Diano dan Muhammad Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Stimulansia Termasuk Kafein

dokumen-dokumen yang mirip
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Stimulansia Termasuk Kafein

STATUS PASIEN PSIKIATRI. : Hagu Barat Laut, Banda Sakti, Aceh Utara Status Pernikahan : Belum menikah

LAPORAN PSIKIATRI GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR CAMPURAN

Mata: sklera ikterik -/- konjungtiva anemis -/- cor: BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-) Pulmo: suara napas vesikuler +/+ ronki -/- wheezing -/-

PEMERIKSAAN PSIKIATRI

RIWAYAT PSIKIATRI Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 5 Juni 2013, pukul WIB di Poliklinik Psikiatri RSUP Persahabatan.

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN JIWA. PADA Sdr.W DENGAN HARGA DIRI RENDAH. DI RUANG X ( KRESNO ) RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. 1. Inisial : Sdr.

STATUS PSIKIATRI. II. RIWAYAT PSIKIATRI No. Rekam Medis : Autoanamnesis : Alloanamnesis : A. Keluhan Utama. Autoanamnesis.

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

LAPORAN KASUS SKIZOFRENIA HEBEFRENIK

SKILL LAB. SISTEM NEUROPSIKIATRI BUKU PANDUAN MAHASISWA TEHNIK KETERAMPILAN WAWANCARA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

1. Dokter Umum 2. Perawat KETERKAITAN : PERALATAN PERLENGKAPAN : 1. SOP anamnesa pasien. Petugas Medis/ paramedis di BP

: Jl. Petamburan 2 RT 03 RW 03 No.10

I. IDENTITAS PASIEN RIWAYAT PSIKIATRI

SKIZOFRENIA HEBEFRENIK. Siska Nurlaela Dina Astiyanawati Dr. Tuti Wahmurti A.S., dr., Sp.KJ (K)

STATUS PSIKIATRI. Tempat, Tanggal Lahir : Bogor, 11 Februari Suku bangsa /warga Negara : Sunda/ Indonesia

SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

SKIZOFRENIA HEBEFRENIK

Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun

SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A

EPIDEMIOLOGI MANIFESTASI KLINIS

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

A. Pemeriksaan penunjang. - Darah lengkap

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran.

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI HALUSINASI PENDENGARAN DI RUANG SENA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. serta ketidakpastian situasi sosial politik membuat gangguan jiwa menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya distress ( tidak nyaman, tidak tentram dan rasa nyeri ), disabilitas

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

SEORANG LAKI-LAKI 24 TAHUN DENGAN GANGGUAN SKIZOFRENIA HEBEFRENIK (F20.1)

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI. Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ. disusun oleh: Ade Kurniadi ( )

LAPORAN KASUS A. ANAMNESA PSIKIATRI 1. IDENTITAS PASIEN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba, keterusan hingga menyebabkan ketergantungan yang berpotensi

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju

16/02/2016 ASKEP KEGAWATAN PSIKIATRI MASYKUR KHAIR TENTAMEN SUICIDE

2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

MENGHILANGKAN RACUN NAPZA DARI TUBUH KLIEN

BAB II GAMBARAN UMUM RS GRHASIA YOGYAKARTA

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG

CASE REPORT SESSION. Oleh: Denny Maulana Preseptor: Veranita Pandia, dr., SpKJ (K)

BAB I PENDAHULUAN. dapat ditemukan pada semua lapisan sosial, pendidikan, ekonomi dan ras di

BAB 1 PSIKIATRI KLINIK

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang

BAB III TINJAUAN KASUS

BAB I PENDAHULUAN. mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya bebas dari penyakit atau. mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari.

Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 18. secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

LAMPIRAN B DATA SUBJEK DAN KEEMPAT ANAK DI RSJ. SOEHARTO MEERJAN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham),

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 996/MENKES/SK/VIII/2002 TENTANG

BAB 1. PENDAHULUAN. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual

REHABILITASI PADA LAYANAN PRIMER

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akronim dari NARkotika, psikotropika, dan Bahan Adiktif lainnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. lainnya) bukan merupakan hal yang baru, baik di negara-negara maju maupun di

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PEDOMAN PENGGOLONGAN DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA

PENATALAKSANAAN PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN GANGGUAN KONSEP DIRI: HARGA DIRI RENDAH DI RUANG GATHOTKOCO RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG.

