BAB 2 IHWAL TINDAK TUTUR, STRATEGI MENGKRITIK, PRINSIP KERJA SAMA, DAN PRINSIP KESANTUNAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA. Sejak diberlakukannya kurikulum 1984 dalam pembelajaran bahasa Indonesia

BAB II KAJIAN TEORI. Fraser dalam Irawan (2010:7) mendefinisikan kesopanan adalah property

BAB II KERANGKA TEORI. ini, yang berkaitan dengan: (1) pengertian pragmatik; (2) tindak tutur; (3) klasifikasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. dalam penelitian ini. Hasil penelitian yang memiliki kaitan dengan penelitian ini,

BAB 2 IHWAL PRAGMATIK: PRINSIP KERJA SAMA, KESOPANAN DAN TINDAK TUTUR. Berbicara mengenai maksud tuturan dalam melakukan tugas dari petugas

BAB II KAJIAN PUSTAKA

ANALISIS PRAGMATIK PELANGGARAN TINDAK TUTUR GURU DI SMA LENTERA

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antarpesona dan memelihara hubungan sosial. Tujuan percakapan bukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sesuatu yang dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat

BAB I PENDAHULUAN. situasi tutur. Hal ini sejalan dengan pendapat Yule (2006: 82) yang. menyatakan bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar BelakangPenelitian. Manusia dalam kesehariannya selalu menggunakan bahasa. Dengan bahasa,

II. LANDASAN TEORI. Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pragmatik merupakan salah satu ilmu yang dimasukkan dalam kurikulum tahun Ilmu

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Tindak tutur adalah bagian dari pragmatik yang digagasi oleh Austin

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah pemikiran rancangan suatu karya dasar yang ada diluar bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada empat, yaitu tuturan,

BAB 2 TINDAK TUTUR DAN SLOGAN IKLAN. Pandangan Austin (Cummings, 2007:8) tentang bahasa telah menimbulkan

II. LANDASAN TEORI. Implikatur percakapan, lazim disebut implikatur, adalah implikasi pragmatis yang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. (Alwi, dkk. 203:588). Sesuai dengan topik dalam tulisan ini digunakan beberapa

BAB 2 PRAGMATIK DAN PROGRAM TV BERSAMA ROSSY. Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule

BAB I PENDAHULUAN. diperhatikan oleh para pengguna bahasa itu sendiri. saling memahami apa yang mereka bicarakan. Fenomena ini terjadi di

Jurnal Sasindo Unpam, Volume 3, Nomor 3, Desember 2015 PELANGGARAN PRINSIP-PRINSIP KESOPANAN PADA MEMO DINAS DI SALAH SATU PERGURUAN TINGGI DI BANTEN

II. LANDASAN TEORI. bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Adapun hal-hal yang akan dibahas

BAB I PENDAHULUAN. gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungan ditentukan oleh

UNGKAPAN PENERIMAAN DAN PENOLAKAN DALAM BAHASA INDONESIA. Nur Anisa Ikawati Universitas Negeri Malang

Realisasi Tuturan dalam Wacana Pembuka Proses Belajar- Mengajar di Kalangan Guru Bahasa Indonesia yang Berlatar Belakang Budaya Jawa

PRAGMATIK. Penjelasan. Sistem Bahasa. Dunia bunyi. Dunia makna. Untuk mengkaji pragmatik... Contoh-contoh sapaan tersebut...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, harapan, pesan-pesan, dan sebagainya. Bahasa adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup, terutama bagi kehidupan manusia. Setiap manusia akan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L.

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah media komunikasi yang bersifat audio visual untuk

BAB I PENDAHULUAN. selalu terlibat dalam komunikasi bahasa, baik dia bertindak sebagai. sebuah tuturan dengan maksud yang berbeda-beda pula.

