serikat 120 hari 120 hari Australia 120 hari 120 hari Austria 90 hari 3 bulan Finlandia 90 hari 3 bulan India 91 hari 91 hari Inggris 91 hari 91 hari Italia 90 hari 3 bulan Kanada 120 hari 120 hari Korea (Republik) 90 hari 3 bulan Meksiko 91 hari 91 hari Mesir 90 hari 3 bulan Norwegia 90 hari 3 bulan Romania 120 hari 4 bulan Selandia Baru 90 hari 3 bulan Seychelles 90 hari 3 bulan Singapura 90 hari 90 hari Slovakia 91 hari 91 hari

Spanyol 90 hari 3 bulan Srilanka 90 hari 90 hari Sudan 90 hari 3 bulan Suriah 183 hari 183 hari Swedia 90 hari 3 bulan Taiwan 120 hari 120 hari Turki 183 hari 183 hari Uzbekistan 90 hari 3 bulan Sumber : Tax Treaty 5. Jika Pasal independent personal services diasimilasikan dengan Pasal furnishing of services, maka Indonesia yang awalnya hak pemajakan atas independent personal services ditentukan berdasarkan fixed base. Pada saat diasimilasi, Indonesia akan kehilangan hak pemajakannya, karena dalam UN Model penerapan Pasal Business Income yang diatur dalam Pasal furnishing of services, menggunakan time test rule sebagai alat uji untuk mengenakan pajak atas penghasilan independent personal services, sedangkan fixed base tidak berlaku. Contohnya adalah P3B antara Indonesia dengan negara Uni Emirat Arab. B. KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM HAL NEGOSIASI ATAU RENEGOSIASI TERKAIT DENGAN PERUBAHAN OECD MODEL P3B merupakan usaha yang dilakukan untuk menghindarkan pengenaan pajak berganda secara internasional, hal tersebut untuk mencegah peyelundupan pajak penghasilan dari kegiatan ekonomi secara internasional. 22 P3B pada umumnya dilakukan secara bilateral, melalui otoritas yang berwenang. Indonesia menterjemahkan P3B sebagai bentuk perjanjian dengan negara lain yang menurut 22 Mansury, Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Uraian Umum dan Tentang Siapa-siapa yang Ditujukan Untuk Dikenakan Pajak, Jilid I, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1994), hal. 82.

Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 harus melalui persetujuan DPR, tetapi berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional beserta penjelasannya mengatur bahwa pengesahan P3B dilakukan dengan keputusan Presiden. 23 Hal tersebut bertentangan dengan Pasal yang disebutkan dalam UUD 1945, begitu juga dengan Pasal 32 A UU PPh yang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain. Menurut Mansury, pihak yang dapat mengadakan perjanjian dengan negara lain adalah negara RI bukan pemerintah RI. 24 Pada saat melakukan wawancara dengan beberapa narasumber, dalam hal negosiasi atau renegosiasi P3B, Indonesia diwakili oleh Direktorat Jenderal Pajak, yang selanjutnya disebut DJP. Alasannya adalah DJP mempunyai wewenang untuk menentukan kebijakan yang akan diambil terkait dengan peraturan perpajakan Indonesia. Pada saat ini Indonesia mengikat P3B dengan 57 negara, dan hampir semua P3B Indonesia dengan negara-negara tersebut mencantumkan Pasal independent personal services dan Pasal Furnishing of Services. Hak pemajakan ada pada Indonesia sebagai negara sumber, jika pekerjaan yang dilakukan oleh independent personal services atau individu yang mengatasnamakan perusahaan, melewati time test yang telah ditentukan. Penghapusan Pasal independent personal services dapat menyebabkan bertambah atau berkurangnya hak pemajakan Indonesia, tergantung dari time test. Selain time 38. 23 Darussalam dan Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak, Op.Cit., hal. 24 Mansury, Panduan Lengkap Tax Treaties Indonesia, (Jakarta: YP4, 2004), hal. 15.

test, Indonesia juga mengatur pasal-pasal tersebut berdasarkan persentase tertentu, sehingga hak pemajakan langsung berada di negara sumber, jika asimilasi Pasal 14 dilakukan. Contohnya adalah P3B antara Indonesia dengan Jerman, Luxemburg, Pakistan, Swiss, dan Venezuela. Berdasarkan pengaruh bagi Indonesia yang sudah dijelaskan sebelumnya, terkait dengan asimilasi Pasal 14 dalam pasal 7, maka pemerintah dalam membuat kebijakan harus mempertimbangkan hal-hal yang dapat menambah hak pemajakan yang akan meningkatkan penerimaan negara. Hal ini sesuai dengan salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pembuatan kebijakan, yaitu forward looking, memperhitungkan hasil dan target yang ingin dicapai dari dibuatnya suatu kebijakan. 25 Kebanyakan negara berkembang akan kehilangan hak pemajakan dan penerimaannya jika meghapus Pasal 14 dari P3B. Menurut pendapat Van der Bruggen 26, negara berkembang pada umumnya akan kehilangan hak pemajakan jika mengikuti inisiatif dari OECD Model tanpa memberikan reservation. Ada beberapa negara berkembang seperti Malaysia dan Thailand yang melakukan reservation, yaitu: 27 1. Malaysia menginginkan hak untuk memajaki penghasilan yang diterima oleh independent personal services atau aktivitas lainnya yang bersifat bebas, jika penghasilan yang diterima melebihi jumlah tertentu. 2. Thailand menginginkan hak untuk memajaki penghasilan yang diterima oleh independent personal services atau aktivitas lainnya yang bersifat bebas jika 25 Hellen Bullock, Juliet Mountford & Rebecca Stanley, Better Policy Making (England:Centre for Management and Policy Studies, 2001), hal.12 26 Edwin Van der Bruggen, Op.Cit., hal. 605. 27 Darussalam dan Danny Septriadi, Log.Cit, (dalam Inside Tax edisi September 2007), hal. 40.

