HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASlL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

MATERI DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1999 sampai dengan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

TINJAUAN PUSTAKA Ciri dan Keunggulan Rusa Timor

MATERI DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada peternakan sapi rakyat di Kabupaten

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

5 KINERJA REPRODUKSI

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

M. Rizal Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Ambon ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

BAB I. PENDAHULUAN A.

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

I. TINJAUAN PUSTAKA. tidak vital bagi kehidupan tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Gambar 1


HASIL DAN PEMBAHASAN. Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna,

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilakukan dengan purposive sampling, menggunakan 25 ekor

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

Sinkronisasi Estrus dan Inseminasi Buatan pada Rusa Timor

PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

PENYERENTAKAN BERAHI DENGAN PROGESTERON DALAM SPONS PADA TERNAK DOMBA DI KABUPATEN CIANJUR

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk mengatur fertilitas mempunyai pengaruh yang bermakna

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

BAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

BAB I PENDAHULUAN. Gamba. r 1. Beberapa Penyebab Infertilitas pada pasangan suami-istri. Universitas Sumatera Utara

MENGENAL REPRODUKSI ANOA

I. PENDAHULUAN. Kinali dan Luhak Nan Duomerupakandua wilayah kecamatan dari. sebelaskecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Kedua kecamatan ini

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

PENDAHULUAN. sehingga dapat memudahkan dalam pemeliharaannya. Kurangnya minat terhadap

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

TINJAUAN PUSTAKA. Sejarah Perkembangan Kambing PE

PENGARUH JUMLAH PEJANTAN PERKANDANG TERHADAP TINGKAH LAKU REPRODUKSI RUSA TIMOR (Rusa timorensis) BETINA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

KATA PENGANTAR. Penulis

FENOMENA ESTRUS DOMBA BETINA LOKAL PALU YANG DIBERI PERLAKUAN HORMON FSH

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

MENANGANI ANJING BETINA PADA MASA BIRAHI (HEAT)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Proses adaptasi terhadap lingkungan kandang penelitian telah dilakukan pada 13 ekor rusa. Enam ekor yang menunjukkan gejala estrus dan dapat diduga bahwa rusa tersebut tidak bunting. Penelitian Semiadi dan Nugraha (2004) menunjukkan bahwa rusa memiliki kemampuan adaptasi yang baik, hal ini berdasarkan kemampuan bereproduksi pada lingkungan terbatas. Adanya gejala estrus pada enam ekor rusa menunjukkan bahwa rusa tersebut telah mampu beradaptasi terhadap lingkungannya. Dengan demikian, faktor-faktor yang dapat menyebabkan penurunan tingkat konsepsi (infertilitas) dan gangguan siklus estrus seperti adanya stres pada rusa betina pada proses sinkonisasi dan pada pelaksanaan IB tidak dilakukan pembiusan untuk menghindari pengaruh obat bius telah dapat diminimalkan. Pelaksanaan IB pada rusa yang dibius, akan kehilangan nafsu makan dan terlihat lemas, sedangkan pada saat yang sama dibutuhkan mekanisme kerja hormon dan aktivitas enzimatis untuk terjadinya proses ovulasi, transportasi sperma dan ovum serta fertilisasi yang membutuhkan kondisi tubuh yang sehat (Nalley 2006). Untuk memastikan hewan percobaan tidak bunting telah dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan ultrasonografi terhadap enam ekor rusa tersebut. Ada gejala estrus tetapi tidak dapat diamati oleh manusia, maka digunakan pejantan pengusik (teaser). Fenomena ini mengindikasikan karena adanya pheromon yang menarik perhatian lawan jenis kelamin, sehingga rusa betina memunculkan gejala estrus manakala ada pejantan. Rangsangan penciuman (olfactory) pada jantan adalah adanya pheromon yang dilepas oleh betina yang estrus akan menyebabkan hewan jantan untuk mendekati hewan betina (Becker et al. 1992). Selain menimbulkan tingkah laku keinginan betina mendekati jantan, estrogen juga akan menyebabkan betina menjadi lebih menarik untuk jantan, seperti munculnya bau-bauan (pheromon) yang khas estrus, suara dan perubahan fisik (Nalley 2006). Hasil pengamatan estrus terlihat gejala-gejala yang telah tertera dalam tabel 3 sebagai parameter. Dari proses adaptasi tersebut yang dilakukan selama lima bulan dan diperoleh enam ekor rusa betina yang telah memenuhi kriteria untuk diberi perlakuan dalam penelitian. Dengan kriteria yang telah diperoleh 40