TINDAK TUTUR EKSPRESIF PADA FILM MIMPI SEJUTA DOLAR KARYA ALBERTHIENE ENDAH. Suci Muliana Universitas Sebelas Maret (UNS)

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Austin dalam buku yang berjudul How to Do Things with Words) Pertama kali

DAFTAR ISI. BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian... 31

PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA PADA SINETRON PREMAN PENSIUN. Veria Septianingtias STKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung

MAKSIM PELANGGARAN KUANTITAS DALAM BAHASA INDONESIA. Oleh: Tatang Suparman

Pelaksanaan Tindak Ujaran. Dwiyanti Nandang ( ) Meita Winda Lestari ( ) Pamela Yunita Sari ( ) Riza Indah Rosnita ( )

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan, konsep, dan

TINJAUAN PRAGMATIK TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM SCRIP ADA APA DENGAN CINTA? KARYA RUDI SOEDJARWO

BAB I PENDAHULUAN. bahasa tulis salah satu fungsinya adalah untuk berkomunikasi. Bahasa tulis dapat

KESANTUNAN BERBAHASA POLITISI DALAM ACARA TALK SHOW

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa berfungsi

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam pembelajaran di sekolah menengah atas, pelajaran sains dianggap

BAB I PENDAHULUAN. tetapi juga pada pemilihan kata-kata dan kalimat-kalimat yang digunakan,

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Tesis ini membahas tentang pelanggaran maksim-maksim prinsip

BAB II LANDASAN TEORI. dengan judul Tindak Tutur Direktif Guru dalam Komunikasi Proses Belajar

BAB I PENDAHULUAN. bersosialisasi mereka membentuk sebuah komunikasi yang bertujuan untuk

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik memiliki berbagai cabang disiplin ilmu. Cabang-cabang

BAB I PENDAHULUAN. secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sosial kita selalu berkomunikasi dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. langsung antar penutur dan mitratutur. Penutur dan mitra tutur berintraksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peristiwa tutur merupakan gejala sosial, sedangkan tindak tutur

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan apa yang mereka ingin sampaikan dan juga bagaimana respon. menyampaikan gagasan, pikiran dan perasaan mereka.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri di dunia ini, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial mutlak memiliki kemampuan untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. sedang mengalami perubahan menuju era globalisasi. Setiap perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pertimbangan akal budi, tidak berdasarkan insting. dan sopan-santun non verbal. Sopan-santun verbal adalah sopan santun

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, mulai dari sarana untuk menyampaikan informasi, memberi perintah, meminta

BAB I PENDAHULUAN. untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa

IMPLIKATUR PERCAKAPAN MAHASISWA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS ANDALAS. Tinjauan Pragmatik. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Oleh: Wenny Setiyawan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhamadiyah Purworejo

BAB I PENDAHULUAN. (6) definisi operasional. Masing-masing dipaparkan sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk

TUTURAN IKLAN KECANTIKAN PADA MAJALAH KARTINI DALAM KAJIAN PRAGMATIK

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Penelitian ini membahas strategi komunikasi guru BK (konselor) dalam

TINDAK TUTUR DIREKTIF GURU TAMAN KANAK-KANAK DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR TK AISYIYAH 29 PADANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu tuturan saat seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan kunci utama dalam berkomunikasi. Tanpa bahasa

BAB I PENDAHULUAN. mengekspresikan tulisanya baik lisan maupun tulisan dengan memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Diajukan oleh: RIZKA RAHMA PRADANA A

BAB 1 PENDAHULUAN. Prinsip kerja..., Ratih Suryani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dapat dilakukan oleh manusia melalui bahasa. Chaer (2010:14)

BAB I PENDAHULUAN. terbantu oleh situasi tutur. Searle (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009: 20)

BAB 2 IKHWAL PRAGMATIK, TINDAK TUTUR, PRINSIP KERJA SAMA, DAN IMPLIKATUR PERCAKAPAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Prinsip Kerjasama Dan Kesantunan Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia Dengan Pendekatan Saintifik

BAB I PENDAHULUAN. dalam pikiran kita. Dengan demikian bahasa yang kita sampaikan harus jelas dan

BAB I PENDAHULUAN. karena bahasa merupakan sistem suara, kata-kata serta pola yang digunakan oleh

III. METODE PENELITIAN. Dalam setiap melakukan penelitian dibutuhkan suatu metode yang tepat sehingga

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyampaikan pikiran, perasaan kepada orang lain. demikian, bahasa juga mempunyai fungsi sebagai alat kekuasaan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Fungsi bahasa secara umum adalah komunikasi (Nababan, 1993: 38).

