BAB II TEORI DASAR. 2.1 Synthetic Aperture Radar (SAR)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB IV ANALISIS. 4.1 Data

BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR)

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Gunung Merapi [

AKTIVITAS GUNUNGAPI SEMERU PADA NOVEMBER 2007

BAB I PENDAHULUAN. menyertai kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan vulkanisme, Kashara

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB II DASAR TEORI. II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010

PEMANFAATAN METODE INSAR UNTUK PEMANTAUAN AKTIVITAS GUNUNG SEMERU

KORELASI PARAMETER SUHU AIR PANAS, KEGEMPAAN, DAN DEFORMASI LETUSAN G. SLAMET APRIL - MEI 2009

Telepon: , , Faksimili: ,

ERUPSI G. SOPUTAN 2007

7.5. G. IBU, Halmahera Maluku Utara

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

BERITA GUNUNGAPI ENAM GUNUNGAPI WASPADA JANUARI MARET 2008

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

Pemanfaatan Metode Differential Intermerometry Synthetic Aperture Radar (DInSAR) untuk Pemantauan Deformasi Akibat Aktivitas Eksploitasi Panasbumi

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

II. PENGAMATAN 2.1. VISUAL

Eko Yudha ( )

24 November 2013 : 2780/45/BGL.V/2013

Kata Kunci : Deformasi; Gunung Merapi; InSAR

Bersama ini dengan hormat disampaikan tentang perkembangan kegiatan G. Kelud di Kabupaten Kediri, Blitar dan Malang, Provinsi Jawa Timur.

4.15. G. LEWOTOBI PEREMPUAN, Nusa Tenggara Timur

BERITA GUNUNGAPI APRIL - JUNI 2008

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN GEOLOGI - ESDM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

KEMENTRIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

BERITA GUNUNGAPI MEI AGUSTUS 2009

PEMANTAUAN DAN SOSIALISASI ERUPSI G. SEMERU,MEI JUNI 2008

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Studi Pengaruh Lahar Dingin Pada Pemanfaatan Sumber Air Baku Di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi (Studi Kasus: Gunung Semeru)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENERAPAN METODE DINSAR UNTUK ANALISA DEFORMASI AKIBAT GEMPA BUMI DENGAN VALIDASI DATA GPS SUGAR (STUDI KASUS: KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT)

BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN GMTSAR

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

ERUPSI G. KARANGETANG 2007 DAN PERKIRAAN KEDALAMAN SUMBER TEKANAN BERDASARKAN DATA ELECTRONIC DISTANCE MEASUREMENT (EDM)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersumber dari ledakan besar gunung berapi atau gempa vulkanik, tanah longsor, atau

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODA PENELITIAN

BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN ROI PAC

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Analisis Energi Gempa Letusan Gunung Semeru 09 Oktober 2009

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi

ANALISIS DEFORMASI PERMUKAAN GUNUNG RAUNG MENGGUNAKAN TEKNOLOGI

VEKTOR. Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 1.3. Liduina Asih Primandari, S.Si., M.Si.

7.4. G. KIE BESI, Maluku Utara

REDUKSI ORBIT PADA INSAR UNTUK PENGAMATAN DEFORMASI GUNUNG MERAPI ORBIT REDUCTION IN INSAR FOR DEFORMATION OBSERVATIONS MOUNT MERAPI.

BAB 1 PENDAHULUAN. lempeng yaitu Lempeng Eurasia, Hindia-australia dan Lempeng Filipina dan. akibat pertumbukan lempeng-lempeng tersebut (Gambar 2).

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

Bersama ini dengan hormat disampaikan tentang perkembangan kegiatan G. Sinabung di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4.12. G. ROKATENDA, Nusa Tenggara Timur

4.10. G. IYA, Nusa Tenggara Timur

BAB I PENDAHULUAN. Gunung Kelud merupakan salah satu gunung api aktif yang ada di

ANALISIS SINYAL SEISMIK TREMOR HARMONIK DAN TREMOR SPASMODIK GUNUNGAPI SEMERU, JAWA TIMUR INDONESIA

ISTILAH DI NEGARA LAIN

EVALUASI SEISMIK DAN VISUAL KEGIATAN VULKANIK G. EGON, APRIL 2008

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB II KOMPRESI DATA PENGINDERAAN JAUH

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Jupi Nurul Azkiya Retnadi Heru Jatmiko

