MASJID BERBASIS MASYARAKAT DAN SIGNIFIKANSINYA SEBAGAI RUANG PUBLIK

dokumen-dokumen yang mirip
SETING PERILAKU DAN TERITORIALITAS RUANG SEBAGAI PERWUJUDAN ADAB DI MASJID GADING PESANTREN KOTA MALANG

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan mencapai 60% per tahun (Halim, 2012). ini menurut Tajuddin M. Rasdi dalam bukunya Rekabentuk Masjid Sebagai

Penerapan Konsep Defensible Space Pada Hunian Vertikal

BAB III TINJAUAN KHUSUS

GENDER DALAM TERITORI

BAB VI. PENUTUP Kesimpulan

IDENTIFIKASI PEMANFAATAN ALUN-ALUN MALANG

PENANDAAN TERITORI DAN INVASINYA TERHADAP RUANG PUBLIK

Sirkulasi Bangunan Rumah Tinggal Kampung Kauman Kota Malang

BAB I PENDAHULUAN. Ruang publik sebagai sarana umum menjadi kebutuhan yang cukup vital

BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH. A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada

Perubahan Atap Masjid Agung Garut

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta sebagai kota pelajar,kota pariwisata dan kota budaya yang

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGABSAHAN SURAT PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL INTISARI ABSTRACT BAB I PENDAHULUAN

BAB V PENUTUP. masjid yang didirikan di Indonesia. Masjid telah menjadi salah satu bangunan. atau RW, instansi pendidikan, dan instansi pemerintahan.

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA PUBLIK DI BAWAH JEMBATAN LAYANG PASUPATI SEBAGAI UPAYA MEMPERTAHANANKAN RUANG PUBLIK

KAJIAN POLA RUANG AKTIVITAS DEMONSTRASI DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perancangan Pusat Rehabilitasi Pengguna Narkoba di Kabupaten Malang ABSTRAK Perancangan Pusat Rehabilitasi Pengguna Narkoba di Kabupaten Malang

masjidlah Rasulullah membina generasi pertama Islam. Maka pertanyaan tentang keterlibatan masjid kampus dalam pusat perkembangan Islam, adalah

Konsep Perancangan Kampung Baru Nelayan Kenjeran Surabaya Berbasis Potensi Wilayah

BAB III KONSEP PERANCANGAN

Tatanan Alun-alun Terhadap Pola Ruang Spasial Masjid Jami Kota Malang

Perancangan Perpustakaan Umum dengan Pendekatan Arsitektur Hybrid

BAB IV PENGAMATAN PERILAKU

BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. menyebarluaskan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat. Dalam mengajak umat

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk kota Yogyakarta berdasarkan BPS Propinsi UKDW

PENGARUH LINGKUNGAN BUATAN PADA PERILAKU MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Latar Belakang Perancangan. Pusat perbelanjaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini.

B A B 4 A N A L I S I S

MASJID JABALUL KHOIR PURWODADI SEBAGAI MASJID MODERN

BAB I PENDAHULUAN. adalah sajada dimana sajada berarti sujud atau tunduk. Pada masa Nabi

BAB I PENDAHULUAN. dengan membaca maka pengetahuan bertambah. Sudah pasti, orang yang rajin membaca adalah

tempat yang biasanya digunakan untuk melakukan ibadah yang bisa besar (jika kapasitasnya hanya menampung sedikit, biasanya masyarakat

KARAKTERISTIK TERITORIALITAS RUANG PADA PERMUKIMAN PADAT DI PERKOTAAN

BAB I. PENDAHULUAN. Mahasiswa merupakan salah satu aktor dalam perguruan tinggi karena

BAB III METODE PERANCANGAN. memudahkan seorang perancang dalam mengembangkan ide rancangannya.

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I: PENDAHULUAN Latarbelakang.

