Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

dokumen-dokumen yang mirip
Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN PESISIR DAN LAUT PENYUSUNAN STATUS MUTU LAUT KOTA BATAM DAN KABUPATEN BINTAN TAHUN 2015


Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

PERUBAHAN IKLIM DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BUPATI BANGKA TENGAH

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Kawasan Konservasi Perairan menurut IUCN (Supriharyono,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

LAMUN: KEHIDUPAN, PEMANFAATAN DAN PELESTARIANNYA

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

JAKARTA (22/5/2015)

Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut. Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Nations Convention on the Law of the sea/ Konvensi Perserikatan Bangsa

Transkripsi:

5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem di daratan menjadi acuan dalam penerapan teknik-teknik pengelolaan ekosistem di lautan. Lantas bagaimana dengan pendekatan pengelolaan berbasis ekosistem? Berikut adalah beberapa konsep kunci sebagai dasar bagi pengelolaan sumberdaya laut dengan pendekatan ekosistem. Interaksi antar spesies dalam suatu ekosistem sangat penting agar jasa-jasa ekosistem dapat kita nikmati. Karena tingkat interaksi dan keterhubungannya yang sangat tinggi, maka menghilangkan atau merusak beberapa spesies akan menghasilkan dampak dramatis terhadap organisme lain dan menurunkan kemampuan dari ekosistem untuk menghasilkan jasa yang kita inginkan. Hal ini tidak lain karena interaksi dan saling keterhubungan tersebut sangat mempengaruhi tingkah laku ekosistem secara keseluruhan. Misalnya, menghilangnya pemangsa puncak (top predator) akan berdampak pada perubahan besar dalam kelimpahan spesies tertentu. Oleh karena itu, pengelolaan berbasis ekosistem mencakup identifikasi dan terfokus hanya pada interaksi kunci penting tertentu, bukan pada seluruh jenis interaksi yang didapatkan. Dinamika dan kompleksitas ekosistem membutuhkan perhatian jangka panjang dan pemahaman terhadap penurunan drastic, dan perubahan-perubahan cepat yang tidak diantisipasi. Misalnya, perubahan drastis yang ditimbulkan oleh fenomena ENSO pada dinamika ekosistem dan ukuran populasi, yang berdampak jangka 154 Tantangan Ke Depan

panjang dan sulit diprediksi karena sifatnya yang berasosiasi dengan perubahan lingkungan dalam skala besar. Perubahan-perubahan seperti ini seharusnya dapat diantisipasi untuk dapat dilakukannya penyesuaian-penyesuaian oleh para ahli pengelolaan (manajemen) sumberdaya laut. Ekosistem dapat pulih (elastis) dari berbagai jenis gangguan, namun memiliki limit untuk daya pulih (resilience) tersebut. Tidak jarang perubahan ekosistem yang melampui batas, membuatnya tidak dapat pulih pada kondisi seperti sebelumnya. Oleh karenanya peningkatan tindakan kehati-hatian dalam mengelola ekosistem adalah sangat bijaksana agar ekosistem dapat bebas dari tekanan dari waktu ke waktu, dibandingkan yang terjadi pada saat populasi manusia belum sebesar saat ini. Fitur-fitur yang dapat meningkatkan kemampuan dari suatu ekosistem untuk bertahan dan memperbaiki diri dari berbagai gangguan dan tekanan, yang meliputi keharmonisan spesies yang terdapat di alam, keanekaragaman genetik spesies, beragamnya jenis dan kelimpahan habitat tanpa tekanan dari manapun. Jasa ekosistem hampir selalu tidak mendapat penghargaan yang sepantasnya. Walaupun beberapa komoditas (misalnya: ikan dan udang) memiliki nilai ekonomi tinggi, banyak jenis jasa lingkungan penting lainnya sama sekali tidak dihargai atau dianggap berarti secara ekonomis. Contoh dari jasa-jasa ekosistem yang menghadapi resiko besar karena banyak diantara kita tidak menghargainya adalah: perlindungan pantai dari erosi (dari terumbu karang dan mangrove), siklus nutrien, regulasi iklim, warisan budaya, dsbya. Seluruh jasa ini tidak memiliki nilai keuangan dan umumnya tidak pernah menjadi faktor penting dalam penentuan kebijakan sehingga menghadapi berbagai resiko kerusakan dan tekanan akibat aktifitas manusia. Tantangan Ke Depan 155

