1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian mengenai sebaran bahaya erosi serta respon aliran ini adalah :

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. DAS sebagai suatu sistem hidrologi

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Daur Hidrologi. B. Daerah Aliran Sungai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) seringkali tidak dapat diimplemetasikan secara optimal, karena

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

kebutuhannya, masyarakat merambah hutan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian. Konversi hutan dan lahan juga dilakukan oleh kegiatan pembangunan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Kondisi Hidrologi Daerah Aliran Sungai Kedurus untuk Mengurangi Banjir Menggunakan Model Hidrologi SWAT

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Samudera, Danau atau Laut, atau ke Sungai yang lain. Pada beberapa

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PERNYATAAN... iii. LEMBAR PERSEMBAHAN... iv. KATA PENGANTAR... v. DAFTAR ISI...

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aliran Permukaan 2.2. Proses Terjadinya Aliran Permukaan

BAB III METODE PENELITIAN

APLIKASI MODEL SOIL AND WATER ASSESMENT TOOL (SWAT) UNTUK MENGKAJI DEBIT HARIAN DAN LIMPASAN PERMUKAAN (Kasus: Sub DAS Wakung, Pemalang, Jawa Tengah)

BAB II METODOLOGI 2.1 Bagan Alir Perencanaan

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

I. PENDAHULUAN. Sudah lebih dari dua dekade terakhir banyak publikasi penelitian yang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

SIMULASI PENGARUH SEDIMENTASI DAN KENAIKAN CURAH HUJAN TERHADAP TERJADINYA BENCANA BANJIR. Disusun Oleh: Kelompok 4 Rizka Permatayakti R.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Siklus hidrologi

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... iii. LEMBAR PENGESAHAN... iii. PERNYATAAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL...

STUDI PENILAIAN INDIKATOR KINERJA DAS KONAWEHA AKIBAT PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN BERDASARKAN KRITERIA HIDROLOGIS

BAB III METODE PENELITIAN

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

Geo Image 1 (1) (2012) Geo Image.

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Perubahan Tutupan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Neraca Air dan Sedimentasi Danau Tempe

PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model)

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 3. 1 Wilayah Sungai Cimanuk (Sumber : Laporan Akhir Supervisi Bendungan Jatigede)

III. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini adalah di saluran Ramanuju Hilir, Kecamatan Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung.

II. TINJAUAN PUSTAKA Daur Hidrologi

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENGARUH HUJAN EKSTRIM DAN KONDISI DAS TERHADAP ALIRAN

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung terbagi menjadi 3 Wilayah Sungai (WS), yaitu : (1) WS

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ

DAERAH ALIRAN SUNGAI

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hujan atau presipitasi merupakan jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan

PREDIKSI PERUBAHAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN SEBAGAI USAHA MITIGASI BANJIR DI MANADO

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU. Aji Winara dan Edy Junaidi ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. (Sustainable management). Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan wilayah