Penerapan Healing Architecture dalam Desain Rumah Sakit

RUANG SHALAT MASJID AL-AKBAR SURABAYA BERDASARKAN SYARAT RUANG PERIBADATAN ISLAM ARTIKEL ILMIAH

Ruang Rehumanisasi: Proses Pembauran Manusia Melalui Perjalanan Ruang

Elemen Arsitektur sebagai Perantara Komunikasi antar Manusia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

LAPORAN PENELITIAN SETING PRILAKU PENGUNJUNG DI TAMAN NOSTALGIA KUPANG. Oleh I Kadek Mardika

EVALUASI PURNA HUNI MASJID ULIL ALBAB KAMPUS 2 UMS

Belakang Latar. yaitu. Kota. yang. dan dekat

BAB I PENDAHULUAN. Kota Kepanjen merupakan ibukota baru bagi Kabupaten Malang. Sebelumnya ibukota Kabupaten Malang berada di Kota Malang ( Berdasarkan

BAB VII KESIMPULAN 7.1. Ringkasan Temuan

BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Karakteristik penghuni yang mempengaruhi penataan interior rumah susun

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

KRITERIA PERANCANGAN RUANG PUBLIK YANG AMAN BAGI ANAK-ANAK DI KAWASAN SIMPANG LIMA SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seli Septiana Pratiwi, 2014 Migran PKl dan dampaknya terhadap ketertiban sosial

BAB IV HASIL PENELITIAN

Masjid Cipari Garut, Masjid Berasitektur Mirip Gereja

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN TA Latar Belakang PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN SUNGAI GAJAH WONG DI YOGYAKARTA

JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 5, No.2, (2016) ( X Print) G-92

Akulturasi Langgam Arsitektur pada Elemen Pintu Gerbang Masjid Agung Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. tauhid, mengubah semua jenis kehidupan yang timpang kearah kehidupan yang

Teritorialitas Masyarakat Perumahan Menengah ke Bawah

BAB I PENDAHULUAN. Proyeksi Proporsi Penduduk di Indonesia (%) 0-14 Tahun Tahun > 65 Tahun

PROPOSAL PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

POLA PEMANFAATAN DAN PELAYANAN ALUN-ALUN KOTA PATI BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PENGUNJUNG TUGAS AKHIR TKPA 244

TUGAS AKHIR (TKA 490) MASJID RAYA JOHOR ARSITEKTUR ISLAM

BAB I. PENDAHULUAN. J.I.C (Jogja Islamic Centre) sebagai architecture for urban yang berbasis

BAB I PENDAHULUAN Kawasan Ampel (Koridor Jalan Nyamplungan - Jalan Pegirian)

Solusi Hunian Bagi Pekerja dan Pelajar di Kawasan Surabaya Barat Berupa Rancangan Desain Rusunawa

Pendekatan Kontekstual pada Rancangan Pusat Kajian Pekembangan Islam di Komplek Makam Siti Fatimah binti Maimun, Leran, Manyar, Gresik

Karakteristik Fisik-Sosial dan Kriteria Kamar yang Membuat Betah

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL/DIAGRAM

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. agama mempunyai rumah ibadah masing-masing.

ISLAMIC CENTER DI TUBAN PENDEKATAN ARSITEKTUR SIMBOLISM YANG BERFILOSOFI ISLAM LAPORAN TUGAS AKHIR

BAB III METODE PERANCANGAN. sebagai alat visual metode merancang arsitektur. Adapun tahapan dan kerangka dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Yogyakarta sebagai Kota Pelajar Pendidikan non formal sebagai wadah aktifitas diluar sekolah

BAB VI HASIL PERANCANGAN. terdapat pada konsep perancangan Bab V yaitu, sesuai dengan tema Behaviour

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama samawi terakhir. Berdasarkan tinjauan historis, ia

BAB 3 METODE PERANCANGAN. Ide dan gagasan gagasan perancangan integrasi pasar tradisional

BAB III METODE PERANCANGAN. Pembahasan yang dikemukakan dalam bagian bab ini ditujukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Elka Desty Ariandy TGA PONDOK PESANTREN DI YOGYAKARTA

Konsep Panopticon dan Persepsi Ruang pada Rumah Bina Nusa Barong

BAB VI KONSEP PERANCANGAN

BAB V PENUTUP. maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Nilai-nilai yang bisa di dapat dalam budaya Shalawat Albanjari yang