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Penggunaan bahasa

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu bagian penting dalam interaksi sosial manusia adalah komunikasi

TINDAK TUTUR PERLOKUSI PADA PERCAKAPAN PARA TOKOH OPERA VAN JAVA DI TRANS7. Naskah Publikasi Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kartun sebagai bentuk komunikasi grafis yang menggunakan

KESANTUNAN IMPERATIF DALAM PIDATO M. ANIS MATTA: ANALISIS PRAGMATIK SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan manusia, karena melalui bahasa manusia dapat saling berhubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa berperan penting bagi kehidupan manusia sebagai alat komunikasi, untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Frinawaty Lestarina Barus, 2014 Realisasi kesantunan berbahasa politisi dalam indonesia lawyers club

ABSTRACT: Kata kunci: kesantunan, tuturan, imperatif. maksim penghargaan, maksim kesederhanaan,

BAB I PENDAHULUAN. pendapat dari seorang penutur kepada mitra tutur. mengemukakan pendapat, yang perlu diperhatikan bukan hanya kebahasaan

Transkripsi:

BAB 2 IHWAL TINDAK TUTUR, STRATEGI MENGKRITIK, PRINSIP KERJA SAMA, DAN PRINSIP KESANTUNAN 2.1 Tindak Tutur Dalam pragmatik kata tuturan ini dapat digunakan sebagai produk suatu tindak verbal (Leech,1983:14). Definisi ini berjalan dengan salah satu definisi tuturan menurut Kridalaksana (1993:222) yang mengatakan tuturan sebagai kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan. Hurford dan Heasley menambahkan bahwa tuturan adalah..the use by particular speaker, on a particular situation, of a piece of languange, such as a sequence of sentences, a single phrase, or event a single word (1983:15). Maksudnya tuturan adalah pemakaian satuan bahasa seperti rangkaian kalimat atau sebuah kata oleh seorang penutur tertentu. Tuturan menurut Fros dan Hakes dalam Wayan Resna (1996) juga mengatakan bahwa you might think of a sentence as that to which was actually said, Menurut mereka kalimat adalah apa yang penutur hendak katakan sedangkan tuturan merupakan apa yang sebenarnya dikatakan penutur. 2.1.1 Kedudukan Tindak Tutur dalam Pragmatik Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana kesatuan kebahasaan yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana kesatuan kebahasaan itu digunakan 10

11 dalam berkomunikasi. Ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji bahasa untuk memahami maksud penutur (Wijana, 1996: 1). Searle (1969) mengembangkan pemikiran Austin. Ia mencetuskan teori tentang tindak tutur yang dianggap sangat penting dalam kajian pragmatik. Tindak tutur yang tidak terbatas jumlahnya itu dikategorisasikan berdasarkan makna dan fungsinya menjadi lima macam, yaitu: representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif. 2.1.2 Pengertian Tindak Tutur Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. Tindak tutur adalah salah satu kegiatan fungsional manusia sebagai makhluk berbahasa. Karena sifatnya yang fungsional, setiap manusia selalu berupaya untuk mampu melakukannya dengan sebaik-baiknya, baik melalui pemerolehan (acquisition) maupun pembelajaran (learning). Pemerolehan bahasa lazimnya dilakukan secara nonformal, sedangkan pembelajaran dilakukan secara