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

VI. DISKUSI UMUM DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan lahan yang salah.

APLIKASI HEC-HMS UNTUK PERKIRAAN HIDROGRAF ALIRAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU RISYANTO

Dana Rezky Arisandhy (1), Westi Susi Aysa (2), Ihsan (3) Abstrak

BAB III METODOLOGI Rancangan Penulisan

TINJAUAN PUSTAKA. unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu batasan proses dalam siklus hidrologi. Sebagai salah satu batasan dalam suatu siklus, DAS memiliki input (hujan dan air tanah) dan output (aliran sugai). Proses pada DAS dalam mengubah input menjadi output dipengaruhi oleh banyak faktor yang kompleks, beberapa diantaranya adalah penggunaan lahan dan kondisi tanah (Muma, 2011). Perbedaan dominansi faktor yang mempengaruhi proses pada beberapa DAS akan memberikan respon hidrologi yang berbeda pada setiap DAS. Keberagaman faktor berpengaruh pada proses dalam DAS tidak hanya terjadi pada lingkup antar DAS tetapi juga didalam DAS karena kondisi fisik dalam DAS juga sangat beragam. Kondisi fisik dalam DAS yang berbeda-beda menyebabkan respon yang diberikan pada area-area tertentu dalam DAS juga beragam, sehingga dibutuhkan kajian respon hidrologi dalam lingkup yang lebih kecil dari DAS untuk menentukan lokasi prioritas dalam pengelolaan DAS agar tepat sasaran. Kegiatan pengelolaan DAS selain melakukan kegiatan konservasi secara fisik pada lokasi prioritas juga harus melakukan monitoring. Monitoring dalam DAS dapat dilakukan dengan mengamati kondisi regim aliran melalui data debit. Kendala yang sering timbul dalam kegiatan monitoring ini adalah ketersediaan data dengan kualitas yang baik. Data debit dengan kualitas baik biasanya terdapat pada daerah hilir dengan area tangkapan yang sangat luas sedangkan kegiatan konservasi pada umunya dilakukan pada daerah hulu dan cakupanya kecil. Kendala keterbatasan data debit dengan kualitasa data yang baik juga terjadi di Sub DAS Wakung yang merupakan hulu DAS Comal. Kondisi tutupan lahan di sub DAS Wakung relatif beragam dari sangat rapat hingga terbuka. Sebagian area di Sub DAS Wakung memiliki tutupan lahan seperti berupa lahan terbuka seperti pada Gambar 1. Kondisi tersebut tentunya memerlukan pengelolaan yang tepat dan dikontrol secara intensif untuk mengetahui keberhasilan program. Kegiatan monitoring tersebut membutuhkan data debit rata- 1

rata harian untuk mengetahui kondisi hidrologi dalam DAS. Keterbatasan data debit yang ada di Sub DAS Wakung, mengahruskan adanya pendekatan (Model) untuk mengetahui data debit dalam kegiatan monitoring. Gambar 1 Kondisi tutupan lahan di Sub DAS Wakung di musim penghujan Model yang mampu mensimulasikan proses dalam DAS denga baik adalah model terdistribusi dimana karakteristik juga ikut dipertimbangkan dalam penginputan model. Beberapa model berbasis proses fisik yang terdistribusi yaitu SHE, TOPMODEL, HEC, VIC, IHDM, WATFLOOD and SWAT. Model-model tersebut mampu mensimulasikan proses hidrologi secara spasial dan temporal. Model Soil Water and Assessment Tool (SWAT) merupakan salah satu model yang paling banyak diterapkan dan dikaji dalam mensimulasikan proses dalam DAS (Lin,2015). Soil and Water Assesment Tool (SWAT) merupakan salah satu model hidrologis yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). SWAT mampu memodelkan bebrapa proses hidrologi, transport sedimen dan kimia tanah. SWAT dalam pengoprasianya membutuhkan input berupa data karakteristik tanah, data penggunaan lahan, data klimatologi dan data DEM. Selain input utama tersebut SWAT memliki input pilihan lainya, tergantun pada output yang dikehendaki. 1.2. Perumusan Masalah Kegiatan pengelolaan DAS secara fisik identik dengan penentuan lokasi kegiatan konservasi dan monitoring-evaluasi DAS. Kegiatan tersebut tentunya membutuhkan data-data sekunder beberapa di antaranya adalah data debit harian dan tebal limpasan permukaan. Beberapa DAS tidak memiliki data tersebut dengan 2