BERITA GUNUNGAPI JANUARI APRIL 2009

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara secara geografis terletak pada 1ºLintang Utara - 4º Lintang Utara dan 98 Bujur Timur Bujur

1.1. G. PUET SAGOE, NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 3.1 Peta lintasan akuisisi data seismik Perairan Alor

Mendeteksi Kebakaran Hutan Di Indonesia dari Format Data Raster

BAB IV PENGOLAHAN DATA

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015

Transkripsi:

BAB II TEORI DASAR Bab ini memberikan deskripsi singkat mengenai SAR berwahana satelit, InSAR, penggunaan metode InSAR dalam penentuan deformasi dan gambaran singkat mengenai Gunung Semeru dan aktivitas tiga tahun terakhir. 2.1 Synthetic Aperture Radar (SAR) SAR merupakan sebuah sistem radar koheren yang mampu menghasilkan citra dengan citra penginderaan jauh resolusi tinggi dan mampu bekerja siang dan malam karena merupakan sistem aktif. SAR dapat bekerja pada semua kondisi cuaca karena menggunakan gelombang mikro untuk mengobservasi permukaan bumi atau mengobservasi planet lain (Elachi, 1982; Roth dan Wall, 1995). Sistem ini ditemukan oleh Carl Wiley pada tahun 1953 kemudian dikembangkan untuk pemetaan dan aplikasi lainnya. Ada dua jenis sistem SAR terkait dengan wahananya, airborne dan spaceborne. Dalam penelitian ini hanya digunakan sistem spaceborne. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, SAR memiliki resolusi tinggi bahkan melebihi kemampuan antena riilnya. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan pengolahan sinyal menggunakan prinsip Doppler. Dimana prinsip Doppler menyatakan bahwa frekuensi suatu sumber bunyi akan terdengar berubah apabila sumber bunyi tersebut bergerak relatif terhadap sensor (pendengar). Terdapat empat langkah yang harus dilakukan dalam pemrosesan data SAR, yaitu : 1. Penghitungan parameter CEOS telah menstandarkan struktur data SAR yang kemudian dikenal sebagai format data CEOS. Data SAR dalam format CEOS terdiri dari lima file, yaitu file volume directory, file leader, file trailer, file citra, dan file null volume directory. Pada tahap penghitungan parameter, parameter pemrosesan ditentukan dengan mengkstrak file leader dan diekstrak dari data raw. Parameter parameter yang tersebut antara lain berupa waktu saat awal pemindaian, parameter geometri bumi, geometri scene, dan PRF. 7

2. Estimasi Doppler centre frequency Karena adanya pergerakan pada sensor dan target selama proses pengiriman dan penerimaan sinyal, terjadi efek Doppler. Untuk menghilangkan efek ini, estimasi frekuensi centroid Doppler dilakukan dalam pemrosesan data. Centroid Doppler bervariasi sesuai dengan range dan azimuth-nya. Variasi pada arah range merupakan fungsi dari sikap satelit dan seberapa dekat jarak antara footprint dengan garis iso-doppler pada permukaan bumi. Variasi searah terbang (azimuth) disebabkan oleh perubahan yang relatif pelan pada sikap satelit sebagai fungsi dari waktu. Ada banyak algoritma yang dapat digunakan untuk proses ini, salah satunya adalah teknik konvolusi dengan menggunakan FFT (Sanwell, 2011). 3. Kompresi melintang lintasan (range compression) Resolusi arah range dalam sistem SAR tergantung pada panjang pulsa yang dipancarkan (τ) dan diartikan sebagai jarak minimum antara dua benda sehingga kedua benda tersebut dapat dibedakan dalam citra. Persamaan untuk resolusi arah miring (ΔR) ini adalah ΔR = (c. τ)/2 (2.1) Δx = ΔR/sinθ (2.2) Sedangkan untuk resolusi range dapat dilihat di persamaan (2.2). Di sini tampak bahwa semakin kecil panjang pulsa akan memberikan resolusi yang semakin baik tapi memerlukan energi yang lebih besar. Untuk mengatasi masalah ini, teknik modulasi chirp dikembangkan untuk mengkompres panjang pulsa. Pada tahap kompresi melintang lintasan, sebuah filter untuk mencocokkan pulsa yang dipancarkan dengan yang data yang ada dilakukan. Proses ini digunakan untuk memperoleh pantulan kompleks yang terkonvolusi dengan chirp. 4. Kompresi searah lintasan (azimuth compression) Resolusi searah lintasan dapat dituliskan sebagai berikut. (2.3) Tampak dalam persamaan 2.3 besarnya resolusi hanya tergantung pada panjang antena saja. Semakin pendek panjang antena, semakin baik resolusi yang dapat diperoleh namun ada batas tertentu sehingga panjang antena yang digunakan praktis. Kompresi searah lintasan memfokuskan data searah lintasan dengan mempertimbangkan pergeseran fase dari target seperti target bergerak melalui antena, sehingga parameter orbit dari sensor dibutuhkan dalam proses ini. 8