12 formal (Subyakto, 1992:88). Kegiatan pemerolehan bahasa dapat dikembangkan, baik melalui lisan maupun tulisan. Aneka cara tersebut memiliki prasyarat yang berbeda. Kegiatan lisan cenderung bersifat praktis, sedangkan kegiatan tulisan bersifat formal. Admin (2009) 2.1.3 Jenis Tindak Tutur Searle di dalam bukunya Speech Acts An Essay in The Philosophy of Language (1969, 23-24) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). 2.1.3.1 Tindak Lokusi Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai The Act of Saying Something. Sebagai contoh adalah kalimat (20), (21), dan wacana (22) berikut : (20) Ikan paus adalah binatang menyusui (21) Jari tangan jumlahnya lima (22) Fak. Sastra adakan Lokakarya Pelayanan Bahasa Indonesia. Guna memberikan pelayanan penggunaan bahasa Indonesia, Fakultas sastra UGM barubaru ini menyelenggarakan Lokakarya Pelayanan Bahasa Indonesia. Tampil sebagai pembicara dalam acara tersebut Drs. R. Suhardi dan Dra. Widya Kirana,

13 M.A. Sebagai pesertanya antara lain pengajar LBIFL dan staf jurusan Sastra Indonesia. Kalimat (21) dan (22) diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Informasi yang diutarakan adalah termasuk jenis binatang apa ikan paus itu, dan berapa jumlah jari tangan. Seperti halnya (20) dan (21), wacana (22) cenderung diutarakan untuk menginformasikan sesuatu, yakni kegiatan yang dilakukan oleh Fakultas Sastra UGM, pembicara-pembicara yang ditampilkan, dan peserta kegiatan itu. Dalam hal ini memang tidak tertutup kemungkinan terdapatnya daya ilokusi dan perlokusi dalam wacana (22). Akan tetapi, kadar daya lokusinya jauh lebih dominan atau menonjol. Bila diamati secara seksama konsep lokusi itu adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai satu satuan yang terdiri dari dua unsur, yakni subyek atau topik dan predikat atau comment (Nababan, 1987,4). Lebih jauh tindak lokusi adalah tindak tutur yang relatif paling mudah untuk diidentifikasikan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur. Jadi, dari perspektif pragmatik tindak lokusi sebenarnya tidak atau kurang begitu penting peranannya untuk memahami tindak tutur (Parker, 1986,15).

14 2.1.3.2 Tindak Ilokusi Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Bila hal ini terjadi, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak ilokusi. Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Kalimat (23) sampai dengan (26) misalnya cenderung tidak hanya digunakan untuk menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu sejauh situasi tuturnya dipertimbangkan secara seksama. (23) Saya tidak dapat datang (24) Ada anjing gila (25) Ujian sudah dekat (26) Rambutmu sudah panjang Kalimat (23) bila diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang baru saja merayakan ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi untuk melakukan sesuatu, yakni meminta maaf. Informasi ketidakhadiran penutur dalam hal ini kurang begitu penting karena besar kemungkinan lawan tutur sudah mengetahui hal itu. Kalimat (24) yang biasa ditemui di pintu pagar atau di bagian depan rumah pemilik anjing tidak hanya berfungsi untuk membawa informasi, tetapi untuk memberi peringatan. Akan tetapi, bila ditunjukan kepada pencuri, tuturan itu mungkin pula diutarakan untuk menakut-nakuti. Kalimat (25), bila diucapkan oleh seorang guru kepada muridnya, mungkin berfungsi untuk memberi peringatan agar lawan tuturnya (murid) mempersiapkan diri. Bila diucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya, kalimat (25) ini mungkin

15 dimaksudkan untuk menasihati agar lawan tutur tidak hanya bepergian menghabiskan waktu secara sia-sia. Wacana (26), bila diucapkan oleh seorang laki-laki kepada pacarnya, mungkin berfungsi untuk menyatakan kekaguman atau kegembiraan. Akan tetapi, bila diutarakan oleh seorang ibu kepada anak lelakinya, atau oleh seorang istri kepada suaminya, kalimat ini dimaksudkan untuk menyuruh atau memerintah agar sang suami memotong rambutnya. Dari apa yang terurai di atas jelaslah bahwa tindak ilokusi sangat sukar diidentifikasikan karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya. Dengan demikian tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur. 2.1.3.3 Tindak Perlokusi Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Tindak ini disebut the act affecting someone. Untuk jelasnya diperhatikan kalimat (8) sampai dengan (10) di bawah ini: (8) Rumahnya jauh (9) Kemarin saya sangat sibuk (10) Televisinya 20 inchi

