PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN EBONI DALAM SISTEM DAERAH PENYANGGA. M. Bismarck

dokumen-dokumen yang mirip
STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

KONSERVASI EBONI (Diospyros celebica Bakh.) Sunaryo

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

BAB 2 Perencanaan Kinerja

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

PENDAHULUAN Latar Belakang

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

2. Seksi Pengembangan Sumberdaya Manusia; 3. Seksi Penerapan Teknologi g. Unit Pelaksana Teknis Dinas; h. Jabatan Fungsional.

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB)

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950);

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR SK.159/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG RESTORASI EKOSISTEM DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA.

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

Gubernur Jawa Barat GUBERNUR JAWA BARAT,

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2014 TAHUN 2013 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG

KAJIAN KONSERVASI EBONI {Diospyros celebica Bakh.) Samedi dan Ilmi Kurniawati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 14 TAHUN 2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G

Profil Wilayah Heart Of Borneo

Transkripsi:

Berita Biologi, Volume 6. Nomor 2, Agustus 2002 PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN EBONI DALAM SISTEM DAERAH PENYANGGA M. Bismarck Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor ABSTRACT The increasing value of ebony (Diospyros celebica Bakh.) recently, causes extensive exploration of the species, and as the consequency the natural population of this species become endangered. Conservation of ebony depends on the management of the Nature Conservation areas or the National Parks in Sulawesi. Conserving the gene pool and management of the surrounding area i.e.the buffer zone is important for the species diversity and the social economic aspect of the local community. The buffer zone has three different functions, as greenbelt zone, interaction zone and cultivation zone. These zones are managed in an integrated system where the progress of the region is responsible on the conservation and community development is implemented. The progress of the ebony forest plantation and agriculture zone of the buffer zone area develops into a mixed plantation forest of an agroforestry system in a community forest management. Key words: eboni, Diospyros celebica, pengelolaan, konservasi, daerah penyangga, hutan rakyat. PENDAHULUAN Jenis pohon eboni di alam, ada sekitar 90-100 jenis tetapi yang menghasilkan kayu teras hanya ada beberapa jenis seperti Diospyros celebica Bakh, D. ebenum Koen, D. ferrea Bakh. D. lolin Bakh, D. rumpi Bakh. dan yang paling terkenal adalah D. celebica dengan teras hitam bergaris cokelat. Populasi pohon D. celebica (eboni) tersebar di Sulawesi Utara (20%), Sulawesi Tengah (65%) dan Sulawesi Selatan (15%) dan kuantitas teras eboni relatif berbeda berdasarkan lokasi tempat tumbuh. Munurut inventarisasi vegetasi di hutan primer Sulawesi Tengah, dari 4.850 semai/hektar terdapat 90 semai eboni dengan penyebaran 5%. Permudaan tingkat pancang untuk jenis eboni sangat kurang, yaitu 1 anakan per hektar dengan penyebaran 1%. Sedangkan di hutan bekas tebangan pada 6.480 batang semai/ha hanya terdapat 10 batang semai eboni. Dampak konsesi hutan, perladangan berpindah dan eksploitasi berbagai jenis kayu di hutan alam mengakibatkan merosotnya populasi eboni di alam. Untuk tujuan pelestarian jenis kayu eboni di alam, dilakukan upaya konservasi di habitatnya atau konservasi in-situ. Konservasi jenis eboni yang dilakukan secara ex-situ dapat melalui pengembangan kegiatan penanaman di kebun koleksi, kebun botani, atau kebun percobaan. Berdasarkan pengamatan di kebun percobaan, tanaman eboni termasuk jenis yang pertumbuhannya lambat, riap tinggi selama 10 tahun pertama di Kebun Percobaan Cikampek dan Bogor masingmasing 68 cm/tahun, riap diameter rata-rata selama 20 tahun 1,5-1,6 cm/tahun, kemudian menurun menjadi 0,5 cm/tahun. Riap tinggi tanaman eboni selama 8 tahun pertama di bawah tegakan jati pada daerah bertipe iklim C berkisar antara 7-55 cm/tahun. Dengan diketahuinya faktor ekologis dan teknik pembuatan permudaan buatan eboni maka dalam program konservasi ex-situ, pengelolaan dan pemanfaatan eboni dapat dilaksanakan melalui program pengembangan hutan tanaman yang dikelola dalam sistem hutan kemasyarakatan atau hutan rakyat yang dikombinasikan dengan sistem agroforestry atau dalam bentuk hutan campuran. Pengembangan hutan tanaman ini sangat tergantung pada partisipasi masyarakat maupun fungsi kawasan disekitarnya. PELESTARIAN JENIS DALAM KAWASAN PELESTARIAN ALAM Pelestarian jenis dalam kawasan yang didukung dengan sistem perundangan baik jenis, habitat dalam ekosistem, adalah di kawasan konservasi yang meliputi Suaka Alam, Kawasan Pelestarian 321

