M E S I O D E N S. Oleh : Drg. Norman Hidajah, M.Biomed

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

CROSSBITE ANTERIOR DAN CROSSBITE POSTERIOR

A. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan perkembangan zaman, perawatan ortodontik semakin

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan ortodonti merupakan perawatan yang bertujuan untuk

PENATALAKSANAAN PENUTUPAN DIASTEMA SENTRAL SETELAH PENCABUTAN GIGI MESIODENS

PERANAN DOKTER GIGI UMUM DI BIDANG ORTODONTI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mendapatkan oklusi yang baik tanpa rotasi gigi dan diastema (Alawiyah dan

CROSSBITE ANTERIOR. gigi anterior rahang atas yang lebih ke lingual daripada gigi anterior rahang

GIGI SUPERNUMERARY DAN PERAWATAN ORTODONSI

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Penanganan delayed eruption karena impaksi gigi insisivus sentralis kiri dengan surgical exposure pada anak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. gigi, mulut, kesehatan umum, fungsi pengunyahan, dan estetik wajah.1 Tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. oklusi sentrik, relasi sentrik dan selama berfungsi (Rahardjo, 2009).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. (Alexander,2001). Ortodonsia merupakan bagian dari ilmu Kedokteran Gigi yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kesehatan gigi, estetik dan fungsional individu.1,2 Perawatan dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sampai perawatan selesai (Rahardjo, 2009). Hasil perawatan ortodontik

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu jenis maloklusi yang sering dikeluhkan oleh pasien-pasien

Perawatan ortodonti Optimal * Hasil terbaik * Waktu singkat * Biaya murah * Biologis, psikologis Penting waktu perawatan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Analisa Ruang Metode Moyers

Pergerakan Gigi Dalam Bidang Ortodonsia Dengan Alat Cekat

III. RENCANA PERAWATAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan normal (Graber dan Swain, 1985). Edward Angle (sit. Bhalajhi 2004)

ORTODONTI III. H.Nazruddin Drg. C.Ort. Ph.D.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (Pedersen, 1966). Selama melakukan prosedur pencabutan gigi sering ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PERAWATAN GIGI IMPAKSI 21 DENGAN ALAT CEKAT STANDAR EDGEWISE

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Maturitas adalah proses pematangan yang dihasilkan oleh pertumbuhan dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ortodontik (Shaw, 1981). Tujuan perawatan ortodontik menurut Graber (2012)

PERAWATANORTODONTIK KANINUS KIRI MAKSILA IMPAKSI DI DAERAH PALATALDENGAN ALAT CEKATTEKNIK BEGG

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Ortodontik berasal dari bahasa Yunani orthos yang berarti normal atau

BAB 3 METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian ini adalah penelitian observasional dengan metode

A. Anatomi dan morfologi Gigi Permanen 1. Gigi Incisivus Tetap Pertama Atas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KOREKSI GIGI INSISIVUS SENTRAL RAHANG ATAS YANG MENGALAMI ROTASI BERAT MENGGUNAKAN ALAT WHIP. Komalawati

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. displasia dan skeletal displasia. Dental displasia adalah maloklusi yang disebabkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

BAB 2 IMPLAN. Dental implan telah mengubah struktur prostetik di abad ke-21 dan telah

BAB I. dalam kehidupan sehari-hari. Kesehatan pada dasarnya ditunjukan untuk. untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Penyakit gigi dan mulut

BAB 1 PENDAHULUAN. Ukuran lebar mesiodistal gigi bervariasi antara satu individu dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada tindakan pencegahan dan koreksi terhadap maloklusi dan malrelasi pada

BAB I PENDAHULUAN. Oklusi secara sederhana didefinisikan sebagai hubungan gigi-geligi maksila

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAHAN AJAR Pertemuan ke 11

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari berbagai macam penyebab dan salah satunya karena hasil dari suatu. pertumbuhan dan perkembangan yang abnormal.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan Ortodontik bertujuan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi dan

III. KELAINAN DENTOFASIAL

BPSL BUKU PANDUAN SKILL S LAB TATALAKSANA KELAINAN DENTOKRANIOFASIAL BLOK 9 SEMESTER V TAHUN AKADEMIK NIM

BIONATOR Dikembangkan oleh Wilhelm Balters (1950-an). Populer di Amerika Serikat tahun

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap individu terdapat 20 gigi desidui dan 32 gigi permanen yang. 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Gigi

BAB I PENDAHULUAN. Maloklusi adalah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan

1. Jelaskan cara pembuatan activator secara direct dan indirect. Melakukan pencetakan pada rahang atas dan rahang bawah.

III. PERAWATAN ORTODONTIK

Pendahuluan. Harmas Yazid Yusuf 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Manajemen incomplete transposisi dari insisivus lateral mandibula. menggunakan removable appliances

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran lebar mesiodistal gigi setiap individu adalah berbeda, setiap

SPACE MAINTAINER TIPE CROWN AND LOOP: SUATU PERAWATAN KASUS TANGGAL DINI GIGI SULUNG. Vera Yulina *, Amila Yumna **, Dharli Syafriza *

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERAWATAN MALOKLUSI KELAS I ANGLE TIPE 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PROGNOSIS PENYAKIT GINGIVA DAN PERIODONTAL

Analisis Model Studi, Sumber Informasi Penting bagi Diagnosis Ortodonti. Analisis model studi merupakan salah satu sumber informasi penting untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Crossbite posterior adalah relasi transversal yang abnormal dalam arah

Perawatan Ortodonti pada Geligi Campuran. Abstrak

PERAWATAN GIGI MOLAR PERTAMA PERMANEN YANG ERUPSI EKTOPIK. T.HERMINA M.drg. Bagian Pendodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

BAB 2 SISTEM DAMON. inovatif yang digunakan ortodontis dalam mengoreksi maloklusi. Banyak sistem

Manajemen Penjangkaran dalam Perawatan Ortodonti Menggunakan Alat Lepasan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan retrospective

BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Perawatan pendahuluan 4.2 Perawatan utama Rahang atas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PREVENTIF ORTHODONTIK

Transkripsi:

M E S I O D E N S Oleh : Drg. Norman Hidajah, M.Biomed FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR DENPASAR 2015

PENDAHULUAN Dalam dunia kedokteran gigi seringkali ditemukan adanya kelainan pada gigi dan rongga mulut. Salah satu dari banyak kelainan tersebut dapat terjadi pada tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi, seperti pada fase formatif pada pembentukan elemen gigi dapat terjadi gangguan yang dikarenakan faktor endogen dan eksogen dan faktor idopatik atau faktor yang tidak diketahui yang bisa saja menyebabkan adanya kelainan pada jumlah gigi atau yang biasa disebut gigi supernumerary (Amita dkk., 2014). Gigi supernumerary atau gigi berlebih adalah salah satu dari adanya kelainan pertumbuhan dan perkembangan gigi berdasarkan dari jumlah gigi yang seharusnya atau secara normal. Kelainan ini dapat terjadi secara tunggal atau banyak, unilateral atau bilateral baik di rahang atas maupun rahang bawah (Amita dkk., 2014). Pada gigi sulung, kejadian gigi supernumerary disebutkan 0,3% - 0,8% dan pada gigi permanen 1,5% - 3,5%. Prevalensi gigi supernumerary pada gigi sulung lebih rendah karena tidak dilaporkan dan sering diabaikan, karena gigi supernumerary seringkali berbentuk normal (tipe tambahan), erupsi biasanya menggunakan ruang pada gigi sulung, dan muncul di tempat yang pas dan bisa di salah artikan sebagai germination dan anomali fusion (Duraisingam dkk., 2014). Merwe dkk. (2009) menyatakan prevalensi gigi supernumerary pada periode gigi permanen yaitu dari 0,1% sampai 3,8% dan dari 0,3% sampai 0,6% terjadi pada periode gigi sulung. Pada gigi permanen, gigi supernumerary lebih banyak terjadi pada pria dibanding populasi wanita dengan perbandingan 2 : 1.

