BAB II RETAK PADA PERKERASAN JALAN RAYA. umur rencana. Kerusakan pada perkerasan dapat dilihat dari kegagalan fungsional dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JENIS KERUSAKAN JALAN PADA PERKERASAN LENTUR LOKASI CIRI CIRI PENYEBAB AKIBAT CARA PENANGANAN


BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN BEBAN LALU LINTAS DAN STRUCTURAL NUMBER TERHADAP PREDIKSI MULAINYA RETAK DAN PERKEMBANGANNYA

BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI

BAB II PERKERASAN JALAN RAYA. Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Jalan

BAB II PERKERASAN JALAN RAYA

BINA MARGA PT T B

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. A. Tahap Penelitian. Tahapan analisis data dijelaskan dalam bagan alir seperti Gambar 4.1. Start.

Gambar 3.1. Diagram Nilai PCI

BAB III LANDASAN TEORI. dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement

BAB III LANDASAN TEORI. Tabel 3.1 Jenis Kerusakan pada Perkerasan Jalan

BAB III LANDASAN TEORI. A. Perlintasan Sebidang

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Mulai. Studi Pustaka. Metode Penelitian. Persiapan. Pengambilan Data

BAB III LANDASAN TEORI. digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Nilai Pavement Condition Index

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

melintang atau memanjang dan disebabkan oleh pergerakan plat beton dibawahnya) Kerusakan alur/bahu turun (lane / shoulder drop-off)...

STUDI BANDING DESAIN TEBAL PERKERASAN LENTUR MENGGUNAKAN METODE SNI F DAN Pt T B

Tabel Tingkat Kerusakan Struktur Perkerasan Lentur

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Tahap Penelitian. Tahapan penelitian dijelaskan dalam bagan alir pada Gambar 4.1. Mulai. Studi Pustaka.

BAB III LANDASAN TEORI

BAB IV METODE PENELITIAN

TEKNIKA VOL.3 NO.2 OKTOBER_2016

PERANCANGAN STRUKTURAL PERKERASAN BANDAR UDARA

TUGAS AKHIR. Disusun Oleh : HIMANTORO MILUDA NIM. I

Teknik Sipil Itenas No. x Vol. xx Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Agustus 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut :

BAB III METODA PERENCANAAN

BAB IV METODE PENELITIAN

DENY MIFTAKUL A. J NIM. I

Saiful Anwar Kurniawan NIM. I

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

4.2.4 Pemeriksaan CBR lapangan subgrade dengan Dmamyc Cone

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. A. Parameter Desain

LUQMAN DWI PAMUNGKAS NIM. I

STUDI PENGARUH BEBAN BELEBIH (OVERLOAD) TERHADAP PENGURANGAN UMUR RENCANA PERKERASAN JALAN

BAB III LANDASAN TEORI. Pada metode Bina Marga (BM) ini jenis kerusakan yang perlu diperhatikan

Parameter perhitungan

EVALUASI KERUSAKAN RUAS JALAN PULAU INDAH, KELAPA LIMA, KUPANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE PAVEMENT CONDITION INDEX

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Evaluasi Kualitas Proyek Jalan Lingkar Selatan Sukabumi Pada Titik Pelabuhan II Jalan Baros (Sta ) ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari bahan khusus yang mempunyai kualitas yang lebih baik dan dapat

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Bagan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tahap-tahap penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 4.1.

BAB I PENDAHULUAN. dengan berkembangnya kawasan baru hampir disetiap provinsi, bahkan sampai ke

1 FERRY ANDRI, 2 EDUARDI PRAHARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS PERBANDINGAN PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN KAKU DENGAN METODE BINA MARGA 2013 DAN AASHTO 1993 (STUDI KASUS JALAN TOL SOLO NGAWI STA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PERENCANAAN MEKANISTIK EMPIRIS OVERLAY PERKERASAN LENTUR

Agus Surandono, Putri Maha Suci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

DESKRIPSI PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN JALAN MENGGUNAKAN METODE AASHTO

Jurnal J-ENSITEC, 01 (2014)

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN CIJELAG - CIKAMURANG DENGAN MENGGUNAKAN METODE AASTHO 93

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan KATA PENGANTAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kajian Pustaka Ulasan Pustaka Terhadap Penelitian Ini Ringkasan Penelitian Lain...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian B. Rumusan Masalah

B. Metode AASHTO 1993 LHR 2016

BAB III LANDASAN TEORI. jalan, diperlukan pelapisan ulang (overlay) pada daerah - daerah yang mengalami