Bismark - Pengembangan dan Pengelolaan Eboni dalam Daerah Penyangga Alam, dan kawasan Hutan Lindung. Sedangkan di luar kawasan telah berkembang system pengelolaan pemanfaatan guna meningkatkan nilai ekologis dan peningkatan sosial ekonomi masyarakat melalui pengembangan hutan tanaman, agroforestry, maupun teknik pelestarian jenis, yang dilaksanakan dan berkembang pada penduduk lokal sekitar hutan dan desa hutan. Dengan berkembangnya program Pengembangan Wilayah, penataan fungsi kawasan semakin penting artinya dan bahkan semakin meningkatkan nilai dan peluang pemanfaatan kawasan untuk menunjang pembangunan. Di sisi lain, kepentingan masyarakat dalam meningkatkan ekonominya memberi peluang pula bagi peningkatan pemanfaatan sumberdaya tumbuhan dan fisik lahan, bahkan kegiatan tersebut cenderung terjadi secara ilegal. Untuk menyelaraskan kepentingan di atas, dengan memperhatikan kepentingan pelestarian keanekaragaman tumbuhan dalam ekosistemnya, dikembangkanlah sistem zonasi di dalam dan di luar Kawasan Pelestarian Alam (KPA) serta pengelolaannya. Pengelolaan kawasan pelestarian Alam diawali dengan menyusun Rencana Pengelolaan serta penerapan sistim zonasi untuk mengupayakan peningkatan perlindungan, pengelolaan, penegakan hukum dan penyusunan rencana partisipatif melalui penguatan kelembagaan masyarakat, pelatihan serta dukungan sarana dan prasarana. Penerapan zonasi memerlukan analisis rasionalisasi batas kawasan, inventarisasi jenis, pemantauan ekologis, penelitian sosial-ekonomi dan telaahan lain yang diperlukan untuk kepentingan perencanaan dan pengelolaan kawasan menurut fungsi zonasinya. Zonasi di dalam KPA di antaranya adalah zona inti untuk pelestarian jenis dan zona pemanfaatan tradisional untuk pemanfaatan kawasan terbatas dan dengan cara tradisional. Fungsi dan sistem pengelolaan yang terstruktur dengan sistim zonasi merupakan faktor yang membedakan pengelolaan Tainan Nasional dengan kawasan konservasi lainnya, sehingga membawa konsekuensi bahwa pengelolaan Taman Nasional perlu mendapat prioritas yang lebih besar dalam pelestarian tumbuhan, habitat dan ekosistem serta kepentingan sosial ekonomi masyarakat, terutama masyarakat yang masih bergantung pada sumberdaya hutan. Mengingat pentingnya fungsi Taman Nasional, dalam kelestarian dan perlindungan biodiversiti fauna, flora dan ekosistem maka untuk melindungi kawasan konservasi tersebut dari pemanfaatan ilegal perlu ditetapkan areal di luar kawasan untuk kepentingan masyarakat dan mengelolanya sebagai daerah penyangga. Pengembangan sistem pemanfaatan Taman Nasional bagi masyarakat sekitarnya untuk meningkatkan pendapatan, adalah melalui proses peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat dalam program konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem kawasan. Pengelolaan Daerah Penyangga Taman Nasional untuk tujuan di atas dilakukan melalui koordinasi perencanaan dan sinkronisasi pelaksanaan, sehingga pembangunan yang dilakukan oleh berbagai sektor dapat saling mendukung (Gambar 1). Permasalahan dalam penetapan dan pengelolaan daerah penyangga secara garis besar meliputi: Pertama, belum samanya persepsi (antara sektor dan masyarakat) dalam penunjuk daerah penyangga, dan karena kawasan dapat mencakup beberapa wilayah administrative, sehingga akan menyulitkan upaya koordinasi dalam pengelolaan daerah penyangga yang ditunjuk. Kedua; pada umumnya masyarakat yang berada di daerah penyangga adalah masyarakat marginal sehingga dalam memperoleh pendapatan dengan terpaksa mengeksploitasi sumberdaya alam hayati Taman Nasional. Ketiga; tekanan kegiatan ekonomi produktif seperti HPH, perkebunan, pertambangan terhadap fragmentasi dan distribusi keanekaragaman hayati di daerah penyangga, termasuk sinkronisasi pelaksanaan yang mendukung terhadap pelestarian dan perlindungan KPA. 322