Selanjutnya, bagaimana dengan kenyataan bahwa ekosistem lautan memberi manfaat kepada umat manusia melalui makanan, obat-obatan, proses purifikasi air, siklus nutrien, rekreasi dan manfaat-manfaat nonmaterial lain, yang disediakannya. Interaksi-interaksi di dalam ekosistem laut yang membuahkan jasa-jasa layanan ini, yang memberi manusia pilihan pada keanekaragaman yang sangat luas. Pengaruh manusia pada ekosistem laut berasal dari berbagai jenis aktifitas di daratan, di wilayah pesisir dan di tengah lautan. Dampak dari aktifitas-aktifitas ini sering kali bersinergi dalam interaksinya, misalnya: aktifitas di daratan yang dampak utamanya melalui run-off dan input atmosfir dari bahan kimia pencemar dan nutrien, perubahan habitat di wilayah estuarin, perubahan aliran air dan transportasi sedimen di perairan pantai, menumpuknya sampah anorganik (plastik, dsbnya) dan perubahan iklim dunia. Diantara sekian banyak aktifitas di wilayah pesisir dan laut terbuka (misalnya: budidaya perairan, konstruksi bangunan, militer, transportasi kapal dan penangkapan ikan), perikanan tangkap yang memberi dampak paling nyata pada ekosistem laut. Dampak ekosistem dari perikanan tangkap timbul sebagai akibat dari rusaknya habitat bentik dari jenis alat penangkapan ikan tertentu, pengambilan organisme ikan dalam jumlah sangat besar, pengurangan ukuran besar dan usia matang dari individu-individu dalam populasi ikan yang bermuara pada penurunan kapasitas reproduksi dan rekrutmen, penghilangan sejumlah besar pemangsa puncak yang berujung pada berubahnya jejaring makanan di laut, dan perusakan pada spesies non-target melalui by-catch. Belum lagi dengan praktikpraktik penangkapan ikan merusak seperti penggunaan bahan peledak dan potassium sianida. Kesemua ini akan memberi dampak nyata pada struktur dan fungsi ekosistem yang pada gilirannya akan mengurangi produktiftas ekosistem dan terhentinya layanan jasa yang sebelumnya tersedia dengan baik. 156 Tantangan Ke Depan

Terminologi pengelolaan ekosistem (ecosystem management) dapat diartikan sebagai penerapan segala kemampuan untuk mengelola dan mengendalikan ekosistem secara menyeluruh. Sadar akan kenyataan bahwa manusia tidak dapat mengendalikan arus lautan atau hewan-hewan yang menghuni ekosistem laut, maka secara ilmiah dianggap lebih tepat untuk menggunakan istilah pengelolaan berbasis ekosistem (ecosystem based management) atau pengelolaan dengan pendekatan ekosistem (ecosystem approach management) dalam konteks ekosistem laut. Pengelolaan berbasis ekosistem terfokus pada pengelolaan aktifitas manusia, bukan pada manipulasi atau mengelola ekosistem secara keseluruhan. Benar bahwa terdapat perbedaan antara pengelolaan berbasis ekosistem dengan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem (ecosystem based fishery management), namun sifatnya saling melengkapi. Pengelolaan sektor perikanan tangkap, misalnya, dalam konteks ekosistem sangat diperlukan namun tidak memberi jaminan pada kesinambungan produktiftas dan daya pulih suatu ekosistem. Aktifitas manusia seperti sektor perikanan tangkap ini seharusnya dikelola dengan mempertimbangkan dampaknya pada ekosistem secara keseluruhan, demikian pula dampak yang ditimbulkannya pada sektorsektor lainnya (pariwisata, kesehatan, dsbnya). Dampak-dampak jangka panjang, kumulatif dan terpadu untuk seluruh sektor relevan pada suatu ekosistem seharusnya dievaluasi, misalnya melalui mekanisme penyesuaian dampak-dampak yang ditimbulkan oleh sektor tertentu. Pertanyaannya adalah langkah-langkah apa yang konsisten dengan pengelolaan berbasis ekosistem?. Penerapan teknik pengelolaan berbasis ekosistem akan melibatkan banyak tahapan dan beragam alat pengelolaan (management tools) dan berbagai jenis pendekatan. Beberapa langkah berikut dianggap konsisten terhadap pendekatan Tantangan Ke Depan 157

