BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otononomi daerah menurut UU No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang undangan. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Sisa

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pemerintahan Daerah Pemerintahan Daerah menurut Ketentuan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut Asas Otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. 2.1.2 Keuangan Daerah Kaho dalam Munir et al (2004 : 36) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah faktor keuangan yang baik. Istilah keuangan disini mengandung arti bahwa setiap hak yang berhubungan dengan masalah uang, antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan sesuai dengan tujuan dan peraturan yang berlaku. Hal ini untuk menghindari penyelewengan kekuasaan masalah keuangan oleh pemerintah daerah. 12

Menurut Yani (2008 : 348) pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Tujuan dan sasaran yang hendak dicapai oleh pemerintah daerah tentunya tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya pengelolaan keuangan yang baik juga. Menurut Munir et al (2004 : 36), kemampuan keuangan dan anggaran daerah pada dasarnya adalah kemampuan dari pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerahnya. Disini akan lebih mengarah pada aspek kemandirian dalam bidang keuangan, yang biasanya diukur dengan desentralisasi fiskal atau otonomi fiskal daerah, yang dapat diketahui melalui perhitungan kontribusi PAD terhadap total APBD serta kontribusi sumbangan dan bantuan terhadap total APBD. Keuangan dan anggaran daerah merupakan alat fiskal pemerintah daerah, adalah bagian integral dari keuangan negara. Oleh karena itu pengalokasian sumber keuangan diperuntukkan bagi pemerataan pembangunan sekaligus menciptakan stabilitas ekonomi daerah, sehingga peranan keuangan dan anggaran daerah akan semakin penting disamping keterbatasan pendapatan asli daerah dalam mengimbangi perolehan dana dari pemerintah pusat, tetapi juga dikarenakan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi daerah dalam mengakomodir potensi serta pemecahannya, yang membutuhkan peran aktif masyarakat daerah secara keseluruhan (Munir et al, 2004 : 36). Bentuk peran aktif masyarakat ini dapat melalui kesadaran membayar pajak, retribusi, serta turut 13

mendukung dan memberi sumbangsih pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. 2.1.3 APBD APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah. Dengan demikian APBD lalu merupakan alat/wadah untuk menampung berbagai kepentingan publik yang diwujudkan melalui berbagai kegiatan dan program dimana pada saat tertentu manfaatnya benar-benar akan dapat dirasakan oleh masyarakat (Bana, 2001:12). APBD terdiri atas: 1. Anggaran Pendapatan, terdiri atas : a. PAD, meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain b. Dana Perimbangan, meliputi dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil c. Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat 2. Anggaran Belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah. 3. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Dalam APBD tergambar semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk 14

didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kurun satu tahun. APBD juga merupakan instrumen dalam rangka mewujudkan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara (Sumarsono, 2010-115). Suatu anggaran yang telah direncanakan dengan baik, hendaknya disertai pula dengan pelaksanaan yang tertib dan disiplin, sehingga baik tujuan maupun sasaran akan dapat tercapai secara efektif dan efisien. 2.1.4 Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset (Yani, 2008). Menurut Halim (2004 : 73) belanja modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Belanja modal merupakan pengeluaran yang dimaksudkan untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah seperti tanah, gedung, bangunan, peralatan, infrastruktur dan harta tetap lainnya dengan cara pengadaan / penambahan / penggantian / peningkatan / pembangunan aset tetap tersebut. Aset tetap yang dimiliki sebagai akibat dari belanja modal tersebut merupakan hasil 15

