LAMPIRAN C. Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah abu-abu )

dokumen-dokumen yang mirip
1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

PENINGKATAN KAPASITAS KOPERASI MELALUI JARINGAN PENGEMBANGAN SDM. Orientasi oleh Rajiv I.D. Mehta, ICA AP

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

LAMPIRAN A. Sejarah Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia ( )

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh:

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM

LAMPIRAN G. Indikator Strategi Pelaksanaan

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 30 TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi (BPS) Kabupaten Kapuas Hulu Tahun Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR BERSIH BAGI MASYARAKAT DI PERUMNAS PUCANGGADING TUGAS AKHIR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGEMBANGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA,

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

Tabel IV.1 Guna Lahan Perumahan Dan Proyeksi Jumlah Penduduk

VIII. DUKUNGAN ANGGARAN DAN KELEMBAGAAN DALAM PENGEMBANGAN SEKTOR SEKTOR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang.

Bab 1 Pendahuluan PEMUTAKHIRAN STRATEGI SANITASI KABUPATEN KUDUS. Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

KERANGKA KEBIJAKAN SEKTOR AIR MINUM PERKOTAAN RINGKASAN EKSEKUTIF

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kinerjanya. Menurut Propper dan Wilson (2003), Manajemen

BAB V PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sosial (social development); pembangunan yang berwawasan

BAB I PENDAHULUAN. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku ekonomi

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Pokja AMPL Kota Makassar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BUPATI MADIUN BUPATI MADIUN,

Kemitraan Agribisnis. Julian Adam Ridjal. PS Agribisnis Universitas Jember

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung

STRATEGI SANITASI KOTA KAB. SIDENRENG RAPPANG

STRATEGI SANITASI KABUPATEN KABUPATEN TANGGAMUS PROPINSI LAMPUNG

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN/ATAU KEMUDAHAN KEPADA MASYARAKAT DAN/ATAU PENANAM MODAL

5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya

Kajian Pengenaan PPN atas Penyediaan Air Bersih dan Biaya Jasa Penggelolaan SDA (BPSDA)

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

1.1. Latar Belakang. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Mandailing Natal Tahun I - 1

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

1.8.(2) Peremajaan Permukiman Kota Bandarharjo. Semarang

I. PENDAHULUAN. Modal tanah, tenaga kerja dan manajemen adalah faktor-faktor produksi,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

ILO MAMPU Project - Akses terhadap Pekerjaan & Pekerjaan Layak bagi Perempuan Tinjauan Fase 2 January 2013

EKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN (ESL 327 ) Ko-Manajemen. Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan

PEMBANGUNAN WILAYAH PERMUKIMAN DENGAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT studi kasus : kawasan permukiman Kalianak Surabaya

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG

I. PENDAHULUAN. di Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan masyarakat tani pekebun,

PENDAHULUAN. Bab Latar Belakang. BPS Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENGANALISIS PASAR BISNIS

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA SEMARANG

Sumber: febriyanisyiko.blogspot.com. Yayat Supriatna Teknik Planologi Trisakti

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 112 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi birokrasi yang digulirkan menjadi agenda nasional ditegaskan melalui

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB I LATAR BELAKANG

4.2 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FENOMENA PENGELOLAAN PRASARANA DI KAWASAN PERBATASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

BUPATI BANGKA TENGAH

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI DAN IZIN USAHA KAWASAN INDUSTRI

APBD KOTA YOGYAKARTA TAHUN ANGGARAN 2018

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BAB IV STRATEGI UNTUK KEBERLANJUTAN LAYANAN SANITASI KOTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2005 TENTANG PENGEMBANGAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN DAN PROGRAM NASIONAL PENANGANAN PERMUKIMAN KUMUH Jakarta, 22 Desember 2014

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

L A P O R A N K I N E R J A

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

KOTA TANGERANG SELATAN

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG

Transkripsi:

LAMPIRAN C Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah abu-abu )