dilakukan di wilayahnya dalam jangka waktu atau melebihi jangka waktu tertentu, yang akan dinegosiasikan, dalam jangka waktu 12 bulan. Maksud dari reservation adalah negara yang tidak menggunakan suatu Treaty Model, sehingga saat terjadi dispute dalam menginterpretasikan P3B, negara tersebut tidak bisa dipaksa untuk mengikuti interpretasi yang ada, sedangkan negara yang tidak reservation, pada saat terjadi dispute akan melihat pada commentary. Negara yang memilih suatu Model, misalkan P3B Indonesia dengan negara X, rumusannya sama seperti OECD Model, jika terjadi dispute, maka akan mengacu pada komentar OECD Model, tetapi jika melakukan reservation, maka tidak tunduk pada hal tersebut. 28 Treaty Model merupakan referensi perundingan masing-masing negara dalam pembuatan P3B. Indonesia membuat P3B individual yang tidak memerlukan reservation, sedangkan reservation dilakukan terhadap Model Treaty. 29 Negara yang menjadi anggota OECD atau UN dapat melakukan reservation. Indonesia bisa melakukan reservation, jika UN Model melakukan asimilasi Pasal 14 dalam Pasal 7. Prakteknya, OECD Model tidak mengikat negara berkembang, dan jika menggunakannya tidak ada masalah. Terkait dengan tax treaty, negara berkembang mempunyai resiko untuk melepas hak pemajakannya. 30 Indonesian Model dibuat berdasarkan UN Model dengan sedikit modifikasi yang disesuaikan dengan UU PPh, jadi klausul asimilasi belum dipertimbangkan. 31 28 Hasil wawancara dengan Gunadi (Akademisi Perpajakan), pada tanggal 12 Mei 2008 pada pukul 12.15 s/d 12.30 di PPATK. 29 Hasil wawancara dengan Gunadi (Akademisi Perpajakan), pada tanggal 12 Mei 2008 pada pukul 12.15 s/d 12.30 di PPATK. 30 John Hutagaol, Op.Cit. 31 John Hutagaol, Op.Cit.

Indonesia belum ada rencana untuk melaksanakan asimilasi Pasal 14 dalam Pasal 7 pada P3B. Tetapi, UU PPh Pasal 2 ayat (5), secara implisit sudah diterapkan. Menurut Kasubdit Dampak Kebijakan, berdasarkan UU Domestik, Indonesia sudah menerapkan apa yang dilakukan oleh OECD Model, jadi kemungkinan besar akan mengikuti perubahan tersebut 32, hanya masalah waktu dan sosialisasi untuk memahami perkembangannya. Terkait dengan reservation, tergantung pada kemauan politik Direktur Jenderal Pajak. 33 Rencana Indonesia untuk mengadopsi perubahan tersebut harus didukung oleh beberapa hal, yaitu penyempurnaan P3B dan kesiapan dari para negotiator. Penyempurnaan dilakukan dalam draft Indonesia yang digunakan sebagai acuan pada saat negosiasi atau renegosiasi. Pada draft tersebut, Pasal 14 dipertahankan apabila tejadi asimilasi yang menyebabkan berkurangnya hak pemajakan Indonesia, berlaku juga sebaliknya. Selain itu, harus meyakinkan negara mitra untuk mengerti dan menyetujui draft yang diajukan. 34 Negotiator kadang-kadang tidak mempersiapkan konsep dan kurang mempunyai argumen pada saat negosiasi, sehingga Indonesia kehilangan hak untuk memajaki. 35 Selain itu, banyak tahapan proses pembuatan P3B, membuat negosiasi atau renegosiasi menjadi sulit, membutuhkan waktu, dan harus mempertimbangkan masalah manfaat yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan. 36 32 Hasil wawancara, John Hutagaol, Log.Cit. 33 John Hutagaol, Op.Cit. 34 Ibid 35 Hasil wawancara, Mansury, Log.Cit. 36 Hasil wawancara, John Hutagaol, Log.cit.

Kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal negosiasi atau renegosiasi P3B terkait dengan perubahan OECD Model, tergantung dari negotiator. Hal ini sesuai dengan tahapan proses pembuatan P3B, yaitu penetapan anggota delegasi yang akan mewakili proses negosiasi. 37 Menurut pendapat Mansury, Pasal 14 harus tetap dipertahankan, karena menguntungkan dan menambah hak pemajakan Indonesia, serta kepastian hukum. 38 Menurut peneliti, kebijakan yang harus diambil adalah melakukan asimilasi Pasal 14, hanya dengan negara-negara yang akan membuat bertambahnya hak pemajakan Indonesia, dan tetap mempertahankan Pasal 14 apabila asimilasi dilakukan dapat mengakibatkan berkurang, bahkan sampai hilang hak pemajakan Indonesia. Alasannya adalah kebijakan yang dibuat harus memperbanyak hak pemajakan negara sumber. 39 Hal lain yang perlu diperhitungkan untuk memutuskan asimilasi atau tidak adalah volume transaksi atau inbound transaction dengan negara mitra, cukup signifikan atau tidak bagi penerimaan negara. 37 Darussalam dan Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan Pajak, Op.Cit., hal. 39. 38 Hasil wawancara, Mansury, Log.Cit. 39 Hasil wawancara dengan Mansury (Akademisi Perpajakan), pada tanggal 31 Mei 2008 pada pukul 14.15 s/d 14.40 di Jl. Kemang Timur V No.18A.