dari alokasi dana untuk anggaran belanja modal yang terdapat di laporan APBD dimana besarnya jumlah pengalokasiannya itu didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun sebagai fasilitas publik. 2.1.5 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Dalam Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 pengertian Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih lebih antara realisasi pendapatan- LRA dan belanja, serta penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBD/APBN selama satu periode pelaporan. Dalam LRA juga terdapat penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan dapat berupa hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, pinjaman dalam negeri, dan dari penerimaan kembali pinjaman yang pernah diberikan pemerintah daerah kepada pihak lain, sedangkan pengeluaran pembiayaan dapat berupa pembentukan dana cadangan, penyertaan modal pemerintah daerah, pembayaran pokok pinjaman dalam negeri, dan pemberian pinjaman kepada pihak lain. Selisih antara penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan merupakan pembiayaan neto. Selisih antara Surplus/defisit dengan pembiayaan neto inilah yang disebut sebagai SiLPA (Ardhini, 2011:27). SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lainlain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada fihak ketiga sampai dengan akhir tahun 16

belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan (Kusnandar dan Siswantoro, 2012:8). Ardhini (2011:27) menyatakan bahwa selisih antara pendapatan disatu pihak dengan belanja dan transfer dilain pihak merupakan surplus atau defisit. Surplus terjadi apabila pendapatan lebih besar dibandingkan dengan belanja dan transfer, sedangkan defisit terjadi apabila pendapatan lebih kecil dibandingkan dengan belanja dan transfer. 2.1.6 Pendapatan Asli Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapatan Asli Daerah bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai perwujudan Desentralisasi. Menurut Marihot P. Siahaan (2005) Pendapatan Asli Daerah merupakan Suatu pendapatan yang menunjukan suatu kemampuan daerah menghimpun sumber-sumber dana untuk membiayai kegiatan rutin maupun pembangunan. Pendapatan Asli Daerah ini diharapkan mampu untuk membantu keuangan daerah dalam proses otonomi yang dilakukan. Pendapatan Asli Daerah tentu berbeda-beda disetiap daerah, mengingat kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan itu tergantung dari besarnya potensi sumber daya alam 17

yang dimilikinya dan juga potensi dari daerah itu untuk mengelolanya. PAD bersumber dari: 1. Pajak Daerah 2. Retribusi Daerah 3. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan dan 4. Lain-lain PAD yang sah. Lain-lain PAD yang sah meliputi: a. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan; b. jasa giro; c. pendapatan bunga; d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah. Dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, Daerah dilarang: menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi; dan menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan impor/ekspor. Pendapatan Asli Daerah memiliki instrumen-instrumen yang penting, salah satunya ialah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pemberlakuan pajak daerah sebagai sumber penerimaan daerah pada dasarnya tidak hanya menjadi urusan pemerintah daerah sebagai pihak yang menetapkan dan memungut pajak daerah, tetapi juga berkaitan dengan masyarakat pada umumnya (Marihot P. Siahaan, 2005). 18

2.1.7 Dana Alokasi Umum Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Pada dasarnya dana alokasi umum merupakan salah satu bentuk dari transfer yang bersifat umum (block grant) yang pemanfaatan dan pengalokasiannya sepenuhnya merupakan kewenangan penerima transfer, yaitu pemerintah daerah (Sumarsono, 2003:21). Maka pemerintah daerah dituntut untuk bersikap bijak dalam menentukan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya tiap tahunnya sehingga sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai pemerintah daerah yaitu pembangunan ekonomi yang merata serta tercapainya pelayanan publik yang baik. Dana alokasi umum merupakan komponen terbesar dari dana perimbangan dalam APBN. Totalnya hampir mencapai 75% (tujuh puluh lima persen) dari total dana perimbangan. Jumlah keseluruhan dana alokasi umum ditetapkan sekurangkurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN. Dana alokasi umum suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Menurut Saragih (2003 : 98), celah fiskal (fiscal 19

gap) merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar, tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar, akan memperoleh DAU relatif besar. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah. 2.1.8 Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana alokasi khusus (DAK) merupakan salah satu mekanisme transfer keuangan Pemerintah Pusat ke daerah yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik daerah sesuai prioritas nasional serta mengurangi kesenjangan laju pertumbuhan antar daerah dan pelayanan antar bidang (Ikhlas 2011). DAK memainkan peran penting dalam dinamika pembangunan sarana dan prasarana pelayanan dasar di daerah karena sesuai dengan prinsip desentralisasi tanggung jawab dan akuntabilitas bagi penyediaan pelayanan dasar masyarakat telah dialihkan kepada pemerintah daerah (Ikhlas 2011). Dana alokasi khusus merupakan dana yang dialokasikan dari APBN ke Daerah tertentu untuk mendanai kebutuhan khusus yang merupakan urusan daerah dan juga prioritas nasional antara lain: kebutuhan kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi atau prasarana, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dll. 20