sesuai dengan kebutuhan penelitian, yang selanjutnya dilakukan perlakuan sinkronisasi estrus (Gambar 10). Gambar 10 Memasang CIDR-G pada rusa perlakuan menggunakan aplikator dalam kandang jepit Tingkah laku estrus yang ditampakkan oleh rusa betina berupa gejala estrus yang muncul merupakan pertanda siap untuk dikawinkan baik secara alamiah maupun IB (Lampiran 4). Respon estrus adalah betina yang estrus hasil pemberian implan CIDR-G dan penyuntikkan PMSG. Gejala-gejala estrus yang muncul secara tidak berurutan, seperti; (1) nafsu makan turun, (2) mendekati betina lain (gelisah), (4) urinasi, (5) mengintip rusa lain di kandang sebelah, (8) menaiki betina lain, (10) diam dinaiki, (3) mengeluarkan suara khas, (9) tidak menolak vulva dipegang di dalam kandang jepit, (6) vulva merah, bengkak dan basah di dalam kandang jepit, (7) berlendir di dalam vagina (menggunakan spekulum). Estrus itu sendiri merupakan suatu kegiatan fisiologik pada hewan betina yang dimanifestasikan dengan memperlihatkan gejala keinginan kawin. Tingkah laku seksual (sexual behaviour) pada betina dapat dilihat dari tingkah laku seksual, intensitas proestrus dan estrus (Nalley 2006). Asher et al. 1992 menyatakan bahwa untuk memperoleh hasil sinkronisasi estrus yang maksimal pada rusa sebaiknya dikombinasikan dengan preparat hormon lain. Menurut hasil penelitian Fathan (2006) menunjukkan, bahwa pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG memberikan respon estrus yang cukup baik. Dari enam ekor rusa betina yang digunakan dalam penelitian ini semuanya memperlihatkan gejala estrus. Rataan persentase betina estrus yang diperoleh adalah 100 % (Tabel 6). Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Asher (1998) pada sinkronisasi estrus rusa fallow yang menggunakan hormon yang sama memiliki respon estrus 98 100 %. Perlakuan 41

sinkronisasi menggunakan progesteron tunggal pada rusa merah ternyata kurang efektif dan dilaporkan 75 % gagal berespon (Asher et al. 1992). Pada rusa totol yang dilaporkan oleh Mylrea et al. (1992) menunjukkan sinkronisasi dengan hormon yang sama memberikan respon estrus hanya 60 %. Sedangkan rataan respon estrus pada rusa timor yang dilaporkan Nalley (2006) dengan menggunakan hormon progesteron sebesar 82,22 % lebih rendah dari hasil yang diperoleh dari penelitian ini. Tabel 6 Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap onset (timbulnya) estrus Onset estrus (jam) Perlakuan Jumlah <24 jam 24-30 jam >30 jam rusa (ekor)... (n, %)... Progesteron (P4) 2-2 (100) - P4 + PMSG 150 IU 2-2 (100) - P4 + PMSG 300 IU 2 2 (100) - - Sumber: Fathan 2006. Onset estrus adalah sejak rusa betina menunjukkan gejala awal timbulnya estrus yang terlihat setelah pencabutan CIDR-G. Jarak antara waktu pencabutan implan CIDR-G sampai timbulnya gejala awal estrus (onset estrus) yang dihitung dalam satuan jam (Lampiran 3). Secara keseluruhan onset estrus diperoleh antara 22 24 jam dengan rata rata 23,33 jam setelah pencabutan implan CIDR-G. Angka ini lebih lama dibandingkan dengan onset estrus pada rusa fallow yang dilaporkan oleh Jabbour et al. (1992) yang rata rata 20,0 jam dan Anonimus (2004) rata rata 24 jam pada rusa ekor putih, tetapi lebih cepat dibandingkan penelitian Nalley (2006) dengan rataan onset estrus 25,33 jam. Kemudian juga Jabbour et al. (1994) melaporkan onset estrus yang dicapai rusa merah rata rata 43,6 jam dan 34,5-42,14 jam pada rusa yang sama dilaporkan oleh Argo dan Loudon (1992) dengan mengkombinasikan CIDR-G dan estrumet (PGF2α), bahkan pada rusa sambar onset estrus terjadi rata rata 54 jam setelah hormon progesteron dilepas (Semiadi et al. 1998). Fenomena ini mengindikasikan bahwa selama pemberian hormon progesteron selama 14 hari tidak ada pematangan folikel sehingga dengan demikian tidak terjadi estrus. Sebaliknya ketika hormon progesteron dilepas, maka 42