Gigi supernumerary single terjadi 76-86% kasus, gigi supernumerary double terjadi 12,23% kasus, dan gigi supernumerary multiple kurang dari 1% kasus. Prevalensi supernumerary dengan frekuensi yang lebih tinggi dari 3% pada ras Mongoloid. Tidak ada distribusi jenis kelamin yang signifikan pada gigi supernumerary yang terdapat di gigi sulung, namun gigi permanen pria telah terbukti lebih banyak terjadi dari pada wanita. Gigi supernumerary diperkirakan terjadi pada rahang atas 8,2 hingga 10 kali lebih sering dari pada rahang bawah, dan paling sering terjadi pada rahang atas (Duraisingam dkk., 2014). MESIODENS Hiperdonsia atau gigi supernumerary didefinisikan sebagai berlebihnya jumlah gigi pada individu tertentu, yaitu melebihi jumlah gigi normal dari 20 gigi sulung atau 32 gigi permanen. Hiperdonsia adalah sebuah kondisi dari gigi supernumerary, dan di definisikan sebagai gigi yang tumbuh di samping jumlah gigi yang normal (Sheikh dkk., 2014). Menurut Garvey dkk. (1999) gigi supernumerary adalah salah satu gigi tambahan dan dapat ditemukan di hampir semua regio lengkung gigi. Gigi supernumerary dan agenesis adalah kelainan gigi yang paling umum didapatkan pada anak. Gigi supernumerary atau hiperdonsia didefinisikan sebagai keberadaan jumlah gigi berlebih dalam kaitannya dengan rumus gigi normal (Mevlut dkk., 2010), sedangkan agenesis adalah tidak dibentuknya atau tidak tumbuhnya benih gigi (Sungkar, 2008). Mesiodens terletak di antara gigi insisivus tengah dan memiliki prevalensi 0,15-1,90 % pada populasi Asia. Terjadinya gigi supernumerary pada gigi

sulung merupakan temuan kurang lazim dengan kejadian 0,3-0,6 %. Probabilitas terjadinya gigi supernumerary adalah lima kali lebih sedikit pada gigi sulung dari pada gigi permanen. Prevalensi yang lebih rendah dari gigi supernumerary pada gigi sulung sebagian mungkin mencerminkan kesulitan dalam membedakan antara kembar dan fusi dari gigi normal dengan gigi supernumerary (Paula dkk., 2014), 80% dari semua gigi supernumerary ditemukan pada daerah insisivus rahang atas, jarang ditemukan di daerah premolar rahang bawah, premolar rahang atas, distomolar pada rahang, caninus dan gigi insisivus rahang bawah. Dilaporkan gigi supernumerary pada premolar terjadi pada 0,29% dari populasi umum dan mewakili antara 8,0% hingga 9,1% semua gigi supernumerary. Tidak seperti gigi supernumerary yang lain, gigi supernumerary pada premolar lebih banyak pada mandibula dibanding maksila (Leo dkk., 2013). Secara klinis gigi supernumerary dapat menyebabkan gangguan lokal yang berbeda, seperti retensi gigi sulung, impaksi gigi permanen, erupsi ektopik, perpindahan gigi, kista folikel, dan perubahan lainnya yang membutuhkan intervensi bedah atau perawatan ortodontik (Anna dkk., 2014). Gigi supernumerary kebanyakan terjadi pada rahang atas (80-90%) dan 50% ditemukan di regio anterior. Sekitar 85% dari semua gigi supernumerary di anterior tidak erupsi dan 65% mengganggu jalan erupsi gigi insisivus permanen rahang atas. Gigi supernumerary yang erupsi dapat terjadi pada setiap usia, tetapi biasanya erupsi ini diamati pada anak usia 3 dan 7 tahun. Hal ini menghasilkan resorpsi gigi insisivus sentral pada gigi sulung dan erupsi di tempat atau di langitlangit. Sekitar 25% dari semua pasien yang hadir dengan mesiodens, juga memiliki gigi supernumerary lainnya. Sebaliknya, terdapat beberapa pasien yang

juga mempunyai mesiodens, bersamaan dengan gigi yang hilang secara kongenital (Sheikh dkk., 2014). A. Etiologi Tidak diketahui dengan pasti etiologi mesiodens, namun beberapa teori telah dijelaskan termasuk faktor genetik dan lingkungan, hiperaktivitas dari lamina gigi dan dikotomi tunas gigi. Hal ini juga dapat terjadi dalam hubungan dengan sindrom seperti bibir sumbing dan langit-langit, Displasia Cleidocranial dan Sindrom Gardner. Diantara beberapa teori yang dikemukakan, teori hiperaktivitas lamina gigi dianggap sebagai faktor etiologi yang paling dapat diterima dalam pengembangan mesiodens (Qamar dkk., 2013). Adanya penyimpangan embriologi selama pembentukan gigi dapat mengakibatkan terjadinya gigi supernumerary. Salah satu bentuk penyimpangannya yaitu pertumbuhan secara terus menerus pada benih organ enamel atau adanya kelainan pada tahap poliferasi sel yang berlebih pada saat pembentukan benih gigi yang mengakibatkan gigi yang terbentuk melebihi jumlah yang normal (Amita, 2014). Menurut Duraisingam dkk. (2014) etiologi gigi supernumerary tidak sepenuhnya dapat dipahami. Faktor genetik dan lingkungan menjadi pertimbangan etiologi gigi supernumerary tersebut. Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan terjadinya hal tersebut: 1. Atavisme Pada awalnya gigi supernumerary adalah hasil dari pengembalian filogenetik untuk primata punah dengan tiga pasang gigi insisivus. Teori ini sebagian besar telah diabaikan.

2. Teori Dikotomi Hal ini menyatakan bahwa perpecahan tunas gigi terbagi menjadi dua bagian yang sama atau berbeda ukuran, menghasilkan pembentukan dua gigi dengan ukuran yang sama, satu normal dan satu dismorfik gigi. Akan tetapi teori ini juga telah diabaikan. 3. Teori Hiperaktif Lamina Gigi Ini melibatkan lokal, independen, hiperaktivitas yang terkondisi dari lamina gigi. Menurut teori ini, bentuk tambahan akan berkembang dari perpanjangan aksesori lingual benih gigi, sedangkan bentuk dasar akan berkembang dari proliferasi sisa-sisa epitel dari lamina gigi. 4. Faktor Genetik Ini dianggap penting dalam terjadinya gigi supernumerary. Banyak kasus telah dilaporkan terulang dari keluarga yang sama. Sebuah warisan terkait jenis kelamin telah disarankan pada pengamatan bahwa pria lebih rentan terkena sekitar dua kali lebih sering dari pada populasi wanita. B. Klasifikasi Gigi Supernumerary 1. Berdasarkan Morfologi Menurut Garvey dkk. (1999) gigi supernumerary diklasifikasikan menurut morfologi dan lokasi. Pada gigi sulung, morfologi biasanya berbentuk normal atau kerucut. Ada variasi yang lebih besar dari bentuk penyajian pada gigi permanen.