16 Bila kalimat (8) diutarakan oleh seorang kepada ketua perkumpulan, maka ilokusinya adalah secara tidak langsung menginformasikan bahwa orang yang dibicarakan tidak dapat terlalu aktif di dalam organisasinya. Adapun efek perlokusi yang mungkin diharapkan agar ketua tidak terlalu banyak memberikan tugas kepadanya. Bila kalimat (9) diutarakan oleh seseorang yang tidak dapat menghadiri undangan rapat kepada orang yang mengundangnya, kalimat ini merupakan tindak ilokusi untuk memohon maaf, dan perlokusi (efek) yang diharapkan adalah orang yang mengundang dapat memakluminya. Bila kalimat (29) diutarakan oleh seseorang kepada temannya pada saat akan diselenggarakannya siaran langsung kejuaraan dunia tinju kelas berat, kalimat ini tidak hanya mengandung lokusi, tetapi juga ilokusi yang berupa ajakan untuk menonton di tempat temannya, dengan perlokusi lawan tutur menyetujui ajakannya. 2.1.4 Aspek Situasi Tutur Aspek situasi tutur, selain konteks meliputi penutur dan lawan tutur, tujuan tutur, tuturan sebagai kegiatan tindak tutur, dan tuturan sebagai produk tindak verbal (Leech, 1991:19-21). Terkait dengan aspek tutur penutur dan lawan tutur ditegaskan bahwa lawan tutur atau petutur adalah orang yang menjadi sasaran tuturan dari penutur. Lawan tutur harus dibedakan dari penerima tutur yang bisa saja merupakan orang yang kebetulan lewat dan mendengar pesan, namun bukan orang yang disapa. Tujuan tuturan tindak lain adalah maksud penutur mengucapkan sesuatu atau makna yang dimaksud penutur dengan

17 mengucapkan sesuatu. Tuturan itu sendiri dalam kajian pragmatik memang dapat dipahami sebagai bentuk tindak tutur itu sendiri di samping juga dapat dipahami sebagai produk suatu tindak tutur. Dibagian depan sudah diuraikan bahwa pragmatik adalah studi bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Dengan mendasarkan pada gagasan Leech (1983: 13-14), Wijana (1996) menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur (speech situational contexts). Konteks situasi tutur, menurutnya mencakup 5 aspek. Secara singkat masing-masing aspek situasi tutur itu dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa literatur, khususnya dalam Searle (1983), lazim dilambangkan dengan S (speaker) yang berarti pembicara atau penutur dan H (hearer) yang dapat diartikan pendengar atau mitra tutur. Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi cakupan pragmatik semata-mata hanya pada bahasa ragam lisan saja, melainkan juga dapat mencakup ragam bahasa tulis. 2) Konteks tuturan telah diartikan bermacam-macam oleh para linguis. Konteks dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan

18 mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur. 3) Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Dikatakan demikian, karena pada dasarnya tuturan itu terwujud karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang jelas dan tertentu sifatnya. Secara pragmatik, satu bentuk tutur dapat memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Demikian sebaliknya, satu maksud atau tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda. Di sinilah dapat dilihat perbedaan mendasar antara pragmatik yang berorientasi fungsional dengan tata bahasa yang berorientasi formal atau struktural. 4) Tuturan sebagai bentuk tindakan. Karena pragmatik mempelajari tindak verbal yang terdapat dalam situasi tutur tertentu, dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan di dalam pragmatik itu bersifat konkret karena jelas keberadaan siapa peserta tuturnya, di mana tempat tuturnya, kapan waktu tuturnya, dan seperti apa konteks situasi tuturnya secara keseluruhan. 5) Tuturan dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal. Dapat dikatakan demikian, karena pada dasarnya tuturan yang ada di dalam sebuah pertuturan itu adalah hasil tindak verbal para peserta tutur dengan segala pertimbangan konteks yang melingkupi dan mewadahinya.