konsentrasi estrogen meningkat dalam waktu singkat dan hambatan terhadap lonjakan LH akan hilang, sehingga terjadi pematangan folikel dan ovulasi. Hasil penelitian Fathan (2006) menunjukkan, bahwa pada perlakuan pemberian CIDR-G saja dan dengan PMSG dosis 150 IU menghasilkan lama estrus yang tidak berbeda nyata (30 jam), sedangkan pada perlakuan yang dikombinasikan dengan PMSG 300 IU memberikan hasil lama estrus berbeda nyata (34 jam) dibanding dengan pemberian CIDR-G dan penyuntikan PMSG dosis 150 IU (Tabel 7). Tabel 7 Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap lama estrus Kisaran lama estrus (jam) Perlakuan Jumlah <24 jam 24-30 jam >30 jam rusa (ekor)... (n, %)... Progesteron (P4) 2-2 (100) - P4 + PMSG 150 IU 2-2 (100) - P4 + PMSG 300 IU 2 - - 2 (100) Sumber: Fathan 2006. Lama estrus pada rusa timor hasil pengamatan berkisar antara 30 34 jam dengan rataan 31,33 jam lebih lama dibandingkan dengan hasil penelitian pada rusa timor yang dilaporkan oleh Nalley (2006) yang memperoleh rataan lama estrus 28 jam. Lebih jauh Asher et al. (1992) melaporkan lama estrus pada rusa merah 44,6 jam, bahkan dapat mencapai 72 jam setelah pencabutan implan. Lama estrus rusa timor hasil penelitian ini hampir sama dengan lama estrus pada rusa fallow, yakni 34,1 46,0 jam (Asher et al. 1990), tetapi lebih pendek dibandingkan dengan lama estrus pada rusa sambar rata rata selama 48 jam (Semiadi et al. 1998b) dan rusa bawean yang disuntik dengan PGF2α dilaporkan oleh Rukman (1990) mencapai lama estrus lebih dari 24 jam. Intensitas estrus adalah taraf aktivitas tingkah laku kawin yang muncul dan nampak dari luar selama proses estrus berlangsung akibat adanya perlakuan terhadap rusa percobaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa setelah IB diperoleh dua kategori intensitas estrus sedang dan tinggi, yaitu satu ekor masih menunjukkan gejala estrus selama 10 jam (W1) dan satu ekor lainnya masih menunjukkan gejala estrus selama empat jam (W2) yang mempunyai intensitas estrus tinggi. Pada rusa yang mempunyai intensitas estrus sedang (W1), yaitu 43