range panjang dan kualitas kualitas yang baik, seperti yang ada di Sub DAS Wakung. Sehingga langkah alternatif untuk mendapatkan data debit harian adalah dengan pemodelan. Sehubungan dengan hal itu perlu dilakukan kajian menggunakan model mengenai daerah mana yang menyumbang limpasan permukaan terbesar dan data debit. Penentuan lokasi limpasan permukaan terbesar dijadikan sebagai pertimbangan lokasi prioritas pengelolaan DAS. Output debit dijadikan data untuk penilaian kondisi hidrologi DAS berdasakan Koefisien Regim Aliran (KRA). Berdasarkan dari pemikiran tersebut maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana kondisi hidrologi Sub DAS Wakung dilihat dari fluktuasi debit (KRA)? 2. Daerah mana saja yang menyumbang limpasan paling besar di Sub DAS Wakung? Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah disampaikan tersebut maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul APLIKASI MODEL SOIL AND WATER ASSESMENT TOOL (SWAT) UNTUK MENGKAJI DEBIT HARIAN DAN LIMPASAN PERMUKAAN 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengkaji kondisi hidrologi Sub DAS Wakung dilihat dari fluktuasi debit ; 2. Menentukan daerah yang menyumbang limpasan paling besar dan faktor yang mempengaruhi di Sub DAS Wakung. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian mengenai sebaran bahaya erosi serta respon aliran ini adalah : 1. Memberikan acuan pengelolaan lahan/das berdasarkan hasil pemodelan sebaran tingkat limpasan permukaan di Sub DAS Wakung 2. Memberikan manfaat untuk ilmu pengetahuan terutama bidang hidrologi dan pengelolaan lahan dimana hasil penelitian ini merupakan pengembangan dari ilmu tersebut. 3

1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) adalah bagian dari daratan yang dibatasi oleh igir pegunungan di mana air hujan yang jatuh dalam DAS akan di tampung dan disimpan sebelum dialirkan melalui sungai utama menuju laut (Asdak, 2004). Salah satu fungsi DAS adalah sebagai ekosistem yang memproses input menjadi output. Proses yang dimaksud adalah proses hidrologi yang memiliki input berupa hujan, air hujan yang jatuh nantinya akan di proses dalam DAS. Terdapat dinamika antara vegetasi, tanah, sungai dan manusia yang berpengaruh pada proses di dalam DAS. Hasil output tergantung pada kondisi pengontrol berupa vegetasi, tanah dan sungai, sehingga setiap DAS memiliki karakteristik output yang berbeda karena kondis DAS nya berbeda. Hasil output DAS berupa debit dan muatan sedimen, besar kecilnya debit dan muatan sedimen merupakan indikator kondisi fisik DAS (Ridwan, 2001). Banyaknya faktor yang mengontrol proses hidrologi dalam DAS, membuat DAS dapat dipandang sebagai sistem hidrologi sepeti ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar 2 Proses Hidrlogi dalam DAS (sumber :http://www.napocor.gov.ph/npcwatershed/index.php/9-about-us) 1.5.2. Limpasan Permukaan Limpasan permukaan terbentuk karena adanya hujan yang jatuh ke permukaan bumi maupun dari lelehan salju. Ada dua jenis limpasan permukaan yaitu limpasan permukaan akibat proses hujan yang jatuh ke permukaan lebih cepat 4

dari proses infiltrasi air kedalam tanah dan limpasan permukaan karena tanah telah jenuh oleh air (Indiarto, 2010). a. Limpasan Permukaan Karena Melebihi Kapasitas Infiltrasi Limpasan permukaan jenis ini terjadi karena kapasitas infiltrasi nilainya lebih kecil dengan intensitas hujan/lelehan salju yang terjadi, sehingga air yang jatuh tidak dapat terserap semua kedalam tanah. Limpasan ini biasanya terjadi saat hujan deras dengan durasi pendek, ditambah dengan faktor tanah yang memiliki tekstur lempung yang antar partikel tanahnya sangat rapat serta adanya tutupan pada permukaan tanah seperti yang terjadi di kawasan urban, b. Limpasan Permukaan Karena Tanah Mengalami Jenuh Air Limpasan permukaan jenis ini terjadi karena tanah telah jenuh oleh air sehingga air hujan yan jatuh tidak mampu terinfiltrasi lagi. Limpasan ini biasanya terjadi karena hujan dengan durasi lama baik intensitas sedang maupun tinggi. Limpasan jenis ini dapat terjadi dimana saja asalkan tanah dalam kondisi basah, tetapi kondisi topografi berupa dataran maupun cekungan akan mempermudah terbentuknya limpasan jenis ini. Dua macam limpasan permukaan di atas berdasarkan proses kejadianya sangat dipengaruhi oleh kondisi yang ada pada permukaan DAS. Limpasan permukaan merupakan salah satu output dari proses hujan yang jatuh kedalam sistem hidrologi DAS, sehingga dapat dikatakan limpasan permukaan mampu menggambarkan kondisi sistem hidrologi dalam DAS (Triatmodjo, 2010). 1.5.3. Model Hidrologi Model hidrologi secara umum merupakan sebuah penyajian secara sederhana dari sistem hidrologi yang kompleks (Harto, 1993). Saat ini berbagai macam model hidrologi telah banyak dikembangkan. Indiarto (2010) mengklasifikasikan model hidrologi diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu : a. Model Fisik model ini merupakan tiruan kondisi asli namun dalam skala yang lebih kecil, biasanya berupa prototipe. Misalkan model fisik dari suatu DAS, prototipe tersebut harus meniru bentuk DAS, topografi maupun 5

