KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN RUMAH RAMAH BANJIR DI BANTARAN SUNGAI CITARUM KABUPATEN BANDUNG-JAWA BARAT DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR SUNDA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. permukaan bumi yang luasnya 510 juta km 2, oleh karena itu persediaan air di

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Surakarta yang merupakan kota disalah satu Provinsi Jawa Tengah. Kota

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

BAB I PENDAHULUAN - 1 -

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang,

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan fenomena lingkungan yang sering dibicarakan. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

BAB I PENDAHULUAN. Kota Palembang adalah 102,47 Km² dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PRESENTASI ARCHEVENT 2014 TEMA: SEJARAH DAN ARSITEKTUR KOTA DALAM MEMBANGUN KARAKTER KOTA BERBASIS LOKALITAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

IDENTIFIKASI KERUSAKAN AKIBAT BANJIR BANDANG DI BAGIAN HULU SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LIMAU MANIS ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi

meningkat. Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan deras, peluapan air sungai, atau pecahnya bendungan

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi Masyarakat Dalam..., Faizal Utomo, FKIP, UMP, 2016

BAB I PENDAHULUAN. dialami masyarakat yang terkena banjir namun juga dialami oleh. pemerintah. Mengatasi serta mengurangi kerugian-kerugian banjir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

SISTEM KONSTRUKSI BANGUNAN SEDERHANA PADA PERBAIKAN RUMAH WARGA DI DAERAH ROB (Studi Kasus : Kelurahan Kemijen, Semarang Timur)

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 5 HASIL PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dua benua dan dua samudera. Posisi unik tersebut menjadikan Indonesia sebagai

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (2006) menyebutkan

I. PENDAHULUAN. dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan

KEBERADAAN, POTENSI DAN GAGASAN PEMANFAATAN SUNGAI MATI DI SEPANJANG SUNGAI CITARUM DAERAH BANDUNG

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. keadaan responden berdasarkan umur pada tabel 12 berikut ini:

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAGIAN 4 DISKRIPSI HASIL RANCANGAN

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. langsung maupun tidak langsung mengganggu kehidupan manusia. Dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

LAPORAN SEMENTARA PENANGANAN MASALAH KESEHATAN AKIBAT BENCANA ALAM BANJIR DI KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu

KELAYAKAN BANGUNAN RUMAH TINGGAL SEDERHANA (SETENGAH BATA) TERHADAP KERUSAKAN AKIBAT GEMPA INTISARI

PENANGGULANGAN BANJIR SUNGAI MELAWI DENGAN TANGGUL

Kampung Wisata -> Kampung Wisata -> Konsep utama -> akomodasi + atraksi Jenis Wisatawan ---> Domestik + Mancanegara

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Di negara kita Indonesia ini bencana merupakan sebuah peristiwa yang sangat

DATA RUMAH ADAT DI JAWA BARAT

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

SOLUSI MENGATASI BANJIR DAN MENURUNNYA PERMUKAAN AIR TANAH PADA KAWASAN PERUMAHAN

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA SURVEI

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan air memungkinkan terjadinya bencana kekeringan.

JIME, Vol. 3. No. 1 ISSN April 2017 ANALISA PENYEBAB BANJIR DAN NORMALISASI SUNGAI UNUS KOTA MATARAM

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur

2015 DAMPAK BANJIR CILEUNCANG TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI DI KECAMATAN RANCAEKEK KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

AKU & BUMIKU: BANJIR & LONGSOR

BAB II RANCANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN PLPBK

DAFTAR ISI. Desain Premis... BAB I... 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Gempa Bumi di Indonesia... 1

KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Hal ini terungkap mengingat bahwa negara indonesia adalah salah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

SNI 7827:2012. Standar Nasional Indonesia. Papan nama sungai. Badan Standardisasi Nasional

BAB I KONDISI PINGGIRAN SUNGAI DELI

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

A. GAMBAR ARSITEKTUR.

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. khatulistiwa. Curah hujan di Indonesia cukup tinggi dan memiliki cadangan air

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berpotensi rawan terhadap bencana longsoranlahan. Bencana longsorlahan akan

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

BAB I PENDAHULUAN. persentasi uap air di udara semakin banyak uap air dapat diserap udara.

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengertian banjir dalam Buku Pegangan Guru Pendidikan Siaga

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

KONDISI UMUM BANJARMASIN

Transkripsi:

KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN RUMAH RAMAH BANJIR DI BANTARAN SUNGAI CITARUM KABUPATEN BANDUNG-JAWA BARAT DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR SUNDA Nuryanto; Dadang Ahdiat; R. Irawan Surasetja Program Studi Teknik Arsitektur-Departemen Pendidikan Teknik Arsitektur FPTK Universitas Pendidikan Indonesia nuryanto_adhi@upi.edu; http://nuryanto.staf.upi.edu ABSTRAK: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi Kampung Cieunteung di Kabupaten Bandung bagian Selatan yang sangat rawan terjadinya bencana banjir. Permukaan tanah yang lebih rendah dari muka air Sungai Citarum, mengakibatkan air menjadi pasang dan banjir, sehingga banyak rumah-rumah penduduk yang terendam bahkan nyaris tenggelam. Penelitian ini bertujuan untuk membuat konsep perencanaan dan perancangan rumah yang ramah banjir di Kampung Cieunteung. Metoda penelitian menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif, dengan cara mengobservasi dan menggali informasi tentang kondisi rumah-rumah penduduk di Kampung Cieunteung yang sering terendam banjir. Hasil penelitian ini mendapatkan dua temuan dan rumusan penting, yaitu: (1) Perencanaan konsep rumah ramah banjir dengan model pendekatan Arsitektur Sunda (imah panggung); (2) Perancangan desain rumah ramah banjir yang meliputi: rancangan denah lantai rumah, rancangan bentuk tampak rumah, rancangan model atap rumah, dan rancangan strukturkonstruksi rumah yang bersumber pada kearifan lokal Arsitektur Tradisional Sunda. Disamping itu, pertimbangan material juga menjadi pilihan untuk desain, baik material alam maupun pabrikasi. Dua rumusan penting perencanaan dan perancangan rumah ramah banjir di Kampung Cieunteung, Baleendah di Kabupaten Bandung tersebut menjadi salah satu usulan sekaligus pertimbangan bagi pemerintah dalam upaya antisipasi dampak banjir secara arsitektural. Kata kunci: Konsep, perencanaan dan perancangan, rumah ramah banjir, Arsitektur Sunda. PENDAHULUAN Banjir sampai saat ini belum dapat ditangani secara permanen, baik oleh pemerintah pusat, daerah, maupun kota. Penanganan hanya bersifat sementara, itupun dilakukan oleh masyarakat di daerah yang rawan banjir secara swadaya, misalnya bagi yang mampu rumahnya dibuat dua lantai, sehingga pada saat terjadi banjir di lantai satu, maka penghuninya dapat naik ke lantai dua. Bagi masyarakat yang kurang mampu, yang mereka lakukan pindah ke rumah saudaranya atau tetangganya yang dekat, atau hanya mampu bertahan di rumahnya yang terendam. Belum pernah ada rumah yang didesain dengan konsep ramah banjir, yang mampu mengantisipasi agar air tidak merendam bagian inti rumah. Padahal secara arsitektural, konsep rumah banjir tersebut dapat dibuat untuk masyarakat. Hal inilah yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian PPKBK tentang konsep perencanaan dan perancangan rumah ramah banjir dengan pendekatan arsitektur Tradisional Sunda pada lokasi Kampung Cieunteung Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung bagian Selatan. Alasan pemilihan lokasi tersebut karena menjadi daerah terdampak banjir paling parah selama lima tahun terakhir sejak 2011. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian tentang Konsep Perencanaan dan

Perancangan Rumah Ramah Banjir di Bantaran Sungai Citarum Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat dengan Pendekatan Arsitektur Tradisional Sunda. Konsep perencanaan dan perancangan akan difokuskan pada penggalian potensi arsitektur Tradisional Sunda, khususnya rumah panggung (imah kolong) sebagai pendekatan konsep rumah ramah banjir. Kearifan lokal arsitektur Tradisional Sunda ini akan dijadikan sebagai pendekatan dalam penelitian konsep perencanaan dan perancangan rumah ramah banjir, karena memiliki nilai-nilai arsitektural sangat kaya dan unik, seperti rumah panggung dan bentuk atapnya. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu solusi bagi penanganan banjir di Kampung Cieunteung dalam bentuk konsep perencanaan rumah ramah banjir. STUDI PUSTAKA Pengertian Banjir dan Penyebabnya Banjir adalah suatu kondisi dimana tidak tertampungnya air dalam saluran pembuang (kali) atau terhambatnya aliran air di dalam saluran pembuang (Suripin, 2004). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), dijelaskan definisi banjir terdiri dari beberapa kriteria, yaitu (1) Berdasarkan kata kerjanya banjir adalah [v] berair banyak dan deras, kadang-kadang meluap (tt kali dsb): krn hujan turun terus-menerus, sungai itu menjadi banijr; (2) Berdasarkan kata bendanya banjir adalah [n] air yg banyak dan mengalir deras; air bah: pd musim hujan, daerah itu sering dilanda, atau Geo peristiwa terbenamnya daratan (yg biasanya kering) krn volume air yg meningkat; (4) Berdasarkan kata sifatnya banjir juga mengandung arti datang (ada) banyak sekali, misalnya pada kalimat menjelang Lebaran di pasar banjir petasan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan banjir adalah suatu keadaan atau kondisi pada saat musim hujan yang mengakibatkan sungai atau tempat penampungan air secara massal tidak mampu lagi menampung jumlah air, karena terhambatnya aliran air dalam saluran penampungan air, sehingga air naik melebihi batas permukaan normalnya. Beberapa karakteristik yang berkaitan dengan banjir, yaitu: (1) Banjir dapat datang secara tiba-tiba dengan intensitas besar namun dapat langsung mengalir; (2) Banjir datang secara perlahan namun intensitas hujannya sedikit; (3) Pola banjirnya musiman; (4) Banjir datang secara perlahan namun dapat menjadi genangan yang lama di daerah depresi; (5) Akibat yang ditimbulkan adalah terjadinya genangan, erosi, dan sedimentasi. Sedangkan akibat lainnya adalah terisolasinya daerah pemukiman dan diperlukan evakuasi penduduk. Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2001), bahwa banyak faktor menjadi penyebab terjadinya banjir. Namun secara umum penyebab terjadinya banjir dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu banjir yang disebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjir yang diakibatkan oleh tindakan manusia, diantaranya adalah: (1) Curah hujan; Indonesia mempunyai iklim tropis sehingga sepanjang tahun mempunyai dua musim yaitu musim hujan yang umumnya terjadi antara bulan Oktober sampai bulan Maret, dan musim kemarau yang terjadi antara bulan April sampai bulan September. Pada musim penghujan, curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan banjir di sungai dan apabila banjir tersebut melebihi tebing sungai maka akan timbul banjir atau genangan; (2) Pengaruh Fisiografi; Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan kemiringan daerah pengaliran sungai (DPS), kemiringan sungai, geometrik hidrolik (bentuk penampang seperti lebar, kedalaman, potongan memanjang, material dasar sungai), lokasi sungai dll. merupakan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya banjir; (3) Erosi dan Sedimentasi; Erosi dan sedimentasi di DPS berpengaruh terhadap pengurangan kapasitas penampang sungai. Erosi dan sedimentasi menjadi problem klasik sungai-sungai di Indonesia. Besarnya sedimentasi akan mengurangi kapasitas saluran, sehingga timbul genangan dan banjir di sungai; (4) Kapasitas sungai; Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai

dapat disebabkan oleh pengendapan yang berasal dari erosi DPS dan erosi tanggul sungai yang berlebihan dan sedimentasi di sungai yang dikarenakan tidak adanya vegetasi penutup dan penggunaan lahan yang tidak tepat; (5) Kapasitas Drainase yang tidak memadai; Hampir semua kota-kota di Indonesia mempunyai drainase daerah genangan yang tidak memadai, sehingga kota-kota tersebut menjadi langganan banjir di musim hujan; (6) Pengaruh air pasang; Air pasang laut memperlambat aliran sungai ke laut. Pada waktu banjir bersamaan dengan air pasang yang tinggi maka tinggi genangan atau banjir menjadi besar karena terjadi aliran balik (backwater), contohnya terjadi di Kota Semarang dan Jakarta. Arsitektur Tradisional Sunda Jenis dan pola kampung di Tatar Sunda berdasarkan letak geografisnya dibagi ke dalam tiga bagian; (1) Kampung pegunungan, yaitu kampung yang terletak di daerah pegunungan dan dataran tinggi; (2) Kampung dataran rendah, yaitu kampung yang terletak di daerah dataran rendah; (3) Kampung pantai, yaitu kampung yang terletak di tepi pantai, atau di sepanjang pesisir (Ekadjati, 1995). Karakteristik lingkungan alam Tatar Sunda juga memberikan gagasan pemberian nama kampung, antara lain Galudra ngupuk, yaitu kampung yang letaknya di antara dua bukit atau gunung; Pancuran emas yaitu kampung yang posisinya tepat di lereng bukit atau gunung yang menurun dan menghadap ke arah barat daya; Satria lalaku adalah jenis kampung yang berada di lereng bukit atau gunung yang menurun serta menghadap ke arah tenggara; Kancah nangkub yaitu kampung yang letaknya tepat di puncak bukit; Gajah palisungan merupakan jenis kampung yang berada di puncak bukit dalam kondisi tanah yang datar; Bulan purnama yaitu kampung yang posisinya berada di lembah sungai; Gajah katunan merupakan kampung yang letaknya di dataran rendah, di kelilingi bukit atau pasir (Nix dalam Danumihardja, 1987). Berdasarkan mata pencaharian pokok penduduknya, terdapat tiga jenis kampung; (1) Kampung pertanian, yaitu kampung yang kehidupan utama penduduknya dari bidang pertanian dengan mengolah tanah. Bagian terbesar dari Jawa Barat merupakan kampung pertanian; (2) Kampung nelayan, yaitu kampung yang kehidupan utama penduduknya dari hasil penangkapan ikan di laut, karena itu lokasi kampungnya pun berada di tepi pantai atau sekitar pantai; (3) Kampung kerajinan, yaitu kampung yang kehidupan utama penduduknya dari bidang kerajinan tangan atau industri. Bentuk rumah masyarakat Sunda adalah panggung, yaitu rumah berkolong dengan menggunakan pondasi umpak. Bentuk panggung yang mendominasi sistem bangunan di Tatar Sunda mempunyai fungsi teknik dan simbolik. Secara teknik rumah panggung memiliki tiga fungsi, yaitu: tidak mengganggu bidang resapan air, kolong sebagai media pengkondisian ruang dengan mengalirnya udara secara silang baik untuk kehangatan dan kesejukan, serta kolong juga dipakai untuk menyimpan persediaan kayu bakar dan lain sebagainya. Fungsi secara simbolik didasarkan pada kepercayaan Orang Sunda, bahwa dunia terbagi tiga: ambu handap (dunia bawah), ambu luhur (dunia atas), dan tengah (dunia tengah). Dalam mitologi yang berhubungan dengan pertanian, Masyarakat Sunda sangat menghormati Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang dianggap sebagai penjelmaan padi. Oleh karena itu, padi atau beras selalu disimpan secara baik di sebuah tempat khusus yang disebut goah untuk padi dan padaringan untuk beras. Apabila padi tersebut banyak jumlahnya, maka untuk menyimpannya disediakan leuit atau lumbung padi (Suhamihardja dalam Ekadjati, 1980). METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-kualitatifdengan cara mendeskripsikan (menggambarkan/menceritakan) kembali secara tertulis dari hasil