LAMPIRAN C Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah abu-abu ) Pendahuluan Secara historis, pendekatan dalam pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL) dibagi dalam wilayah perkotaan dan perdesaan. Istilah tersebut memiliki makna administratif yang spesifik, tidak terkait dengan isu pelayanan AMPL, tetapi membawa kesulitan dalam pendekatan dan berpengaruh terhadap hasil yang dirasa oleh pengguna. Di era pembangunan, dimana akses terhadap pelayanan AMPL masih rendah di berbagai tipe permukiman, pendekatan pola lama tidak berhasil mengatasi hal ini, mendorong untuk mencari cara yang lebih efektif untuk peningkatan akses. Kembali ke Sifat Dasar Saat yang paling baik untuk memulai adalah dari titik awal, dengan mengkaji ulang struktur dasar sektor dan asumsi yang terkait dalam pendekatan untuk penyediaan air minum, terutama: sifat dari sumberdaya air; sifat dari permukiman (evolusi dan urbanisasinya); aspek sosial terkait, teknis, dan administratif dalam pembangunan dan pengelolaan pelayanan AMPL. Air tidak dibatasi oleh batas administratif. Pengelolaan sumberdaya air perlu mempertimbangkan sifat dan perilaku air, dan pendekatan kita perlu disesuaikan dengan sifat dan perilakunya, bukan sebaliknya. Penyediaan pelayanan AMPL adalah bagian dari pengelolaan sumberdaya air, maka diberlakukan aturan yang sama. Pernyataan yang paling sesuai untuk prinsip-prinsip kunci dalam pengelolaan sumberdaya air dikenal sebagai Prinsip Dublin 1, yang terdiri dari empat prinsip dan satu diantaranya merekomendasikan agar pengambil keputusan sedapat mungkin ditetapkan oleh masyarakat di tingkat bawah. Pola permukiman sangat bervariasi, secara fisik dan waktu. Masyarakat berkumpul di permukiman, dan berkembang untuk alasan tertentu. Permukiman bisa dimulai dari pasar di persimpangan jalan, atau mengikuti rute akses (gambar 1), dan perlahan berkembang dari pondasi tersebut, menarik lebih banyak orang untuk berada di sana dengan alasan tertentu. Alasan dan permukiman tidak akan pernah statis tetapi selalu berubah mengikuti waktu. 1 Pertama disepakati di Dublin pada tahun 1992, kemudian diratifikasi di Rio de Janeiro (dikenal sebagai Dublin-Rio). Keempat prinsip tersebut memuat pendekatan terpadu untuk mengelola air diantara pengguna air, air sebagai benda ekonomi, peran sentral perempuan, pengambilan keputusan di tingkat bawah. Lampiran C - 1 -

Jika permukiman berubah, batas administratif juga berubah. Hari ini sebuah desa mungkin besok menjadi dua desa atau kota. Jika kota atau metropolitan berkembang, mereka akan mengambil alih atau bergabung dengan permukiman di sekitarnya dan batas wilayah akan disepakati. Pada titik mana sebuah desa disebut kota, Gambar C.1 Sifat dari Permukiman dan sebuah kota disebut metropolitan? Permukiman tidak homogen, dalam batas wilayah desa, kota atau metropolitan, ada variasi kepadatan penduduk (seberapa dekat masyarakat hidup bersama), klasifikasi kesejahteraan, dan kelas perumahan. Faktor-faktor tersebut sangat penting dalam penyediaan pelayanan. Ukuran permukiman / Jumlah penduduk / Batas administratif Waktu / Kepadatan Perdesaan Kecil, tersebar, terasing, bertani, memenuhi kebutuhan sendiri (?Kota kecil?) Perkotaan Besar, padat, pusat komersil, dan pemerintahan, saling tergantung Gambar C.2 Klasifikasi Permukiman dalam Perkotaan dan Perdesaan Klasifikasi pendekatan pola lama dalam penyediaan pelayanan membagi sektor dalam sub-sektor perdesaan dan perkotaan. Pernyataan tersebut dijelaskan dalam gambar 2, dengan gambar di atas relatif lebih mudah untuk melihat perbedaannya. Tetapi tepatnya dimana seharusnya garis pembatas antara perkotaan dan perdesaan, dan apa artinya? Terminologi tersebut lebih menjelaskan batas wilayah administratif dan birokrasi dibanding sifat dari permukiman itu sendiri; klasifikasi dengan tipe ini menjelaskan institusi mana yang lebih berhak, terutama ketika berkaitan dengan pembagian tanggung jawab dan dana diantara departemen terkait. Di berbagai tingkatan pemerintahan dan institusi, perspektif tentang batas dan letaknya seringkali tidak jelas. Seperti terlihat dalam gambar 3, pendekatan administratif yang murni akan menghasilkan suatu divisi Lampiran C - 2 -