EVALUASI KERUSAKAN JALAN STUDI KASUS (JALAN DR WAHIDIN KEBON AGUNG) SLEMAN, DIY

STUDI PENANGANAN JALAN BERDASARKAN TINGKAT KERUSAKAN PERKERASAN JALAN (STUDI KASUS: JALAN KUALA DUA KABUPATEN KUBU RAYA)

ASPEK GEOTEKNIK PADA PEMBANGUNAN PERKERASAN JALAN

Setelah Manusia Mengenal Hewan Sebagai Alat Angkut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR METODE BINA MARGA Pt T B DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM KENPAVE TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. A. Tahapan Penelitian

Perencanaan Bandar Udara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI KORELASI DAYA DUKUNG TANAH DENGAN INDEK TEBAL PERKERASAN JALAN MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA

BAB III LANDASAN TEORI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KOMPARASI TEBAL PERKERASAN LENTUR METODE AASHTO 1993 DENGAN METODE BINA MARGA

BAB IV PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN LENTUR. perumahan Puri Botanical Residence di jl. Joglo Jakarta barat. ditanah seluas 4058

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi pada zaman sekarang,

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN FLEXIBLE PAVEMENT DAN RIGID PAVEMENT. Oleh : Dwi Sri Wiyanti

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

IDENTIFIKASI KERUSAKAN PERKERASAN LENTUR DI JALUR EVAKUASI BENCANA MERAPI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jalan raya merupakan prasaranan perhubungan untuk melewatkan lalu lintas

A. LAPISAN PERKERASAN LENTUR

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

1. Kontruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

2.4.5 Tanah Dasar Lapisan Pondasi Bawah Bahu Kekuatan Beton Penentuan Besaran Rencana Umur R

BAB IV METODE PENELITIAN. Mulai. Identifikasi Masalah. Studi Literatur. Pengumpulan Data Sekunder. Rekapitulasi Data. Pengolahan Data.

Transkripsi:

BAB II RETAK PADA PERKERASAN JALAN RAYA II.1 Kerusakan Pada Jalan Raya Lapisan perkerasan sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum mencapai umur rencana. Kerusakan pada perkerasan dapat dilihat dari kegagalan fungsional dan struktural. Kegagalan fungsional adalah apabila perkerasan tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan yang direncanakan dan menyebabkan ketidaknyamanan bagi pengguna jalan. Sedangkan kegagalan struktural terjadi ditandai dengan adanya rusak pada satu atau lebih bagian dari struktur perkerasan jalan yang disebabkan lapisan tanah dasar yang tidak stabil, beban lalu lintas, kelelahan permukaan, dan pengaruh kondisi lingkungan sekitar (Yoder, 1975). Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2007), kerusakan pada konstruksi jalan (demikian juga dengan bahu beraspal) dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: a. Air, yang dapat berasal dari hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik, atau naiknya air berdasarkan sifat kapilaritas air bawah tanah. b. Iklim, di Indonesia yang termasuk beriklim tropis dimana suhu dan curah hujan yang umumnya tinggi. c. Lalu lintas, yang diakibatkan dari peningkatan beban (sumbu kendaraan) yang melebihi beban rencana, atau juga repetisi beban (volume kendaraan) yang melebihi volume rencana sehingga umur rencana jalan tersebut tidak tercapai. d. Material konstruksi perkerasan, yang dapat disebabkan baik oleh sifat/ mutu material yang digunakan ataupun dapat juga akibat cara pelaksanaan yang tidak sesuai.

e. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil, yang mungkin disebabkan karena cara pemadatan tanah dasar yang kurang baik, ataupun juga memang sifat tanah dasarnya yang memang jelek. seperti: Kerusakan yang terjadi pada perkerasan lentur adalah mencakup semua kerusakan 1. Retak (cracks) Berdasarkan bentuknya retak dibagi menjadi: meander, garis, blok, kulit buaya dan parabola. 2. Perubahan bentuk (deformation) Dikenal juga dengan istilah Distorsion. Kerusakan ini menyebabkan perubahan bentuk permukaan perkerasan dari bentuk aslinya. Deformasi dapat dibedakan atas: alur (rutting), keriting (corrugation), sungkur (shoving), amblas (depression), dan jembul (upheaval). 3. Cacat permukaan (surface defect) Kerusakan ini sering disebut dengan Disintegration. Kerusakan ini ditimbulkan akibat pecahnya lapisan permukaan menjadi fragmen-fragmen kecil yang jika dibiarkan akan menyebabkan kehancuran total seluruh perkerasan. Kerusakan ini dikelompokan menjadi: delaminasi (delamination), kegemukan (bleeding), pengausan (polishing), pelepasan butir (raveling), pengelupasan lapis perkerasan (stripping), dan tambalan (patches). 4. Cacat tepi (edge defect) Kerusakan ini terjadi pada pertemuan tepi permukaan perkerasan dengan bahu jalan tanah (bahu tidak beraspal) atau juga pada tepi bahu jalan beraspal dengan tanah sekitarnya. Bentuk kerusakan cacat tepi permukaan dibedakan atas gerusan tepi (edge break) dan penurunan tepi (edge drop).

Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi dapat merupakan gabungan dari penyebab yang saling kait-mengait. Sebagai contoh adalah retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya sokongan dari damping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air meresap masuk ke lapis di lubang-lubang disamping melemahkan daya dukung lapisan dibawahnya (Departemen Pekerjaan Umum, 2007). Adapun gambar-gambar kerusakan jalan dapat dilihat pada lampiran. Sedangkan menurut Highway Development and Management (2001), kerusakan pada perkerasan jalan terbagi ke dalam beberapa kategori, yaitu: 1. Kerusakan permukaan jalan Pada kategori kerusakan permukaan jalan dibagi menjadi tiga bagian: Retak (cracking) Lubang (potholing) Pelepasan butir (raveling) Cacat tepi perkerasan (edge break) 2. Kerusakan deformasi Pada kategori kerusakan deformasi dibagi menjadi dua bagian: Alur (rutting) Ketidakrataan (roughness) 3. Kerusakan tekstur permukaan jalan Pada kategori tekstur permukaan jalan dibagi menjadi dua bagian: Kedalaman tekstur (texture depth) Kekesatan (skid resistance) 4. Kerusakan akibat sistem drainase yang buruk.

II.2 Retak II.2.1 Umum Retak adalah suatu gejala kerusakan/ pecahnya permukaan perkerasan sehingga akan menyebabkan air pada permukaan perkerasan masuk ke lapisan dibawahnya dan hal ini merupakan salah satu faktor yang akan membuat luas/ parah suatu kerusakan (Departemen Pekerjaan Umum, 2007). Di dalam pendekatan mekanika retak diasumsikan ada bagian yang lemah pada setiap material. Ketika pembebanan terjadi, ada konsentrasi tegangan yang lebih tinggi di sekitar bagian tersebut, sehingga material tersebut tidak lagi memiliki distribusi tegangan yang seragam dan terjadilah kerusakan/ retak pada bagian tersebut dan berkembang ke bagian yang lainnya. Mekanika retak juga menggambarkan perkembangan retak tergantung pada sifat material tersebut (Roque, 2010). II.2.2 Jenis - jenis retak Pengelompokan jenis-jenis kerusakan yang terjadi pada retak bermacam-macam, seperti jenis retak berdasarkan bentuk retak, penyebab terjadinya kerusakan retak, tingkat keparahan retak, lokasi retak, dan cara berkembangnya. II.2.2.1 Berdasarkan bentuk retak Departemen Pekerjaan Umum (2007) mengelompokkan jenis kerusakan retak berdasarkan bentuknya menjadi: 1. Meander (meandering) Yaitu retak yang terjadi berbentuk seperti sungai yang berkelok-kelok (meander). Jenis retak yang termasuk dalam kerusakan ini adalah: retak halus (hair cracks). Retak halus (hair cracks)

Yang dimaksud retak halus adalah retak yang terjadi mempunyai lebar celah 3 mm. Sifat penyebarannya dapat setempat atau luas pada permukaan jalan. Kemungkinan penyebab: 1. Bahan perkerasan/ kualitas material kurang baik. 2. Pelapukan permukaan. 3. Air tanah pada badan perkerasan jalan. 4. Tanah dasar/ lapisan dibawah permukaan kurang stabil. Akibat lanjutan: a. Meresapnya air pada badan jalan sehingga mempercepat kerusakan dan menimbulkan ketidak-nyamanan berkendaraan. b. Berkembang menjadi retak buaya (alligator cracks). 2. Garis (line) Gambar 2.1 Retak Halus (Hair Cracks) Yaitu retak yang terjadi berbentuk garis dan dapat berupa memanjang (longitudinal), melintang (transverse), dan diagonal. Jenis kerusakan retak yang termasuk dalam kerusakan ini adalah: retak tepi (edge cracks), retak pertemuan perkerasan dan bahu (edge joint cracks), retak sambungan jalan (lane joint cracks), dan retak sambungan pelebaran (widening cracks).