dua ekor masih menunjukan gejala estrus selama enam jam dan yang dua ekor lainnya masih menunjukkan gejala estrus pada saat di IB (W2). Perbedaan taraf aktivitas tingkah laku estrus yang diperlihatkan oleh dua ekor rusa yang mempunyai intensitas estrus tinggi dengan lamanya estrus lebih lama dan lebih cepat munculnya estrus dibandingkan dengan empat ekor rusa yang berintensitas estrus sedang (Lampiran 3). Gambaran ini menunjukkan bahwa pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG secara umum pada rusa percobaan menimbulkan estrus dengan gejala-gejala yang jelas, berkisar pada kriteria satu-delapan sampai 1-10, sedangkan intensitas estrus dengan kriteria satu-enam tidak terlihat (Tabel 8). Fenomena munculnya estrus cenderung lebih cepat dengan intensitas lebih tinggi apabila CIDR-G dikombinasikan dengan PMSG dosis 300 IU dua hari sebelum CIDR-G dicabut. Tabel 8 Lama dan intensitas estrus setelah perlakuan Lama estrus rusa (ekor) No Gejala-gejala estrus Jumlah 0-12 jam 12-24 jam > 24 jam (ekor) 1. Kriteria 1 6 0 0 0 0 2. Kriteria 1 8 0 4 0 4 3. Kriteria 1 10 0 0 2 2 Total (ekor) 0 4 2 6 Keterangan : Kriteria 1-6 Progesteron 14 hari; Kriteria 1-8 Progesteron 14 hari + PMSG 150 IU H-2; Kriteria 1-10 Progesteron 14 hari + PMSG 300 IU H-2. Dari hasil penelitian ini ternyata pemberian CIDR-G maupun kombinasi dengan PMSG meningkatkan intensitas estrus dibandingkan dengan estrus alamiah (Fathan 2006). Dari enam ekor rusa, empat ekor memperlihatkan intensitas estrus sedang dengan tanpa menampakkan gejala saling menaiki dan diam dinaiki. Hanya dua ekor memperlihatkan intensitas estrus tinggi dengan menampakkan gejaja diam dinaiki (Tabel 9). Tabel 9 Inseminasi berdasarkan waktu IB dan kriteria intensitas estrus Waktu inseminasi setelah onset estrus Intensitas estrus 24 jam 30 jam (kriteria) Ekor (%) 1. Tinggi (1-10) 1 (33,33 %) 1 (33,33 %) 2. Sedang (1-8) 2 (66,67 %) 2 (66,67 %) Total (ekor) 3 (50,00 %) 3 (50,00 %) 44

Pemberian CIDR-G dan PMSG dengan dosis yang berbeda ternyata dapat memperlihatkan intensitas estrus yang berbeda (Fathan 2006). Dinyatakan bahwa pemberian dosis PMSG 300 IU memperlihatkan lama estrus lebih panjang, yaitu 34 jam dibanding pemberian dosis PMSG 150 IU kurang dari 30 jam. Hal ini mungkin disebabkan besarnya dosis PMSG (300 IU) merupakan dosis yang lebih optimal sehingga terjadi lonjakan LH yang menstimulir pematangan folikel yang menyebabkan estrus. Pelaksanaan IB merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terdiri atas persiapan/adaptasi hewan jantan dan betina, pengamatan estrus, pelaksanaan inseminasi dan diagnosa kebuntingan. Cara pemeriksaan teknik USG dipusatkan pada pengamatan ovari dan pemeriksaan kebuntingan yang menjadi garapan pada bidang reproduksi. Dengan pemeriksaan teknik USG dapat dilihat gambaran kondisi fetus yang ada di dalam uterus yang sedang bunting. Demikian juga dengan analisa metabolit hormon progesteron dapat digunakan untuk diagnosa kebuntingan pada rusa, yaitu dengan mengoleksikan feses pada dua titik pengambilan dalam satu siklus (fase folikuler dan fase luteal) dari rusa betina tidak estrus dan rusa betina sedang estrus. Pengambilan contoh feses lebih praktis dibandingkan dengan urin karena lebih mudah dalam pengumpulan dari defekasi. Diagnosa kebuntingan menggunakan alat USG karena memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan secara reguler. Namun mempunyai kelemahan harus dilakukan pembiusan yang menimbulkan cekaman pada rusa. Sedangkan analisa metabolit hormon progesteron melalui feses merupakan cara non invasif yang sangat memungkinkan dilakukan dan tanpa menimbulkan cekaman. Diagnosa kebuntingan sebelum dilakukan pemeriksaan USG, yaitu dengan mengamati (tingkah laku estrus) tidak terlihat adanya gejala estrus pada siklus berikutnya. Dari hasil pengamatan gejala estrus pada siklus berikutnya (dua kali siklus) diperoleh lama siklus estrus 13 dan 19 hari terhadap dua ekor rusa yang terlihat menampakkan gejala estrus. Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Nalley (2006) yang dapat memberikan informasi bahwa siklus estrus pada rusa timor berkisar 16 dan 20 hari dan diperkirakan fase estrus berlangsung kira-kira 4,5 hari. Hasil perkiraan kebuntingan dilihat dari gejala tidak kembali estrus pada siklus berikutnya adalah sebesar 66,67 %, yaitu empat dari enam ekor. 45