berbasis ekosistem, yang beberapa diantaranya telah diterapkan di beberapa negara termasuk AS, Uni Eropa, Kanada, China dan sementara dalam proses penerapan di LME Benguela (Afrika Selatan-Namibia dan Angola) beberapa tahun terakhir. Paling tidak, hal ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi kita untuk segera memulai untuk meletakkan dasar pendekatan berbasis ekosistem dalam kegiatan perikanan tangkap di laut. Menginisiasi perencanaan pada tingkat ekosistem yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dengan tetap memperhitungkan dampak-dampak kumulatif dari kegiatankegiatan manusia utama terhadap ekosistem, serta dampak jangka panjang dari perubahan-perubahan lingkungan. Menetapkan tujuan-tujuan pengelolaan antar daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota), regional (negara-negara tetangga) dan internasional. Tujuan-tujuan dalam pengelolaan berbasis ekosistem harus mampu merefleksikan seluruh tingkatan manajemen antar instansi di seluruh tingkatan yurisdiksi. Menginisiasi zonasi di wilayah laut dan menetapkan area-area dengan penggunaan maksimum pada waktu dan ruang tertentu, termasuk jejaring daerah-daerah taman laut atau jenis-jenis daerah perlindungan laut lainnya. Perencanaan wilayah ini harus dilakukan secara komprehensif, meminimalisasi konflik antar pemanfaat dan mampu memadukan dampak-dampak dari aktifitas-aktifitas kunci di dalamnya. Sehingga jejaring DPL (networks of marine protected areas) diyakini akan mampu untuk: memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati beserta habitat-habitatnya, menghasilkan individu-individu yang mampu bereproduksi dalam jumlah yang besar, memberi jaminan terhadap segala aspek ketidakpastian dalam pengelolaan, serta menjadi acuan bagi 158 Tantangan Ke Depan

evaluasi dampak dari berbagai aktifitas manusia di luar kawasan lindung. Memperluas dan meningkatkan koordinasi dalam upaya-upaya perbaikan habitat di wilayah pesisir (mangrove, terumbu karang dan padang lamun) yang menderita kehilangan habitat-habitat tersebut atau fungsi ekosistem. Aktifitas-aktifitas koordinasi ini harus dilaksanakan secara komprehensif dengan dasar pertimbangan utama ditujukan pada dampak kumulatifnya terhadap ekosistem pesisir dan lautan, termasuk pelibatan program-program penelitian, pemantauan dan evaluasi, secara rutin dan terjadwal. Mengadopsi strategi co-manajemen dimana pemerintah dan seluruh stakeholders (pemanfaat, peneliti, conservationist dan masyarakat lokal dengan pengetahuan tradisionalnya) secara bersama-sama bertanggung jawab dalam pengelolaan dan pengawasan ekosistem. Potensi manfaat yang dapat diperoleh adalah lebih banyak informasi bagi pihak-pihak penentu kebijakan dan pengambil keputusan, lebih fleksibel serta penggabungan sistem pengetahuan tradisional ke dalam teknik-teknik pengelolaan ekosistem. Penggabungan manajemen adaptif ke dalam perencanaan ekosistem merupakan suatu pendekatan untuk belajar dari penerapan teknik-teknik pengelolaan yang memungkinkan untuk dilakukannya evaluasi secara ilmiah, mengujinya dengan pendekatan pengelolaan yang lain, serta melakukan langkahlangkah penyesuaian sejalan dengan ketersediaan informasiinformasi baru dari program-program pemantauan dan evaluasi. Untuk itu para pengelola dalam institusi pada tingkatan apapun, harus dapat beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang Tantangan Ke Depan 159

terjadi, baik pada ekosistem maupun ilmu pengetahuan yang relevan. Menyusun dan menetapkan program-program penelitian dan pemantauan jangka panjang secara berkelanjutan di wilayahwilayah pesisir dan lautan untuk memperoleh data-data biogeofisik, sosial dan ekonomi secara berkesinambungan. Program-program ini dibutuhkan untuk pemahaman komprehensif yang lebih baik pada seluruh mekanisme dalam ekosistem laut, perubahanperubahan di lautan dan efektifitas dari keputusan-keputusan yang diambil dalam pengelolaannya. 160 Tantangan Ke Depan