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Arsitektur sebagai Media Interaksi Manusia dan Hewan

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

Ciri Khas Arsitektur Tradisional Pada Rumah Warga di Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal

BAB VI HASIL PERANCANGAN

PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Sejarah Pembangunan dan Renovasi pada Masjid Agung Bandung

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Ruang terbuka Publik berasal dari bahasa latin platea yang berarti jalur

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

EVALUASI PENYEDIAAN FASILITAS RUMAH SUSUN (Studi Kasus Rumah Susun Warugunung dan Rumah Susun Penjaringansari I di Kota Surabaya)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

Transkripsi:

Masjid Berbasis Masyarakat Dan Signifikansinya Sebagai Ruang Publik MASJID BERBASIS MASYARAKAT DAN SIGNIFIKANSINYA SEBAGAI RUANG PUBLIK Yulia Eka Putrie 1), Luluk Maslucha 2) 1,2) Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana 50 Malang, Jawa Timur e-mail: ekaputrie.yulia@gmail.com Abstrak Sebagian besar masjid di Indonesia dirancang, dibangun, dan dikembangkan oleh masyarakat. Masjid-masjid berbasis masyarakat ini memiliki kedekatan psikologis dengan masyarakat sekitar karena masjid-masjid ini tumbuh dan berkembang bersama kebutuhan dan dinamika masyarakat. Bagaimanapun, keberadaannya jarang disadari sebagai objek yang potensial untuk dikaji dan diteliti. Karenanya, penelitian arsitektur perilaku dengan fokus pola perilaku dan teritorialisme dilakukan untuk mengetahui bagaimana rasa memiliki yang ada dalam diri masyarakat mempengaruhi pola perilaku mereka di masjid tersebut. Penelitian ini menggunakan metode place centered mapping dan dilakukan di tiga masjid di Malang, yaitu Masjid An-Nur Jagalan, Masjid Gading Pesantren, dan Masjid Jami Kauman. Penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara teritorialisme pengguna masjid yang merupakan masyarakat setempat dengan pengunjung. Terdapat pula perbedaan pola perilaku yang signifikan di zona ruang dalam masjid dengan zona peralihan dan zona ruang luar masjid. Penelitian ini juga menunjukkan signifikansi fungsi teras dan halaman masjid yang multifungsional dalam mewadahi berbagai fungsi sosial masjid, baik untuk kegiatan yang terencana maupun tidak. Keberadaan ruang luarnya ternyata juga mampu menggantikan ketiadaan ruang publik yang memadai bagi masyarakat sekitar. Penelitian ini mengusulkan beberapa rekomendasi mengenai desain arsitektural masjid berbasis masyarakat yang lebih mendukung berbagai fungsi sosial kemasyarakatan di lingkungannya dan lebih terbuka bagi masyarakat. Kata kunci: masjid berbasis masyarakat; pola interaksi; ruang publik; teritorialisme PENDAHULUAN Arsitektur masjid sebagai bagian dari pengejawantahan peradaban Islam dan budaya masyarakat muslim telah mendapat perhatian yang sangat banyak dari para peneliti di berbagai bidang, terutama di bidang arsitektur. Di Indonesia, sebagian besar penelitian mengenai arsitektur masjid difokuskan pada masjid-masjid tradisional dan masjid-masjid monumental yang dianggap memiliki kualitas arsitektur yang tinggi (Faqih dkk., 1992: 3). Penelitian mengenai arsitektur tradisional bahkan banyak dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Belanda, Perancis, dan Indonesia (Budi, 2004: 189). Masjid-masjid tradisional dan masjid-masjid yang dirancang oleh arsitek terkenal lebih banyak menarik perhatian karena kandungan-kandungan makna yang terwujud dalam bentuk arsitekturalnya atau karena ketajaman konsep perancangan arsitekturnya. Dalam kenyataannya, sebagian besar masjid di Indonesia justru dibangun oleh masyarakat tanpa sentuhan arsitek (Faqih dkk., 1992: 4). Sayangnya, arsitektur masjid berbasis masyarakat (community based mosque) ini cukup jarang mendapat perhatian para peneliti. Hal ini dilatarbelakangi anggapan bahwa arsitektur yang dibangun secara swadaya dan swarancang oleh masyarakat ini kurang memenuhi standar kualitas arsitektural. Padahal, Muhammad Faqih dkk. menunjukkan di dalam penelitiannya, bahwa masjid-tanpa-arsitek ternyata juga memiliki kekhasan karena keterkaitannya dengan berbagai jenis tipologi masjid yang ada di dunia, sekaligus adaptasinya dengan tipologi masjid tradisional (Faqih dkk., 1992: 48). Selain itu, masjid-masjid berbasis masyarakat ini ternyata memiliki kekhasan dalam solusi-solusi praktisnya di tengah berbagai keterbatasan dana yang terhimpun. Masjid-masjid berbasis masyarakat ini juga memiliki kesesuaian yang tinggi dengan masyarakat setempat dan mampu mewadahi berbagai kegiatan masyarakat. Masyarakat pun memiliki keterkaitan psikologis yang besar dengan masjid-masjid 77