parameter lain semirip mungkin agar hasil pemodelan mampu menggambarkan kondisi aslinya. b. Model Analog model ini pada prinsipnya menggambarkan suatu sistem yang akan dimodelkan dengan menganalogikan pada sistem lain yang mirip dan lebih mudah dijalankan. c. Model Matematis model ini menggambarkan respon suatu sistem hidrologi dengan cara menyatakan persamaan, sehingga suatu respon hidrologi dapat dikatahui dengan menghitung persamaan-persamaan parameter yang berpengaruh. Kemajuan teknologi berpengaruh pada perkembangan pemodelan hidrologi. Kini pemodelan mampu digambarkan secara spasial. Berikut ini adalah beberapa model yang mampu menampilkan proses hidrologi secara spasial (Indiarto, 2010) : a. Hydrologic Modeling System (HEC-HMS) HEC-HMS merupakan model yang didesain untuk menggambarkan proses hidrologi secara lengkap pada sistem DAS bertipe dendritik. HEC-HMS sebenarnya merupakan penggabungan dari model global, terdistribusi, konseptual maupun empiris. Analisis secara spasial memungkinkan untuk dilakukan karena software ini mampu menggambarkan proses hidrologi pada tingkat SUB-DAS. b. System Hydrologique European (SHE) SHE merupakan model yang dikembangkan oleh beberapa institut yang berada di Eropa. Model SHE dikembangkan dari presepsi bahwa model curah hujan / limpasan konvensional tidak sesuai untuk banyak permasalahan hidrologi, terutama permasalahan dari dampak aktivitas manusia seperti perubahan penggunaan lahan dan kualitas air. c. Model Rhine Flow Model Rhine Flow adalah model yang mampu memodelkan neraca air secara spasial. Pengembangan model ini bertujuan untuk menyimulasikan debit, kadar lengas, salju dan air tanah pada skala bulan atau 10 harian. Model Rhine flow bekerja dengan rentang waktu yang panjang sehingga aspek hidrolika dan routing banjir diabaikan dalam model ini. 6

1.5.4 Soil and Water Assesmen Tool (SWAT) 1.5.4.1 Konsep Dasar SWAT dikembangkan sejak tahun 1990-an oleh Jeff Arnold untuk USDA ARS (United States Department of Agriculture- Agriculture Research Service). SWAT merupakan model prediksi dalam skala DAS dimana dalam proses prediksinya menggunakan gabungan dari banyak model yang dikembangkan oleh ARS. Sebagian besar model dasar yang digunakan SWAT adalah pengembangan lebih lanjut dari Simulator for Water Resources in Rural Basins Model (SWRRB). Untuk membuat model yang terintegrasi dalam skala DAS pada tahun 1995 model SWRRB dikolaborasi dengan Routing Outputs to Outlet Model (ROTO), namun dalam proses input output parameter antar kedua model terdapat kesulitan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut model SWRRB dan ROTO digabungkan menjadi model SWAT yang mampu secara otomatis mejalankan kedua model tersebut tanpa harus menyesuaikan variabel antar model SWRRB dan ROTO (Neitsch, 2009). SWAT merupakan gabungan beberapa model hidrologi berbasis proses fisik, sehingga mampu menyimulasikan berbagai proses fisik yang ada dalam DAS. Dalam perhitunganya model SWAT membuat unit pemetaan sendiri berdasarkan tumpang susun antara peta penggunaan lahan, peta tanah dan peta lereng yang biasanya disebut dengan Hydrologic Response Unit (HRU). Unit analisis yang lebih besar dibanding HRU adalah sub-das. Unit sub-das di dalamnya memiliki informasi masukan berupa data dari HRU serta data iklim. Variasi pemilihan unit pemetaan ini membuat SWAT lebih fleksibel dalam melakukan analisis. Simulasi proses hidrologi pada suatu DAS menggunakan SWAT secara umum terbagi menjadi dua fase yaitu fase lahan dan fase air. Fase lahan dalam SWAT dapat dilihat pada skala HRU, Sub-DAS, maupun pada skala DAS. Pada fase air dapat dilihat hingga pada tingkat sungai. Fase air merupakan fase penelusuran siklus hidrologi yang dapat didefinisikan sebagai gerakan air, sedimen dan lainnya melalui jaringan saluran DAS ke tempat keluar (outlet) (Junaidi 2009). 1.5.4.2. Limpasan permukaan Model SWAT dalam menghitung limpasan permukaan menggunakan rumus SCS-CN. SCS-CN merupakan model empiris yang telah dikembangkan dari 7