Menurut UU yang baru (UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004), wilayah yang menerima DAK harus menyediakan dana penyesuaian paling tidak 10% dari DAK yang ditransfer ke wilayah, dan dana penyesuaian ini harus dianggarkan dalam anggaran daerah (APBD). Meskipun demikian, wilayah dengan pengeluaran lebih besar dari penerimaan tidak perlu menyediakan dana penyesuaian. Tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua daerah menerima DAK karena DAK bertujuan untuk pemerataan dan untuk meningkatkan kondisi infrastruktur fisik yang dinilai sebagai prioritas nasional. Dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran kementerian negara, yang digunakan untuk melaksanakan urusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi dana alokasi khusus. Dana alokasi khusus digunakan untuk menutup kesenjangan pelayanan publik antardaerah dengan memberi prioritas pada bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana pemerintahan daerah, dan lingkungan hidup (Sulistyowati 2011). Pemanfaatan DAK diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang, dengan adanya pengalokasian DAK diharapkan dapat mempengaruhi pengalokasian anggaran belanja modal, karena DAK cenderung akan menambah aset tetap yang dimiliki pemerintah guna meningkatkan pelayanan publik (Ardhani 2011). 21

2.1.9. Dana Bagi Hasil (DBH) Menurut Kuncoro (2004) Dana Bagi Hasil merupakan pendapatan pemerintah pusat dari eksploitasi sumber daya alam dan dibagi dalam proporsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsi, kota dan kabupaten. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: kehutanan; pertambangan umum; perikanan; pertambangan minyak bumi; pertambangan gas bumi; dan pertambangan panas bumi. 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Beberapa hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan sisa lebih pembiayaan anggaran pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, dan pengalokasian anggaran belanja modal sebagai berikut: 22

1. Syahfitri (2005), judul penelitian adalah adalah Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Variabel Independen dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan Ekonomi (X 1 ), Pendapatan Asli Daerah (X 2 ), Dana Alokasi Umum (X 3 ), sedangkan variabel dependennya adalah Belanja Modal (Y). Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah regresi berganda dan populasi dalam penelitian ini adalah Pemerintahan Kabupaten/Kota yang ada di provinsi Sumatera Utara tahun 2004-2006 sebanyak 22 Kabupaten dan 7 Kota. Hasil penelitian yang dilakukan Syahfitri (2009) adalah secara parsial bahwa Pendapatan Asli Daerah mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap Belanja Modal, sedangkan PDRB dan Dana Alokasi Umum tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Secara simultan bahwa PDRB, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap Belanja Modal. 2. Putro (2011), judul penelitian adalah Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Variabel Independen dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan Ekonomi (X 1 ), Pendapatan Asli Daerah (X 2 ), Dana Alokasi Umum (X 3 ), sedangkan variabel dependennya adalah Belanja Modal (Y). Metode pengambilan sampel yang digunakan 23

adalah analisis regresi berganda dan jumlah populasi dalam penelitian adalah pemerintah daerah kabupaten/kota se-jawa Tengah dari tahun 2004-2006. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putro (2011) adalah DAU memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengalokasian anggaran belanja modal, Sedangkan pertumbuhan ekonomi dan PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. 3. Wandira (2013), judul penelitian adalah Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Pengalokasian Belanja Modal (Studi Pada Pemerintah Provinsi se Indonesia tahun 2012). Variabel Independen dalam penelitian ini adalah Pendapatan Asli Daerah (X 1 ), Dana Alokasi Umum (X 2 ), Dana Bagi Hasil (X 3 ), sedangkan variabel dependennya adalah Belanja Modal (Y). Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah analisis regresi berganda dan populasi dalam penelitian ini adalah Pemerintah Provinsi se-indonesia yang terdiri dari 33 Provinsi Tahun 2012. Hasil penelitian adalah PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal, variabel DAU berpengaruh signifikan negatif terhadap Belanja Modal. Sedangkan DAK dan DBH berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Secara simultan PAD, DAU, DAK dan DBH berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. 24