Dengan melakukan kompresi chirp (kompresi panjang pulsa) pada arah range dan azimuth, resolusi dari sistem SAR akan meningkat. Hasil akhir dari pemrosesan data SAR adalah citra SAR yang berupa mosaik dari setiap piksel. Setiap piksel merepresentasikan permukaan Bumi dan disebut sel resolusi. Setiap piksel dilambangkan dalam sebuah bilangan kompleks yang berisi amplitudo dan fase dari gelombang radar pantulan dari semua obyek yang ada di daerah yang dipindai. Informasi tersebut direkam dalam format kompleks dengan mengadaptasi dari format data I/Q. Citra SAR juga dikenal sebagai SLC yang terdiri dari grid dengan nilai nilai kompleks atau fasor dan dapat dituliskan dalam bentuk persamaan berikut. (2.4) dimana y adalah data SLC yang menggambarkan besarnya medan listrik dari bidang gelombang elektromagnetik, A adalah amplitudo gelombang radar, dan sudut fase dari gelombang radar. Amplitudo menggambarkan kuantitas dari medan elektromagnetik dari setiap obyek yang ada di setiap piksel, sedangkan fase melambangkan jarak ambiguitas antara sensor dan setiap obyek yang ada di dalam piksel tersebut. 2.2 InSAR SAR interferometri atau InSAR dikembangkan untuk mendapatkan peta topografi dari suatu daerah atau tinggi topografi untuk satu titik tertentu pada permukaan Bumi (Agustan, 2010). Produk dari teknik ini adalah interferogram yang diperoleh dari perkalian silang piksel demi piksel dari dua citra SAR (dua SLC) dan kemudian sebuah DEM yang merepresentasikan topografi bumi dapat dibuat. Gambar 2.1 mengilustrasikan geometri sistem InSAR. Untuk mendapatkan interferogram diperlukan dua citra, istilah yang digunakan untuk membedakan kedua citra tersebut adalah master dan slave. Dimana umumnya master merupakan citra yang dipindai terlebih dahulu dan slave, citra yang dipindai kemudian. Interferogram yang dihasilkan akan mengandung amplitudo yang merupakan hasil kali amplitudo kedua cita, dan fase yang merupakan beda fase antar citra tersebut. 9

Gambar 2.1 Geometri sistem InSAR (Agustan, 2010) Persamaan yang digunakan untuk menghitung interferogam adalah Interferogram = y(mater)*y(slave) (2.5) (2.6) (2.7) ( ) Karena ada dua waktu pengamatan yang berbeda, orbit dari setelit di kedua citra tidak tepat sama. Jarak antara dua posisi satelit tersebit dikenal dengan istilah baseline (B), dan dapat proyeksikan menjadi baseline tegak lurus ( ) dan baseline sejajar (B ). Baseline tegak lurus merupakan komponen baseline yang tegak lurus dengan line of sight (LOS) sedangkan baseline sejajar adalah komponen yang sejajar dengan LOS. Posisi satelit saat memindai permukaan bumi diperlukan untuk menghitung besarnya panjang baseline tersebut. Informasi posisi satelit terekam dalam file orbit. Berdasarkan gambar 2.1, tinggi titik G di permukaan bumi (HG) di atas permukaan suatu referensi dengan beda fase ( ) dapat dihitung dengan persamaan 2.8 dan 2.9 (Hanssen, 2001). (2.8) 10

