BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil dari pembangunan nasional serta reformasi di berbagai bidang menempatkan sektor pajak sebagai sektor yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dan membiayai pembangunan nasional. Salah satu usaha memperoleh dana untuk mewujudkan pembangunan nasional adalah dengan cara menggali sumber sumber dana dari dalam maupun luar negeri. Salah satu sumber dana dari dalam negeri adalah sektor perpajakan, hal itulah yang menyebabkan pemerintah berusaha untuk dapat meningkatkan penerimaan dari sektor tersebut. Wajib Pajak perorangan maupun Wajib Pajak badan diperlukan sebagai subjek dalam sistem pemungutan pajak berdasarkan Undang-Undang KUP No. 28 tahun 2007 dan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 pasal 2. Wajib Pajak diberikan kepercayaan penuh oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya jumlah pajak yang terhutang yang harus dibayar sendiri menurut peraturan perpajakan yang berlaku. Sebelum Wajib Pajak mengetahui besarnya pajak yang harus disetor ke kas negara, Wajib Pajak harus mengetahui terlebih dahulu besarnya Penghasilan Kena Pajak dari laporan keuangan yang disusun sesuai dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku. Penyusunan laporan keuangan fiskal ini ditujukan sebagai bahan untuk mengisi laporan pajak kepada fiskus atau Direktur Jenderal Pajak dalam bentuk Surat Pemberitahuan Tahunan. Dalam kaitannya dengan sistem pemungutan self assessment, Undang- undang perpajakan memberikan beberapa hak dan kewajiban kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP). Berdasarkan Undang-Undang KUP No. 28 tahun 2007 beberapa kewajiban yang dimiliki oleh Wajib Pajak yaitu dalam perhitungan, pembayaran dan pelaporan pajak terutangnya dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Dalam melaksanakan dan memenuhi kewajiban perpajakannya yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat hak utama, yaitu: pertama, hak untuk menerima NPWP, kedua, hak untuk melakukan kompensasi atau restitusi; ketiga, hak untuk mengajukan keberatan dan banding; dan keempat, hak untuk membetulkan dan memperpanjang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT). Dimaksudkan dengan hak untuk melakukan restitusi disini adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Pada hakekatnya, jika Wajib Pajak telah menjalankan prosedur dengan benar maka proses permohonan untuk restitusi seharusnya mendapat prioritas karena berarti Wajib Pajak tersebut telah menjalankan kewajiban pajaknya, bahkan melampaui pajak yang seharusnya terhutang. Jangka Waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diatur oleh undang undang No.6 tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Undang
Undang No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) paling lama 12 (dua belas) bulan. Aturan soal restitusi pajak diterbitkan dalam rangka peningkatan pelayanan dalam restitusi pajak. Kini peraturan yang sudah berjalan selama empat tahun itu menuai protes dari kalangan pengamat ekonomi. Ditinjau dari sistem keuangan negara, bahwa setiap rupiah pajak yang dibayar masyarakat sesaat langsung masuk ke kas negara. Dirjen Pajak hanya mengawasi, membina dan mengadministrasikan penerimaannya. Jika ternyata terjadi lebih bayar, restitusi menjadi pengeluaran negara. Disinilah titik dasarnya. Untuk pengeluaran negara, pengaturan tindak lanjutnya bukan hanya berdasar Undang Undang Perpajakan semata, namun juga harus mengacu pada undang undang yang berkaitan dengan keuangan negara sebagai satu kesatuan. Dalam pasal 3 (1) ditegaskan bahwa keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang undangan, efisiensi, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan. Pengelolaan disini bukan hanya penerimaan, namun juga atas pengeluaran, termasuk karena adanya restitusi pajak. Selanjutnya, pasal 12 (2) dan pasal 18 UU No. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara menegaskan bahwa setiap pengeluaran negara dilakukan melalui rekening kas umum negara. Atas pengeluaran di antaranya untuk restitusi pajak, ada kewenangan untuk (a) menguji kebenaran material surat surat bukti mengenai hak pihak penagih, dan (b) meneliti kebenaran dokumen yang menjadi persyaratan dan kelengkapannya.