Tunggal Banyak Kerucut Odontoma Komposit Tuberkel Tambahan Tanpa Gejala Dengan Gejala Kompleks Gabungan Bibir sumbing/langitlangit. Displasia Cleidocranial. Sindrom Gardner. Gambar 2.1 Klasifikasi gigi supernumerary (dikutip dari Garvey dkk., 1999). Empat jenis morfologi yang berbeda dari gigi supernumerary : a. Berbentuk Kerucut Gigi kerucut berbentuk pasak kecil ini adalah supernumerary yang paling sering ditemukan pada gigi permanen. Hal ini adalah pengembangan dengan pembentukan akar mendalam atau pada tahap setara dengan insisivus permanen dan biasanya muncul sebagai mesiodens. Ini kadang-kadang dapat ditemukan tinggi dan terbalik ke langit-langit atau dalam posisi horizontal. Dalam kebanyakan kasus, sumbu panjang gigi biasanya condong. Supernumerary berbentuk kerucut dapat mengakibatkan rotasi atau perpindahan gigi insisivus permanen, tetapi jarang ada penundaan erupsi. b. Tuberkel Jenis supernumerary tuberkel memiliki lebih dari satu titik puncak atau tuberkulum. Hal ini sering digambarkan sebagai barrel-shaped dan

dapat invaginated. Pembentukan akar terhambat di bandingkan dengan gigi insisivus permanen. Supernumerary tuberkel sering dipasangkan dan biasanya terletak pada aspek palatal dari gigi insisivus sentral. Jarang erupsi dan sering dikaitkan dengan hambatan erupsi dari gigi insisivus. c. Tambahan Supernumerary tambahan mengacu pada duplikasi gigi di insisivus normal dan ditemukan pada akhir dari serangkaian gigi. Gigi tambahan yang paling umum adalah gigi insisivus lateral permanen pada rahang atas, tetapi juga terjadi pada premolar dan molar tambahan. Pada umumnya supernumerary yang ditemukan pada gigi sulung adalah jenis tambahan dan jarang berdampak tetap. d. Odontoma Howard mendaftarkan odontoma sebagai kategori keempat dari gigi supernumerary. Namun, kategori ini tidak diterima secara universal. Istilah odontoma mengacu pada tumor asal odontogenik. Kebanyakan pihak, menerima pandangan bahwa odontoma merupakan malformasi hamartomatous dan bukan neoplasma. Lesi terdiri dari lebih dari satu jenis jaringan dan akibatnya disebut sebagai odontoma komposit. Dua jenis yang terpisah telah dijelaskan. Odontoma dapat kompleks atau kompoun. Odontoma kompleks terdiri atas masa jaringan gigi yang tidak teratur, sementara odontoma kompoun terdiri atas struktur seperti gigi yang teratur. 2. Berdasarkan Lokasi Menurut Duraisingam dkk. (2014) klasifikasi gigi supernumerary

berdasarkan lokasi adalah: a. Mesiodens Mesiodens adalah gigi supernumerary berbentuk kerucut yang terletak di antara gigi insisivus tengah rahang atas. Gigi supernumerary ini biasanya terletak pada palatal gigi insisivus permanen, hanya dengan beberapa bagian saja berbaring di garis lengkung atau labial. Mesiodens biasanya kecil dan pendek, dengan mahkota segitiga atau berbentuk kerucut. Mesiodens adalah suatu kelainan jumlah dan bentuk gigi konus, biasanya terjadi pada gigi anterior dan terletak pada garis tengah maksila (Purnomo, 2007). Mesiodens bersifat bawaan dan tidak ada faktor lingkungan yang ditemukan sebagai penyebab keadaan ini. Mesiodens biasanya berjumlah tunggal atau berpasangan dan kadang - kadang terlihat lebih dari dua buah (Foster, 1999). Mesiodens pada gigi sulung biasanya berbentuk normal atau konus sedangkan mesiodens gigi permanen mempunyai variasi dalam bentuk, yaitu: konus kecil berbentuk peg shaped, tuberkel pendek, berbentuk tong, tambahan (mirip insisivus lateral) dan odontoma. Erupsi yang terlambat, dilaserasi, malposisi gigi yang bersebelahan, serta diastema yang abnormal berhubungan dengan adanya mesiodens. Masalah oklusal yang disebabkan mesiodens biasanya terbatas pada ketidakteraturan susunan gigi insisivus atas. Khususnya gigi insisivus terotasi atau terdapat diastema pada garis median di rahang atas (Andlaw dan Rock, 1992 ; Purnomo, 2007 ; Russell dan Folwarczna, 2003).

Gambar 2.2 Gambaran klinis erupsi gigi di antara gigi insisivus sentralis b. Paramolar Paramolar yang dimaksud adalah molar supernumerary, biasanya sederhana dan terletak di bukal atau lingual/palatal ke salah satu molar atau ruang bukal interproksimal dengan molar kedua dan ketiga. c. Distomolar Distomolar adalah gigi supernumerary yang terletak pada distal gigi molar ketiga dan biasanya belum sempurna. Bagian ini jarang menghambat erupsi gigi terkait. d. Parapremolar Parapremolar adalah supernumerary yang terbentuk di daerah premolar dan menyerupai sebuah premolar. C. Kondisi Medis yang Berhubungan dengan Gigi Supernumerary Gangguan perkembangan yang menunjukkan hubungan dengan gigi supernumerary diantaranya bibir sumbing dan langit-langit, Cleidocranial Dysostosis, Sindrom Gardner. Gangguan yang kurang umum terjadi termasuk Sindrom Fabry Anderson, Sindrom Danlos-Ehlers, Inkontinensia pigmenti dan Sindrom Trichorhino- Phalangeal (Duraisingam dkk., 2014).