survey lapangan tentang kondisi daerah yang memiliki potensi wisata. Sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisa data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait dan metode survey (observasi) dengan penelitian yang menitikberatkan pada survey yang didukung dengan observasi lapangan untuk mendapatkan data-data tentang perencanaan dan perancangan rumah ramah banjir. Lokasi penelitian ini terletak di wilayah yang sangat rawan banjir, yaitu Kampung Cieunteung Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung bagian Selatan. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: (1) Termasuk daerah terdampak banjir paling parah dalam kurun waktu lima tahun, dari 2011-2015; (2) Lokasi kampung sangat dekat dengan (bantaran) Sungai Citarum sebagai pusat luapan air paling besar pada saat banjir; (3) Merupakan kampung yang masuk dalam daftar daerah rawan dan siaga banjir dalam BNPB provinsi/kabupaten dalam setiap tahunnya. DESKRIPSI HASIL PENELITIAN Kampung Cieunteung masuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan Baleendah yang terletak pada koordinat 7 13-7 71 LS dan 107 31-107 40 BT. Kecamatan Baleendah berbatasan dengan 5 kecamatan lain yang masih merupakan wilayah administratif Kabupaten Bandung (gambar 1). Ketinggian wilayah berada pada 600 m.dpal sampai dengan 715 m.dpal yang sebagian besar wilayahnya merupakan dataran dan perbukitan dengan suhu udara berkisar antara 24-32 Celcius. Kampung Cieunteung, khususnya wilayah Kecamatan Baleendah dilalui oleh dua sungai besar, yaitu Citarum dan Cisangkuy (gambar 2). U Gambar 1: Peta administratif lokasi penelitian Sumber: Sagala, 2014 dan Dokumentasi Peneliti, 2015 Iklim di Kampung Cieunteung secara umum sama dengan wilayah lain di pulau Jawa yang mengenal dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Selama tahun 2013-2014 curah hujan di Kecamatan Baleendah tergolong rendah yaitu 1.856 mm per tahun dengan rata-rata 10 hari hujan per bulan. Kecamatan Baleendah memiliki luas wilayah 34.18 km2,

secara administratif dibagi ke dalam 8 wilayah setingkat desa/kelurahan. Desa Malakasari merupakan desa dengan wilayah terkecil, yaitu seluas 1.576 km2 atau hanya 5% dari luas wilayah Kecamatan Baleendah. Sedangkan Kelurahan Jelekong dengan luas 6.94 km2 atau 20% dari luas kecamatan menjadi kelurahan terluas di Kecamatan Baleendah. Gambar 2: Lokasi Kampung Cieunteung Kecamatan Baleendah Sumber: Sagala, 2014 Peristiwa Banjir di Kampung Cieunteung Elevasi banjir di Kampung Cieunteung berada di bawah perhitungan banjir rencana. Kampung tersebut merupakan salah satu kampung terpadat, dengan jumlah penduduk ± 450 jiwa dari ± 283 KK. Rumah-rumah berderet sangat rapat satu dengan lainnya hampir tidak ada jarak. Perumahan warga dihubungkan oleh jalan-jalan kecil atau bahkan hanya gang yang lebarnya antara 1-1.2 meter. Sedangkan akses warga dihubungkan oleh jalan raya yang lebarnya antara 3.8-4.5 meter. Jarak antar rumah yang sangat padat tersebut berimplikasi terhadap kenyamanan dan keamanan penghuni, terutama pada saat terjadi bencana, misalnya banjir. Elevasi banjir rencana Sungai Citarum pada kawasan ini adalah +659,3 m.dpal, sedangkan elevasi lahan di kawasan ini +658 m.dpal, sehingga ketika banjir besar pada Februari 2010 yang mencapai elevasi 660,3 m.dpal kawasan ini mengalami genangan air setinggi 2,3 m. Masyarakat Kampung Cieunteung sudah terbiasa dilanda banjir dari luapan Sungai Citarum, yang juga berimbas pada daerah-daerah lain, terutama di daerah-daerah yang terletak di bantaran Sungai Citarum di beberapa kecamatan, seperti Dayeuh Kolot dan sekitarnya. Banjir Citarum merupakan sebuah bencana rutin di wilayah Bandung bagian Selatan. Peristiwa banjir besar pada Hari Kamis, 20 November 2014 yang melanda tiga kecamatan, yaitu Baleendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang (gambar 3). Banjir tersebut merendam sebanyak 3.000 rumah penduduk di tiga kecamatan tersebut. Banyak rumah-rumah penduduk yang rusak parah akibat luapan air dari Sungai Citarum dan Cisangkuy. Salah satu kampung yang terkena dampak banjir tersebut adalah Kampung Cieunteung di Kecamatan Baleendah. Ratusan ribu rumah penduduknya rusak berat akibat air, dan ratusan ribu juga warganya banyak yang mengungsi. Peristiwa banjir tersebut terus menerus terulang dari tahun ke tahun, tetapi tidak ada solusinya, terutama keamanan rumah bagi penduduknya.