Pada 24 jam waktu IB setelah onset estrus dijumpai dua ekor (66,67 %) diduga bunting dan 30 jam waktu IB setelah onset estrus juga diketemukan dua ekor (66,67 %) diduga bunting (Tabel 10). Tabel 10 Hasil pengamatan gejala estrus pada siklus berikutnya setelah IB Perlakuan Waktu IB setelah onset estrus (jam) Jumlah rusa (ekor) Hasil pengamatan estrus (ekor) 24 3 2 (66,67 %) 30 3 2 (66,67 %) Total (ekor) 6 4 (66,67 %) Semiadi (1995) menyatakan, bahwa panjang siklus estrus pada rusa tropik berkisar antara 10 dan 23 hari, tetapi siklus estrus pada rusa timor 10 18 hari (pendek) dan 20 22 hari (panjang). Sedangkan pada rusa totol, siklus estrus berlangsung selama 12 sampai 23 hari. Ropstad et al. (1995) melaporkan bahwa siklus estrus reindeer semi-domestik (Rangier tarandus tarandus) di Norwegia adalah rata-rata 19,4 hari (13 33 hari), sedangkan pada betina dewasa rata-rata 20 hari. Pada rusa Dama dama siklus estrus berlangsung selama 24,2 ± 1,3 hari dan hampir sama rata-rata siklus estrus pada rusa Brown brocket (Mazama qouozoubira), yaitu 24,7±1,2 hari dari tiga ekor rusa bunting (masa kebuntingan 208-215 hari) (Pereira et al. 1998). Sementara Semiadi dan Nugraha (2004) melaporkan bahwa siklus estrus pada rusa sambar berkisar antara 17 dan 23 hari. Lebih lanjut Semiadi (1995) melaporkan lama siklus estrus rusa berkisar antara sembilan hari (siklus pendek) dan 26 hari (siklus panjang). Lama siklus estrus bervariasi menurut jenis rusa, lingkungan dan metode pengamatan yang dilakukan. Hasil pemeriksaan USG terhadap keenam ekor rusa menunjukkan satu ekor rusa memperlihatkan adanya gambaran cairan amnion dalam uterus (Gambar 11), sementara lima ekor rusa lainnya tidak ada gambaran tanda kebuntingan (Lampiran 6). Namun demikian gambaran fetus belum terlihat, meskipun pemeriksaan USG dilakukan 60 hari setelah IB. Dilaporkan Nalley et al. (2004), bahwa penentuan saat kebuntingan setelah dilakukan pemeriksaan secara berulang pada hari ke 30, 60 dan 90 hari setelah IB fetus masih sulit dideteksi dan baru terdeteksi pada umur kebuntingan 120 hari. Keterbatasan hasil USG, dimana fetus tidak terlihat pada hari ke-60 kemugkinan 46

disebabkan oleh keterbatasan transducer untuk mencapai fetus yang posisinya profundal. Cairan Amnion Dinding Uterus Gambar 11 Hasil pemeriksaan dengan USG umur kebuntingan 60 hari terdeteksi adanya cairan amnion dalam uterus. Skala dalam gambar jarak 2 bar = 1 cm Dari pengamatan hasil USG, empat ekor yang dinyatakan tidak bunting terdapat gambaran folikel, dimana satu ekor diantaranya mengandung CL. Sedangkan satu ekor lainnya gambaran ovarium tidak terlihat. Dalam penelitian ini juga dilakukan deteksi estrus dengan menggunakan jantan pengusik. Dari hasil pengamatan ternyata, terhadap dua ekor rusa betina terlihat jantan melindungi, mengejar dan mencoba menaiki. Sebaliknya rusa betina mendekati jantan dan menyendiri, kemungkinan rusa betina tersebut dalam keadaan estrus, tetapi empat ekor rusa lainnya tidak menampakkan gejala estrus (Tabel 11). Tabel 11 Deteksi estrus dan gambaran hasil USG pada rusa 60 hari setelah di IB Kalung Hasil USG (tampak pada layar) Respon hasil pejantan Merah 1 Uterus (-), Ovari + Fol + 2 Uterus (-), Ovari + Fol + 3 Uterus (-), Ovari + Fol, CL +/- Kuning 1 Uterus (-), Ovari + Fol skunder - 2 Uterus (-) - 3 Cairan Amnion - Keterangan : + = estrus; +/- = ragu-ragu; - = tidak estrus. Tingkah laku agresif dari jantan di atas, menurut Becker et al. (1992) merupakan tingkah laku percumbuan yang ditandai dengan seleksi untuk 47