Yulia Eka Putrie, Luluk Maslucha tersebut, karena tidak jarang masjid-masjid itu mereka bangun sebagai hasil pemikiran, dana, dan tenaga mereka sendiri. Penelitian ini mencoba menggali hubungan antara desain arsitektural masjid dengan interaksi sosial antara masyarakat setempat dengan masjid yang mereka rancang dan bangun secara mandiri (masjid berbasis masyarakat). Karena itu, pada tataran teoretis penelitian ini sangat penting bagi pengembangan keilmuan arsitektur yang lebih berpihak kepada masyarakat dan lebih memposisikan masyarakat sebagai subjek yang memiliki pemikiran-pemikiran, ide, dan pemahaman, serta ikut membentuk perkembangan arsitektur, bukannya hanya sebagai objek yang pasif dalam perkembangan ilmu arsitektur. Pada tataran praktis, penelitian ini cukup penting bagi upaya pengembangan pemahaman para arsitek dan perancang mengenai substansi perancangan arsitektur masjid yang mendasar dan sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat, serta mampu mendorong terciptanya interaksi sosial antara masyarakat setempat dengan masjid yang akan mereka rancang. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian yang akan mengkaji pola interaksi yang terjadi berdasarkan perilaku spasial dan aktivitas suatu masyarakat di lingkungan masjid sebagai behavior setting-nya. Selanjutnya, dari pola interaksi yang diketahui, akan dikaji pula elemen-elemen desain arsitektural masjid berbasis masyarakat yang mendorong terciptanya interaksi sosial di lingkungan masjid yang bersangkutan. Untuk itu, penelitian ini mengarah pada penelitian arsitektur berbasis perilaku. Pendekatan yang sesuai bagi penelitian ini adalah (a) pengambilan sampel dengan teknik purposive, yaitu penetapan sampel masjid yang akan diteliti, (b) observasi lapangan, dalam hal ini untuk mengamati intensitas aktivitas yang ada dalam sebuah masjid yang nantinya akan menunjukkan bagaimana pola interaksi yang ada dalam masjid serta kaitannya dengan ruang-ruang yang ada di lingkungan masjid yang bersangkutan, (c) melakukan pemetaan (mapping) perilaku, untuk menunjukkan perilaku dalam sebuah gambar skematis, mengidentifikasi jenis dan frekuensi perilaku, serta menunjukkan keterkaitan perilaku tersebut dengan wujud perancangan yang spesifik, (d) menggunakan metode time budget untuk mengamati perilaku berdasarkan periode waktu tertentu, dan (e) teknik wawancara informal. Sampel penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah tiga buah masjid berbasis masyarakat yang terdapat di Kota Malang. Kota Malang memiliki komunitas-komunitas masyarakat yang religius dengan masjid sebagai pusat aktivitas yang khas dan menarik untuk diteliti. Ketiga masjid berbasis masyarakat tersebut adalah masjid An-Nur Jagalan, Masjid Jami Kauman, dan Masjid Gading Pesantren. Ketiganya dipilih karena merupakan wilayah yang memiliki aktivitas religius yang intensif dan spesifik. Ketiganya juga memiliki struktur masyarakat yang religius, sekaligus latar belakang budaya yang khas. Gambar 1. Dokumen Place Centered Mapping dan Zonasi pada Masjid Berbasis Masyarakat 78