banyak penelitian di Amerika. Model ini dibangun untuk mengestimasi limpasan yang terbentuk dari hujan yang dikontrol oleh faktor penggunaan lahan dan jenis tanah. Model SCS CN dirumuskan sebagai berikut : Q surf = (R day I a ) 2 (R day I a +S)... 1 S = 25.4 ( 100 CN 10)... 2 Dimana Qsurf = Akumulasi surface runoff Rday = Hujan harian Ia = Abstraksi awal S = Retensi CN = Curve Number Abstraksi awal oleh SCS CN diperkirakan memiliki nilai 0.2 sehingga rumus SCS-CN menjadi seperti dibawah ini Q surf = (R day 0.2) 2 (R day +0.8S)... 3 1.5.4.3. Erosi & Sedimentasi Erosi dan hasil sedimen dihitung dengan menggunakan model Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE). Berbeda dengan Universal Soil Loss Equation (USLE), MUSLE menggunakan banyaknya limpasan untuk menyimulasikan proses erosi dan pembentukan sedimen. USLE menggunakan curah hujan sebagai energi erosi. SED = 11.8(Q surf qpeak Area HRU ) 0.56 K USLE C USLE P USLE LS USLE CFRG... 4 Dimana Qsurf = Akumulasi surface runoff qpeak = Debit puncak AreaHRU = Luas area HRU 8

K USLE = Retensi C USLE = Faktor penutup lahan P USLE = Faktor konservasi lahan LS USLE = Faktor topografi CFRG = Faktor pecahan batuan kasar 1.6 Penelitian Sebelumnya Model SWAT merupakan model yang telah lama berkembang; banyak penelitian yang menerapkan model ini untuk berbagai tujuan. Model ini mampu menyimulasikan berbagai proses yang terjadi dalam DAS, sehingga aplikasi tujuanya bervariasi. Rahmad (2013) menggunakan model SWAT untuk memprediksi erosi dan sedimen di DAS Batang Arau, DAS Batang Kuranji, dan DAS Batang Air Dingin Provinsi Sumatera Barat. Selain itu Rahmad juga menyimulasikan beberapa kondisi penggunaan lahan untuk diketahui kombinasi penggunaan lahan mana yang baik untuk DAS kajiannya. Junaidi (2009) menggunakan model SWAT untuk mengetahui pengelolaan lahan yang tepat diterapkan pada DAS kajian. Penentuan pengelolaan lahan yang baik dilihat dari respon erosi dan sedimen dari masing-masing simulasi pengelolaan. Banyak penelitian mengenai aplikasi penggunaan model SWAT dengan melihat parameter erosi serta limpasan permukaan untuk menilai kondisi DAS. Berikut adalah tabel yang menerangkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan menggunakan Model SWAT. 9