D. Masalah Terkait dengan Gigi Supernumerary 1. Kegagalan Erupsi Kehadiran gigi supernumerary adalah penyebab paling umum untuk kegagalan erupsi gigi insisivus sentral rahang atas. Hal ini juga dapat menyebabkan retensi gigi insisivus utama. Masalahnya biasanya diawali dengan erupsi gigi insisivus lateral rahang atas bersama-sama dengan kegagalan erupsi salah satu atau kedua gigi insisivus sentral. Gigi supernumerary di lokasi yang lain juga dapat menyebabkan kegagalan erupsi pada gigi yang berdekatan (Garvey dkk., 1999). 2. Perpindahan Kehadiran gigi supernumerary dapat menyebabkan perpindahan gigi secara permanen. Tingkat perpindahan dapat bervariasi dari rotasi ringan ke perpindahan lengkap. Perpindahan dari mahkota gigi insisivus adalah ciri umum di sebagian besar kasus yang terkait dengan terhambatnya erupsi (Garvey dkk., 1999). 3. Berdesakan Erupsinya gigi supernumerary paling sering menyebabkan berdesakan. Gigi insisivus lateral tambahan dapat menyebabkan berdesakan di daerah anterior atas (Garvey dkk., 1999). 4. Patologi Pembentukan kista dentigerous adalah masalah lain yang mungkin terkait dengan gigi supernumerary. Kantung folikel membesar pada 30% kasus, tetapi bukti histologis pembentukan kista ditemukan hanya 4 sampai 9% dari kasus. Resorpsi akar yang berdekatan dengan supernumerary

mungkin terjadi tetapi sangat jarang ditemukan (Primosch 1981 cit. Garvey dkk., 1999). 5. Transplantasi Tulang Alveolar Gigi supernumerary dapat membahayakan cangkokan sekunder tulang alveolar pada pasien dengan bibir sumbing dan langit-langit. Gigi supernumerary biasanya dicabut dan socket site diperbolehkan untuk menyembuhkan sebelum pencangkokan tulang. Supernumerary tidak boleh diambil tanpa konsultasi dengan tim bibir sumbing. Kerjasama antara dokter gigi umum dan tim bibir sumbing sangat penting. Supernumerary ditempat bibir sumbing umumnya dicabut pada saat penyambungan tulang (Garvey dkk., 1999). 6. Persiapan Penempatan Implan Mungkin diperlukan ekstraksi supernumerary sebelum penempatan implan. Jika dicabut pada saat penempatan implan, maka pencangkokan tulang mungkin diperlukan (Garvey dkk., 1999). 7. Asimtomatik Kadang-kadang gigi supernumerary tidak terkait dengan efek samping dan dapat dideteksi sebagai kesempatan temuan selama pemeriksaan radiografi (Garvey dkk., 1999).

PERAWATAN MESIODENS A. Perawatan Mesiodens dengan Ekstraksi Gigi supernumerary dapat menyebabkan masalah klinis seperti: kegagalan erupsi, perpindahan atau rotasi, berdesakan, diastema abnormal atau penutupan prematur ruang, dilacerations, perkembangan akar abnormal gigi permanen, pembentukan fibrosis dan erupsi ektopik. Untuk menentukan perawatan yang optimal pada kasus gigi supernumerary di perlukan terlebih dahulu pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiografi. Perawatan gigi supernumerary hanya dengan ekstraksi saja atau perawatan gigi supernumerary bisa dengan ekstraksi selanjutnya melakukan perawatan ortodontik untuk memperoleh oklusi yang benar dan memperoleh ruang pada kasus gigi supernumerary yang delayed erupsi. Perawatan gigi supernumerary tergantung pada kasus masing-masing. Gigi permanen berkaitan dengan komplikasi sehingga disarankan untuk melakukan ekstraksi gigi supernumerary, termasuk yang tidak erupsi. Dalam kasus erupsi normal jika tidak memilki komplikasi dapat saja gigi supernumerary tidak dilakukan ekstraksi. Keputusan akhir tentang perlunya untuk dilakukan ekstraksi harus ditentukan dokter gigi, setelah pemeriksaan klinis dan pertimbangan gambaran radiografi. Oleh karena itu, sebelum perawatan harus dilakukan panoramik radiografi, dan bila terdapat keraguan dilakukan tambahan radiografi oklusal X-ray (Bina dkk., 2014). Perawatan gigi supernumerary tergantung pada jenis dan posisi gigi supernumerary dan efeknya atau efek potensial pada gigi yang bersebelahan.

Indikasi untuk ekstraksi gigi supernumerary adalah sebagai berikut: a. Erupsi spontan supernumerary telah terjadi. b. Erupsi gigi insisivus sentralis telah tertunda atau terhambat. c. Gigi berada dalam tulang yang akan dilakukan penempatan implan. d. Perubahan erupsi atau perpindahan dari gigi insisivus sentralis. e. Kehadirannya akan membahayakan tulang alveolar sekunder pada pasien dengan bibir sumbing dan langit-langit. f. Ada patologi. g. Penyelarasan ortodontik aktif dari gigi insisivus di dekat supernumerary. Ekstraksi harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan pada gigi permanen yang berdekatan, yang dapat menyebabkan ankilosis dan malerupsi gigi tersebut. Dokter harus berhati-hati untuk menghindari komplikasi seperti merusak saraf dan pembuluh darah selama manipulasi gigi, perforasi sinus maksilaris, ruang pterygomaxillary, orbit dan fraktur tuberositas maksilaris. Dokter juga harus waspada karena kadang-kadang gigi supernumerary yang menyatu dengan struktur gigi yang berdekatan pada mahkota atau tingkat akar, dapat membuat ekstraksi menjadi sulit. Gigi supernumerary juga dapat di amati tanpa ekstraksi saat erupsi memuaskan gigi terkait telah terjadi tanpa patologi terkait dan tidak menyebabkan gangguan fungsional dan estetika (Vanessa, 2013). Ekstraksi tidak selalu menjadi pilihan perawatan untuk gigi supernumerary. Dapat dilakukan pemantauan tanpa ekstraksi jika: a. Erupsi sempurna pada gigi supernumerary tanpa komplikasi b. Tidak ada perawatan ortodontik aktif yang dipertimbangkan. c. Tidak ada kelainan patologi.

d. Ekstraksi justru akan merugikan vitalitas gigi terkait. Menurut Meighani dan Pakdaman (2010) perawatan mesiodens tergantung pada jenis dan posisi gigi. Mengekstraksi segera mesiodens biasanya diindikasikan dalam keadaan adanya hambatan atau keterlambatan erupsi, perpindahan gigi yang berdekatan, gangguan peralatan ortodontik, adanya kondisi patologis atau erupsi spontan dari mesiodens. Hanya 25% dari semua mesiodens yang erupsi secara spontan ke dalam rongga mulut. Jika tidak erupsi, gigi bisa mengubah kedua erupsi dari gigi insisivus permanen dan oklusi yang dihasilkan. Selanjutnya, pada 75% kasus gigi insisivus erupsi spontan terjadi setelah mesiodens diekstraksi. Oleh karena itu, sekali mesiodens telah didiagnosis, dokter harus menentukan perawatan untuk meminimalkan akibat lebih lanjut. Penatalaksanaan disesuaikan dengan tahap perkembangan gigi-geligi yaitu pada gigi sulung, campuran atau permanen (Russel dan Folwarczna, 2003). Pada gigi sulung, mesiodens terletak di bagian anterior rahang atas, kurang menonjol dibandingkan gigi permanen dan biasanya erupsi. Diagnosis dilakukan selama pemeriksaan klinis. Bentuknya mirip dengan gigi yang normal dan memiliki cukup ruang di lengkung gigi. Kehadiran mesiodens pada gigi sulung dapat diikuti dengan terjadinya mesiodens dalam tahap-tahap selanjutnya. Pemeriksaan klinis menyeluruh diikuti oleh pemeriksaan x-ray memainkan peran kunci dalam diagnosis dari mesiodens pada gigi permanen. Hanya 25% dari mesiodens erupsi ke dalam rongga mulut yang muncul pada anak-anak berusia 6-7 tahun sebelum perkembangan insisivus sentral rahang atas. Terpisah dari tradisional radiografi panoramik serta radiografi oklusal