4. Bradley T. Ewing, James E. Payne, judul penelitian adalah Government Revenue-Expenditure Nexus: Evidence from Latin America. Variabel Independen dalam penelitian ini adalah Revenue (X 1 ) dan Expenditure (X 2 ), sedangkan variabel dependennya Evidence. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Regresi dan populasi dalam penelitian diambil dari data tahunan Chile 1954-1993, Colombia 1950-1993, Ecuador 1951-1994, Guatemala 1958-1994, and Paraguay 1958-1993. Hasil penelitian adalah Dalam kasus Chile dan Paraguay kami menemukan bukti bi-directional kausalitas antara pendapatan dan pengeluaran yang memberikan dukungan untuk hipotesis sinkronisasi fiskal. Dalam skenario ini otoritas fiskal dari Chile dan Paraguay harus mencoba untuk meningkatkan pendapatan dan memotong pengeluaran secara bersamaan dalam rangka untuk mengendalikan defisit anggaran mereka masing-masing. Untuk Kolombia, Ekuador, dan Guatemala kita menemukan bukti casuality dari pendapatan untuk pengeluaran sehingga mendukung hipotesis pajak pembelanjaan. Dalam skenario ini otoritas fiskal Kolombia, Ekuador, dan Guatemala harus memusatkan perhatian pada pendapatan menyesuaikan untuk mengontrol pengeluaran dan ukuran defisit anggaran. 5. Benedict Salazar Jimenez (2009), judul penelitian adalah Fiscal Stress and the Allocation of Expenditure Responsibilities between State and Local Governments: An Exploratory Study. Variabel Independen 25

dalam penelitian ini adalah Fiscal Stress (X 1 ), dan The Allocation of Expenditure Responsibilities (X 2 ), sedangkan variabel dependennya State and Local Governments. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah six separate pooled, cross-sectional, time series models dan populasi dalam penelitian ini adalah 47 negara bagian periode 1980 sampai 2005. Hasil penelitian adalah Pertama, telah menunjukkan bahwa, secara umum, negara bagian dan lokal sektor publik cenderung menjadi lebih desentralisasi ketika pemerintah negara berada dalam kondisi fiskal sulit. Dalam hal fungsional kategori pengeluaran, negara saham perkembangan, keselamatan publik, dan belanja alokasional berkurang karena pemerintah negara menyesuaikan diri dengan kesulitan fiskal. Namun, kondisi fiskal negara-tingkat tidak memiliki efek sistematis pada peran negara dalam pengeluaran redistributif dan pendidikan lokal pembiayaan. Kontribusi kedua adalah penggunaan tiga perspektif untuk menjelaskan antar pemerintah yang dimensi stres fiskal. Hasil penelitian ini memberikan dukungan untuk federalisme fiskal dan model organisasi kendur fiskal, tetapi tidak untuk perspektif kelompok politik atau kepentingan. 6. Purnama (2014), judul penelitian adalah Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA), dan Luas Wilayah Terhadap Belanja Modal Pada Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Periode 2012-2013. Variabel Independen dalam penelitian ini adalah Dana Alokasi Umum 26