yang dapat diterapkan untuk semua aspek dalam aktifitas sektor, yang terkait dengan pembiayaan dan fisik; masalahnya adalah dimana meletakkan garis batasnya. Karena definisi dari terminologi tersebut tidak jelas dan administratif, dasar untuk menentukan posisi jelas suatu batas menjadi lemah dan tidak tentu, tetapi mempunyai dampak besar bagi pendekatan yang diambil dalam penyediaan pelayanan. Perkotaan Perkotaan Perkotaan Jumlah Penduduk? Perdesaan Perdesaan Perdesaan Gambar C.3 Pembagian sektor: dimana batasnya? Pendekatan dalam penyediaan pelayanan yang telah dijelaskan dalam pembagian peruntukan (sub division) pola lama biasanya berdasarkan citra baku atau pengertian klise dari permukiman dan kumpulan penduduk (seperti dalam gambar 2), di beberapa kasus diperhalus dengan beberapa pembelajaran dari pengalaman masa lalu. Sebagai contoh, di banyak negara semua pembangunan sektor dilakukan langsung oleh pemerintah dengan cara top-down, semua keputusan dibuat di pusat, atau paling tidak dari jarak jauh, dan sedikit sekali melibatkan penerima manfaat. Kegagalan paling banyak terjadi di wilayah perdesaan, di beberapa kasus pendekatan untuk daerah ini telah dimodifikasi agar menjadi lebih inklusif, konsultatif, dan bottom-up, memberikan kesempatan kepada masyarakat pengguna untuk lebih terlibat dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan fasilitas yang mereka gunakan. Sementara itu pendekatan topdown masih diterapkan di wilayah perkotaan, seringkali diikuti dengan upaya untuk memperluas wilayah birokratis dengan memindahkan garis pembatas, dan bahkan menerapkan pendekatan ini (perkotaan) untuk permukiman kecil sekalipun. Kenyataan yang Terjadi Di lapangan, ada beberapa batasan dalam menerapkan pendekatan bottom-up ; ketika suatu sistem menjadi lebih besar dan rumit, model perdesaan sepertinya tidak sesuai lagi. Sebaliknya hal yang sama juga terjadi, kegagalan hasil pendekatan top-down berada dalam proporsi yang tinggi ketika ukuran permukiman menjadi lebih kecil (telah menjadi kasus terbaru dalam penerapan prinsip perdesaan). Kenyataannya, pendekatan perkotaan murni sebenarnya melayani penduduk dalam porsi yang relatif kecil, dan pendekatan perdesaan murni juga melayani dalam porsi yang sama kecilnya. Diantara dua wilayah ini Lampiran C - 3 -

terdapat daerah abu-abu (gambar 4) meliputi jumlah penduduk yang besar yang tidak terlayani dengan baik, atau tidak terlayani sama sekali, oleh kedua jenis pendekatan tersebut. Perkotaan Kenyataannya seperti apa daerah abu-abu ini? Siapa dan berada dimana sejumlah besar rumah tangga yang kurang atau tidak mendapatkan pelayanan? Sebagian besar mereka berada di daerah permukiman berukuran sedang kota kecil Perdesaan daerah sekitar perkotaan yang terletak di tepi kota-kota besar, dan kaum miskin yang ada di kota yang hidup mengelompok Gambar C.4 Pembagian sebagaimana atau dengan standar perdesaan. Melihat kembali sifat permukiman, kita diingatkan bahwa mereka tidak homogen; didalam sebagian wilayah kota-kota besar ada beberapa daerah yang mempunyai kepadatan penduduk rendah, dan lain-lain dimana masyarakatnya hidup dari ekonomi informal, mirip dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat perdesaan. Mereka juga berada di pinggir daerah perdesaan yang cukup besar, diluar dari keefektifan pendekatan pengelolaan masyarakat homogen. Daerah abu-abu ini perlu dipahami dengan baik jika sebagian besar penduduk adalah untuk mendapatkan akses untuk peningkatan pelayanan AMPL. Yang terpenting, kita perlu paradigma baru, yang memungkinkan menerapkan pendekatan baru pada daerah abu-abu. Sebuah Alternatif Alternatif dalam sektor AMPL ini didasari oleh proses pengambilan keputusan, yang biasanya dikenal sebagai manajemen (pengelolaan). Karakteristik utamanya adalah siapa yang mengambil keputusan investasi penting. Dalam model ini ada 2 klasifikasi umum atau tipe pengambilan keputusan, yaitu masyarakat dan lembaga. ATAS BAWAH LEMBAGA TIPE A DIKELOLA OLEH LEMBAGA TIPE B DIKELOLA BERSAMA DIKELOLA BERSAMA Mendefinisikan terminologi kunci dengan hati-hati adalah penting, dalam hal ini, apa arti dari terminologi tersebut dalam pengertian umum. Walaupun terlihat seperti kumpulan dari kata benda yang tidak jelas, kata-kata tersebut dipakai dengan maksud sama agar tidak membatasi lingkup dan penerapan dari konsep tersebut. MASYARAKAT BAWAH ATAS TIPE C DIKELOLA OLEH MASYARAKAT Gambar C.5 Sebuah alternatif yang didasari oleh pengambilan keputusan atau pengelolaan Lampiran C - 4 -