dan gigi, komputer tomografi dapat membantu ortodontis untuk menentukan posisi yang tepat dari mesiodens yang berkenan dengan struktur anatomi gigi tetangga dan struktur mesiodens itu sendiri serta memilih rekomendasi yang terbaik untuk ekstraksi dan perawatan ortodontik (Greinke, 2013). Untuk mendapatkan prognosis yang lebih baik direkomendasikan agar mengekstraksi mesiodens lebih awal. Ekstraksi mesiodens biasanya tidak dianjurkan pada gigi sulung karena sering erupsi ke rongga mulut dan menyebabkan resiko kerusakan gigi insisivus permanen selama operasi pencabutan dari mesiodens sehingga dapat di hindari. Namun, pada tahap awal gigi campuran, gigi insisivus sentral permanen erupsi secara spontan setelah ekstraksi mesiodens. Hal ini juga meningkatkan kesejajaran yang lebih baik dari gigi dan meminimalkan kebutuhan perawatan ortodontik. Keterlambatan ekstraksi mesiodens akan mengakibatkan kegagalan erupsi spontan pada gigi insisivus permanen karena berkurangnya kekuatan erupsi, berkurangnya lengkung perimeter, pergeseran garis tengah dan mesial drifting gigi insisivus lateral ke ruang gigi insisivus sentral, yang mungkin memerlukan perawatan ortodontik yang komprehensif dengan paparan bedah pada gigi yang tidak erupsi. Untuk menghindari komplikasi, ortodontis merekomendasikan ekstraksi dini pada mesiodens (Qamar dkk., 2013). Ada dua metode untuk ekstraksi mesiodens yaitu ekstraksi awal sebelum pembentukan akar gigi insisivus permanen dan ekstraksi akhir setelah pembentukan akar gigi insisivus permanen. Disarankan ekstraksi mesiodens pada awal gigi campuran untuk memudahkan erupsi spontan dan kesejajaran gigi insisivus. Terlambatnya ekstraksi mesiodens yaitu pada usia 10 tahun ketika

puncak akar gigi insisivus sentralis hampir terbentuk. Jika perawatan ditunda setelah usia ini, pembedahan yang lebih kompleks dan perawatan ortodontik mungkin akan diperlukan. Direkomendasikan pengamatan mesiodens dalam situasi berikut, erupsi memuaskan pada gigi pengganti, tidak adanya lesi patologis dan resiko kerusakan vitalitas gigi. Klinisi harus mempertimbangkan kondisi pasien saat keputusan akhir, namun penelitian terbaru menekankan bahwa ekstraksi dini pada gigi mesiodens untuk mencegah komplikasi adalah pilihan perawatan yang tepat (Duraisingam dkk., 2014). Perawatan dari mesiodens tergantung pada jenis dan posisi mesiodens dan efeknya atau efek yang dapat terjadi pada gigi yang berdekatan. Selain itu, langkah yang paling penting dalam penatalaksanaan mesiodens adalah lokalisasi dan identifikasi komplikasi yang terkait dengan mesiodens. Gigi bisa dilokalisasi menggunakan teknik vertikal atau teknik horizontal paralaks. Radiografi periapikal yang diambil dengan menggunakan teknik kesejajaran akan memberikan pemeriksaan paling rinci dibanding gambar radiografi yang lain. Jika gigi-gigi ini tidak menimbulkan komplikasi dan tidak mengganggu gerakan ortodontik gigi, dapat dipantau dengan membuat radiograf setiap tahun. Mesiodens dapat menyebabkan banyak komplikasi seperti terhambatnya erupsi gigi permanen, perpindahan atau rotasi gigi permanen, berdesakan, penutupan ruang yang tidak sempurna selama perawatan ortodontik, dilaceration, terhalangnya perkembangan akar gigi yang berdekatan, pembentukan kista dan lain-lain (Garvey dkk., 1999 ; Acharya dkk., 2014). Pengamatan secara ketat pada gigi diperlukan setelah ekstraksi mesiodens. Sekitar 6 bulan setelah ekstraksi dari mesiodens, pemeriksaan klinis dan radiografi

dianjurkan untuk menentukan apakah gigi telah erupsi (Russel dan Folwarczna, 2003). B. Perawatan Mesiodens dengan Peranti Ortodontik Perawatan pada kasus ini bertujuan untuk memperbaiki masalah estetika oleh karena terdapatnya diastema sentral yang disebabkan oleh adanya mesiodens. Berbagai alat yang dapat digunakan dapat berupa alat cekat maupun lepasan. Alat-alat tersebut diantaranya alat lepasan berupa finger spring maupun alat cekat berupa edgewise appliance. 1) Perawatan Mesiodens dengan Finger Spring Perawatan ortodontik untuk koreksi diastema garis median pada kasus mesiodens dapat dilakukan melalui tiga fase, yaitu penghilangan etiologi, perawatan aktif, dan pemasangan retainer. Peranti ortodontik lepasan dengan cangkolan dan finger spring dapat digunakan untuk menggerakkan gigi di anterior maksila, misalnya diastema kecil dengan ukuran < 2 mm. Palatal finger spring terkadang digunakan untuk menggeser gigi ke arah mesiodistal. Kekuatan maksimal untuk perpindahan gigi akar tunggal yaitu 25-40 gram. Aktivasi palatal finger spring ini dapat menggeser gigi sebanyak 1 mm dalam sebulan. Meskipun begitu, finger spring tidak dapat menggeser gigi secara bodily seperti peranti ortodontik yang cekat. Finger spring pada peranti lepasan ini hanya dapat menggeser gigi secara tipping (Cobourne, 2010). 2) Perawatan Mesiodens dengan Edgewise Appliance Peranti ini menggunakan breket dengan slot persegi tanpa ada torque maupun tip. Kawat yang digunakan pada awal perawatan adalah kawat bulat kemudian bila diperlukan gerakan torque digunakan kawat persegi yang diberi

torque sehingga memungkinkan mahkota atau akar gigi bergerak ke arah yang diinginkan. Sebagai contoh gerakan palatal root torque dapat menggerakkan akar gigi ke palatal, suatu gerakan yang sangat sukar atau bisa dikatakan tidak mungkin dilakukan dengan peranti lepasan. Kawat Niti multistranded coaxial berdiameter kecil sering digunakan pada tahap awal perawatan dengan peranti cekat, yaitu tahap meletakkan gigi dengan ketinggian slot yang sama atau menghilangkan berdesakan. Bila pada tahap ini digunakan kawat dari baja nirkarat meski pun berdiameter kecil operator harus membuat lup untuk menambah kelenturan kawat. Adanya lup apalagi dalam jumlah banyak dirasakan tidak nyaman bagi pasien. Untuk mendapatkan letak gigi yang baik pada kawat busur baja nirkarat dapat diberi first order bend, second order bend dan third order bend tergantung kebutuhan. Untuk itu diperlukan keterampilan untuk memberi tekukan pada kawat busur terutama untuk memberi tekukan pada kawat busur terutama untuk memberi efek tip dan torque pada gigi. Penjangkaran pada breket bisa didapatkan dari mengikat beberapa gigi penjangkar menjadi satu dan memasang lengkung kawat di palatal berupa transpalatal arch atau lingual arch sehingga molar kanan dan kiri menjadi penjangkar yang kuat (Rahardjo, 2012). a b

c Gambar 3.1 a) Menunjukkan mesiodens erupsi diantara gigi insisivus tengah rahang atas, b) Menunjukkan posisi unilateral mesiodens, c) Menunjukkan mesiodens setelah di ekstraksi (dikutip dari Bahadure dkk., 2012). Gambar 3.2 Finger spring yang digunakan untuk menutup diastema garis median (dikutip dari Premkumar, 2008) Gambar 3.3 Perawatan Mesiodens dengan Finger Spring : a) Menunjukkan finger spring, b) Aktivasi coil/helix, c) Aktivasi finger spring menggunakan lengan aktif (dikutip dari Premkumar, 2008).