mendapatkan pasangan. Selain itu tingkah laku kopulasi biasanya ditandai dengan postur badan yang khas untuk menerima pejantan. Ekspresi gejala estrus disebabkan oleh adanya folikel matang dimana keadaan estrogen meningkat. Pada empat ekor rusa lainnya tidak menampakkan estrus, hal ini dimungkinkan tidak dalam keadaan folikel matang dan folikel matang kadar estrogen meningkat. Hewan yang tidak berhasil bunting, maka siklus estrus akan terjadi secara periodik, dimana akan terdapat fase luteal dan folikuler. Level basal yaitu terjadi pada awal dari fase luteal, progesteron dalam peredaran darah lebih rendah dari 1 ng/ml. Dalam perkembangan CL pada fase luteal, konsentrasi progesteron plasma meningkat sampai 7 ng/ml bahkan selama kebuntingan konsentrasi progesteron plasma dapat mencapai 20 ng/ml. Stanbenfeldt dan Edqvist (1997), menyatakan bahwa ukuran CL mencapai maksimal pada hari ketujuh sampai hari kesembilan dengan ukuran 2,5 cm bahkan sampai 3 cm, tetapi Toelihere (1985) menyatakan bahwa CL biasanya berukuran 1,9 sampai 3,2 cm. Dari hasil diagnosa dengan USG dinyatakan bahwa satu ekor berhasil bunting dari IB pertama (33,33 %), yaitu terlihat gambaran cairan amnion dalam uterus yang diperoleh dari waktu IB 30 jam setelah onset estrus. Diagnosa kebuntingan untuk mendukung hasil USG tersebut, dilakukan analisa terhadap metabolit hormon progesteron untuk mendapatkan konsentrasi progesteron dari rusa tidak estrus (bunting) dibanding dengan rusa yang sedang estrus. Dalam analisa metabolit hormon P4 sebagai pembanding level hormon P4, dilakukan analisa metabolit hormon P4 pada dua ekor rusa betina estrus sebagai level konsentrsi hormon P4 pembanding dan enam ekor rusa perlakuan pada umur kebuntingan 120 hari (trimester kedua). Hasil uji immunoassay progesteron dengan prosedur Immulite/Immulite 1000 Progesteron (PILKPG-9) diperoleh hasil konsentrasi immunoreaktif (ip4) rata-rata < 40 ng/ml tidak menunjukkan kebuntingan dan rata-rata > 40 ng/ml menunjukkan kebuntingan dengan melihat data hasil uji terhadap dua ekor rusa estrus sebagai level pembanding masingmasing 17,80 ng/ml dan 18,00 ng/ml (Lampiran 7). Tiga ekor rusa tidak bunting diperoleh ip4 masing-masing adalah Rusasatu (W1) rata-rata 22,4±6,6 ng/ml, Rusa-dua (W1) rata-rata 36,1±0,7 ng/ml dan 48