Gambar 3: Peristiwa banjir di Kampung Cieunteung Kecamatan Baleendah Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015 Dampak banjir di Kampung Cieunteung juga menyisakan tumpukkan sampah yang berserakan (gambar 4). Di antara masyarakat, ternyata ada yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah, padahal mereka mengetahui aturan bahwa dilarang membuang sampah ke sungai. Hal ini seperti menjadi kebiasaan yang umum terjadi di Kampung Cieunteung dan berujung kepada perilaku buruk yang berakibat kepada aliran sungai yang terganggu (mampet). Kampung tersebut sangat rawan banjir, karena letaknya sangat dekat dengan bantaran Sungai Citarum. Salah satu permukiman yang sangat dekat adalah RW 20 berjarak ± 50 meter, sehingga hampir menempel dengan tepi sungai. Di samping itu, muka lantai rumah lebih rendah dibandingkan dengan muka air normal, sehingga pada saat terjadi banjir dan air meluap langsung menimpa permukiman penduduk. Kondisi ini telah berlangsung bertahun-tahun, tetapi masyarakat tetap tidak berubah untuk memperbaiki perilaku membuang sampah sembarangan. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebersihan, kesehatan, dan keamanan masih rendah, sehingga diperlukan sosialisasi dan penegakkan hukum yang lebih tegas dari pemerintah. Gambar 4: Tumpukkan sampah sebagai dampak banjir di Kampung Cieunteung Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Mitigasi Bencana Banjir di Kampung Cieunteung Mitigasi bencana banjir di Kampung Cieunteung mengacu kepada pedoman yang sudah dibuat oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di Kabupaten Bandung, yaitu badan pemerintah daerah yang melakukan penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah. Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana. BPBD menjalankan tugas secara terorgainisir berdasarkan instruksi dari Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BPBN). Berdasarkan UU Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: (a) Tahap pra bencana; (b) Saat tanggap darurat; (c) Pasca bencana. Ketiga hal tersebut secara umum dapat dijabarkan menjadi: (1) Dalam situasi tidak terjadi bencana, meliputi: pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemanduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, pelaksanaan dan penegakkan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, serta persyaratan standar teknis penanggulangan bencana; (2) Dalam situasi terapat potensi terjadinya bencana banjir, meliputi: kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi bencana. Seluruh komponen mitigasi bencana tersebut sudah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung, mulai dari early warning (peringatan dini) sampai dengan simulasi bencana banjir. Kesadaran masyarakat terdampak banjir sangat diperlukan untuk membantu program mitigasi tersebut, seperti tidak membuang sampah sembarangan atau membangun di luar garis sempadan sungai yang telah ditentukan. HASIL DAN PEMBAHASAN Arsitektur Sunda sebagai konsep Rumah yang Ramah Banjir Arsitektur Tradisional Sunda memiliki karakteristik yang sangat khas yaitu rumah panggung. Panggung merupakan rumah berkolong dengan menggunakan pondasi umpak. Teknologi panggung pada bangunan rumah ini dimungkinkan untuk memberikan kehangatan pada penghuninya. Bentuk panggung yang mendominasi sistem bangunan di Tatar Sunda mempunyai fungsi teknik dan simbolik. Secara teknik rumah panggung memiliki tiga fungsi; (1) Tidak mengganggu bidang resapan air; (2) Kolong sebagai media pengkondisian ruang dengan mengalirnya udara secara silang baik untuk kehangatan (di malam hari) atau kesejukan (di siang hari); (3) Dari fungsi, kolong juga dipakai untuk menyimpan persediaan kayu bakar dan lain sebagainya. Fungsi secara simbolik didasarkan pada kepercayaan bahwa dunia terbagi tiga; dunia bawah, tengah dan atas. Dunia tengah merupakan pusat alam semesta dan manusia menempatkan diri sebagai pusat alam semesta, karena itulah tempat tinggal manusia harus terletak di tengah-tengah, tidak ke dunia bawah (bumi) dan atas (langit). Dengan demikian, rumah tersebut harus memakai tiang yang berfungsi sebagai pemisah rumah secara keseluruhan dengan dunia bawah dan atas. Tiang rumah juga tidak boleh terletak langsung di atas tanah, oleh karena itu harus di beri alas yang berfungsi memisahkannya dari tanah yaitu umpak. Panggung memiliki bentuk yang sangat unik karena terdiri dari tiga bagian; kolong, lantai, dan atap. Kolong yang ditopang oleh pondasi umpak memisahkan antara tanah dengan lantai, sehingga seperti melayang. Bentuk atap merupakan metafora dari binatang, seperti julang ngapak yang menyerupai burung julang yang sayapnya sedang mengepak, badak heuay menyerupai badak yang sedang menguap, tagog anjing menyerupai anjing yang sedang ambil posisi duduk, dan lain sebagainya. Lantai panggung terbuat dari bilah bambu yang disebut talupuh. Lantai ini ternyata mampu mengatur sistem aliran udara di dalam rumah, karena sebagai media pengkondisian ruang dengan mengalirnya udara secara silang, baik untuk kehangatan di malam hari atau kesejukan di siang hari.