Berita Biologi, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2002 PENGEMBANGAN WILAYAH DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM T PENUNJUKAN TATA RUANG UNTUK KAWASAN KONSERVASZ DAN DAERAH PENYANGGA PENETAPAN TAMAN NASIONAL (Kawasan Pelestarian Alam) T PENETAPAN DAERAH PENYANGGA FUNGSI SOSIAL EKONOMI KOORDINASI PROGRAM PEMERINTAH DAN MASYARAKAT PERENCANAAN PELAKSANAAN PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH KEPEDULIAN MASY. DALAM PELESTARIAN SUMBERDAYA ALAM PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM SINERGISME PROGRAM SEKTOR DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN LXNGKUNGAN Gambar 1. Strategi Pengembangan Daerah Penyangga 323

Bismark - Pengembangan dan Pengelolaan Eboni dalam Daerah Penyangga PEMBANGUNAN DAERAH PENYANGGA Pembangunan daerah penyangga merupakan bagian integral dari pembangunan daerah secara terpadu. Daerah penyangga merupakan kawasan penting sebagai pendukung kawasan konservasi yang memerlukan perhatian khusus. Kawasan ini merupakan daerah yang sangat potensial untuk dikelola guna mempertahankan kelestarian biodiversiti dan ekosistem taman nasional baik sebagai aset wisata alam, sebagai penyangga kawasan konservasi maupun sebagai kawasan budidaya (sumber penghasilan bahan pangan, kayu bakar) dan untuk pengembangan tanaman hutan yang bernilai ekonomis tinggi, seperti pengembangan eboni. Pada saat ini, dengan terjadinya gejolak ekonomi dan moneter, terjadinya perubahan musirrl serta rawan bencana kebakaran hutan, menyebabkan terjadinya rawan pangan di pedesaan. Dalam hal ini perlu adanya strategi dan kebijakan baru di sektor kehutanan yang melahirkan suatu terobosan untuk mempercepat penyelesaian masalah tersebut. Untuk itu sasaran pembangunan daerah penyangga diarahkan pada lahan di pusat-pusat konsentrasi ekonomi penduduk desa hutan yang mempunyai tingkat pengganguran tinggi dan rawan pangan. Pembangunan daerah penyangga diharapkan dapat mengalihkan perhatian penduduk untuk tidak merambah ke dalam kawasan konservasi, karena di daerah penyangga tersebut di programkan alternatif sistem pengelolaan lahan dan jenis tumbuhan yang memberikan insentif ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan. Dalam menentukan dan mengelola daerah penyangga Kawasan Pelestarian Alam harus didasarkan pada tiga aspek yang saling terkait yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat, sehingga daerah penyangga dapat memiliki nilai ekonomi tinggi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, di antaranya melalui pengembangan hutan tanaman dan tanaman budidaya. Oleh karena itu pembangunan kawasan konservasi, daerah penyangga, dan masyarakat akan menunjukkan dan mempunyai hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Untuk itu diperlukan adanya partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan terpadu yang saling mendukung dan sinergis dalam suatu kesatuan konsep program yang terpadu (Gambar 1). Pembangunan daerah penyangga merupakan pembangunan terpadu yang mencakup berbagai bidang sektor berdasarkan karakteristik permasalahan dan kebutuhan objektif wilayah masing-masing yang menjadi sasaran pembangunan. Sejalan dengan itu maka rencana pembangunan daerah penyangga dan kawasan konservasi di sekitarnya harus terkait erat dengan rencana pembangunan wilayah dalam satu perencanaan terpadu, dimana program pembangunan kawasan konservasi tersebut akan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian pembangunan daerah penyangga merupakan alternatif pemecahan masalah pengentasan kemiskinan khususnya bagi masyarakat desa hutan, serta upaya peningkatan partisipasi masya-rakat dalam melestarikan potensi tumbuhan guna pelestarian jenis dan manfaatnya. Berdasarkan fungsi, kepentingan dan kondisi lingkungan dan sosial, Model Daerah Penyangga Taman Nasional ditetapkan berdasarkan jalur atau zonasi yang menunjang fungsi dan kepentingan pelestarian KPA, yaitu Jalur Hijau, Jalur Interaksi dan Kawasan Budidaya (Gambar 2). Kawasan Jalur Hijau (Jalur Hijau) Fungsi jalur hijau adalah menyangga fisik kawasan dari gangguan atau intervensi masyarakat, menyangga dari pengaruh jenis tumbuhan eksotik dan sebagai perluasan "home - range" satwa. Areal ini dapat dikelola sesuai dengan fungsi di atas, termasuk areal HPH, kawasan lindung dan fungsi hutan lainnya yang berbatasan dengan KPA. Kawasan Jalur Interaksi (Jalur Interaksi) Fungsi jalur interaksi adalah menyangga KPA dan jalur hijau dari perubahan ekosistem yang drastis, menyangga gangguan satwa liar ke kawasan budidaya dan mendukung kepentingan sosial ekonomi masyarakat. Pengelolaan jalur interaksi 324