Rusa-satu (W2) rata-rata 15,3±0,9 ng/ml (Tabel 12). Namun tiga ekor lainnya menunjukkan kebuntingan sebanyak tiga ekor, yaitu satu ekor (Rusa-tiga,W2) rata-rata 106,75±14,2 ng/ml memperoleh kebuntingan 120 hari dari hasil IB, sedangkan dua ekor rusa lainnya, masing-masing adalah Rusa-tiga (W1) rata-rata 53±13,25 ng/ml dan Rusa-dua (W2) rata-rata 42,5±5 ng/ml menunjukkan kebuntingan trimester-kesatu oleh jantan (Tabel 12). Namun Schoenecker et al. (2004) melaporkan penelitiannya dengan metode uji yang berbeda pada kambing umur kebuntingan 79-93 hari, diperoleh hasil konsentrasi Immunoreactive Pregnanediol-3-Glucuronide (ipdg) dengan rata-rata 23,266 ± 2,817 ng/g feses Tabel 12 Hasil analisa metabolit hormon progesteron pada rusa percobaan tidak estrus dan rusa betina estrus Hasil analisa (ng/ml) Hasil konversi Hewan Tidak bunting Bunting (mikron/g) Estrus R1 17,80 - Fase folikuler R2 18,00 - Fase folikuler R1 22,4±6,6-1,18±0,35 W1 R2 36,1±0,7-1,90±0,2 R3-53±13,25 2,12±0,54 R1 15,3±0,9-0,81±0,16 W2 R2-42,5±5 2,24±1,2 R3-106,75±14,2 5,62±0,69 Keterangan : Hasil uji ip4 pada rusa betina percobaan (perlakuan); bunting trimester kedua hasil IB (R3. W2) dan trimester kesatu oleh pejantan (W2.R2 dan W1.R3). Dari hasil uji ip4 di atas terhadap keenam ekor rusa terdapat variasi hasil dan ada satu ekor yang melonjak konsentrasi progesteronnya, yaitu rata-rata 106,75±14,2 ng/ml. Hasil pengukuran konsentrasi ip4 lebih dari 40 ng/ml dinyatakan bunting adalah rata-rata 42,5±5; 53±13,25 dan 106,75±14,2 ng/ml feses kering atau setara dengan hasil perhitungan yang dikonversikan (Lampiran 8), diperoleh konsentrasi ip4 lebih dari 2 µg/g feses kering menunjukkan kebuntingan dengan hasil rata-rata 2,12±0,54; 2,24±1,2 dan 5,62±0,69 µg/g feses kering. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Garrott et al. (1998) dengan uji radio immunoassay (RIA), menunjukkan rata-rata (±50) progestagen (P4) meningkat secara signifikan pada kijang yang bunting (2,96±1,49 µ/g) dibandingkan dengan kijang yang tidak 49

bunting (0,43±0,26 µ/g). Interval kepercayaan (1,96±SE) untuk kedua grup sangat berbeda (tidak buntig 0,34-0,51 µ/g dan bunting 2,69-3,24 µ/g) dengan rentang konsentrasi yang terukur dari setiap grup adalah 0,09-0,98 (tidak bunting) dan 0,90-8,29 (bunting). Lebih lanjut Garrott et al. (1998), menyatakan bahwa untuk mendapatkan hasil yang akurat tersebut di atas dengan dicoba membuat koleksi sampel untuk mendiagnosa kebuntingan, yaitu mengumpulkan 153 feses secara acak dari kijang betina dewasa di Yellowstore National Park (Wyoming, USA) dan dari kijang tangkapan di Starkey Research Facility (La Grande, Oregon, USA). Hamasaki et al. (2001), juga melaporkan hasil diagnosa kebuntingan rusa sika (Cervus nippon) pada pertengahan dan akhir periode kebuntingan dengan analisa feses steroid diperoleh konsentrasi progesteron meningkat secara signifikan pada rusa betina bunting dibandingkan pada rusa betina yang tidak bunting. Kebuntingan hasil IB yang diperiksa melalui teknik USG dan didukung dengan hasil analisa feses progesteron (ip4) yang diuji di Laboratorium Klinik Prodia Pusat Jakarta merupakan metode yang dapat dilakukan untuk diagnosa kebuntingan secara non invasif pada rusa. Namun validasi independen menurut Garrott et al. (1998) harus dilakukan sebelum diaplikasikan untuk kegiatan rutin. Sedangkan TR-FIA yang dirancang untuk pasien rumah sakit (manusia), tetapi ternyata dengan sedikit dimodifikasi dapat juga digunakan untuk rusa (Takahashi et al. 2002). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengukuran feses progesteron adalah metode yang berguna untuk analisa non invasif fungsi luteal pada rusa. Tabel 13 Satu ekor bunting hasil pemeriksaan dengan USG, didukung dengan hasil analisa metabolit P4 Perlakuan Jumlah rusa bunting Jumlah rusa yang Waktu IB setelah USG Analisis P4 di IB (ekor) onset estrus (ekor, %) (ekor, %) 24 jam 3 0 ( 0,00 %) 0 ( 0,00 %) 30 jam 3 1 (33,33 %) 1 (33,33 %) (1) Pemeriksaan USG 60 hari dan (2) Analisis Metabolit P4 120 hari setelah IB (trimester kedua). Rendahnya angka kebuntingan yang dicapai tersebut di atas (Tabel 13), diduga karena keterlibatan orang baru yang ikut menangani pada saat pelaksanaan 50