Masjid Berbasis Masyarakat Dan Signifikansinya Sebagai Ruang Publik Gambar 2. Dokumen Place Centered Mapping dan Zonasi pada Masjid Berbasis Masyarakat HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penelitian yang dilakukan terhadap tiga masjid di Kota Malang, yaitu Masjid An-Nur Jagalan, Masjid Jami Kauman, dan Masjid Gading Pesantren, dapat diamati bahwa secara umum masjid yang berkembang di masyarakat tidak hanya memiliki fungsi ibadah, namun juga memiliki fungsi sosial. Hal ini sejalan dengan konsep ibadah itu sendiri di dalam Islam yang dibagi menjadi dua jenis, yaitu ibadah maghdhah dan ibadah ghairu maghdhah. Ibadah ghairu maghdhah inilah yang berkaitan erat dengan fungsi sosial masjid, dimana hubungan antar sesama manusia dalam koridor niat dan cara yang diridhai Allah termasuk dalam kategori ibadah ini. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pada masa Nabi Muhammad saw masjid memiliki sangat banyak fungsi yang berkaitan dengan kemashlahatan masyarakat muslim di masa itu, misalnya fungsi pendidikan, fungsi kesejahteraan masyarakat, dan fungsi perlindungan kaum muslim. Gambar 3. Masjid An-Nur Jagalan (kiri), Masjid Jami Kauman (tengah) and Masjid Gading Pesantren (kanan) Fungsi sosial yang dapat diamati di masjid-masjid yang menjadi sampel penelitian adalah (a) bersilaturahmi, (b) tempat beristirahat musafir, (c) tempat bermain anak-anak, dan (d) tempat pelaksanaan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti pengajian umum, pendidikan al-qur an, istighotsah, haul, atau akad nikah. Sementara itu, fungsi ibadah maghdhah yang diwadahi oleh masjid di antaranya adalah (a) shalat lima waktu berjamaah, (b) shalat Jum at, (c) berdzikir dan membaca al-qur an, dan (d) i tikaf. Kedua fungsi ini diwadahi oleh masjid dan dapat berjalan seiring sejalan tanpa saling mengganggu satu sama lain. Aktivitas-aktivitas kemasyarakatan di atas berlangsung di masjid di luar waktu-waktu shalat berjamaah yang merupakan fungsi utama masjid. Ketika waktu shalat berjamaah tiba, maka segala kegiatan kemasyarakatan tersebut dihentikan sementara dan dilanjutkan lagi setelah shalat berjamaah selesai dilaksanakan. Karena itu, fungsifungsi sosial ini merupakan suatu kebutuhan masyarakat yang perlu dipertimbangkan keberadaannya di dalam perancangan masjid. 79