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya

REHABILITASI PADA LAYANAN PRIMER

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DAFTAR KOMPETENSI KLINIK

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

Rakhma Nora Ika Susiana *) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

KLASIFIKASI GANGGUAN JIWA

BAB V PENUTUP. yang telah dilakukan oleh peneliti. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif

LAPORAN KASUS SKIZOFRENIA PARANOID PEMBIMBING : DR. A. SYAIFUL HD, SP.KJ

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR: 30 TAHUN 2017 TENTANG

Indonesia Menuju Pelayanan Kesehatan Yang Kuat Atau Sebaliknya?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas

SKIZOFRENIA PARANOID

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering

BAB I PENDAHULUAN. bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan,

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG GANGGUAN JIWA DENGAN DUKUNGAN KELUARGA YANG MEMPUNYAI ANGGOTA KELUARGA SKIZOFRENIA DI RSJD SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit adalah bagian integral dari keseluruhan sistem pelayanan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manic depresif

BAGIAN PSIKIATRI RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI SUMATERA UTARA JL. Tali Air no. 21 Medan PERNYATAAN KESEDIAAN BERPARTISIPASI DALAM PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan

Transkripsi:

besar dibandingkan jumlah yang dilaporkan. Berdasarkan data morbiditas pasien rawat jalan di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2010, gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia paling banyak terdapat pada golongan usia produktif, yaitu 25-44 tahun dengan jumlah kasus baru sebanyak 214 orang. 4 Membedakan antara psikosis akibat metamfetamin, psikosis primer, maupun psikosis yang dieksaserbasi oleh metamfetamin tidaklah mudah. Gejala yang ditimbulkan dapat sangat mirip. Beberapa gejala psikosis akibat metamfetamin sangat khas. Psikosis primer menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM- IV) didiagnosis bila tidak ada bukti penggunaan substansi atau withdrawal, ketika gejala psikotik terjadi selama setidaknya 4 minggu tanpa penggunaan substansi atau ketika gejala psikotik mendahului onset penggunaan substansi dalam jumlah besar. 3 Kasus Tn. E, laki-laki, 25 tahun, Islam, sudah menikah, bekerja sebagai pencuci mobil, pendidikan terakhir Madrasah Tsanawiyah (MTS), suku Ogan, tinggal di dusun Balak Rejo, Batang Hari, masuk Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Propinsi Lampung pada tanggal 12 Januari 2016. Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 27Februari 2016 pada pukul 11.20 WIB. Autoanamnesis dilakukandari pasien dan alloanamnesis dari Tn. S, 48 tahun pendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP) (orang tua pasien). Pasien datang ke UGD RSJ Provinsi Lampung diantar keluarga dengan keluhan marah tanpa sebab yang jelas hingga hampir membacok orang tua pasien. Menurut orang tua pasien, Tn. E biasa berobat jalan di polikllinik jiwa RSJ Provinsi Lampung karena sering marah tanpa sebab yang jelas. Orang tua pasien juga mengatakan bahwa pasien sering bertingkah laku aneh seperti menjampijampi motor sebelum berkendara. Hal ini terjadi pada bulan Februari 2015. Pasien juga mudah marah dan tidak sabar bila keinginannya tidak terpenuhi. Bila pasien marah, dia akan merusak barang dan meninju tembok rumah. Orang tua pasien mengatakan bahwa bibi pasien curiga kalau pasien menggunakan sabu. Hal ini diungkapkan karena melihat kondisi pasien waktu itu yang sering panasdingin, mudah marah, mudah tersinggung, serta berat badan yang rendah. Pasien juga jarang tidur malam dan tampak gelisah. Pasien mengatakan ada yang mengontrol pikiran dan perilaku pasien. Pasien mengatakan ada makhluk gaib (genderuwo) yang menyuruh pasien marah. Pasien terkadang disuruh untuk memukul orang tua pasien. Namun pasien dapat menahannya dan melampiaskannya dengan memukul tembok rumah hingga tangannya terluka. Semenjak peristiwa ini, pasien dibawa ke RSJ Provinsi Lampung. Pasien mendapat pengobatan dan keluhan perlahan hilang. Pasien sempat kontrol dua kali selama dua bulan semenjak berobat pertama kali kemudian tidak kontrol kembali karena keluhan menghilang. Dua bulan terakhir sebelum dirawat, keluhan mudah marah dan tidak sabar muncul kembali. 1 hari sebelum dirawat, pasien mengamuk tanpa sebab dan hampir membacok orang tua pasien. Menurut pasien, makhluk gaib yang dulu pernah dilihatnya, datang dan menyuruhnya untuk membacok orang tua pasien. Pasien tak dapat menahannya. Pasien juga mengatakan memiliki indra keenam yang diwariskan dari almarhum pamannya. Suatu malam, pasien bermimpi bertemu dengan almarhum pamannya yang mengatakan bahwa dia mewariskan indra keenam dan batu merah delima kepadanya. Dalam mimpi tersebut juga dikatakan bahwa batu merah delima tersebut harus diambil olehnya pada malam hari di kebun milik orang tua pasien. Pasien pun menuruti apa yang dikatakan mimpi tersebut dan pergi mengambil batu merah delima pada malam hari. Dia melihat batu merah delima tersebut berpijar terang. Dalam perjalanan menuju kebun, pasien berulang kali melihat sosok makhluk halus seperti kuntilanak, pocong, genderuwo, tuyul, dan jin menghalanginya dan mengatakan jangan diambil kepadanya. Namun pasien tetap mengambil batu merah delima tersebut. Kemudian, pasien mengatakan menelan batu tersebut. Setelah menelan batu tersebut, pasien jadi bisa menyembuhkan segala penyakit dan dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pasien juga mengatakan dapat berkomunikasi dengan alam gaib melalui meditasi. Lebih J Medula Unila Volume 6 Nomor 1 Desember 2016 29