IB, sehingga muncul sifat liar rusa yang menyebabkan tingkat kesulitan IB pada rusa timor masih terjadi. Disamping itu juga karena anatomi alat reproduksi rusa timor betina agak kecil dan berbelok ke arah bawah bahkan terdapat empat sampai lima cincin cervix, sehingga ujung gun IB harus mencapai tempat yang baik pada posisi cincin satu atau dua untuk deposisi semen (Nalley 2006). Ketepatan posisi IB, pada inseminasi tanpa pembiusan memungkinkan dilakukan penunggingan pada bagian panggul, sehingga spermatozoa lebih mudah menembus cincin serviks akibat adanya gaya gravitasi. Dalam penelitian ini dijelaskan, bahwa rendahnya fertilitas yang dihasilkan disebabkan menggunakan semen beku kurang dari 40 % motilitas pasca thawing dan deposisi semen berada di mulut cervix bersamaan dengan terganggunya transportasi spermatozoa di dalam saluran reproduksi rusa betina. Dilaporkan Lopez-Gatius (2000) jumlah spermatozoa per dosis IB bervariasi bergantung pada tempat deposisi semen. Semakin dekat deposisi semen dengan tempat fertilisasi, akan semakin tinggi daya fertilitas dan angka kelahirannya. Dugaan lain sebagai penyebab rendahnya angka kebuntingan oleh sebagian dari rusa percobaan dalam penelitian ini mengalami estrus tetapi tidak diikuti dengan ovulasi. Sutama dan Budiarsana (1999) menyatakan bahwa 5 sampai 10 % ternak mengalami estrus tetapi tidak disertai dengan ovulasi sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat konsepsi pada estrus pertama. Selanjutnya Djuwita et al. (2000), juga menyatakan rendahnya angka kebuntingan adalah kemungkinan karena terjadinya kelainan fertilisasi. Tidak setiap ovulasi selalu diikuti oleh pertilisasi dan tidak semua fertilisasi menghasilkan individu normal. Seperti contoh kelainan fertilisasi yang dinyatakan oleh Djuwita et al (2000), yang mungkin terjadi adalah zigot haploid suatu perkembangan hanya salah satu dari sel gamet yang berperan dalam perkembangan berkutnya. Perkembangan lebih lanjut dari embrio haploid akan terhenti karena kegagalan implantasi. Namun demikian pada kelompok rusa yang memperoleh perlakuan waktu IB 30 jam setelah onset estrus menghasilkan angka kebuntingan lebih tinggi (33,33 %) dibandingkan dengan rusa yang diib dengan waktu 24 jam setelah onset estrus (0 %). Angka kebuntingan ini lebih tinggi di atas angka 10 %, hasil 51

IB pada rusa yang dilaporkan Mylrea (1992) dan hasil yang dilaporkan oleh Dradjat (1997) yang melakukan IB secara intraservikal menggunakan semen beku diperoleh angka kebuntingan kurang dari 30 %. Hasil IB pada ruminansia kecil lainnya yang menggunakan teknik intraservikal seperti pada kambing dan domba juga masih rendah. Pada ternak kambing peranakan etawah (PE) yang diinseminasi menggunakan semen beku hasil sinkronisasi estrus dengan CIDR-G diperoleh angka konsepsi sebanyak 12,5 50 % (Tambing 2004). Hasil yang lebih rendah pada IB kambing juga dilaporkan oleh Pomares (1994) dimana angka konsepsi yang diperoleh hanya 7,84 %. Pada domba Merino, IB dengan metode intracervikal juga menghasilkan angka konsepsi sebanyak 9 % (Windsor et al. 1994). Akan tetapi IB yang dilakukan oleh Feradis (1999) dengan metode intraservikal menggunakan semen beku pada domba St. Croix diperoleh angka konsepsi yang sangat tinggi sebesar 60% dan 58,33 % pada domba Garut (Rizal et al. 2005). Walaupun secara keseluruhan terlihat bahwa angka kebuntingan yang dicapai dalam penelitian ini hanya satu ekor masih dibawah angka yang diharapkan, tetapi apabila dilihat dari sifat dan sasaran penelitian pada rusa timor waktu IB 30 jam setelah onset estrus telah menunjukkan keberhasilan. 52