(X 1 ), Pendapatan Asli Daerah (X 2 ), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (X 3 ), Luas Wilayah (X 4 ), sedangkan variabel dependennya adalah Belanja Modal (Y). Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik sampling jenuh dan populasi dalam penelitian ini adalah kabupaten/kota di lingkup Provinsi Jawa Tengah yang berjumlah 29 Pemerintah kabupaten dan 6 Pemerintah kota. Hasil penelitian adalah DAU dan Luas Wilayah tidak mempunyai pengaruh secara parsial dan signifikan terhadap alokasi Belanja Modal. Sedangkan PAD dan SiLPA mempunyai pengaruh secara parsial dan signifikan terhadap alokasi Belanja Modal. Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu No Penelitian Judul Variabel yang Digunakan 1 Syahfitri (2009) Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan, Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara 2 Putro (2011) Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Variabel independen: Pertumbuhan ekonomi, PAD, DAU Variabel dependen: Belanja Modal Variabel independen: pertumbuhan Hasil Penelitian Secara parsial Pendapatan Asli Daerah mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap Belanja Modal. Sedangkan, PDRB dan Dana Alokasi Umum tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Secara simultan PDRB, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum mempunyai pengaruh signifikan positih terhadap Belanja Modal. DAU memiliki pengaruh yang signifikan terhadap 27

3 Wandira (2013) 4 Bradley T. Ewing, James E. Payne Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Pada Kabupaten/Kot di Provinsi Jawa Tengah Pengaruh, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Pengalokasian Belanja Modal (Studi Pada Pemerintah Provinsi se Indonesia tahun 2012) Government Revenue- Expenditure Nexus: Evidence from Latin America ekonomi, PAD, DAU Variabel dependen: belanja modal Variabel Independen: Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum,Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil. Variabel Dependen: Belanja Modal Variabel Independen: Revenue and Expenditure Variabel dependen: Evidence from Latin America pengalokasian anggaran belanja modal, Sedangkan pertumbuhan ekonomi dan PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian anggaran belanja modal Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel PAD terhadap Belanja Modal. Sedangkan DAU, DAK, dan DBH terdapat pengaruh yang signifikan terhadap Belanja Modal. Secara simultan PAD, DAU, DAK, dan DBH berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Dalam kasus Chile dan Paraguay kami menemukan bukti bidirectional kausalitas antara pendapatan dan pengeluaran yang memberikan dukungan untuk hipotesis sinkronisasi fiskal. Dalam skenario ini otoritas fiskal dari Chile dan Paraguay harus mencoba untuk meningkatkan pendapatan dan memotong pengeluaran secara bersamaan dalam rangka untuk mengendalikan defisit anggaran mereka masing-masing. Untuk Kolombia, Ekuador, dan Guatemala kita 28

5 Benedict Salazar Jimenez (2009) Fiscal Stress and the Allocation of Expenditure Responsibilities between State and Local Governments: An Exploratory Study Varabel Independen: Fiscal Stress anda The Allocation of Expenditure Responsibilities Variabel Dependen: State and Local Government menemukan bukti casuality dari pendapatan untuk pengeluaran sehingga mendukung hipotesis pajak pembelanjaan. Dalam skenario ini otoritas fiskal Kolombia, Ekuador, dan Guatemala harus memusatkan perhatian pada pendapatan menyesuaikan untuk mengontrol pengeluaran dan ukuran defisit anggaran Pertama, telah menunjukkan bahwa, secara umum, negara bagian dan lokal sektor publik cenderung menjadi lebih desentralisasi ketika pemerintah negara berada dalam kondisi fiskal sulit. Dalam hal fungsional kategori pengeluaran, negara 'saham perkembangan, keselamatan publik, dan belanja alokasional berkurang karena pemerintah negara menyesuaikan diri dengan kesulitan fiskal. Namun, kondisi fiskal negara-tingkat tidak memiliki efek sistematis pada peran negara dalam pengeluaran redistributif dan pendidikan lokal pembiayaan. Kontribusi kedua adalah penggunaan tiga perspektif untuk menjelaskan antar pemerintah yang 29