Tabel 1. Penelitian Yang Pernah Dilakukan Sebelumnya No Judul Penelitian Tujuan Utama Metode Hasil 1 (Junaidi, 2009) Kajian Berbagai Alternatif Perencanaan Pengelolaan DAS Cisadane Menggunakan Model SWAT 2 (Rahmad, 2013) Estimation of erosion, sediment, and landuse scenarios using ArcSWAT2009 3 (Endrawati, 2013) Analisis Debit Aliran Sungai Menggunakan Model SWAT di Sub DAS Ciasem Kabupaten Subang Jawa Barat 4 (Latifah, 2013) Analisis Ketersediaan Air, Sedimentasi, dan Karbon Evaluasi perencanaan pengelolaan DAS Cisadane dan penentuan perencanaan pengelolaan DAS Cisadane terbaik dengan melihat dampaknya terhadap indikator hidrologi DAS Cisadane Pemodelan SWAT Pemodelan debit, kalibrasi debit, skenario ppengelolaan lahan terbaik Menentukan Pemodelan SWAT Peta sebaran tingkat skenario penggunaan bahaya erosi, Debit lahan yang paling Sedimen, Debit optimal dalam aliran, Skenario rangka Penggunaan Lahan menurunkan laju Terbaik erosi dan sedimentasi di DAS Batang Arau, Batang Kuranji, dan Air Dingin Mengetahui Pemodelan SWAT Hyetograph dan efektivitas hidrograf debit penggunaan model sungai hasil SWAT dalam pemodel SWAT menganalisis debit aliran sungai di Sub DAS Ciasem menggunakan data yang tersedia Mengkaji skenario Pemodelan SWAT Skenario teknologi Pengelolaan Lahan Terbaik serta Nilai 10

Organik dengan Model SWAT pengelolaan lahan di Hulu DAS untuk mengurangi Jeneberang, Sulawesi Selatan sedimen dan karbon organik di hulu DAS Jeneberang 5 (Suryani, 2009) Mengevaluasi Pemodelan SWAT Respon Optimasi Perencanaan kemampuan SWAT karakteristik aliran Penggunaan Lahan menggambarkan ' terhadap perubahan Menggunakan Sistem pengaruh perubahan penggunaan lahan Informasi Geografi (SIG) dan penggunaan lahan dan skenario Soil and Water Assesment terhadap penggunaan lahan Tool (SWAT) (Suatu Studi di karakteristik DAS Cijalupang, Bandung, hidrologi DAS Jawa Barat tersebut dan peren 1.7. Kerangka Pikir Penelitian Penyusunan kerangka pemikiran dari penelitian menggunakan model SWAT didasarkan pada landasan teori yang dipahami dan referensi dari beberapa penelitian terdahulu. Sub DAS Wakung memiliki kondisi lahan yang memerlukan pengelolaan, dalam kegiatan pengelolaan ini diperlukan penetuan lokasi kegiatan dan monitoring. Keterbatasan data hidrologi di sub DAS Wakung mengharuskan untuk melakukan pendeketan/pemodelan. Input data yang dibutuhkan model SWAT yaitu data penggunaan lahan, karakteristik tanah, lereng dan klimatologi diolah unutuk mendapatkan output berupa data debit dan surface runoff. Output model tidak langsung digunakan melainkan harus dikalibrasi terlebih dahulu. Apabila hasil kalibrasi model diterima, maka output model baru bisa digunakan untuk analisis. Output model berupa data debit harian digunakan untuk menghitung nilai Koefisien Regim Aliran (KRA), sedangkan sebaran nilaik ketebalan limpasan permukaan digunakan untuk mengidentifikasi sub DAS bermasalah. 11

Data Pengukuran Debit Sungai Data Penggunaan Lahan, Tanah dan Klimatologi Kondisi Debit Sungai Pemodelan SWAT Prediksi Debit dan Sebaran Surface Runoff Validasi Kalibrasi Diterima Ditolak Analsis Flktuasi Debit Nilai Koefisien Regim Aliran Analsis Sebaran Surface Runoff Lokasi Sub DAS Bermasalah Gambar 3 Kerangka Pikir Penelitian 12