lanjut pasien mengatakan dapat melihat makhluk-makhluk tersebut di dunia nyata. Terkadang, pasien dapat merasakan makhlukmakhluk tersebut menyentuh kulitnya. Pasien tidak terganggu dengan hal tersebut karena menurutnya makhluk tersebut tidak berusaha mencelakainya. Pasien mengatakan pernah menggunakan sabu-sabu selama satu tahun tiap harinya. Sabu-sabu didapatkan dari temannya yang seorang oknum penegak hukum. Pasien awalnya coba-coba. Namun lama kelamaan menjadi konsumsi harian. Pasien merasa semangat bila menggunakan sabu-sabu. Sebaliknya, pasien merasa tidak nyaman dan mudah lelah bila tidak menggunakan sabu-sabu. Pasien menggunakan sabu-sabu dengan cara dihisap langsung ke hidung. Makin lama penggunaan sabu-sabu makin banyak karena menurutnya jumlah yang biasa dikonsumsi tidak berefek lagi. Pasien kemudian berhenti setelah berobat ke RSJ Provinsi Lampung untuk pertama kalinya. Pasien juga merokok dan mengkonsumsi alkohol yang dibarengi penggunaan sabu-sabu. Tidak ada riwayat trauma kepala /penurunan kesadaran, riwayat kejang dan tumor. Riwayat tumbuh kembang pasien menurut orang tua pasien yaitu pada periode prenatal dan perinatal (0-1 tahun), ia lahir secara normal, cukup bulan, dibantu oleh bidan, tidak ada kecacatan waktu lahir. Selama hamil, orang tua pasien tidak memiliki hendaya apapun. Periode sebelum masa kanak (1-6 tahun) tidak didapatkan penyakit/kelainan selama sebelum masa kanak. Selama masa balita, pasien bisa berjalan lebih cepat dibandingkan saudara kandung lainnya. Pasien tidak belajar merangkak. Periode masa kanak awal-akhir (6-12 tahun), selama masa kanak-kanak pasien merupakan anak yang aktif dan cenderung nakal. Pasien pernah tinggal kelas pada saat SD. Periode masa remaja awal-akhir (12-18 tahun), masa remaja pasien dihabiskan pada Madrasah Tsanawiyah. Pasien memiliki banyak teman, mudah bergaul, dan tidak pernah tinggal kelas. Riwayat pendidikan, pasien tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lantaran masalah biaya. Pendidikan terakhir MTS dalam kurun waktu 3 tahun. Selama di MTS pasien tampak seperti anak lain yang bersekolah. Riwayat pekerjaan, setelah lulus MTS, pasien mulai bekerja serabutan. Pasien ikut mengolah kebun milik orang tuanya dan kadang bekerja di bengkel untuk tambahan penghasilan. Pada umur 19 tahun, pasien ikut bekerja pada usaha neneknya di Metro. Riwayat hukum, pasien tidak pernah terjerat masalah hukum. Riwayat perkawinan, pasien sudah menikah 1 kali dengan wanita pilihannya, dan sudah berlangsung selama 3 tahun hingga sekarang. Pasien sudah dikarunia 1 orang anak berumur 3 tahun. Riwayat kehidupan beragama, pasien beragama Islam dan kadang mengerjakan ibadah sholat 5 waktu. Riwayat keluarga, pasien merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Saat ini pasien tinggal dengan istri dan anak pasien. Adik pasien yang kedua meninggal karena kecelakaan motor. Dalam keluarga, tidak ada yang memiliki keluhan seperti pasien. Anggota keluarga rukun satu sama lain. Keterangan Gambar 1. Skema Pedigree Riwayat sosial ekonomi keluarga, pasien tinggal bersama istri dan anak. Biaya hidup keluarga ditanggung oleh dirinya dan istri yang keduanya bekerja pada usaha milik neneknya di Metro. Penghasilan keduanya perhari sekitar 100.000 rupiah. Mereka tinggal di mess milik neneknya bersama pegawaipegawai lainnya. Pasien mudah bergaul dan disenangi oleh teman-temannya. Persepsi J Medula Unila Volume 6 Nomor 1 Desember 2016 30