(2.9) dimana adalah look angle di titik G dan α adalah sudut baseline satelit. Beda fase pada persamaan 2.8 dapat diganti menjadi 2π untuk mendapatkan tinggi ambiguitas (hg) yang dapat diartikan sebagai beda tinggi yang menghasilkan perubahan fase interferogrametrik sebesar 2π setelah pendataran interferogram. Tinggi ambiguitas terkait dengan perbedaan orbit antar citra dan perubahan tinggi yang sama akan menghasilkan sebuah fringe. (2.10) Fringe adalah cincin warna yang memiliki fase yang sama pada interferogram dan tergantung pada parameter baseline. Baseline sejajar menghasilkan fringe sistematik sedangkan baseline tegak lurus menghasilkan fringe topografi. Fringe pada interferogram tidak langsung merepresentasikan tinggi permukaan karena informasi fase yang ditampilkan masih berupa fase relatif, perlu proses yang disebut unwrapping untuk memperoleh fase mutlaknya. Selain itu, pada interferogram juga terkandung beda fase yang disebabkan oleh ketidakseragaman dan sumber sumber dekorelasi yang terjadi antar dua waktu observasi. Sumber sumber dekorelasi tersebut diantaranya adalah suhu, geometri pusat Doppler, waktu dan volume, kesalahan interpolasi dan kesalahan koregristrasi (Hanssen, 2001). 2.3 Differential InSAR Fase pada interferogram mengandung informasi profil topografi ( ), perbedaan jalur orbit ( ), dan noise ( ), kemungkinan deformasi ( ), atmosfir ( ) dan dapat dituliskan dalam bentuk persamaan : (2.11) (2.12) dimana DG adalah pergeseran permukaan pada arah antara satelit dan piksel target. Dengan demikian, besarnya deformasi yang terkait dengan pergeseran titik dipermukaan bumi dapat diestimasi dengan menggunakan teknik InSAR, yaitu dengan menghilangkan sinyal sinyal yang tidak diinginkan. 11

{ } (2.13) Untuk pendeteksian deformasi, istilah differensial InSAR (DInSAR) diartikan sebagai pengurangan fase topografi dari interferogram. Fase topografi dapat diperoleh dengan cara membuat simulasi dari DEM yang berasal dari peta topogarfi, teknik survei lainnya, atau dari SRTM. Teknik seperti ini disebut dengan metode 2pass differential interfeometry atau langsung DInSAR karena teknik ini hanya membutuhkan dua citra SAR. Teknik ini melakukan pengurangan antara interferogram asli dari dua citra tersebut dengan interferogram hasil simulasi dari DEM. Gambar 2.2 Alur pemrosesan pada teknik DInSAR (Agustan, 2010) Teknik lainnya adalah 3-pass dan 4-pass differential interferometry. Teknik 3-pass menggunakan tiga citra SAR untuk mengapatkan dua interferogram berdasarkan pada citra master yang sama. Satu dari pasangan tersebut harus memiliki interval pengamatan yang pendek dan baseline interferogrametik yang cukup panjang yang tidak dipengaruhi oleh deformasi digunakan untuk mengestimasi fase topografi. Pasangan lainnya terdiri dari citra yang diambil sebelum dan setelah terjadinya 12

deformasi (gempa). Keunggulan teknik 3-pass ini adalah kesamaan kondisi geometrik karena kedua pasangan memiliki citra master yang sama. Selain itu, teknik ini tidak memerlukan adanya DEM. Sedangkan teknik 4-pass membutuhkan empat buath citra SAR untuk membentuk dua interferogram yang saling lepas (master yang berbeda). Seperti teknik 3-pass dari dua pasang tersebut ada pasangan yang digunakan sebagai interferogram topografi dan interferogram yang mengandung deformasi. Kemudian, teknik ini memerlukan adanya resampling dari kedua interferogram agar geometrinya dapat dipenuhi. Tahapan untuk mendapatkan interferogram dan peta deformasi dengan teknik DInSAR dapat dilihat pada gambar 2.2, yaitu (Agustan, 2010): 1. Estimasi awal Tahap ini mengestimasi offset awal antara dua citra SAR sebelum melakukan perkalian silang piksel demi piksel. 2. Regristrasi dan resampling citra Tahap regristrasi atau koregritrasi citra adalah proses dasar dalam pembuatan interfrogram karena tahap ini memastikan memastikan setiap target pada permukaan bumi memberikan kontribusi ke piksel yang sama pada citra master dan slave. Koregristrasi terdiri dari penghitungan offset antara citra master dan slave yang digunakan untuk mencari parameter transformasi sehingga citra slave memiliki geometri yang sama dengan citra master. Setelah parameter transformasi diperoleh, citra slave di-resample untuk mendapatkan geometri yang serupa dengan citra master dengan resolusi sub-piksel. Untuk meminimalkan salah interpolasi, digunakan metode interpolasi yang sesuai. 3. Estimasi baseline Pengukuran jarak antara dua satelit ketika mengobservasi target yang sama pada permukaan bumi membutuhkan posisi satelit dan tinggi satelit yang akurat. Informasi ini disimpan dalam ephemeris satelit atau file orbit. Secara praktis, baseline dapat diestimasi dengan menggunakan: a. Informasi orbit, berdasarkan vektor posisi satelit dari file orbit. Metode ini dapat dilakukan apabila vektor posisi satelit (file orbit) yang akurat ada. 13