Retak tepi (edge cracks) Retak ini disebut juga dengan retak garis (lane cracks) dimana terjadi pada sisi tepi perkerasan/ dekat bahu dan berbentuk retak memanjang (longitudinal cracks) dengan atau tanpa cabang yang mengarah ke bahu. Retak ini dapat terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar. Kemungkinan penyebab: 1. Bahan dibawah retak pinggir kurang baik atau perubahan volume akibat jenis ekspansif clay pada tanah dasar. 2. Sokongan bahu samping kurang baik. 3. Drainase kurang baik. 4. Akar tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi sebab terjadinya retak tepi. Akibat lanjutan: a. Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan sehingga mengganggu kenyamanan berkendaraan. b. Retak akan berkembang menjadi besar yang diikuti oleh pelepasan butir pada tepi retak. Gambar 2.2 Retak Tepi (Edge Cracks)

Retak pertemuan perkerasan bahu (edge joint cracks) Sesuai dengan namanya retak ini umumnya terjadi pada daerah sambungan perkerasan dengan bahu yang beraspal. Retak ini berbentuk retak memanjang (longitudinal cracks) dan biasanya terbentuknya pada permukaan bahu beraspal. Retak ini dapat terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar. Kemungkinan penyebab: 1. Perbedaan ketinggian antara bahu beraspal dengan perkerasan, akibat penurunan bahu. 2. Penyusutan material bahu/ badan perkerasan jalan. 3. Drainase kurang baik. 4. Roda kendaraan berat yang menginjak bahu beraspal. 5. Material pada bahu yang kurang baik/ kurang memadai. Akibat lanjutan: a. Menimbulkan kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan akibat meresapnya air pada badan jalan dan mengganggu kenyamanan berkendaraan. b. Berkembang menjadi besar yang diikuti oleh pelepasan butir pada tepi retak. Retak sambungan jalan (lane joint cracks) Sesuai dengan namanya retak ini terjadi pada sambungan dua jalur lalu lintas dan berbentuk retak memanjang (longitudinal cracks). Retak ini dapat terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar. Kemungkinan penyebab:

1. Ikatan sambungan kedua jalur yang kurang baik. Akibat lanjutan: a. Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan akan mengganggu kenyamanan berkendaraan. b. Lepasnya butir pada tepi retak dan bertambah lebar. Gambar 2.3 Retak Sambungan Jalan (Lane Joint Cracks) Retak sambungan pelebaran (widening cracks) Bentuk retak ini adalah retak memanjang (longitudinal cracks) yang akan terjadi pada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan pelebaran. Retak ini dapat terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar dan akan meresapkan air pada lapisan perkerasan. Kemungkinan penyebab: 1. Ikatan sambungan yang kurang baik. 2. Perbedaan kekuatan/ daya dukung perkerasan pada jalan pelebaran dengan jalan lama. Akibat lanjutan:

a. Menimbulkan kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan akan mengganggu kenyamanan berkendaraan. b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga kerusakan akan bertambah parah. Gambar 2.4 Retak Sambungan Pelebaran (Widening Cracks) 3. Blok (block) Yaitu retak yang saling berhubungan membentuk serangkaian blok, dengan bentuk menyerupai persegi empat. Jenis kerusakan retak yang termasuk dalam kerusakan ini adalah: retak refleksi (reflection cracks), dan retak susut (shrinkage cracks). Retak refleksi (reflection cracks) Kerusakan ini terjadi pada lapisan tambahan (overlay), dapat berbentuk memanjang (longitudinal cracks), diagonal (diagonal cracks), melintang (transverse cracks), ataupun kotak (blocks cracks) yang menggambarkan pola retakan perkerasan dibawahnya. Retak ini dapat terjadi bila retak pada perkerasan lama tidak diperbaiki secara benar sebelum pekerjaan pelapisan ulang (overlay) dilakukan. Kemungkinan penyebab:

1. Pergerakan vertikal/ horizontal di bawah lapis tambahan (lapisan overlay) sebagai akibat perubahan kadar air pada tanah dasar yang ekspansif. 2. Perbedaan penurunan (settlement) dari timbunan/ pemotongan badan jalan dengan struktur perkerasan. Akibat lanjutan: a. Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan akan mengganggu kenyamanan berkendaraan. b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga kerusakan akan bertambah parah. Gambar 2.5 Retak Refleksi (Reflection Cracks) Retak susut (shrinkage cracks) Retak yang terjadi tersebut saling bersambungan membentuk kotak besar dengan sudut tajam atau dapat dikatakan suatu interconnected cracks yang membentuk suatu seri blocks cracks. Umumnya penyebaran retak ini menyeluruh pada perkerasan jalan. Kemungkinan penyebab: 1. Perubahan volume perkerasan yang mengandung terlalu banyak aspal dengan penetrasi rendah. 2. Perubahan volume pada lapisan pondasi dan tanah dasar.