pasien tentang dirinya, pasien merasa dirinya sakit atau mengalami gangguan jiwa, namun tidak mengerti sebabnya. Pasien sedikit mengerti dan memahami tentang penyakitnya yang membutuhkan pengobatan. Pasien merasa optimis untuk sembuh. Status mental : pasien seorang laki-laki sesuai dengan usia, berperawakan tinggi dengan tinggi sekitar 170 cm, kesan gizi cukup, kulit sawo matang, kuku rapi, perawatan diri cukup. Sikap terhadap pemeriksaan kooperatif. Kesadaran jernih (compos mentis). Perilaku dan aktivitas psikomotor selama wawancara pasien dalam keadaan tenang, kontak mata cukup. Pembicaraan spontan, lancar, intonasi normal, volume cukup, kualitas kurang, artikulasi jelas, kuantitas cukup, amplitudo baik. Keadaan afektif: mood hipotimia, afek menyempit. Keserasian appropriate. Halusinasi: auditorik (+), visual (+), taktil (+). Ilusi tidak ditemukan. Depersonalisasi tidak ditemukan. Derealisasi tidak ditemukan. Proses berpikir: produktivitas cukup, kontinuitas koheren, arus pikiran normal, waham bizar (+), waham kebesaran (+), riwayat waham dikendalikan (+). Taraf pendidikan, pengetahuan umum dan kecerdasan sesuai dengan taraf pendidikan pasien, daya konsentrasi kurang, orientasi (waktu, tempat, dan orang) baik, daya ingat jangka panjang, jangka menengah, jangka pendek dan jangka segera baik. Pikiran abstrak kurang, kalkulasi kurang, visuospasial baik. Norma sosial baik, uji daya nilai baik, penilaian realitas terganggu. Tilikan 2 (dua) yaitu mengakui dan menyangkal pada saat yang bersamaan terhadap penyakitnya. Taraf dapat dipercaya dapat dipercaya. Pemeriksaan tanda vital dan kondisi umum dalam keadaan baik. Berdasarkan diagnosis multiaksial, maka didapatkan: Aksis I : Gangguan mental dan perilaku akibat stimulansia lain termasuk kafein (F15.2), gangguan psikotik residual atau onset lambat (F1x.7). Aksis II : Belum dapat ditentukan Aksis III: Belum dapat ditentukan Aksis IV: o Masalah dengan primary support group (keluarga) dan teman temannya. o Masalah ekonomi dan pekerjaan karena pasien saat ini tidak dapat bekerja sehingga mengandalkan pendapatan orang tua yang sudah lanjut usia. o Masalah hukum/kriminal tetap mengancam jika pasien kemudian mengulangi pemakaian NAPZA. Aksis V : GAF 50 41 (current) GAF 90 81 (HLPY) Rencana terapi pada pasien adalah sebagai berikut a. Psikofarmaka : Antipsikotik atypical (Risperidone 2x2 mg) Risperidone 2x2 mg diberikan selama 5 hari, dipertimbangkan peningkatan dosis berdasarkan tanda dan gejala yang ditemukan. b. Psikoterapi Ventilasi yaitu memberikan kesempatan kepada pasien untuk menceritakan keluhan dan isi hati serta pikiran sehingga mengurangi beban pasien. Konseling dengan cara memberikan pengertian kepada pasien tentang penyakitnya dan memahami kondisinya lebih baik dan menganjurkan untuk berobat teratur. Psikoedukasi: Pasien Membina hubungan dengan pasien dan membuat pasien nyaman sehingga pasien merasa diperhatikan dan dipedulikan sesuai dengan terapi yang komprehensif. Memberikan informasi penting kepada pasien untuk meminum obatnya secara teratur serta menghentikan sama sekali penggunaan zat terlarang. Keluarga Memberikan perhatian kepada pasien dan menciptakan suasana yang nyaman agar pasien nyaman dan dapat terbuka kepada keluarga tentang masalah yang sedang dihadapi. Diberikan kegiatan bermanfaat dirumah yang tidak berisko membahayakan pasien maupun orang lain. Memberikan penjelasan pada keluarga pasien dan orang sekitar pasien untuk memberikan dorongan dan menciptakan lingkungan yang kondusif. Pembahasan Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan afektif, persepsi dan isi pikir yang bermakna serta menimbulkan suatu distress J Medula Unila Volume 6 Nomor 1 Desember 2016 31