Konsep Perencanaan dan Perancangan Tapak serta Garis Sempadan Sungai Konsep perencanaan dan perancangan rumah yang ramah terhadap banjir harus memperhatikan pemintakatan pada tapak. Konsep pemintakatan tersebut terdiri dari: (1) Rumah termasuk bangunan lainnya harus diletakkan pada radius lebih dari 100 meter dari tepi sungai, sehingga aman dari limpahan air pada saat banjir; (2) Rumah serta bangunan lainnya harus diatur berdasarkan fungsinya, yaitu: fungsi umum, fungsi pribadi, dan fungsi pelayanan, sehingga tidak bercampur aduk. Berdasarkan hal tersebut, maka fungsi pelayanan diatur paling belakang memiliki radius lebih dari 100 meter, misalnya: selokan air, septictank, MCK komunal, dan lain sebagainya. Fungsi umum diatur paling depan, karena sebagai etalase permukiman sekaligus agar mudah diakses oleh publik, contohnya: sekolah, sarana ibadah, puskesmas, perkantoran, dan lain sebagainya. Sedangkan fungsi pribadi diatur dan diletakkan diantara fungsi umum dan pelayanan (di tengah-tengah), sehingga lebih terlindung dan menjadi inti permukiman; (3) Tapak bangunan dan permukiman harus lebih tinggi dibandingkan dengan permukaan air Sungai Citarum, sehingga pada saat air pasang tetap aman. Oleh karena itu, berdasarkan survey lokasi bekas limpahan lumpur yang terbawa air pada saat banjir tahun 2014 setinggi ± 1-1.75 meter, sehingga sebaiknya tinggi permukaan tanah padat adalah setinggi 1.75 meter; (4) Tata letak rumah termasuk bangunan lainnya pada tapak sebaiknya diberikan jarak antara rumah yang satu dengan lainnya ± 1.5-2 meter sehingga ada ruang gerak yang leluasa untuk penghuni rumah beraktivitas sekaligus sebagai ruang terbuka hunian. Kawasan banjir di Kampung Cieunteung berhubungan erat dengan garis marka sungai atau sempadan sungai (GSS). Oleh karena itu, maka garis sempadan sungai pada daerah banjir adalah sesuai dengan kawasan dataran banjir yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan tentang sempadan sungai, yaitu 100 m kanan dan kiri sungai dihitung dari tepi sungai. Hal tersebut sesuai dengan PP No. 38 tahun 2011, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63 Tahun 1993 tentang sempadan sungai. Salah satu upaya untuk menghindari genangan banjir adalah dengan membuat flood plan area pada kawasan Kampung Cieunteung di Baleendah dengan sistem flood proofing dengan tetap memperhatikan pada radius banjir dari tepi singai. Flood proofing adalah salah satu usaha untuk menghindari banjir dengan cara menyesuaikan tinggi bangunan dari muka tanah agar bebas banjir. Ketinggian lantai bangunan dari muka tanah yang tergenang banjir adalah harus lebih dari 30-50 cm. Ketinggian tersebut diambil dari ukuran ketinggian banjir yang pernah terjadi sebelumnya. Tanah yang pernah digenangi banjir dan membawa tumpukkan lumpur harus dibiarkan mengering dan padat (agar pondasi stabil). Konsep Denah Lantai Rumah Konsep denah rumah yang ramah banjir di Kampung Cieunteung dibagi ke dalam dua lantai utama; (1) Lantai pertama sebagai bagian yang paling dasar, tidak difungsikan sebagai hunian tetapi sebagai ruang kosong khusus untuk memberikan ruang gerak kepada air pada saat banjir. Tinggi lantai ini adalah 350 cm, dengan ruang bebas gerak air setinggi 275 cm dari muka tanah. Di lantai pertama hanya ada toilet satu buah yang tipikal dengan lantai dua serta tangga sebagai sirkulasi vertikal bagi penghuni rumah. Pada lantai pertama dapat juga difungsikan untuk tempat usaha (warung/toko) dengan konsep dinding yang knock-down atau menggunakan dinding partisi. Pada saat musim kemarau, lantai pertama dapat berfungsi sebagai tempat usaha, tetapi pada saat musim hujan, maka seluruh aktivitas berpusat di lantai dua; (2) Lantai kedua adalah pusat aktivitas penghuni, mulai dari tidur, memasak, dan bekerja. Ruang-ruang yang ada di lantai dua meliputi: kamar tidur, toilet, ruang tamu, ruang keluarga, dan dapur. Tinggi lantai dua 350-400 cm dengan bagian plafond dapat dibuka; (3) Di atas lantai kedua, plafond juga dapat difungsikan sebagai mezanine yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang pandang ke luar.