Akibat lanjutan: a. Retak ini akan menyebabkan meresapnya air pada badan jalan sehingga akan menimbulkan kerusakan setempat atau menyeluruh pada perkerasan jalan dan mengganggu kenyamanan berkendaraan. b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga timbul lubang (potholes). Gambar 2.6 Retak Susut (Shrinkage Cracks) 4. Kulit buaya (crocodile) Yaitu retak yang berbentuk kulit buaya. Jenis yang termasuk dalam kerusakan ini adalah: retak kulit buaya (alligator cracks). Retak kulit buaya (crocodile cracks) Istilah lain adalah chickenwire cracks, alligator cracks, polygonal cracks, dan crazing. Lebar celah retak 3 mm dan saling berangkai membentuk serangkaian kotak-kotak kecil yang menyerupai kulit buaya atau kawat untuk kandang ayam. Umumnya daerah dimana terjadi retak kulit buaya tidak luas. Jika daerah dimana terjadi retak kulit buaya luas, mungkin hal ini disebabkan oleh repetisi beban lalulintas yang melampaui beban yang dapat dipikul oleh lapisan permukaan tersebut. Kemungkinan penyebab:

1. Bahan perkerasan/ kualitas material kurang baik. 2. Pelapukan permukaan. 3. Air tanah pada badan perkerasan jalan. 4. Tanah dasar/ lapisan dibawah permukaan kurang stabil. Akibat lanjutan: a. Kerusakan setempat/ menyeluruh pada perkerasan. b. Berkembang menjadi lubang akibat dari pelepasan butir-butir. Gambar 2.7 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracks) 5. Parabola (crescent) Yaitu retak yang berbentuk parabola. Jenis yang termasuk dalam kerusakan ini adalah: retak selip (slipage cracks). Retak selip (slipage cracks) Kerusakan ini sering disebut dengan parabolic cracks, shear cracks, atau crescent shaped cracks. Bentuk retak lengkung menyerupai bulan sabit atau berbentuk seperti jejak mobil disertai dengan beberapa retak. Kadang-kadang terjadi bersama dengan terbentuknya sungkur (shoving). Kemungkinan penyebab:

1. Ikatan antar lapisan aspal dengan lapisan dibawahnya tidak baik yang disebabkan kurangnya aspal/ permukaan berdebu 2. Pengunaan agregat halus terlalu banyak. 3. Lapis permukaan kurang padat/ kurang tebal 4. Penghamparan pada temperature aspal rendah atau tertarik roda penggerak oleh mesin penghampar aspal/ mesin lainnya. Akibat lanjutan: a. Kerusakan setempat atau menyeluruh pada perkerasan jalan dan akan mengganggu kenyamanan berkendaraan. b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga timbul lubang (potholes). Gambar 2.8 Retak Selip (Slipage Cracks) II.2.2.2 Berdasarkan penyebab retak Menurut Mamlouk (2006) berdasarkan penyebab terjadinya kerusakan retak, retak dibagi menjadi 3 bagian: 1. Retak struktural (structural cracking) Retak struktural yang disebut juga sebagai retak lelah (fatigue cracking) adalah serangkaian retak memanjang dan saling berhubungan pada permukaan jalan yang

disebabkan oleh pembebanan yang berulang dari roda kendaraan. Jenis retak ini umumnya dimulai sebagai retak longitudinal pendek di jalan dan berkembang menjadi retak berpola kulit buaya (retak saling berhubungan). Jenis retak ini terjadi karena aksi lentur yang berulang pada perkerasan saat beban diberikan. Hal ini menghasilkan tegangan tarik yang akhirnya membuat retak pada bagian bawah lapisan aspal. Retak secara bertahap merambat ke bagian atas lapisan dan kemudian berkembang dan saling berhubungan. Jenis kerusakan ini akhirnya akan menyebabkan hilangnya integritas struktural dari sistem perkerasan. Gambar 2.9 Retak Struktural (Fatigue Cracking) 2. Retak melintang akibat suhu ( transverse thermal cracking) Retak ini terjadi karena perubahan suhu pada material perkerasan jalan. Karena material ini digerus berulang akibat gaya gesekan dengan material lain, tegangan tarik berkembang dalam material perkerasan. Jika tegangan tarik melebihi kekuatan tegangan tarik material, maka retak thermal akan berkembang seperti Gambar 2.10. Retak thermal biasanya terjadi dalam arah melintang dan tegak lurus dari arah arus lalu lintas. Jenis retak ini biasanya memiliki jarak yang sama. Retak ini adalah jenis retak yang tidak berhubungan dengan beban lalu lintas dan retak ini dimulai saat musim dingin. Lebar retak thermal biasanya mengalami perubahan dari musim panas