Berita Biologi, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2002 dilakukan melalui pengembangan agroforestry dengan tanaman kehutanan, dimanfaatkan secara terbatas, dan vegetasi sekunder atau areal yang ditinggalkan masyarakat dibangun menjadi hutan rakyat atau hutan kemasyarakatan yang menunjang konservasi tumbuhan yang bernilai ekonomis dan ekologis. Kawasan Budidaya Fungsi kawasan budidaya Daerah Penyangga adalah untuk mendukung peningkatan sosial ekonomi masyarakat, pengembangan wilayah dan wisata. Pengelolaan kawasan budidaya meliputi pengembangan program pertanian terpadu, termasuk menghindari pembukaan lahan dengan pembakaran, pemakaian herbisida yang berdampak negatif, serta menetapkan lokasi pertanian roaupun kawasan agroforestry masyarakat yang dapat disertifikatkan sehingga terdapat kepastian berusaha bagi masyarakat lokal dalam mengembangkan jenis tumbuhan langka, dan tumbuhan hutan serbaguna (Multipurpose Tree Species) dalam sistem hutan kemasyarakatan atau hutan rakyat Koordinasi Pengelolaan Dalam kaitannya dengan pengembangan eboni di Sulawesi, pengelolaan daerah penyangga di sekitar Kawasan Pelestarian Alam perlu mendapat prioritas, khususnya di Sulawesi Tengah, dimana populasi menurut habitat dan kondisi lingkungan mencapai 65% dari sebaran populasinya eboni di Sulawesi. Jalur hiiau > Zone Interaksi Kawasan Lindung/ Hutan lindung Areal Perkebunan Wilayah Konservasi dalam HPH + HPH Areal Pertanian Gambar 2. Model Daerah Penyangga 325

Bismark- Pengembangan dan Pengelolaan Eboni dalam Daerah Penyangga Prioritas pembangunan hutan tanaman dengan pola agroforestry untuk jenis eboni dalam sistem daerah penyangga akan lebih terarah, karena sistem Daerah Penyangga Taman Nasional dan pengelolaannya telah di tetapkan dalam Edaran Menteri Dalam Negeri No. 660.1/296/V/Bangda tanggal 16 Februari 1999. Agar pengelolaan daerah penyangga Taman Nasional berhasil dan berdaya guna, maka menurut surat edaran tersebut harus di bentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Daerah Penyangga secara berjenjang dari Tingkat Propinsi sampai ke daerah Tingkat Kecamatan dan Desa seperti Gambar 3 di bawah ini. PEMBINA Gubernur KOORDINATOR PERENCANAAN DAN PEMBINAAN PROGRAM Bappeda Propinsi KOORDINASI IMPLEMENTASI DAN MONITORING PROGRAM KOORDINATOR UNSUR TEKNIS DALAM PROGRAM, PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN Dinas Kehutanan Propinsi ADMINISTRASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN PEMBINAAN Biro Penyusunan Program PEMBINAAN PEMERINTAHAN LINTAS KABUPATEN DAN KECAMATAN Biro Tata Pern. Umum PROGRAM PEMBINAAN, PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KELEMBAGAAN Kantor PMD Propinsi PEMBINAAN TEKNIS PERTANAHAN Kantor BPN Propinsi PENGENDALIAN TEKNIS PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN TEKNISINFRASTRUKTUR Dinas PU Propinsi PELAKSANAAN PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LSM atau Perguruan Tinggi PERENCANAAN PEMBIAYAAN DAN PENGEMBANGAN PASAR Swasta / Perusahaan Gambar 3. Struktur Tim koordinasi pengelolaan daerah penyangga Tingkat Propinsi 326