b. Bilangan fringe pada interferogram, berdasarkan bilangan fringe lokal pada interferogram yang belum didatarkan. Metode ini dapat dilakukan apabila fringe akibat kelengkungan bumi bersifat dominan dalam interferogram. c. Titik kontrol tanah (GCP) berdasarkan inversi dari penghitungan dari fase menjadi tinggi. Metode ini merupakan metode yang paling akurat namun hanya dapat dilakukan setelah tahap unwrapping dan metode ini digunakan untuk memperbaiki estimasi baseline seperti yang dijelaskan pada tahap 10. 4. Penggeseran range spektral dan pemfilteran bandwidth dengan azimuth sama Koregristrasi fase antar citra karena pergeseran spektral arah range dan azimuth yang terjadi setelah regristrasi dan resampling citra dilakukan pada tahap ini. 5. Penghitungan fase interferogrametrik Tahap ini merupakan tahan utama dalam teknik pemrosesan InSAR. Interferogram dihitunga dengan penghitungan piksel demi piksel dari dua citra yang telah di koregristrasi dan filter pergeseran spektralnya. 6. Pembuatan fringe sintetik (fase topografi) Tahap ini dapat dikatakan sebagai proses eksternal jika metode yang digunakan adalah 2-pass DInSAR. Fase topografi disimulasikan berdasarkan informasi baseline yang diperoleh dari parameter orbit data master dan slave. Dengan menggunakan parameter orbit yang sama, fase topografi hasil simulasi akan menghasilkan pola yang sama dengan interferogram yang asli yang mengandung fringe topografi. Faktor penting dalam tahap ini jika DEM eksternal digunakan adalah sistem koordinat. Karena mayoritas pemrosesan interferogram dilakukan dalam sistem koordinat SAR, sehingga DEM eksternal yang biasanya telah memiliki sistem koordinat yang bergeoreferensi harus ditransformasi ke sistem koordinat SAR. Tahapan tersebut tidak perlu dilakukan apabila menggunakan metode 3-pass atau 4-pass DInSAR karena fase topografinya diperoleh dalam sistem koordinat yang sama. 7. Pengurangan fase topografi dari fase interferogram Tahap ini menghilangkan fase topografi dari fase interferogram untuk mendapatkan hanya fase deformasi (diferensial) dan fase dari sinyal lainnya seperti fase atmosfir dan fase sistematik orbit yang tersisa. 8. Filter fase diferensial Pemfilteran interferogram diferensial bertujuan untuk mereduksi fase noise untuk membuat fase unwrapping menjadi lebih efisien dan sederhana. Pada tahap ini, ada 14

tiga opsi untuk memfilter interferogram : filter band pass, filter berdasarkan gradient fase lokal dan filter penyesuaian berdasarkan spectrum fringe lokal. 9. Unwrap fase diferensial Fase diferensial masih termodulo sebesar 2π, sehingga tahap ini bertujuan untuk mendapatkan bilangan bulat dari putaran untuk ditambahkan pada fase termodulo sehingga nilai fase yang tidak ambiguitas dari setiap piksel citra dapat diperoleh. 10. Perbaikan baseline Baseline yang presisi hasil estimasi dapat diperoleh dengan menggunakan informasi fase topografi (persamaan 2.9). Dengan menggetahui informasi tinggi (dari DEM) dan hasil unwrap fase topografi (dari InSAR), kemudian dengan menggunakan penghitungan mundur (inverse) panjang baseline dapat diestimasi. Informasi tinggi digunakan sebagai GCP. GCP ini terdistribusi secara sistematik pada citra dan digunakan untuk mengestimasi parameter baseline dengan menggunakan pendekatan least square. 11. Penanganan komponen atmosfir Interferogram diferensial masih memiliki fase komponen atmosfir yang dapat menciptakan pola deformasi palsu (pseudo). Fase atmosfir ini dapat ditangani dengan mengestimasi trend fase linier dengan informasi tinggi dan stacking interferogram jika terdapat banyak interferogram yang didapat pada observasi yang panjang. Gambar 2.3 menunjukkan ilustrasi efek atmosfer pada interferogram. a) b) c) d) e) f) Gambar 2.3 Efek atmosfer pada interferogam (Agustan, 2010) 15