ke musim dingin. Dalam beberapa kasus, retak yang kecil dapat tertutup selama musim panas. Dalam kasus lain, lebarnya retak meningkat dari tahun ke tahun. Gambar 2.10 Retak Thermal (Transverse Thermal Cracking) 3. Retak refleksi (reflection cracking) Retak refleksi merupakan retak di bawah lapisan yang bisa terjadi overlay. Retak refleksi sering terjadi di aspal overlay pada perkerasan beton dan cement treated basis. Mereka juga terjadi ketika retak pada lapisan aspal yang lama tidak benar diperbaiki sebelum dioverlay. Retak refleksi memiliki beberapa bentuk tergantung pada pola retak di lapisan bawahnya. Gambar 2.11 Retak Refleksi (Reflection Cracking)

II.2.2.3 Berdasarkan tingkat keparahan (severity) Menurut Metropolitan Transportation Commission (1986) berdasarkan tingkat keparahan, retak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Ringan (low) Kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak halus yang saling terhubung tanpa ada retakan yang pecah. Gambar 2.12 Retak dengan Tingkat Keparahan Rendah Sedang (medium) Kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak yang terhubung membentuk kotak-kotak kecil dan pola retak sudah cukup kelihatan jelas karena sudah terdapat retak yang mulai pecah. Gambar 2.13 Retak dengan Tingkat Keparahan Sedang

Berat (high) Kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak menyerupai kulit buaya yang keseluruhan retaknya sudah pecah sehingga jika dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya alur bahkan lubang pada jalan. Gambar 2.14 Retak dengan Tingkat Keparahan Berat II.2.2.4 Berdasarkan lokasi retak Berdasarkan lokasi retak, NDLI (1995) membagi retak menjadi dua bagian, yaitu: Retak pada tepi Retak pada tepi ini sama halnya dengan edge break, retak ini terjadi pada pertemuan tepi permukaan perkerasan dengan bahu jalan tanah (bahu tidak beraspal) atau juga pada tepi bahu jalan beraspal dengan tanah sekitarnya. Retak pada wheel path Retak yang terjadi pada lintasan roda (wheel path), yang umumnya retak akibat pembebanan berulang dari kendaraan yang melintasi jalan tersebut. II.2.2.5 Berdasarkan cara berkembang retak Berdasarkan cara berkembangnya, NDLI (1995) membagi dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Retak dari atas ke bawah (top-down cracking)

Top-down cracks (TDC) adalah retak memanjang dan/ atau melintang yang dimulai pada permukaan perkerasan aspal dan berkembang ke bawah. Menurut Kuennen (2009), retak ini biasanya terjadi akibat segregasi campuran aspal dan sifat viscoelastic aspal sebagai pengikat yang rentan terhadap perubahan suhu yang ekstrim. Retak dari bawah ke atas (bottom-up cracking) Kuennen (2009) menyebutkan bahwa bottom-up cracking atau fatigue cracking adalah hasil dari perkembangan tegangan pada lapis pondasi perkerasan aspal yang menyebabkan lapis pondasi retak dan merambat ke atas. Retak ini diakibatkan repetisi beban lalu lintas dan bisa berupa kumpulan retak kecil yang saling berhubungan. II.3 Beban Lalu Lintas Suatu lapisan lentur yang terdiri dari beberapa lapis yaitu lapisan permukaan berasal dari aspal hotmix, base dan sub-base, dan sub-grade. Pada saat menerima beban roda lapisan perkerasan melentur dan pada lapisan bekerja tegangan-tegangan tekan maupun tarik. Karena beban roda tersebut terjadi berulang-ulang, maka tegangan-tegangan tersebut juga berulang. Gambar 2.15 Penyebaran Beban Roda

Lapisan permukaan merupakan suatu lapisan yang bound (terikat), sehingga lapisan tersebut dapat menahan gaya tekan tarik. Umumnya karena lapisan permukaan ini dapat mendukung tegangan tekan yang lebih besar daripada tegangan tarik, maka tegangan tarik di bagian bawah lapisan biasanya lebih menentukan dalam umur tekanan terhadap beban berulang. Pada lapisan base, sub-base, dan sub-grade, lapisan umumnya terdiri dari bahan granular (berbutir) yang lepas. Bahan seperti ini dapat menahan tekan tetapi dapat dianggap praktis tidak dapat menahan tegangan tarik. Jadi lapisan ini hanya menahan beban tekan saja dan deformasi yang terjadi dianggap hanya akibat beban tekan pada permukaan lapisan saja. Pada AASHO Road Test di Negara bagian Illinois USA, telah dilakukan pengujian bermacam-macam jenis dan struktur perkerasan jalan, lentur maupun kaku, untuk diketahui kekuatannya. Pengujian tersebut dilakukan dengan menggunakan as 18.000 lbs (8,16 ton) pada as beroda tunggal ganda pada Gambar 2.14. Dengan beban tersebut dapat diketahui jumlah repetisi yang dapat ditanggung oleh bermacam-macam struktur perkerasan sampai pada tingkat kerusakan yang ditinjau. Gambar 2.16 Konfigurasi Beban As Standar Beban as standar pada Gambar 2.16 dikenal dengan nama Standard Single Axle Load. Untuk beban-beban as lain yang besarnya 18.000 lbs maka digunakan prinsip beban ekivalen dan damage factor.