(penderitaan) dan disability (hendaya) dalam pekerjaan dan kehidupan sosial sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data-data yang didapat memelalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan rekam medik tidak ditemukan riwayat trauma kepala, demam tinggi atau kejang sebelumnya ataupun kelainan organik. Hal ini dapat menjadi dasar untuk menyingkirkan diagnosis gangguan mental organik (F.0). Dari anamnesa didapatkan riwayat penyalahgunaan obat berupa penggunaan NAPZA jenis sabu sejak tahun 2014 dan terakhir pemakaian adalah bulan Februari 2015 ketika berobat pertama kali. Hal ini dapat menegakkan diagnosis gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (F.1). Selain itu, psikosis primer menurut DSM-IV didiagnosis bila tidak ada bukti penggunaan substansi atau withdrawal, ketika gejala psikotik terjadi selama setidaknya 4 minggu tanpa penggunaan substansi atau ketika gejala psikotik mendahului onset penggunaan substansi dalam jumlah besar. 3 Pasien menggunakan NAPZA sabu-sabu. Sabu-sabu merupakan NAPZA golongan amphetamine-type stimulants atau ATS. Penggunaan sabu-sabu selama hampir setahun dengan taraf dependent serta gejala psikotik yang muncul sebelumnya tidak ada. Hal ini dapat menegakkan diagnosis gangguan mental dan perilaku akibat stimulansia lain termasuk kafein (F15). Pasien kemudian berhenti menggunakan sabu selama 11 bulan. Namun gejala psikotik muncul kembali melampaui jangka waktu khasiat psikoaktifnya. Gejala atau gangguan tersebut memperlihatkan suatu perubahan atau kelebihan dari fungsi yang sebelumnya normal. Hal ini dapat menjadi dasar diagnosa gangguan psikotik residual atau onset lambat (F1x.7) Pasien dapat menyelesaikan pendidikan hingga kelas 3 setara SMP, pernah tinggal kelas saat SD namun bukan karena masalah akademis dan tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pendidikan. Tidak terdapat ciri kepribadian retardasi mental. Penilaian terhadap ciri kepribadian belum dapat dinilai. Pada aksis II belum dapat ditentukan. Pada anamnesis tidak terdapat keluhan medis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium darah lengkap didapatkan hasil dalam keadaan normal. Meskipun demikian, kondisi medis umum belum dapat dipastikan karena hasil pemeriksaan kimia darah belum dilakukan sehingga aksis III belum dapat ditentukan. Aksis IV didapatkan bahwa penyalahgunaan obat mengganggu hubungan (relationship) pasien dengan keluarga dan teman temannya. Masalah ekonomi dan pekerjaan karena pasien saat ini tidak dapat bekerja sehingga mengandalkan pendapatan orang tua yang sudah lanjut usia. Masalah hukum/kriminal tetap mengancam jika pasien kemudian mengulangi pemakaian NAPZA. Penilaian terhadap kemampuan pasien untuk berfungsi dalam kehidupannya menggunakan skala GAF (Global Assessment of Functioning) menurut PPDGJ-III pada aksis V didapatkan GAF saat dirawat (GAF current) adalah 50-41, yaitu gejala berat dan disabilitas beratdalam menjalani aktivitas sehari-hari. GAF HLPY (Highest Level Past Year) adalah 90-81, yaitu tidak ada gejala atau ada gejala minimal, berfungsi baik di semua area, tertarik dan terlibat dalam berbagai aktivitas, efektif secara sosial, secara umum puas dengan kehidupannya. Penilaian GAF ini didasarkan pada riwayat yang pernah hidup normal tanpa gejala psikotik atau disabilitas berat, pernah berfungsi seperti orang normal dan pernah bekerja sebelumnya. Terapi farmakologis pada pasien ini menggunakan antipsikotik atipikal risperidone 2x2 mg diberikan selama 5 hari, dipertimbangkan peningkatan dosis berdasarkan tanda dan gejala yang ditemukan. Risperidon merupakan salah satu obat antipsikotik atipikal. Antipsikotik atipikal memiliki efek samping yang kecil untuk terjadinya Sindrom Ekstrapiramidal dan efek sedatif serta tidak berpengaruh terhadap fungsi kognitif pasien. Obat golongan ini juga tidak memerlukan pemantauan jumlah sel darah putih setiap minggu. 5 Psikoterapi terhadap pasien dan keluarga juga penting dalam menangani pasien dengan gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia. Psikoterapi pada pasien ini terdiri dari ventiliasi, konseling, dan psikoedukasi terhadap pasien dan keluarga. Psikoterapi ventilasi dengan J Medula Unila Volume 6 Nomor 1 Desember 2016 32