12. Pembuatan peta deformasi Fase diferensial akhir yang masih termodulo digunakan untuk membuat peta pergeseran permukaan. Tahap ini menghitung pergeseran sepanjang LOS dengan memanfaatkan informasi panjang gelombang, incidence angle, jarak miring di edge dekat dan jauh. Nilai positif pada pergeseran mengindikasikan adanya pergeseran kearah sensor (satelit). Kemudian, nilai positif tersebut juga berarti peningkatan tinggi permukaan jika diproyeksikan ke komponen vertikal atau pemendekan ground range jika diproyeksikan pada komponen horisontal, begitu sebaliknya. Besarnya deformasi arah vertikal ditentukan dengan mencari pergeseran Line of Sight (LOS). Pergeseran LOS ini dianalisis dari fase deformasi yang telah di-unwrap. Dengan menggunakan teknologi InSAR, analisis deformasi yang dapat dilakukan adalah analisis satu dimensi, yaitu searah dengan LOS. Kemudian, hasil dari analisis satu dimensi tersebut dikonversikan menjadi pergeseran vertikal dengan memanfaatkan incidence angle (Wegmüller dan Werner, 1997) dengan persamaan ( ) dimana Untuk satelit ALOS, pergeseran LOS 1 radian = ~ 1,9 cm. 2.4 Metode InSAR untuk Pengamatan Deformasi Gunungapi Kemampuan teknik InSAR dalam mengestimasi fase deformasi berguna untuk studi deformasi. Deformasi terkait dengan gempabumi seperti deformasi coseismic dan postseismic, aktivitas gunungapi, longsor, aktivitas manusia seperti penurunan muka tanah karena penambangan dan aktivitas pengambilan air tanah secara berlebih. Terkait gunungapi, deformasi di sekitar gunugapi merupakan salah satu indikator pergerakan magma. Deformasi yang terkait dengan aktivitas gunungapi biasanya diindikasikan dengan pola inflasi dan deflasi yang dapat diidentifikasi dengan fringe fringe konsentris pada interferogram seperti yang tampak pada gambar 2.4. Sebagai contoh, deflasi yang terjadi karena aktivitas Gunung Etna, Italia, telah diukur dengan menggunakan teknik InSAR oleh Massonnet dkk. (1995), pendeteksian deformasi 16

terkait dengan letusan tahun 1997 di Gunung Okmok di Alaska oleh Lu dkk. (1998), dan pemodelan instrusi magma dan persebaran radial badan gunung setelah letusan selama fase pengisian kembali magma dilakukan oleh Palano dkk. (2008). Di Indonesia, teknik InSAR untuk keperluan pengamatan deformasi gunungapi telah dilakukan pada beberapa gunung, beberapa diantaranya adalah Gunung Batur (Suganda, 2008 dan Sidiq, 2009), Gunung Ibu (Sidiq, 2009 dan Agustan, 2010), Gunung Krakatau (Agustan, 2010), dan Gunung Merapi (Zhang dkk., 2011, Yudha dkk, 2010 dan Saepuloh, 2009). Gambar 2.4 Bentuk fringe pada deformasi gunungapi (Dzurisin, 2007) Setiap teknologi pasti ada kekurangannya, teknik InSAR memiliki keterbatasan dalam hal resolusi temporal, koherensi dan noise yang terkait dengan dekorelasi. Biasanya, dengan interval waktu observasi yang semakin panjang antar epok akan mengurangi koherensi dari citra interferogramnya (Agustan, 2010). Koherensi adalah koefisien korelasi silang dari pasangan citra SAR pada bagian yang kecil. Nilai dari koherensi berkisar dari 0, yang merepresentasikan fase interferogram yang terbentuk hanya noise hingga 1 yang artinya tidak ada noise pada fase interferogram. Nilai nol ini pasa perangkat lunak pengolahan InSAR memiliki warna hitang sedangkan koherensi 1 ditunjukkan dengan warna putih. Secara praktis, untuk keperluan aplikasi InSAR nilai koherensi yang diajurkan harus lebih besar dari 0,2 (Ferreti dkk, 2007). 17