Gambar 3.4 Perawatan Mesiodens dengan Edgewise Appliance : a) Menunjukkan tampilan frontal, b) Menunjukkan lengkungan maksila (dikutip dari Ardhana, 2011). PEMBAHASAN Perawatan diastema sentral sebelumnya harus diketahui dahulu faktor penyebab utamanya. Apabila semua faktor penyebabnya telah diketahui secara pasti, baru kemudian dilakukan penutupan diastema sentral dengan menggerakkan gigi insisivus sentral rahang atas ke garis median baik mempergunakan alat cekat berupa breket ataupun dengan mempergunakan alat lepasan berupa pegas koil. Setelah itu baru dilanjutkan dengan perawatan lainnya bila memang diperlukan, misalnya bedah, konservasi dan atau prostodonsia (Moyers, 1988 ; Bishara, 2001). Perawatan mesiodens tergantung pada jenis dan posisi gigi. Mengekstraksi segera mesiodens biasanya diindikasikan dalam keadaan adanya hambatan atau keterlambatan erupsi, perpindahan gigi yang berdekatan, gangguan peralatan ortodontik, adanya kondisi patologis atau erupsi spontan dari mesiodens (Meighani dan Pakdaman, 2010). Hampir semua mesiodens yang konus dan tidak terbalik dapat diharapkan erupsi. Kebanyakan mesiodens tuberkel dan tipe konus yang terbalik, serta odontoma harus diekstraksi. Waktu perawatan perlu dipertimbangkan secara bijak

dengan melihat keuntungan dan kerugian perawatan awal sebelum usia 6 tahun dan perawatan yang ditunda sebelum usia 8-10 tahun (Foster, 1999). Ekstraksi gigi mesiodens tersebut secepat mungkin sejak saat diketahui, sebelum menimbulkan malposisi atau untuk meminimalisasi bila telah terjadi malposisi dari gigi lainnya. Bila terdiagnosis secara radiografi, maka harus dilakukan operasi untuk mengeluarkan mesiodens tersebut (Moyers, 1988 ; Proffit dan Fields, 2000 ; Bishara, 2001). Kadang mesiodens tidak bererupsi dan tidak menimbulkan masalah oklusal. Dalam hal ini, mesiodens bisa dibiarkan tetap pada posisinya, khususnya jika gigi ini terletak tinggi di dalam rahang dan terbalik atau jika tindakan pencabutan bisa merusak gigi yang lain (Foster, 1999). Usia yang dianjurkan oleh beberapa peneliti untuk ekstraksi atau tindakan bedah adalah 8-10 tahun setelah pertumbuhan akar insisivus sentral hampir selesai dengan demikian gangguan yang mungkin terjadi diharapkan seminimal mungkin. Apabila tindakan ekstraksi segera dilakukan maka dapat mengakibatkan erupsi gigi insisivus terganggu karena gigi mengalami rotasi dan terjadi pergeseran garis median (Indriyati dkk., 2001). Tahap pertama penatalaksanaan keadaan ini adalah lokalisasi dan identifikasi komplikasi yang berhubungan dengan supernumerary. Gigi-gigi dapat ditentukan lokasinya dengan menggunakan teknik paralaks vertikal atau horizontal. Radiograf periapeks yang diambil dengan menggunakan teknik kesejajaran akan memberikan pemeriksaan paling rinci dibandingkan gambar radiografi yang lain. Jika gigi-gigi ini tidak menimbulkan komplikasi dan tidak mengganggu gerakan ortodontik gigi, gigi dapat dipantau dengan membuat radiograf setiap

tahun. Sebaiknya peringatkan pasien mengenai komplikasi yang dapat terjadi seperti perubahan kistik dan migrasi serta kerusakan akar gigi di dekatnya. Jika pasien tidak ingin beresiko mengalami komplikasi tersebut, cukup alasan untuk mencabut gigi supernumerary. Jika gigi supernumerary mempunyai hubungan dengan akar gigi permanen, sebaiknya kita menunggu sampai perkembangan akar gigi permanen sempurna sebelum melakukan ekstraksi secara bedah untuk mencegah kerusakan pada selubung epitelial Hertwig yang menutupi akar. Perkembangan akar gigi insisivus atas selesai pada usia 10 tahun (Gill, 2014). Menurut Manuja dkk. (2011) kehadiran mesiodens yang keluar dapat diamati dengan melakukan diagnosis yang sangat baik melalui pemeriksaan klinis dan untuk mesiodens yang tidak keluar dapat dilakukan diagnosis dengan baik melalui evaluasi klinis dan radiografi. Radiografi panoramik, radiografi oklusal rahang atas dan radiografi periapikal dianjurkan untuk membantu diagnosis mesiodens dan untuk posisi dari bucco-lingual mesiodens yang tidak keluar dapat ditentukan dengan menggunakan teknik paralaks. Diagnosis dini dapat membantu mengurangi masalah yang mungkin terjadi pada gangguan estetika dan maloklusi. Secara klinis, kehadiran mesiodens yang tidak keluar dapat dicurigai jika ada ketidakseimbangan pada gigi atau jika ada kemunculan yang terhambat pada gigi yang berdekatan. Semakin cepat diagnosis maka prognosis akan lebih baik. Pengetahuan para klinisi mengenai anomali secara umum dan lokasinya pada gigi sulung dan campuran akan menghasilkan diagnosis dini dan dapat mencegah komplikasi lebih lanjut. Persistensi unilateral dari gigi insisivus, kegagalan erupsi atau erupsi ektopik dari gigi insisivus permanen, diastema yang luas pada insisivus permanen

harus diwaspadai oleh dokter untuk kemungkinan adanya gigi supernumerary dengan pengamatan radiografi yang tepat (Duraisingam dkk., 2014). Gigi berbentuk tambahan kurang umum jika dibandingkan dengan gigi supernumerary dan sering diabaikan karena bentuk dan ukurannya yang normal. Gigi tambahan dapat menyebabkan masalah estetik seperti terhambatnya erupsi, dan berdesakan, sehingga memerlukan diagnosis dini dan pengobatan untuk mencegah komplikasi. Biasanya sulit untuk membedakan gigi yang normal dari kembar tambahan tersebut. Gigi berbentuk tambahan harus diamati sampai anak berusia cukup, jika tidak maka mengganggu perkembangan dan erupsi gigi yang berdekatan. Ekstraksi gigi tambahan dianjurkan dalam kasus dimana menyebabkan perubahan patologis atau berdesakan bersama dengan masalah estetika dan kesulitan dalam pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut. Deteksi gigi yang terbaik dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis dan radiografi (Bahadure dkk., 2012). Untuk menghindari komplikasi mesiodens, maka ekstraksi gigi adalah yang harus dilakukan. Waktu operasi pengangkatan juga telah diperdebatkan. Dua alternatif yang ada diantaranya opsi pertama melibatkan ekstraksi mesiodens segera setelah didiagnosis. Ini bisa menciptakan masalah fobia gigi untuk remaja muda dan dikatakan menyebabkan devitalization atau deformasi gigi yang berdekatan. Kedua, mesiodens bisa dibiarkan sampai perkembangan akar gigi yang berdekatan selesai. Rencana bedah meliputi : hilangnya kekuatan erupsi gigi yang berdekatan, hilangnya ruang dan gigi berdesakan dari lengkungan yang terkena, dan pergeseran garis tengah (Manuja dkk., 2011).