cara memberikan kesempatan pada pasien untuk menceritakan keluhan dan isi hatinya sehingga diharapkan dapat mengurangi beban pikiran pasien. Psikoterapi konseling dengan cara memberikan pengertian kepada pasien tentang penyakitnya serta kondisinya yang membutuhkan pengobatan teratur dapat membantu kepatuhan terhadap pengobatan. Psikoterapi psikoedukasi terhadap pasien dan keluarganya penting dalam menjaga rasa aman serta nyaman dalam lingkungannya. Berdasarkan Kepmenkes RI No. 420 tentang Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif pada Gangguan Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit, tindakan penanganan pada pasien dengan penyalahgunaan zat meliputi Gawat darurat NAPZA, Detoksifikasi, Rehabilitasi, Rawat jalan/rumatan. Apabila kondisi pasien memungkinkan, pasien penyalahgunaan NAPZA dapat langsung menjalani rawat jalan/rumatan. Berbagai kondisi yang mandasari gangguan penggunaan NAPZA akan mempengaruhi jenis pengobatan yang akan diberikan kepada pasien, kebijakan untuk merawat dan memulangkan pasien, hasil yang diharapkan, sumber daya manusia yang akan memberikan pelayanan, dan sikap terhadap perilaku pasien. Di bawah ini akan diuraikan beberapa model yang popular dilaksanakan pada masalah gangguan penggunaan NAPZA : 1. Therapeutic Community-TC Model, model ini merujuk pada keyakinan bahwa gangguan penggunaan NAPZA adalah gangguan pada seseorang secara menyeluruh. Dalam hal ini norma-norma perilaku diterapkan secara nyata dan ketat yang diyakinkan dan diperkuat dengan memberikan reward dan sangsi yang spesifik secara langsung untuk mengembangkan kemampuan mengontrol diri dan sosial/komunitas. Pendekatan yang dilakukan meliputi terapi individual dan kelompok, sesi encounter yang intensif dengan kelompok sebaya dan partisipasi dari lingkungan terapeutik dengan peran yang hirarki, diberikan juga keistimewaan dan tanggung jawab. Pendekatan lain dalam program termasuk tutorial, pendidikan formal dan pekerjaan sehari-hari. 6 2. Model Medik, model ini berbasis pada biologik dan genetik atau fisiologik sebagai penyebab adiksi yang membutuhkan pengobatan dokter danmemerlukan farmakoterapi untuk menurunkan gejalagejala serta perubahan perilaku. Program ini dirancang berbasis rumah sakit dengan program rawat inap sampai kondisi bebas dari rawat inap atau kembali ke fasilitas dimasyarakat. 7 3. Model Minnesota, model ini dikembangkan dari Hazelden Foundation and Johnson Institute. Model ini fokus pada abstinen atau bebas NAPZA sebagai tujuan utama pengobatan. Fase perawatan rawat inap termasuk terapi kelompok, terapi keluarga untuk kebaikan pasien dan anggota keluarga lain, pendidikan adiksi, pemulihan dan program 12 langkah. Diperlukan pula staf profesional seperti dokter, psikolog, pekerja sosial, mantan pengguna sebagai addict counselor. 7 4. Model Eklektik, model ini menerapkan pendekatan secara holistik dalam program rehabilitasi. Pendekatan spiritual dan kognitif melalui penerapan program 12 langkah merupakan pelengkap program TC yang menggunakan pendekatan perilaku, hal ini sesuai dengan jumlah dan variasi masalah yang ada pada setiap pasien adiksi. 7 5. Model Multi Disiplin, program ini merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan menggunakan komponen disiplin yang terkait termasuk reintegrasi dan kolaborasi dengan keluarga dan pasien. 7 6. Model Tradisional, tergantung pada kondisi setempat dan terinpirasi darihalhal praktis dan keyakinan yang selama ini sudah dijalankan. Program bersifat jangka pendek dengan aftercare singkat atau tidak sama sekali.komponen dasar terdiri dari: medikasi, pengobatan alternatif, ritual dan keyakinan yang dimiliki oleh sistem lokal, contoh: pondok pesantren, pengobatan tradisional atau herbal. 7 7. Faith Based Model, sama dengan model tradisional hanya pengobatan tidak menggunakan farmakoterapi. 7 Keluarga juga berperan penting dalam kesembuhan pasien. 8 Pengetahuan keluarga mengenai kesehatan mental merupakan awal usaha dalam memberikan iklim yang kondusif J Medula Unila Volume 6 Nomor 1 Desember 2016 33