Dalam pendeteksian deformasi berdasarkan teknik InSAR, terdapat beberapa cara untuk mendapatkan diferensial interferogram : 1. Pasangan interfreogrametri tunggal dan baseline mendekati nol Fase interferogram diferensial diperoleh dari dua pasang SLC dengan panjang baseline tegak lurus kecil (mendekati nol). 2. Pasangan interferogrametri tunggal dan baseline tidak nol Pasa kasus baselinenya tidak mendekati nol, fase interferogram diperoleh dari dua SLC mengandung fase topografi dan fase deformasi. Sehingga 2-pass DInSAR harus dilakukan. 3. Tiga citra interferogram dan tanpa gerakan Kasus ini mirip dengan 3-pass DInSAR yang telah dijelaskan pada bagian II.4. Interval pengamatan terpendek (untuk mendapatkan koherensi dan menghindari pergerakan atau deformasi) dengan baseline yang panjang sebaiknya dipilih sebagai pasanga interferogram yang digunakan untuk mendapatkan fase topografi. Pasangan yang lainnya sebaiknya memiliki interval observasi lebih besar tapi baseline yang lebih pendek. 4. Dua pasang citra dan tidak ada gerakan pada salah satunya Kasus ini mirip dengan 4-pass DInSAR yang dijelaskan pada bagian II. 4. Pada metode ini terdapat dua master dan setiap master memiliki satu citra slave. Tahapan pengolahannya sama dengan 3-pass DInSAR. Terkait dengan pendeteksian deformasi, estimasi InSAR memberikan informasi satu dimensi yaitu pergeseran sepanjang arah LOS. Umumnya pergeseran yang dapat diamati adalah pergesearn arah vertikal karena besarnya incidence angle dari satelit. Persamaan 2.14 digunakan untuk menghitung pergeseran ini. Dari pergeseran ini, dapat diketahui karakteristik dari aktivitas gunungapi yang dipantau. Gejala pengembangan badan gunung (inflasi) ditandai dengan pemendekan LOS sedangkan saat deflasi (badan gunung mengempis) LOS akan mengalami pemanjangan. Gambar 2.5 mengilustrasikan hubungan LOS dengan aktivitas inflasi deflasi gunungapi. Pada gambar a) tampak bahwa saat inflasi, terjadi LOS citra slave lebih pendek dibandingkan dengan LOS citra master. Kasus berlawanan terjadi pada deflasi seperti yang ditunjukkan gambar b). 18

a) b) Keterangan: LOS citra master LOS citra slave Gambar 2.5 Ilustrasi hubungan pergeseran LOS dengan inflasi deflasi gunungapi 2.5 Gambaran Umum Lokasi Studi (Gunung Semeru) Secara administratif, Gunung Semeru berada di perbatasan Kabupaten Malang dan Lumajang, Jawa Timur. Sedangkan secara geografis, terletak pada 8 06 30 LS dan 112 55 BT. Gunung ini memiliki tinggi puncak 3676 m di atas permukaan laut dan merupakan gunung tertinggi yang ada di Pulau Jawa (Badan Geologi, ESDM). Tipe bentuk gunungapi untuk semeru adalah tipe stratovolcano, yaitu berbentuk seperti kerucut. Produk letusan utama dari Gunung Semeru adalah lontaran material pijar, guguran awanpanas dan lahar di musim hujan masuk ke sungai-sungai yang berhulu di Gunung Semeru. Status terakhir dari aktivitas Gunung Semeru adalah Waspada (Level II) setelah diturunkan dari status Siaga (Level III) pada tanggal 2 Mei 2012. Sebelumnya, pada tanggal 5 Mei 2009 Status aktivitas Gunung Semeru dinaikan dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III), dan pada tanggal 16 Juli 2009, pukul 18.00 WIB status Gunung Semeru diturunkan menjadi Waspada (Level II). Pada tanggal 2 Februari 2012 kegiatan Gunung Semeru meningkat lagi akhirnya status kegiatan dinaikan kembali dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III). (PVMBG) Peta yang tampak pada gambar 2.6 merupakan peta Provinsi Jawa Timur dengan daerah yang berada di dalam persegi panjang menunjukkan citra yang diolah dalam penelitian ini. Sedangkan Gunung Semeru sendiri ditandai dengan segitiga yang ada di dalam persegi panjang tersebut. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa citra 19