Ada beberapa hal yang direkomendasikan pada pengamatan mesiodens dalam kondisi diantaranya, erupsi memuaskan pada gigi pengganti, tidak adanya lesi patologis dan resiko kerusakan vitalitas gigi. Klinisi harus mempertimbangkan kondisi pasien saat keputusan akhir, namun penelitian terbaru menekankan bahwa ekstraksi dini pada mesiodens untuk mencegah komplikasi adalah pilihan perawatan yang tepat (Duraisingam dkk., 2014). Ekstraksi selama tahap pertumbuhan awal geligi campuran memungkinkan erupsi yang normal dan juga untuk ekstraksi erupsi spontan insisivus sentral permanen berikutnya. Penanganan dini lebih baik untuk mengambil keuntungan dari erupsi spontan gigi insisivus permanen dan untuk mencegah hilangnya ruang anterior dan penyimpangan garis tengah. Ekstraksi mesiodens yang tepat waktu pada erupsi awal geligi campuran mungkin menghasilkan keselarasan yang lebih baik dari gigi dan dapat meminimalkan kebutuhan perawatan ortodontik. Penanganan erupsi gigi yang terhambat karena mesiodens dapat didekati oleh salah satu dari tiga metode berikut yaitu pertama, dengan penanganan konservatif, dengan ekstraksi mesiodens saja. Kedua, dengan ekstraksi mesiodens bersamasama dengan tulang di bawah gigi yang tidak erupsi untuk traksi ortodontik dan penggantian flap. Dan ketiga, dengan ekstraksi gigi yang tidak erupsi. Pengamatan gigi secara rutin diperlukan setelah ekstraksi mesiodens. Pada 75% kasus, insisivus erupsi secara spontan setelah mesiodens di ekstraksi (Manuja dkk., 2011). Jika gigi-gigi supernumerary diperkirakan akan mengganggu gerakan ortodontik gigi, gigi ini harus di ekstraksi sebelum memulai perawatan (Gill, 2014).

Perawatan ortodonti dengan peranti lepasan hanya dilakukan apabila hasil perawatan dapat diperkirakan akan stabil, dapat memperbaiki fungsi dan estetika. Sebelum menentukan rencana perawatan, diagnosis yang mendalam sangat diperlukan, misalnya mengenai relasi basis apikal, aktivitas, dan pola jaringan lunak, deviasi dan displacement mandibula. Bentuk lengkung geligi rahang bawah dan posisi insisivus bawah dipakai sebagai patokan rencana perawatan di rahang atas. Bila diperlukan ekstraksi maka diastema yang terjadi cukup untuk koreksi maloklusi dan tidak menimbulkan kelebihan diastema (Rahardjo, 2009). Ada tiga faktor yang mempengaruhi waktu untuk gigi yang terkena dampak erupsi dan memerlukan ekstraksi supernumerary yaitu, jenis gigi supernumerary, jarak erupsi gigi permanen yang dipindahkan, dan ruang yang tersedia dalam lengkungan untuk gigi yang tidak erupsi (Garvey dkk., 1999). Perawatan ortodontik pada kasus mesiodens baik menggunakan alat lepasan berupa finger spring maupun alat cekat berupa edgewise appliance memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan pertimbangan diantaranya : pasien lebih sukar untuk memelihara kebersihan mulut, karena rumit dibutuhkan pendidikan khusus untuk dapat menggunakan dengan benar, chairside time relatif lama serta harga perawatan relatif lebih mahal (Rahardjo, 2012). Maka penggunaan alat lepasan finger spring menjadi pilihan yang dianggap baik untuk koreksi diastema walaupun hanya dengan gerakan tipping. Perawatan ortodontik tidak hanya sekedar proses insersi kawat, melainkan juga melibatkan aplikasi kontrol dari kekuatan mekanik terhadap gigi dan jaringan periodonsium sehingga menghasilkan respon biologis yang akan menggerakkan gigi. Kekuatan mekanik yang digunakan berasal dari

aktivasi kawat, pegas dan elastik yang dipilih oleh ortodontis dan memiliki sifat konsisten dengan arah pergerakan gigi (Bishara, 2007). Perencanaan perawatan adalah langkah kedua dalam suatu rangkaian perawatan ortodontik setelah penentuan diagnosis. Rencana perawatan dapat dilakukan segera setelah diagnosis ditetapkan dan menjabarkan mengenai daftar masalah secara detail, menentukan tujuan perawatan dan menentukan perawatan tersebut setelah mendiskusikan dengan pasien. Pada langkah rencana perawatan juga ditentukan kebutuhan ruang, pemilihan alat dan sistem penjangkaran untuk mencapai tujuan perawatan ortodontik yang optimal (Singh, 2008). Peranti ortodonti lepasan adalah peranti yang dapat dipasang dan dilepaskan oleh pasien. Peranti ortodonti lepasan pada umumnya terbuat dari akrilik dan kawat. Komponen aktif pada peranti ortodonti lepasan terdiri dari pegas, busur labial, sekrup, dan elastik. Komponen aktif ini akan memberikan gaya sehingga menyebabkan terjadinya pergerakan gigi. Pegas merupakan komponen aktif yang paling sering digunakan. Desainnya bermacam-macam tergantung pada kebutuhan akan kondisi klinis pasien. Pegas, busur labial, dan klamer retensi terbuat dari kawat stainless steel. Peranti ortodontik lepasan membutuhkan kerjasama dengan pasien, yaitu pasien harus menjaga kebersihan mulutnya. Peranti ini hanya digunakan untuk memindahkan gigi yang tipping, perawatannya harus di bawah pengawasan dokter gigi. Keberhasilan alat ini tergantung pada kerja sama pasien. Jika pasien rajin menggunakan alat ini, maka gigi akan bergerak dan menutup diastema. Alat ini memiliki kelemahan, yaitu menyebabkan pasien tidak nyaman dan kesulitan berbicara karena adanya plat akrilik di dalam mulut (Proffit, 2000).