Secara ringkas: Masyarakat berarti kelompok yang kohesif secara sosial, dimana alat transaksi yang berlaku adalah kepercayaan. Lembaga berarti pengaturan formal, di luar masyarakat, dimana alat transaksi yang berlaku adalah uang. Dari definisi tersebut dapat terlihat bahwa, masyarakat bisa berupa kelompok kecil yang saling mengenal dan percaya satu sama lain, atau dapat mendayagunakan tekanan sosial setara dengan kepercayaan. Dalam AMPL, terminologi tersebut meliputi rentang rumah tangga sampai kampung. Ukuran maksimum akan sangat bervariasi diantara budaya dan negara yang berbeda, mungkin bisa sampai seluruh desa atau kecamatan; menariknya, itu hanya bisa ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Contoh lembaga termasuk berbagai jenis model usaha, dari sektor publik, perusahaan swasta, dan kerja sama publik-swasta, kemitraan dan usaha tunggal, melalui koperasi dan LSM. Didalam sektor publik di beberapa negara, sebagian besar pelayanan seperti listrik dan komunikasi juga air minum dan penyehatan lingkungan dibiayai, dibangun, dan dikelola langsung oleh pemerintah melalui departemen atau instantsi terkait. Pada saat penanggung jawab resmi masih berada di tangan pemerintah, sekarang penyedia layanan lebih dipilih melalui jasa layanan: perusahan sektor publik yang mandiri, melalui model privatisasi, dengan banyak variasi diantaranya. Untuk bahasan ini, siapa pengambil keputusan investasi penting untuk dijelaskan dan juga lembaga dalam definisi tersebut. Di semua kasus, hubungan antar lembaga dan pengguna akhir adalah murni bisnis, seperti pemasok dan konsumen, walaupun ketika lembaga tersebut tidak berorientasi untuk keuntungan. Masyarakat juga didorong untuk menjadi lebih seperti lembaga dan perusahaan dalam pengelolaannya, termasuk membentuk komite dan mengelola retribusi dari pengguna. Namun, pengaturan informal biasanya berbeda dengan pengaturan formal dan resmi yang biasanya merupakan ciri lembaga. Daerah abu-abu Memahami dan menerapkan konsep sederhana ini membutuhkan perubahan perspektif yang cukup radikal. Ini bukan hanya merubah terminologi, misalnya mengganti perkotaan dengan pengelolaan oleh lembaga, dan menyetarakan perdesaan dengan pengelolaan oleh masyarakat, atau menyesuaikan terminologi untuk diterapkan tetapi tidak mengubah keadaan. Artinya merubah dari pendekatan administratif menjadi berdasarkan model pengambilan keputusan atau pengelolaan. Sampai sejauh ini perubahan ekstrim kurang berdampak, misalnya individu dan kelompok kecil rumah tangga sepakat untuk berbagi sumur atau pompa tangan, dan di kota besar setiap rumah tangga membayar perusahaan air minum untuk memasang sambungan rumah, dan untuk pemakaian air setiap bulan. Tetapi perspektif baru memungkinkan untuk menggabungkan pendekatan tersebut melewati batas wilayah, membuka variasi lain untuk suatu pendekatan maupun peluang. Untuk penyediaan air minum, contoh pengelolaan bersama antara lembaga dan masyarakat misalnya lembaga menyediakan air minum sampai ke titik tertentu, dan masyarakat yang mengatur distribusinya, bertanggung jawab untuk mengumpulkan retribusi, dan pembayaran kepada lembaga. Pendekatan ini berarti perubahan terhadap pendekatan yang berlaku umum; dibanding lembaga harus berhubungan Lampiran C - 5 -