yang diolah tidak hanya berisikan data yang terkait dengan Gunung Semeru tapi ada gunung lain, yaitu Gunung Bromo, Gunung Penanjakan, Munggal, Arjuno dan Gunung Botak. Kompleks Gunung Semeru berada dalam satu kelurusan dengan kompleks Gunung Tengger di bagian utara merupakan gunung api strato yang umumnya tersusun atas batuan piroklastik dan lava berkomposisi basaltik sampai andesitik. Batuan vulkanik ini merupakan hasil dari beberapa titik letusan yang terpisah. Gambar 2.6 Peta lokasi daerah studi (Gunung Semeru) Seperti yang telah diberitahukan sebelumnya, Gunung Semeru merupakan salah satu gunung yang aktif. Tabel 2.1 menunjukkan rekaman aktivitasnya dari tahun 2009 hingga tahun 2012 oleh Global Volcanism Program (bekerjasama dengan USGS). Untuk rekaman sejarah aktivitas Gunung Semeru dari tahun 1818 hingga 2010 oleh PVMBG dapat dilihat pada gambar 2.7. Selain itu, ada beberapa rekaman yang dilaporkan oleh BNPB, yaitu pada bulan Juni dan Juli 2011 terjadi ledakan keras di Gunung Semeru dan terjadi hujan abu di sekitar daerah tersebut serta tampak adanya asap putih tebal keluar dari kawah Jonggring Saloka. 20

Tabel 2.1 Rekaman aktivitas Gunung Semeru tahun 2009 hingga 2012 Waktu Perekam Peristiwa Aktivitas 03/2009 PVMBG,VAAC Peningkatan aktivitas seismic dan terdengar bunyi dentuman karena erupsi abu. Berdasarkan citra satelit abu tersebut mencapai ketinggian 4.3 km dpl. Berdasarkan PVMBG terdapat plume yang mencapai VAAC 4.6 km dpl namun VAAC abu tidak teridentifikasi dari citra satelit. 07/2009 PVMBG Pada Maret terjadi erupsi yang yang menghasilkan plume berwarna putih abu abu, kemudian pada bulan Mei hingga akhir Juni terdapat kabut yang mengganggu pengamatan visual. Abu dan plume berangsur angsur berkurang diikuti penurunan aktivitas kegempaan. 02-03/2010 PVMBG Selama November 2009 hingga Februari 2010, cuaca buruk mengganggu pengamatan. Kemudian tanggal 25 hingga 28 Februari ada longsoran batu pijar dan berpindah sejauh 750 m dari kawah. 11/2010 PVMBG Agustus hingga Oktober terjadi peningkatan kegempaan dan gumpalan gas kadang naik 400 500 m diatas kawah. Adanya peningkatan kubah lava di kawah Gunung Semeru. 11/2010 VAAC Berdasarkan analisis citra, selama 18-19 November abuvulkanik naik hingga 4.3 km dpl. serta terdeteksi adanya gas Sulfur dioksida sejauh 75 km SW. 02/2012 PVMBG Tanggal 29 Desember 2011 hingga 2 Februari 2012 terdapat peningkatan kegempaan, selama Januari terdapat pergerakan material pijar menjauh dari kawah dan tanggal 2 Februari terjadi erupsi yang memuntahkan material sejauh 2,5 km dari kawah. 05/2012 PVMBG Karena erupsi bulan Februari, terjadi peningkatan kegempaan, pijaran tampak setingga 50 m, hingga akhir Maret. Kemudian adanya penurunan kegempaan setelah itu dan terjadi peningkatan kubah lava pada bulan April. (http://www.volcano.si.edu/world/volcano.cfm?vnum=0603-30=&volpage=weekly) 21

Gambar 2.7 Sejarah aktivitas Gunung Semeru dari tahun1818 hingga 2010 (lanjut ke halaman berikutnya) (Wahyudin, 2010) 22

Lanjutan gambar 2.7... 23