Yulia Eka Putrie, Luluk Maslucha Lebih jauh, perkembangan kota dan pemukiman yang semakin padat juga menyebabkan masyarakat kehilangan ruang publik yang sebenarnya memiliki nilai ekologis dan sosial bagi masyarakat. Meningkatnya jumlah penduduk dan mahalnya harga tanah merupakan beberapa faktor yang menyebabkan minimnya keberadaan ruang publik di tengah-tengah masyarakat. Di lain pihak, keberadaan masjid sebagai sebuah institusi yang diakui nilai pentingnya oleh masyarakat tampaknya mulai mengemban fungsi sosial ini di tengah minimnya ketersediaan ruang publik. Ketiadaan ruang terbuka publik misalnya, menyebabkan anak-anak memilih halaman masjid sebagai area bermain yang jauh lebih aman dan nyaman dibandingkan dengan jalan raya. Ketiadaan ruang terbuka publik yang cukup nyaman juga menyebabkan para pedagang keliling atau tukang becak memilih teras masjid sebagai tempat beristirahat yang teduh dan terbuka terhadap keberadaan mereka. Keberadaan mereka di masjid merupakan satu indikasi bahwa masjid merupakan suatu institusi yang terbuka bagi seluruh elemen masyarakat. Hanya ketika masyarakat merasa dekat dan memiliki masjid, mereka akan beraktivitas secara nyaman dan intens di masjid itu. Masjid-masjid berbasis masyarakat memiliki kedekatan dengan masyarakat setempat dikarenakan masjid-masjid ini berkembang bersama masyarakat dan dibangun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan masyarakatnya. Hal inilah yang dapat diamati dari keberadaan masjidmasjid yang menjadi sampel penelitian ini. Tingginya intensitas aktivitas ibadah dan sosial di masjid-masjid ini menjadi indikasi tingginya interaksi sosial masyarakat yang diwadahi oleh masjid-masjid tersebut. Hal lain yang dapat diamati dari masjid-masjid berbasis masyarakat yang diteliti ini adalah adanya perpaduan dan interaksi antara jamaah yang berasal dari masyarakat setempat dengan jamaah yang merupakan pendatang atau musafir yang berasal dari sekitar Malang atau Jawa Timur. Musafir atau pendatang yang datang ke masjid dibagi menjadi dua jenis, yaitu pengunjung yang sengaja datang ke masjid untuk beribadah atau mengikuti acara yang diadakan di masjid, dan pengunjung yang kebetulan singgah pada waktu-waktu shalat berjamaah atau hanya beristirahat di sela-sela waktu tersebut. Kesamaan karakteristik yang dapat diamati dari jamaah ketiga masjid adalah jamaah yang berasal dari warga setempat memiliki kecenderungan untuk langsung memasuki ruang shalat utama dan beraktivitas di dalamnya, sedangkan jamaah yang merupakan pendatang atau musafir cenderung beraktivitas di teras atau beranda masjid yang lebih terbuka dan mudah dijangkau. Lebih jauh, dapat diamati pula adanya perbedaan pola perilaku di zona-zona yang berbeda di masjid-masjid yang telah diteliti. Sikap yang berbeda ditunjukkan oleh sebagian besar jamaah ketika berada di ruang shalat utama (zona ruang dalam) dan area teras (zona peralihan). Di area ruang shalat utama para jamaah cenderung lebih menjaga sikap dengan duduk bersila, bersandar, berbicara dengan suara pelan, dan jika berbaring tidak mengarahkan kaki ke arah kiblat. Sementara itu, sikap yang lebih informal dapat diamati di area teras masjid. Para jamaah terlihat lebih santai dengan duduk berselonjor, berbicara dengan suara lebih nyaring, menelepon, tertawa-tawa, atau berbaring seenaknya dengan kaki diangkat atau disandarkan ke dinding. Fenomena-fenomena di atas dapat dijelaskan setidaknya dari sudut pandang teritorialitas dan hirarki ruang sosial. Di dalam konsep teritorialitas yang dikemukakan oleh Altman (1975), terdapat pembagian teritori menjadi tiga kategori dikaitkan dengan keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan kehidupan sehari-hari individu atau kelompok, dan frekuensi penggunaan. Tiga kategori tersebut adalah teritori primer, teritori sekunder, serta teritori publik. Teritori utama (primer) adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara eksklusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen serta menjadi bagian utama dalam kehidupan sehari-hari penghuninya. Teritori sekunder adalah suatu area yang tidak terlalu digunakan secara eksklusif oleh seseorang/kelompok orang, mempunyai cakupan area yang relatif luas, dikendalikan secara berkala oleh kelompok yang menuntutnya. Teritori publik adalah suatu lingkungan kampung yang batas fisiknya relatif jelas. Dari fenomena yang terjadi di masjid Gading pesantren, mihrab yang ada di masjid tersebut hanya digunakan oleh kyai yang menjadi imam, menunjukkan adanya teritori primer yang terbentuk di wilayah tersebut. Area mihrab ini membentuk teritori primer karena digunakan secara eksklusif oleh kyai yang menjadi imam, dan disadari oleh para santri serta masyarakat yang menjadi makmum, serta dikendalikan secara permanen serta menjadi bagian utama dalam kegiatan shalat sehari-hari. Sementara itu, selain ditemukan terbentuknya teritori primer di masjid, dari 80