dengan setiap rumah tangga, akan lebih efisien jika konsumen berupa kelompok masyarakat. Lembaga tidak mau repot dengan hal-hal detail yang terjadi di masyarakat: bagaimana air didistribusikan dan berapa yang terlayani (jaringan pipa, hidran umum, sambungan rumah), bagaimana metode dan mekanisme pembayaran (kontribusi yang sama, volume pemakaian, rata-rata pemakaian, aturan harga yang disepakati, dan lain-lain. Beberapa contoh: sejumlah air, atau terukur dengan meter air, diambil dari jaringan air minum kota (yang dikelola oleh lembaga) melayani kelompok rumah tangga atau kampung, melalui komite atau semacamnya dengan masyarakat sebagai pengelola distribusi dan retribusi. keran umum pada jaringan pipa distribusi, dikelola oleh masyarakat secara berkelanjutan dan memberikan pelayanan melalui aturan yang disepakati antara lembaga dan kelompok masyarakat. sistem distribusi yang melayani beberapa desa atau kampung, pasokan air dikelola oleh lembaga (lihat definisi) sedangkan aturan antara desa atau kampung, dan retribusi dikelola oleh masyarakat dan disepakati bersama. Contoh lain atau variasi pengaturan dalam daerah abu-abu, adalah: masyarakat dapat menentukan untuk menyewa penyedia jasa untuk mengelola sebagian atau seluruh aspek penyediaan air minum, tetapi pengambil keputusan utama tetap berada di tangan masyarakat. perusahan air minum kota/daerah hanya menyediakan air, masyarakat yang menentukan distribusi internal dan aturan pengelolaan, secara bersama dan/atau sub-kontrak hal yang berkaitan dengan pelayanan kepada penyedia jasa skala kecil. kota menyediakan desain sistem gabungan, yang memungkinkan bagi elemen pengelolaan masyarakat untuk merubahnya menjadi sistem sambungan langsung, dan juga masyarakat dapat membangun dan mengelola sehingga kelebihan air bisa dipasok ke jaringan kota. Ini adalah beberapa contoh kecil untuk memperjelas gambaran. Daerah abu-abu bukan suatu daerah dalam pandangan umum, terbatas pada contoh seperti kota kecil, pinggiran perkotaan, dan sistem multi-desa seperti yang dijelaskan di atas; daerah abu-abu sangat berpotensi untuk pendekatan bersama bagi pengelolaan penyediaan AMPL, dan berada di dalam wilayah metropolitan, kota, dan desa. Ini bisa menjadi kunci untuk meninggalkan pola lama, seperti monopoli, investasi langsung dan kontribusi pembiayaan untuk prasarana dan sarana dari rumah tinggal, kelompok masyarakat dan usaha kelas kecil dan menengah. Konsep ini masih bisa dikembangkan untuk mengkaji dan mencari peran dan tanggung jawab dari pihakpihak terkait dalam setiap model. Ketika perspektif ini diperkenalkan pada pembuat kebijakan, profesional dalam sektor terkait, dan pengguna akhir, pelaku terkait selalu mempunyai kemungkinan baru yang sesuai dengan situasi mereka. Menerapkan paradigma ini membuka rentang alternatif, walaupun sebelumnya tidak dipertimbangkan, untuk memberikan pilihan tingkat pelayanan bagi pengguna. Memberikan pilihan informasi kepada pengambil keputusan pada level terbawah adalah dasar utama dalam pendekatan tanggap kebutuhan, yang sangat berkorelasi positif dengan penyediaan AMPL yang berkelanjutan. Lampiran C - 6 -