Berita Biologi, Volume 6. Nomor 2, Agustus 2002 Dengan adanya tim koordinasi ini akan terbentuk sistem perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terpadu. Tim koordinasi di Tingkat Propinsi terdiri dari instansi tingkat propinsi sesuai dengan fiingsi dan jalur koordinasinya sebagaimana pada diagram Gambar 3. Dari diagram tersebut kepentingan koordinasi dalam program dan pelaksanaan selain dari pihak pemerintah yang terlibat, sistim informasi ilmiah dari lembaga pemerintah, Perguruan Tinggi dan LSM, dan pemberdayaan masyarakat menunjukkan hal yang sangat menenrukan keberhasilan program dan kerja tim koordinasi. Selain itu perlu ada peraturan daerah sebagai penjabaran dari Edaran Mendagri tentang pengelolaan daerah penyangga, khususnya tentang pengembangan dan pemanfaatan eboni yang menjadi andalan pendapatan daerah serta kaitannya dengan pelestarian jenis dan pengamanan KPA dari kegiatan ilegal. Pengembangan Hutan Tanaman Eboni di Daerah Penyangga Pengembangan jenis tumbuhan endemik dengan populasi di alam relatif kecil namun bernilai ekonomis tinggi serta kelestariannya cukup mengkhawatirkan. Upaya pelestarian jenis ini perlu di program melalui pengembangan hutan tanaman. Usulan ini dianjurkan untuk jenis eboni Diospyros celebica di Sulawesi melalui sistem hutan kemasyarakatan. Untuk mempercepat proses pemulihan populasi dan potensi D. celebica, guna memberikan peluang pemanfaatan kayunya yang berkelanjutan, maka konservasi secara ex-situ merupakan hal yang penting untuk diprogramkan dalam pembangunan hutan kemasyarakatan di daerah penyangga. Program ini bertujuan untuk: Merehabilitasi lahan kritis sekitar kawasan KPA sehingga meningkatkan nilai ekologis lahan dan lingkungan Melestarikan populasi eboni di luar kawasan Meningkatkan pemberdayaan dan persepsi masyarakat terhadap pentingnya pelestarian eboni dan pelestarian pemanfaatannya. Meningkatkan kelembagaan masyarakat dalam upaya peningkatan pengelolaan hutan tanaman eboni, sistem pemanfaatan dan perdagangannya. Melindungi kawasan dari intervensi masyarakat serta dampak yang ditimbulkan dari kegiatan ilegal. Meningkatkan teknik pengelolaan lahan bagi masyarakat yang mengembangkan hutan tanaman dengan sistem agroforestry. Meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal melalui hasil tanaman pangan atau tanaman yang bernilai ekonomis sesuai kebutuhan dan persepsi masyarakat, juga tanaman pohon penghasil buah, seperti kemiri, jambu mete maupun penghasil kayu dengan tanaman cepat tumbuh. Pembangunan sarana prasarana (jalan) untuk mendukung mobilisasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi. Tercapainya sinkronisasi keterlibatan Pemerintah Daerah dalam pelestarian eboni dan Kawasan Pelestarian Alam melalui sistem pengembangan hutan kemasyarakatan di daerah penyangga. Pembangunan kebun benih oleh lembaga pemerintah atau swasta adalah sangat penting untuk dapat menyediakan tanaman maupun bibit dalam jumlah yang mencukupi dengan mutu yang baik, dalam menunjang program pengembangan hutan tanaman eboni dalam bentuk hutan kemasyarakatan maupun untuk program rehabilitasi. Kebun benih yang berasal dari alam dapat dibina atau dikelola dalam wilayah Konservasi yang ditetapkan dalam areal HPH. Berdasarkan surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 253 tahun 1992 bahwa di kawasan HPH harus ada wilayah konservasi yang ditunjuk sebagai tempat pelestarian plasma nutfah. Adanya kawasan ini menjadi salah satu indikator bahwa HPH tersebut telah mengelola kawasan hutan produksinya secara berkelanjutan. Selain itu apabila ada kawasan HPH yang berada di daerah penyangga, dapat diterapkan aturan pengelolaan daerah penyangga yang menunjang terhadap perlindungan kawasan. 327