Masjid Berbasis Masyarakat Dan Signifikansinya Sebagai Ruang Publik fenomena yang telah dijelaskan di atas juga dapat ditemukan terbentuknya teritori sekunder. Hal ini dapat ditemui pada penempatan posisi-posisi favorit oleh jamaah yang berusia lanjut di Masjid Jami Kauman. Keinginan mereka yang selalu berada di shaf terdepan di belakang imam dan terjadi keteraturan pola fenomena perilaku tersebut dalam kesehariannya, menunjukkan teritori sekunder yang cukup kuat terdapat di tempat ini. Area shaf pertama ini menjadi area eksklusif dari jamaah berusia lanjut dan sebagian besar telah biasa berjamaah sholat lima waktu di masjid ini, dan kebanyakan berasal dari wilayah sekitar masjid. Hal ini menunjukkan bahwa area eksklusif yang terbentuk mempunyai cakupan yang lebih luas, yang dilakukan oleh sekelompok orang yang ingin sholat dan ibadah lainnya berjalan lebih khusyu. Fenomena perilaku lain yang menunjukkan adanya tipe teritori tertentu adalah perbedaan sikap para jamaah yang berada di ruang sholat utama dan di teras masjid. Para jamaah di ruang sholat utama bersikap lebih formal dan khusyu daripada jamaah yang berada di teras masjid yang terlihat lebih santai dan bersikap lebih informal. Para jamaah yang berada di teras ini membentuk teritori publik, yang letaknya lebih berada di wilayah umum dan batas fisiknya yaitu area teras terlihat lebih jelas. Hal ini dapat dilihat dari tingkatan teritori ini bahwa semakin rendah tingkatan teritori, yaitu teritori publik, maka semakin sifatnya akan semakin profan (umum), dan semakin tinggi tipe teritori yang terbentuk (teritori primer), sifatnya menjadi lebih sakral. Berdasarkan teori tentang teritorialitas, kecenderungan ini menunjukkan bahwa jamaah yang berasal dari masyarakat setempat telah menganggap masjid sebagai bagian dari teritori mereka (teritori sekunder). Sementara itu, jamaah yang berasal dari pendatang menganggap masjid bukan merupakan teritori mereka. Karena itu, perilaku mereka menunjukkan bahwa mereka merasa lebih nyaman untuk beraktivitas di zona ruang luar atau zona peralihan ini (teritori publik). Hal ini menarik, karena sebagai bangunan atau fasilitas publik masjid sebenarnya dimiliki oleh seluruh elemen masyarakat muslim. Namun fenomena ini juga sangat wajar terjadi karena perilaku seseorang di wilayah-wilayah yang asing baginya biasanya sangat dipengaruhi oleh persepsi awalnya terhadap wilayah tersebut. Sebaliknya, jika wilayah tersebut telah sering didatangi, persepsi awal tersebut tidak lagi menjadi hal utama yang mempengaruhi perilakunya. Telah terjadi proses pembiasaan atau habituation yang membuat seseorang tidak terlalu peka lagi dalam merespon keadaan di sekelilingnya (Holahan, 1976). Selain itu, kemungkinan-kemungkinan munculnya teritorialisme seperti yang diperlihatkan oleh beberapa jamaah di Masjid Jami Kauman dan oleh imam beserta jamaah di Masjid Gading Pesantren merupakan salah satu faktor perilaku yang sebaiknya dipertimbangkan pula. Teritorialisme ini mungkin tidak muncul dalam bentuk yang permanen, frontal, atau konfrontatif, namun biasanya muncul dalam bentuk penandaan berupa alas sajadah, atau dapat muncul dalam bentuk kebiasaan yang telah dipahami oleh orang-orang di sekelilingnya. Karena tidak muncul dalam bentuk yang permanen, maka hal yang perlu dipertimbangkan adalah ketidaktahuan dari jamaah pendatang yang bisa saja tanpa sengaja mengambil tempat-tempat yang dianggap sebagai teritori sebagian jamaah setempat. Adanya kemungkinan konflik teritorial inilah yang bisa jadi menyebabkan sebagian besar jamaah pendatang lebih memilih tempat-tempat yang aman seperti teras (teritori publik), area belakang (teritori sekunder), atau area-area yang tidak menyedot banyak perhatian, seperti di dekat dinding atau kolom di dalam ruang shalat utama. KESIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa terdapat intensitas interaksi yang tinggi di ketiga masjid yang diteliti, terutama jika ditinjau dari banyak dan beragamnya aktivitas yang berlangsung di masjid. Berbagai aktivitas ini ternyata tidak hanya melibatkan masyarakat setempat, namun melibatkan pula masyarakat dari berbagai wilayah lainnya, baik sebagai musafir yang singgah di masjid maupun para pendatang yang sengaja datang ke masjid-masjid tersebut untuk berbagai kegiatan. Selanjutnya, terdapat pula keterkaitan-keterkaitan antara elemen-elemen spasial dan arsitektural masjid dengan pola perilaku dan interaksi sosial masyarakat yang berlangsung di dalamnya. Berdasarkan pengamatan terhadap jenis dan intensitas aktivitas serta pola perilaku yang spesifik di masjid-masjid itu, dijabarkan beberapa rekomendasi perancangan masjid berbasis masyarakat, sebagai berikut: 1. Perhitungan luas ruang shalat (zona ruang dalam) dapat mempertimbangkan okupansi harian masjid untuk shalat berjamaah lima waktu, sedangkan perhitungan luas teras (zona 81