Dari penjelasan diatas, ada 2 (dua) hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama, restitusi adalah pengeluaran negara. Karena terkait dengan pengeluaran negara, sering terjadi untuk memenuhi target penerimaan pajak, restitusi pajak bulan Desember sering kali ditangguhkan pengembaliannya. Sebaliknya penerimaan yang seharusnya terjadi dibulan January tahun berikutnya, untuk tercapainya target penerimaan, ditarik atau dipercepat penerimaannya sebagai penerimaan bulan Desember. Kedua, prinsip umum dalam rangka pengembalian kelebihan pembayaran pajak adalah bahwa pengembalian tersebut harus melalui pemeriksaan. Tindakan pemeriksaan dilakukan untuk menghindari manipulasi restitusi yang dilakukan oleh oknum Wajib Pajak atas restitusi yang bukan merupakan haknya. Seringkali dalam melakukan pengujiannya Fiskus meminta data tambahan diluar yang dipersyaratkan untuk menambah keyakinan atas kebenaran transaksi. Permintaan tambahan data antara Fiskus yang satu dengan yang lainnya berbeda beda walaupun pengujiannya dilakukan atas transaksi yang sama. Kondisi demikian sering membingungkan Wajib Pajak. Ditambah lagi jika Wajib Pajak melakukan kelalaian dalam proses pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah terlanjur dilakukan pemeriksaan otomatis akan merugikan Wajib Pajak itu sendiri. Perbedaan perbedaan teknis pelaksanaan pemeriksaan oleh fiskus berdampak proses untuk permohonan restitusi berjalan cukup sulit, sedangkan disisi lain bagi Wajib Pajak, restitusi merupakan bagian yang sangat penting dalam kelancaran kegiatan usaha bagi Wajib Pajak. Sulitnya proses restitusi inilah yang akan dihadapi
oleh Wajib Pajak jika kurang memahami ketentuan formal maupun material dokumen dokumen pendukung transaksi yang berkaitan dengan permohonan restitusi, sehingga penyelesaiannya menjadi berjalan lambat dan dapat merugikan Wajib Pajak, baik dari sisi biaya, waktu dan tenaga. Sehingga tidak sedikit Wajib Pajak yang mempertimbangkan dengan matang terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan untuk mengajukan permohonan restitusi dan mereka lebih memilih untuk dikompensasikan ke tahun yang akan datang sedangkan pada PT. Kuei Meng Chain Indonesia sendiri yang tergolong perusahaan yang sedang berkembang memutuskan ingin mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak penghasilan demi kelancaran kegiatan usahanya. Wajib Pajak yang akan atau telah melakukan permohonan restitusi, diperlukan pengetahuan atau pemahaman yang baik mengenai tata cara dan prosedur pengajuan permohonan restitusi sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku agar memperoleh pengembalian restitusi sesuai dengan permohonan yang di ajukan. Oleh karena diperlukan pemahaman yang baik mengenai pengajuan restitusi oleh Wajib Pajak. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti proses pengajuan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak penghasilan pasal 29. Penelitian ini diberi judul ANALISIS PROSES PENGAJUAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 29 TAHUN 2009 PADA PT. KUEI MENG CHAIN INDONESIA.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan Perusahaan mengalami kelebihan pembayaran pajak penghasilan pasal 29 pada tahun 2009? 2. Bagaimanakah prosedur permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak penghasilan pasal 29 yang dilakukan oleh perusahaan? 3. Apakah prosedur permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak penghasilan pasal 29 yang dilakukan oleh Perusahaan tersebut telah sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku? 4. Apakah dasar permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan pasal 29 dikabulkan / disetujui oleh Direktorat Jenderal Pajak serta bagaimana perbedaan mekanisme yang terdapat pada teori dengan pelaksanaan dilapangan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan masalah yang diuraikan diatas, maka tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan Perusahaan mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan pasal 29.
2. Untuk menganalisis prosedur yang dilakukan oleh Perusahaan dalam rangka pengajuan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan pasal 29. 3. Untuk menganalisis kesesuaian prosedur yang dilakukan oleh Perusahaan dalam rangka pengajuan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan pasal 29 dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku. 4. Untuk mengidentifikasi hasil keputusan Direktorat Jenderal Pajak sehubungan dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan pasal 29 yang diajukan oleh Perusahaan tersebut serta menganalisis perbedaan antara mekanisme secara teori dengan pelaksanaan dilapangan. Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Peneliti Untuk menambah wawasan dan keterampilan dalam melakukan penganalisaan tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak pasal 29. 2. Perusahaan Dapat memberikan informasi bagi perusahaan dalam melakukan perencanaan perpajakan pada tahun tahun yang akan datang sehingga dapat meminimalkan kemungkinan terjadi kelebihan pembayaran pajak. 3. Pembaca Sebagai referensi bagi konsultan pajak untuk dapat menyusun perencanaan perpajakan bagi perusahaan yang kemungkinan akan melakukan pengajuan
permohonan kelebihan pembayaran pajak sesuai dengan yang di ajukan sedangkan bagi pihak Fiskus dapat sebagai bahan referensi dalam menetapkan kebijakan kebijakan perpajakan di masa yang akan dating terutama yang menyangkut tentang prosedur pengembalian kelebihan pembayaran pajak penghasilan pasal 29 sehingga baik untuk Fiskus maupun Wajib Pajak tidak merasa saling dirugikan satu sama lain.