Gambar 5: Konsep denah, potongan, dan tampak rumah Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015 Konsep Tampak Rumah dan Model Atap Konsep tampak rumah yang ramah terhadap bencana banjir di Kampung Cieunteung Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung mengadopsi dari arsitektur imah panggung Masyarakat Sunda, khususnya pada bagian atap. Konsep ini dipilih karena arsitektur imah panggung memiliki potensi keindahan atap yang (mungkin) tidak ditemukan pada arsitektur lain. Bentuk dan istilah nama yang khas memberikan tampilan pada tampak yang khas juga. Di samping itu, konsep model atau bentuk atap tersebut dipakai juga karena lokasi penelitian berada pada seting Tatar Sunda, sehingga arsitekturnya dijadikan sebagai inspirasi konsep rumah ramah banjir. Masyarakat Kampung Cieunteung bebas menggunakan model atap imah panggung dengan jenis apapun sesuai selera. Pada penelitian ini, model atap yang dijadikan contoh adalah julang ngapak kombinasi dengan atap jolopong (gambar 6 dan 7). Konsep fasad rumah sangat terlihat sederhana, tanpa ornamen yang berlebihan. Masyarakat Kampung Cieunteung juga bebas memilih bentuk-bentuk fasad pada rumahnya sesuai selera. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan kesan kesederhanaan pada kehidupan sehari-hari, agar tidak ada kesenjangan sosial walaupun secara finansial mereka mampu. Mayoritas ekonomi masyarakat Kampung Cieunteung adalah menengah ke bawah, sehingga kemampuan membangunnya juga harus disesuaikan dengan kemampuan ekonominya.

Gambar 6: Konsep tampak rumah (alternatif) Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015 Gambar 7: Konsep bentuk-bentuk atap dari rumah panggung Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015 Konsep Struktur dan Konstruksi Rumah Bentuk struktur dan konstruksi imah panggung yang disusun berdasarkan umpak (pondasi), pangadeg (dinding bilik), dan suhunan (atap) adalah satu kesatuan yang utuh (gambar 8). Ketiganya merupakan kompleksitas dari struktur dan konstruksi yang di dalamnya mencakup proses penggunaan material bangunan, mulai dari mengambil, mengawetkan, mengolah sampai dengan menggunakannya. Seluruh material bangunan berasal dari alam dan proses pengolahannya dilakukan secara tradisional (manual). Struktur dan konstruksi juga dilakukan secara tradisional, misalnya teknik sambungan menggunakan paseuk (pasak) dan beungkeut (ikatan) ijuk atau rotan yang sangat kuat. Pada kasus penelitian ini, material rumah boleh menggunakan bahan fabrikasi, atau kombinasi antara alam dengan fabrikasi, misalnya penutup atap menggunakan bahan genteng yang lebih ringan, dinding dari GRC, dan rangka atap dari baja trust (baja ringan).

Gambar 8: Konsep struktur dan konstruksi pada potongan rumah Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015 Pondasi juga boleh menggunakan beton bertulang dengan teknik tertentu. Di atas pondasi tersebut dipasang tiang atau kolom dari kayu, atau bahkan dari beton juga sebagai struktur utama penyangga lantai. Kolom-kolom tersebut dihubungkan oleh balok sloof beton di bagian bawahnya dan balok induk pada bagian atasnya sebagai struktur lantai. Kolom-kolom struktur diletakkan sesuai modulnya, yaitu 300x300 cm dengan dimensi kolom 30x30 cm (bentuk kubus), atau diameter 30-40 cm (bentuk bulat). Kolom struktur menggunakan material kayu dolken atau beton bertulang. Masyarakat bebas menentukannya sesuai selera dan kemampuan finansial. Di bawah setiap kolom tersebut dipasang pondasi foot plat, atau di letakkan pondasi umpak (batu). KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan 1. Rumah panggung pada arsitektur tradisional Masyarakat Sunda sangat relevan untuk dijadikan konsep perencanaan rumah yang ramah terhadap bahaya banjir di Kampung Cieunteung. Keunggulan rumah panggung dapat dilihat pada empat hal; (1) Kolong dengan ketinggian antara 275-300 cm dapat digunakan untuk antisipasi kelebihan air yang meluap pada saat banjir, sehingga lantainya dapat ditinggikan; (2) Pondasi umpak atau tatapakan pada bagian dasar bangunan sebagai struktur utama yang membentuk kolong. Umpak dapat diganti dengan kolom beton atau kayu dolken dengan diameter ± 30-40 cm; (3) Struktur dan konstruksi menggunakan material kayu dan bambu atau juga dapat digantikan dengan fabrikasi (baja ringan), atau sesuai kemampuan masyarakat; (4) Model-model atap khas Arsitektur Sunda, seperti julang ngapak, jolopong, dan capit gunting; 2. Konsep perancangan rumah yang ramah terhadap bahaya banjir di Kampung Cieunteung meliputi tiga komponen utama; (1) Perancangan denah menggunakan bentuk persegi panjang dengan modul dinding 300 cm. Denah terdiri dari dua lantai, dengan pembagian lantai satu sebagai ruang yang sengaja dikosongkan untuk antisipasi air meluap pada saat banjir dengan ketinggian 275-300 cm. Sedangkan pusat hunian berada di lantai dua yang terdiri dari ruang-ruang hunian; (2) Perancangan tampak menggunakan bentuk dasar kotak pada bagian fasadnya, sedangkan atapnya berbentuk julang ngapak sesuai karakter Arsitektur Sunda. Tidak ada ornamen tambahan apapun, tampak rumah terlihat sederhana tetapi tetap unik dan menarik; (3) Perancangan potongan terlihat pada bagian struktur dan konstruksi meliputi pondasi yang terbuat dari batu umpak, kolom atau tiang rumah dari kayu dolken atau beton bertulang berbentuk bulat berdiameter 30-40 cm;