Untuk menghitung tebal perkerasan, umumnya digunakan unit (satuan) beban as standar 8,16 ton di atas melintas satu kali menghasilkan DF = 1. Biasanya satuan untuk perancangan tidak disebut dalam Damage Factor tetapi dalam Equivalent Standard Axle Load (ESAL). Di Indonesia Muatan Sumbu Terberat (MST) yang resmi diberlakukan adalah 8,0 ton tekanan sumbu gandar tunggal. Diambilnya besaran (angka) 8,0 ton sebagai batasan muatan sumbu terberat untuk sumbu tunggal tersebut didasarkan atas daya pengrusak (damage factor) terhadap perkerasan yang bernilai satu (1); sebagai akibat yang ditimbulkan muatan sumbu tadi. Sebagaimana diketahui bahwa tekanan gandar tunggal sebesar 8,16 ton atau 18.000 lbs (dibulatkan menjadi 8,0 ton) mempunyai nilai daya pengrusak perkerasan (damage factor) sebesar satu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besarnya batasan muatan ganda ditentukan berdasarkan ketentuan nilai damage factor harus = 1 untuk standar muatan gandar yang dimaksud. Ketentuan muatan sumbu terberat yang sudah ditetapkan masih terbatas pada sumbu tunggal saja (MST 8000 kg). Meskipun demikian untuk jenis sumbu yang lain, yaitu sumbu ganda dan sumbu tiga (triple), besarnya muatan maksimum dapat dihitung dengan pedoman bahwa nilai damage factor dari beban sumbu yang bersangkutan harus sama dengan satu. Untuk menghitung besarnya damage factor tiap-tiap jenis muatan sumbu kendaraan dapat dipergunakan rumus sebagai berikut: Damage factor sumbu tunggal : DF-tgl = P 8,16 4 (2.1) Damage factor sumbu ganda : DF-tdm = 0,086 Damage factor sumbu triple : DF-trpl = 0,053 P 8,16 P 8,16 4 4 (2.2) (2.3)

Dengan menggunakan rumus-rumus di atas serta batasan nilai damage factor = 1, maka akan diperoleh batasan beban maksimum untuk setiap jenis sumbu sebagai berikut: MST sumbu tunggal = 8,15 ton, dibulatkan menjadi 8 ton. MST sumbu tandem = 15,09 ton, dibulatkan menjadi 15 ton. MST sumbu triple = 20,34 ton, dibulatkan menjadi 20 ton. Ketentuan MST tersebut di atas berlaku untuk dual wheel atau ban dobel. Untuk single wheel atau ban tunggal yang biasanya terdapat pada sumbu tunggal saja, besarnya MST sumbu tunggal- ban tunggal adalah sekitar 5,5 ton (Muis, 1993). Beberapa contoh perhitungan beban lalu lintas dapat dilihat pada lampiran. II.4 Structural Number Structural Number (SN) adalah indeks yang diturunkan dari analisis lalu lintas, kondisi tanah dasar, dan lingkungan yang dapat dikonversi menjadi tebal lapisan perkerasan dengan menggunakan koefisien relatif yang sesuai untuk tiap-tiap jenis material masingmasing lapis struktur perkerasan (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002). Nilai structural number (SN) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: PSI log10 0 log ( 18 ) 0 9.36 log10 ( 1) 0.20 IP IPt W Z R S SN + + + 2.32 log10 1094 0.40 + ( SN + 1) 5.19 ( M ) 8. 07 10 = R Dimana: (2.4) W 18 Z R = Perkiraan jumlah beban lalu lintas dari beban sumbu standar ekivalen 8,16 kn = Deviasi normal standar