bagi anggota keluarganya. Keluarga selain dapat meningkatkan dan mempertahankan kesehatan mental anggota keluarga, juga dapat menjadi sumber problem bagi anggota keluarga yang mengalami persoalan kejiwaan keluarganya. 9 Berdasarkan penelitian dari bahan National Mental Health Assosiation (NMHA), diperoleh bahwa banyak ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh lagi. Namun faktanya, NHMA mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan dapat mulai kembali melakukan aktivitasnya. 10 NMHA mengemukakan hal-hal yang perlu diketahui oleh keluarga agar dapat menyikapi dan mengontrol emosi dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, yaitu: 10 Membangun harapan yang realistis dalam keluarga dan kepada penderita gangguan jiwa sehingga keluarga memiliki kesabaran dan tetap mendukung anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Pendekatan secara spiritual membantu keluarga dalam menghadapi penderita gangguan jiwa. Mencari bantuan dari petugas kesehatan ataupun sumber media lainnya dalam mendapatkan informasi yang benar tentang gangguan jiwa. Komunikasi sangat penting untuk membangun kepercayaan antara keluarga dengan penderita gangguan jiwa. Komunikasi yang baik secara tidak langsung dapat membuat penderita gangguan jiwa dapat mengungkapkan perasaan yang dirasakannya dan kelurga diharapkan mengerti bahwa kondisi yang mereka alami. Keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang meliputi: 11 Mengetahui kemampuan keluarga untuk mengenal masalah kesehatan keluarga pasien dengan perilaku kekerasan, keluarga perlu mengetahui penyebab tanda-tanda pasien kambuh dan perilaku maladaftifnya meliputi keluarga perlu mengetahui pengertian prilaku kekerasan, tanda dan gejalanya, cara mengontrol prilaku kekerasaannya dengan cara minum obat dan cara spiritual. Mengetahui kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan mengenai tindakan keperawatan yang tepat dalam mengatasi anggota keluarga dengan prilaku kekerasan, menanyakan kepada orang yang lebih tahu, misalnya membawa kepelayanan kesehatan atau membawa untuk dirawat ke rumah sakit jiwa. Mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan riwayat prilaku kekerasan yang perlu dikaji pengetahuan tentang akibat lanjut perilaku kekerasan yang dilakukan, pemahaman keluarga tentang cara merawat anggota keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan yang perlu dilakukan oleh keluarga, pengetahuan keluarga tentang alat-alat yang membahayakan bagi anggota keluarga dengan riwayat prilaku kekerasan, pengetahuan keluarga tentang sumber yang dimiliki keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan, bagaimana keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan yang membutuhkan bantuan. Mengetahui kemampuan keluarga dalam memodifikasi lingkungan, yang perlu dikaji : pengetahuan keluarga tentang sumbersumber yang dimiliki keluarga dalam memodifikasi lingkungan khususnya dalam merawat anggota keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan, kemampuan keluarga dalam memanfaatkan lingkungan yang asertif. Mengetahui kemampuan keluarga menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang berada di masyarakat, yang perlu dikaji pengetahuan keluarga tentang fasilitas keberadaan pelayanan kesehatan dalam mengatasi perilaku kekerasannya. Pemahaman keluarga tentang manfaat fasilitas pelayanan yang berada di masyarakat, tingkat kepercayaan keluarga terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, apakah keluarga mempunyai pengalaman yang kurang tentang fasilitas pelayanan kesehatan, apakah keluarga dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat. J Medula Unila Volume 6 Nomor 1 Desember 2016 34