3. Konsep perencanaan dan perancangan rumah ramah banjir di Kampung Cieunteung Kecamatan Baleendah dapat diusulkan kepada pemerintah daerah Kabupaten Bandung sebagai kawasan wisata mitigasi bencana, melalui beberapa tahap, yaitu: (1) Dimasukkan ke dalam program pemerintah daerah setempat, khususnya pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah (BNPBD) Kabupaten Bandung dan Provinsi Jawa Barat tentang mitigasi bencana dan sistem peringatan dini; (2) Dilakukan upaya penelusuran dan penggalian potensi daerah yang ada di Jawa Barat, khususnya tentang Arsitektur Sunda yang dapat dikembangkan sebagai konsep pendekatan desain rumah yang ramah terhadap berbagai bencana, terutama banjir; (3) Sosialisasi secara berkala kepada masyarakat yang daerahnya rawan bencana tentang pentingnya rumah yang ramah banjir, terutama di Kampung Cieunteung. Rekomendasi 1. Penelitian lebih luas perlu dilakukan untuk mengetahui potensi Arsitektur Sunda yang dapat dikembangkan menjadi bangunan-bangunan yang ramah terhadap berbagai bencana, khususnya pada bangunan yang berfungsi sebagai fasilitas publik lainnya, seperti perkantoran, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Di samping itu juga perlu dilakukan penelitian secara mendalam tentang sistem kekuatan (struktur); 2. Pemerintah Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Kabupaten Bandung membuat buku panduan untuk memetakan daerah-daerah mana saja yang rawan terhadap banjir yang berguna sebagai pegangan untuk mengantisipasinya; 3. Membuat kurikulum khusus tentang mitigasi bencana pada jenjang Sekolah Dasar (SD), SLTP, dan SLTA, sebagai upaya pencegahan dini serta penanaman kesadaran dini tentang antisipasi bencana. Di samping itu, para siswa juga diajak belajar secara langsung melalui kunjungan-kunjungan pada daerah-daerah yang rawan terhadap banjir serta studi banding pada kampung-kampung tradisional Masyarakat Sunda; REFERENSI Danumihardja, Sutoyo. 1987. Model Pengembangan Desa: Sebuah Kajian Sosiologi Arsitektur Perdesaan di Jawa Barat. Tesis Magister Arsitektur Program Pasca Sarjana-ITB, Bandung (tidak diterbitkan); Ekadjati, Edi. S. 1980. Masyarakat dan Kebudayaan Sunda. Pusat Ilmiah dan Pembangunan Regional (PIPR)-Jawa Barat, Bandung; Ekadjati, Edi.S. 1995. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Penerbit: Pustaka Jaya, Jakarta; Kodoatie. Robert J, dan Sugiyanto. 2001. Banjir dan Permasalahannya. Penerbit: Pustaka Pelajar, Semarang-Jawa Tengah; Muanas, Dasum. 1983. Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Bandung; Nuryanto. 2015. Arsitektur Tradisional Sunda dalam Bingkai Arsitektur Nusantara. Naskah terbit buku ajar, Departemen Pendidikan Teknik Arsitektur FPTK Universitas Pendidikan Indonesia; Sagala, Saut. 2014. Adaptasi Non Struktural Penduduk Penghuni Permukiman Padat terhadap Bencana Banjir: Studi Kasus Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Working Paper Series No. 5 Febriary 2014. Resilence Development Initiative (RDI); Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan. Penerbit: Yogyakarta: Andi Offset; Tominaga, Masateru, diterjemahkan oleh Gayo, M.Yusuf, Editor Sosrodarsono, Suyono. 1985. Perbaikan dan Pengaturan Sungai. Penerbit: Pradnya Paramita, Jakarta.