Yulia Eka Putrie, Luluk Maslucha peralihan) dan halaman (zona ruang luar) dapat mempertimbangkan tingginya intensitas pengguna pada aktivitas-aktivitas occasional dan fungsi sosial masjid. 2. Keberadaan berbagai kalangan yang memanfaatkan masjid untuk berbagai aktivitas menyebabkan perancangan masjid sebaiknya mempertimbangkan keberadaan mereka semua. Anak-anak yang gemar bermain di masjid pun sebaiknya dipertimbangkan keberadaannya. Keberadaan ruang luar dan teras sangat penting di sebuah masjid. Karena itu, sebaiknya bangunan masjid tidak dibangun secara besar-besaran, melainkan tetap menyediakan area ruang terbuka yang cukup memadai sebagai ruang terbuka hijau sekaligus sebagai ruang publik yang dirancang lebih ramah dan terbuka kepada seluruh pengguna masjid. 3. Adalah penting untuk tetap dapat membedakan jenis-jenis ruang yang ada di masjid menurut manfaatnya masing-masing. Ruang-ruang pada ketiga zona ini dituntut untuk terbuka dan fleksibel pada derajat tertentu, namun tetap dapat dikenali perbedaannya. Dalam aspek kualitas atmosfer ruang, perancangan teras atau serambi yang cukup nyaman, teduh, dan tenang juga sebaiknya turut dipertimbangkan, walaupun intensitas ketenangan dan kenyamanannya tidak harus sebesar intensitas ketenangan dan kenyamanan di ruang shalat. DAFTAR PUSTAKA Altman, I. 1975. The Environment and Social Behavior. Monterey, CA: Wadsworth Budi, Bambang Setia. 2004. A Study on the History and Development of the Javanese Mosque. Part 1: A Review of Theories on the Origin of the Javanese Mosque. Journal of Asian Architecture and Building Engineering. Vol. 3 No. 1 May 2004. h. 189-195 Faqih, Muhammad, dkk. 1992. Tipologi Arsitektur Masjid-Tanpa-Arsitek. Lembaga Penelitian Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Laporan Penelitian Tidak Diterbitkan. Holahan, CJ. 1976. Environmental Change in psychiatric setting: A social system analysis. Human Relations February 1976 vol. 29 no. 2 p. 153-166 82