Fungsi dasar keluarga adalah untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya dan masyarakat yang lebih luas, meliputi: 11 Fungsi afektif adalah fungsi mempertahankan kepribadian dengan memfasilitasi kepribadian orang dewasa, memenuhi kebutuhan psikologis anggota keluarga, peran keluarga dilaksanakan dengan baik dengan penuh kasih sayang. Fungsi sosial adalah memfasilitasi sosialisasi primer anggota keluarga yang bertujuan untuk menjadikan anggota keluarga yang produktif dan memberikan status pada anggota keluarga, keluarga tempat melaksanakan sosialisasi dan interakasi dengan anggotanya. Fungsi reproduksi adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan hidup keluarga, dan menambah sumber daya manusia. Fungsi ekonomi adalah keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan mengembangkan untuk meningkatkan penghasilan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Fungsi perawatan mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar memiliki produktivitas yang tinggi, fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga dibidang kesehatan. Simpulan Diagnosa kasus ini adalah gangguan mental dan perilaku akibat stimulansia termasuk kafein dan gangguan psikotik residual atau onset lambat. Pengobatan pada pasien dengan penyalahgunaan NAPZA disertai gangguan psikotik tidak hanya berupa psikofarmaka melainkan psikososial yang berpusat pada pasien serta keluarganya. Daftar Pustaka 1. Rusdi M. Diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya. 2007. 2. Ghaffari N, Ziaddini H, Saffari ZS, Kheradman A, Pouya F. A study of the phenomenology of psychosis induced by metamfetamin: a preliminary research. Addict Health. 2014; 6(3-4):105-11. 3. Grant KM, Levan TD, Wells SM, dkk. Metamfetamin-associated psychosis. J Neuroimmune Pharmacol. 2012; 7(1):113-9. 4. Kementrian Kesehatan RI. Data dan informasi kesehatan. Kementrian Kesehatan RI; 2014. [diakses tanggal 30 Agustus 2016]. Tersedia dari: www.depkes.go.id 5. Kaplan dan Sadock. Buku ajar psikiatri klinis. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2013. 6. Cakunani A. Mengenal therapeutic community untuk rehabilitasi pasien narkoba. 2015. [diakses tanggal 29 Agustus 2016]. Tersedia dari: www.mirifica.net 7. Anonim. Model terapi dan tahapantahapan rehabilitasi. 2012. [diakses tanggal 29 Agustus 2016]. Tersedia dari: www.gepenta.com 8. Keliat, B.A. Peran serta keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa. Jakarta: EGC; 2003. 9. Notosoedirdjo & Latipun. Kesehatan mental, konsep dan penerapan. Malang: UMM Press; 2005. 10. National Mental Health Assosiation/NHMA. A literature review report. 2001. [diakses tanggal 29 Agustus 2016] Tersedia di: www.nmha.org 11. Friedman MM, Bowden O, Jonas M. Keperawatan keluarga: teori dan praktek. Achir YS, Hamid, editors. Edisi ke-5. Jakarta: EGC. 2010. J Medula Unila Volume 6 Nomor 1 Desember 2016 35