6 Purnama (2014) Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA), dan Luas Wilayah Terhadap Belanja Modal Pada Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Periode 2012-2013 Variabel Independen: Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA), dan Luas Wilayah Variabel Dependen: Belanja Modal dimensi stres fiskal. Hasil penelitian ini memberikan dukungan untuk federalisme fiskal dan model organisasi kendur fiskal, tetapi tidak untuk perspektif kelompok politik atau kepentingan. Hasil analisis yang diperoleh bahwa PAD dan Luas Wilayah mempunyai pengaruh secara parsial dan signifikan terhadap alokasi Belanja Modal. Sedangakan DAU dan SiLPA tidak mempunyai pengaruh secara parsial dan signifikan terhadap alokasi Belanja Modal Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Syahfitri (2009) adalah terletak pada sampel penelitian yang dilakukan dimana sampel penelitian dilakukan Syahfitri sebanyak 22 kabupaten dan 7 kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara dengan periode penelitian tahun 2004-2006. Penelitian yang dilakukan Putro (2011) menggunakan objek penelitian di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah dengan periode penelitian tahun 2006-2008. Penelitian yang dilakukan Wandira (2013) menggunakan objek penelitian Provinsi se-indonesia yang terdiri dari 33 Provinsi tahun 2012. Penelitian yang dilakukan Bradley T. Ewing, James E. Payne menggunakan objek penelitian dari data tahunan Chile 1954-1993, Colombia 1950-1993, Ecuador 1951-1994, Guatemala 1958-1994, 30

and Paraguay 1958-1993. Penelitian yang dilakukan Benedict Salazar Jimenez (2009) menggunakan objek penelitian di 47 negara bagian periode 1980 sampai 2005. Penelitian yang dilakukan Purnama (2014) menggunakan objek penelitian di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah yang berjumlah 29 kabupaten dan 6 kota. Penelitian ini menambah variabel dana bagi hasil dan sisa lebih pembiayaan anggaran pada variabel independennya, sedangkan dana alokasi khusus dari penelitian Situngkir (2009) dan daerah yang diteliti juga berbeda. Sehingga perbedaan dari penelitian terdahulu menggunakan variabel sisa lebih pembiayaan anggaran, pendapata asli daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil sebagai variabel independennya. 31

2.3 Kerangka Konseptual Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (X 1 ) Gambar 2.1 Kerangka Konseptual H 1 Belanja Modal (Y) Pendapatan Asli Daerah (X 2 ) H 2 Dana Alokasi Umum (X 3 ) H 3 Dana Alokasi Khusus (X 4 ) H 4 Dana Bagi Hasil (X 5 ) H 5 H 6 2.3.1 Hubungan Antara SiLPA dengan Belanja Modal SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan penerimaan pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung (belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. Penelitian yang dilakukan Ardhini (2011) menguatkan hal tersebut dimana SiLPA berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. (Kusnandar dan Siswantoro, 2012) 32

2.3.2 Hubungan Antara PAD dengan Belanja Modal PAD merupakan sumber pembiayaan bagi pemerintahan daerah dalam menciptakan infrastruktur daerah. PAD didapatkan dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Untuk itu, dalam masa desentralisasi seperti ini, pemerintah daerah dituntut untuk bisa mengembangkan dan meningkatkan PAD-nya masingmasing dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki supaya bisa membiayai segala kegiatan penciptaan infrastruktur atau sarana prasarana daerah melalui alokasi belanja modal pada APBD. Semakin baik PAD suatu daerah maka semakin besar pula alokasi belanja modalnya (Ardhani 2011). Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanakan kebijakannya sebagai daerah otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam menghasilkan pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan asli daerah yang diterima, maka semakin besar pula kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam melaksanakan kebijakan otonomi. Pelaksanaan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Salah satu cara untuk meningkatkan pelayanan publik dengan melakukan belanja untuk kepentingan investasi yang direalisasikan melalui belanja modal (Solikin 2010 dalam Ardhani 2011). Menurut Mardiasmo (2002: 132), PAD adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset 33

lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud (Halim 2007). Syahfitri (2009) menyatakan bahwa PAD mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap Belanja Modal. faktor penentu dalam menentukan belanja modal. Hal ini sesuai dengan PP No 58 tahun 2005 yang menyatakan bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan. Setiap penyusunan APBD, alokasi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan mempertimbangkan PAD yang diterima. Sehingga apabila Pemda ingin meningkatkan belanja modal untuk pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, maka Pemda harus menggali PAD yang sebesar-besarnya. 2.3.3 Hubungan Antara DAU dengan Belanja Modal Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan. Pelaksanaan desentralisasi dilakukan dengan pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri daerahnya. Wujud desentralisasi yaitu pemberian dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (UU No. 33/2004). DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah untuk 34

membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan keuangan merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat menggunakan dana perimbangan keuangan (DAU) untuk memberikan pelayanan kepada publik yang direalisasikan melalui belanja modal (Solikin 2010 dalam Ardhani 2011). Hasil penelitian Wandira (2013) menyatakan bahwa DAU mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap Belanja Modal. Penelitian empiris yang dilakukan oleh Holtz-Eakin et. al. (1985) dalam Hariyanto & Adi (2007) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara dana transfer dari pemerintah pusat dengan belanja modal. Prakosa (2004) memperoleh bukti empiris bahwa jumlah belanja modal dipengaruhi oleh dana DAU yang diterima dari pemerintah pusat. Hasil penelitan Harianto dan Adi (2007) semakin memperkuat bukti empiris tersebut. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat (DAU) menjadi semakin tinggi. Hal ini memberikan adanya indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan DAU. Berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan semakin tinggi DAU maka alokasi belanja modal juga meningkat. Hal ini disebabkan karena daerah yang memiliki pendapatan (DAU) yang besar maka alokasi untuk anggaran belanja daerah (belanja modal) akan meningkat. 35

2.3.4 Hubungan Antara DAK dengan Belanja Modal Salah satu perwujudan pelaksanaan otonomi daerah adalah desentralisasi. Pelaksanaan desentralisasi dilakukan oleh pemerintah pusat dengan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahnya. Kepentingan pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah disertai dengan penyerahan keuangan yang terwujud dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah (UU No.33/2004). Dana perimbangan merupakan perwujudan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Salah satu dana perimbangan adalah DAK, yaitu merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan prioritas nasional. Tujuan DAK untuk mengurangi beban biaya kegiatan khusus yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah. Pemanfaatan DAK diarahkan kepada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan publik dengan umur ekonomis panjang, dengan diarahkannya pemanfaatan DAK untuk kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik yang direalisasikan dalam belanja modal (Ardhani 2011). Penelitian yang dilakukan oeh Wandira (2013) DAK mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap Belanja Modal. Sementara lembaga SMERU menyatakan bahwa DAK merupakan salah satu sumber pendanaan untuk belanja modal. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara pemberian dana 36

transfer dari pemerintah pusat (DAK) dengan alokasi anggaran pengeluaran daerah melalui belanja modal. 2.3.5 Hubungan Antara DBH dengan Belanja Modal DBH merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah). DBH yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari 2 jenis, yaitu DBH pajak dan DBH bukan pajak (Sumber Daya Alam). Berdasarkan Undang-Undang PPh yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000), mulai tahun anggaran 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu PPh Pasal 21 serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN). Volume perolehan pajak di daerah berasosiasi kuat dengan besarnya tingkat pendapatan sebagai basis pajak, dengan demikian daerah dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi cenderung akan memperoleh DBH pajak yang lebih tinggi pula (Wahyuni & Adi 2009). DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang bukan berasal dari PAD selain DAU dan DAK. Secara teoritis Pemerintah daerah akan mampu menetapkan belanja modal yang semakin besar jika anggaran DBH 37

semakin besar pula, begitupun Sebaliknya semakin kecil belanja modal yang akan ditetapkan jika anggaran DBH semakin kecil. DBH berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. 2.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena atau keadaan tertentu yang terjadi atau akan terjadi (Erlina, 2008). Berdasarkan kerangka konseptual yang telah dijelaskan, hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H 1 : Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. H 2 : Pendapatan Asli Daerah secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. H 3 : Dana Alokasi Umum secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. H 4 : Dana Alokasi Khusus secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. H 5 : Dana Bagi Hasil secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. 38

H 6 : Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. 39