Perawatan ortodontik untuk diastema garis median pada kasus mesiodens dapat dilakukan melalui tiga fase, yaitu penghilangan etiologi, perawatan aktif, dan pemasangan retainer. Perawatan fase pertama adalah penghilangan etiologi. Kebiasaan buruk yang menyebabkan diastema garis median harus dihilangkan dengan menggunakan habit breaker lepasan atau cekat. Gigi mesiodens yang tidak erupsi dilakukan ekstraksi, dilakukan frenektomi pada frenulum yang tebal, dan patologi lain di daerah garis median juga harus dirawat (Iyyer, 2003). Perawatan fase kedua adalah perawatan aktif menggunakan alat lepasan. Penggunaan alat lepasan dilakukan ketika diastema tidak lebih dari 2 mm dan pergeseran yang dilakukan tidak mengganggu angulasi gigi (Staley dan Reske, 2002). Alat lepasan sederhana dengan dua finger spring atau dengan busur labial dapat digunakan untuk menggeser gigi insisivus sentral ke mesial (Premkumar, 2008). Finger spring tersebut dibuat dari kawat stainless steel berdiameter 0,5 atau 0,6 mm (Singh, 2007). Finger spring dipasang pada bagian distal gigi insisivus sentral. Jika menggunakan busur labial, maka busur labial tersebut dibuat dari kawat stainless steel berdiameter 0,7 mm dan dipasang hingga ke bagian distal gigi insisivus sentral (Iyyer, 2003). Loop spring juga bisa digunakan untuk merawat diastema garis median dengan memasangnya ke busur labial dari alat lepasan Hawley (Staley dan Reske, 2002). Peranti ortodontik lepasan dengan cangkolan dan finger spring dapat digunakan untuk menggerakkan gigi di anterior maksila, misalnya diastema kecil dengan ukuran < 2 mm. Palatal finger spring terkadang digunakan untuk menggeser gigi ke arah mesiodistal. Kekuatan maksimal untuk perpindahan gigi akar tunggal yaitu 25-40 gram. Aktivasi palatal

finger springs ini dapat menggeser gigi sebanyak 1 mm dalam sebulan. Meskipun begitu, finger spring tidak dapat menggeser gigi secara bodily seperti peranti ortodontik yang cekat. Finger spring pada peranti lepasan ini hanya dapat menggeser gigi secara tipping (Cobourne, 2010). Finger spring terbuat dari kawat 0,5 atau 0,6 mm. Finger Spring dibuat dengan coil atau helix di dekat titik attachment dan free end untuk pergerakan. Finger spring diindikasikan untuk pergerakan mesio-distal gigi, misalnya untuk menutup diastema anterior. Finger spring diaktivasi dengan membuka coil atau menggerakan lengan aktifnya ke gigi yang di gerakkan. Aktivasi optimal untuk kawat 0,5 adalah 3 mm, sedangkan untuk kawat 0,6 aktivasinya 1,5 mm. Perawatan fase ketiga adalah pemasangan retainer. Diastema garis median mudah dirawat tetapi sulit untuk dipertahankan. Oleh karena itu, dibutuhkan retensi jangka panjang seperti lingual bonded retainer, atau dapat juga menggunakan retainer jenis yang lain seperti banded retainer atau Hawley s retainer (Iyyer, 2003).

SIMPULAN Berbagai penatalaksanaan perawatan mesiodens dalam bidang ortodontik menggunakan alat lepasan dengan finger spring atau alat cekat edgewise appliance menjadi pilihan yang dianggap baik untuk koreksi diastema yang disebabkan oleh karena mesiodens, frenulum, dan kebiasaan buruk. Walaupun hanya menghasilkan gerakan tipping, cangkolan dan finger spring dianggap baik oleh karena desain alat yang mudah dilepas sehingga memudahkan dalam menjaga kebersihan mulut. Palatal finger springs dapat digunakan untuk menggerakkan gigi di anterior maksila, misalnya diastema kecil dengan ukuran kurang dari 2 mm dan menggeser gigi ke arah mesiodistal dengan kekuatan maksimal untuk perpindahan gigi akar tunggal yaitu 25-40 gram. Aktivasi palatal finger spring ini dapat menggeser gigi sebanyak 1 mm dalam sebulan. Keberhasilan alat ini tergantung pada kerja sama pasien.

DAFTAR PUSTAKA Acharya, S., Ghosh, C., dan Mondal, P.K. 2014,Bilateral Supernumerary Teeth in Deciduous A Rarity, Journal of Clinical and Diagnostic Research, vol. 8, no. 5, hal. 18-19. Agrawal, S., Chandra, P., Singh, D., dan Agrawal, S. 2012, Palatally Positioned Two mesiodens:a Case Report [Online]. Available: http://www.journalofdento facialsciences.com [30 Maret 2015]. Alkhal, H.M., Rabie, B., dan Wong, R.W.K. 2009, Orthodontic Tooth Movement of Total Bucally Blocked - Out Canine: A Case Report, Cases Journal, vol. 2, no. 7245, hlm. 1-4. Ardhana, W. 2011, Alat Ortodontik Lepasan, Materi Kuliah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Bahadure, R.N., Thosar, N., Jain, E.S., Kharabe, V., dan Gaikwad, R. 2012, Supernumerary Teeth in Primary Dentition and Early Intervention : A Series of Case Report, Hindawi Publishing Corporation, vol. 2012, no. 4, hlm. 1-4. Duraisingam, S.K., R, Rajalaksmi., dan K, Rameshkumar. 2014, Supernumerary Teeth - An Overview of Location, Diagnosis and Management, RJPBCS, vol. 5(2), ISSN: 0975-8585, No. 1919-1924. Garvey, M.T., Barry, H.J., dan Blake, M. 1999, Supernumerary Teeth - An Overview of Classification, Diagnosis and Management, Journal of the Canadian Dental Association, vol. 65, no. 11, hlm. 612-616. Gill, D. S. 2014, Ortodonsia at a glance, Penerjemah : S. Titiek dan J. Lilian, EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Gill, D.S., dan Naini, B.F. 2011, Orthodontics Principle and Practice, First Edition, Blackwell Publishing Ltd. Kumar, A., Shetty, R,M., Dixit, U., Mallikarjun, K., dan Kohli, A., 2011, Orthodontic Management of Midline Diastema in Mixed Dentition, International Journal Of Clinical Pediatric Dentistry, vol. 4, no. 1, hlm. 59-63. Kumar, D.K., dan Gopal, K.S. 2013, An Epidemiological Study on Supernumerary Teeth: A Survey on 5,000 People, Journal of Clinical and Diagnostic Research, vol. 7, no. 7, hlm. 1504-1507. Manuja, N., Nagpal, R., Singh M., dan Chaundhary, S. 2011, Management of Delayed Eruption of Permanent Maxilary Incisor associated with the Presence of

Supernumerary Teeth: A Case Report, International Journal of Clinical Pediatric Dentistry, vol. 4, no.3, hlm. 255-259. Qamar, Ch.R., Bajwa, J.I., dan Rahbar, M.I. 2013, Mesiodens - etiology, prevalence, diagnosis and management, POJ, vol. 5, no. 2, hlm. 73-76. Rahardjo, P. 2009, Peranti Ortodonti Lepasan, Ed. Ke-1, Airlangga University Press., Surabaya. Rahardjo, P. 2012, Ortodonti Dasar, Ed. Ke-2, Airlangga University Press., Surabaya. Sheikh, Z., Manzoor, A., dan Amir, N. 2014, Mesiodens - A common supernumerary tooth: Report of management of a case with two mesiodens, International Dental Journal Of Student Research, vol. 2, no. 3, hlm. 41-46.