S 0 PSI = Gabungan standard error untuk perkiraan lalu lintas dan kinerja = Perbedaan antara initial design serviceability index (IP 0 ) dan design terminal serviceability index (IPt) M IP R t = Modulus resilien = Indeks permukaan jalan hancur (minimum 1,5) Structural number (SN) juga dapat ditentukan dengan nomogram di bagian lampiran. Structural number (SN) berbeda dengan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) yang umumnya dipakai di Indonesia, berikut adalah beberapa perbedaan antara structural number dan Indeks Tebal Perkerasan: Persamaan nilai structural number (SN) adalah persamaan 2.4, yaitu: PSI log10 0 log ( 18 ) 0 9.36 log10 ( 1) 0.20 IP IPt W Z R S SN + + + 2.32 log10 1094 0.40 + ( SN + 1) 5.19 ( M ) 8. 07 10 = R Sedangkan untuk persamaan nilai Indeks Tebal Perkerasan (ITP) adalah: PSI log10 IP0 IPt log10 ( W18 ) = 9.36 log10 ( ITP + 1) 0.20 + + log FR + 0.372 DDT 1094 0.40 + Dimana: ( ITP + 1) 5.19 ( 3.0) (2.5) W 18 ITP FR = Perkiraan jumlah beban lalu lintas dari beban sumbu standar ekivalen 8,16 kn = Indeks Tebal Perkerasan = Faktor Regional yang besarnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana jalan tersebut berada PSI = Perbedaan antara initial design serviceability index (IP 0 ) dan design terminal serviceability index (IPt)

DDT = Daya Dukung Tanah Dasar yang besarnya merupakan nilai korelasi dengan nilai CBR. Tabel 2.1 Perbandingan Structural Number dan Indeks Tebal Perkerasan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) Parameter daya dukung tanah dasar dinyatakan dalam DDT, yang dikonversikan terhadap nilai CBR. Structural Number (SN) Parameter daya dukung tanah dasar dinyatakan dalam modulus resilien (Mr) yang dapat diperoleh dengan pemeriksaan AASHTO T-274 atau korelasi dengan CBR Faktor regional, adalah parameter yang dipergunakan untuk perbedaan kondisi lokasi Parameter ini tidak dipergunakan lagi, diganti dengan parameter yang lain. Ada beberapa parameter baru: - Reliabilitas - Simpangan baku - Koefisien Drainase ITP= a 1 D 1 + a 2 D 2 + a 3 D3 SN= a1d 1 + a 2 D 2 m 2 + a 3 D 3 m 3 Tebal perkerasan dalam satuan centimeter Tebal perkerasan dalam satuan inci (inch) (cm) Didesain untuk umur rencana 10 tahun Didesain untuk umur rencana 20 tahun Pada pemodelan prediksi HDM-4 (2001) dan Wiyono (2010), nilai structural number (SN) yang dipakai untuk memprediksi kerusakan jalan merupakan modified structural number (SNC) yaitu structural number yang dimodifikasi dengan adanya penambahan structural number dari sub-grade, yang merupakan fungsi dari CBR sub-grade. Berikut adalah persamaan structural number modified (SNC):

SNC = SN + SNSG (2.6) SN = a 1 D 1 + a 2 D 2 m 2 + a 3 D 3 m 3 (2.7) SNSG = 3.51 (log10 CBR) 0.85 (log 10 CBR) 2 1.43 (2.8) Dimana: SNC SN a 1,a 2,a 3 D1, D 2, D 3 m 2, m 3 SNSG = Modified structural number = Structural number dari AASHTO = Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan = Tebal masing-masing perkerasan = Koefisien drainase = Structural number of Sub-grade Adapun nilai koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan dan koefisien drainase dapat dilihat pada lampiran. Walaupun nilai structural number (SN) pada perkerasan sama, bukan berarti perlakuan atau kinerja perkerasan juga sama. Kinerja perkerasan, dalam hal ini retak (crack) dan alur (rut) yang terjadi juga tergantung pada jenis-jenis lapisan perkerasan yang ada. Di bawah ini adalah beberapa kinerja perkerasan menurut jenis-jenis lapisan perkerasan: a. Performance Rut Riding Quality (RQ) Crack Thin seal Base Sub-base Time

b. Performance Rut RQ Crack Thin seal Concrete base Cement Treatment Sub-base (CTSB) Time c. Performance Crack RQ Rut Thin seal CTB CTSB Time d. Performance Rut RQ Crack AC > 100 mm Sub-base Time e. RQ Concrete Performance Crack Rut Sub-base Time Gambar 2.17 Grafik kinerja perkerasan menurut jenis-jenis lapisan perkerasan.

Sesuai pada pembatasan masalah, untuk prediksi mulainya retak dan perkembangannya dipakai jenis perkerasan tipe a pada gambar di atas.