19 2.2 Strategi Mengkritik dalam Tindak Tutur Berikut ini akan dijelaskan teori ihwal strategi mengkritik: 2.2.1 Pengertian Strategi Mengkritik Strategi mengkritik merupakan metode atau cara yang digunakan oleh narasumber ketika memberi suatu kritikan kepada rekan sesama narasumber yang lain dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi TV One. Mengkritik dalam konteks ini berarti memberikan komentar, baik berupa pendapat, saran, masukan maupun sanggahan kepada seseorang. Bila diamati secara seksama, penutur sebenarnya tidak semena-mena mengutarakan bentuk-bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesopanan yang absolut. Bila diamati secara seksama, penutur sebenarnya tidak semena-mena mengutarakan bentuk-bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda-beda itu. Misalnya tuturan Apakah anda bersedia menyapu lantai itu? Tidak akan dipilih oleh tuan rumah untuk menyuruh pembantunya. Dia dalam hal ini akan lebih senang menggunakan Sapulah lantai ini! Yang bentuknya kurang sopan. Justru pemilihan bentuk yang lebih panjang dalam hal ini akan tidak mengenakan pembantunya. Hal-hal yang mengatur strategi pemilihan bentukbentuk yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda ini disebut parameter pragmatik harus diamati secara cermat agar lawan tutur tidak merasa kehilangan muka.

20 2.2.2 Jenis-Jenis Strategi Mengkritik Ada dua teori yang digunakan sebagai landasan penelitian untuk membahas mengenai strategi mengkritik, yaitu teori yang kemukakan oleh Brown dan Levinson, serta teori Hedges oleh George Yule. Yang pertama adalah teori yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson (1978), karena teori inilah yang nantinya akan digunakan sebagai instrumen penelitian untuk menganalisis data yang diperoleh. Menurut Brown dan Levinson ada lima strategi pelaksanaan untuk tindak tutur mengkritik, kelima strategi itu dijabarkan sebagai berikut. 1. Melaksanakan tindak tutur secara apa adanya (bold on record) maksudnya, mengkritik langsung tanpa basa-basi (sok tahu). Contoh : Pendapat yang Anda kemukakan tadi tidak benar, karena hal itu tidak sesuai dengan apa yang pernah saya baca dari salah satu buku. 2. Melaksanakan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif (on record with positive politeness) maksudnya, mengajukan kritik dengan menggunakan basa-basi dalam bentuk pujian atau penyebutan hal-hal yang baik mengenai orang yang dikritik atau mengenai apa yang telah dilakukannya. Contoh: Apa yang Anda sajikan tadi sudah cukup bagus, hanya saja Anda masih harus melengkapinya dari beberapa referensi pengarang yang lain. 3. Melaksanakan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif (on record with negative politeness) maksudnya, mengajukan kritik dengan menggunakan basa basi dalam bentuk permintaan maaf terlebih dahulu.

21 Contoh: Maaf, apakah Anda bisa mengulangi apa yang Anda katakan tadi? 4. Melaksanakan tindak tutur secara samar-samar (off record), sehingga tidak terdengar sebagai mengkritik. Mengajukan kritik yang samar-samar, misalnya dengan mengajukan kritikan dalam bentuk pertanyaan seperti: Benarkah apa yang Anda katakan tadi? 5. Mengkritik di dalam hati (ada maksud untuk mengkritik, tetapi karena berbagai pertimbangan kritikan tidak jadi dilontarkan). Teori yang kedua dikemukakan oleh George Yule, yaitu teori mengenai pagar ujaran yang dikenal dengan istilah teori Hedges. Yule berpendapat ada beberapa ungkapan yang sering digunakan oleh seseorang ketika mengkritik. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa contoh kalimat di bawah ini. 1) Sejauh yang saya tahu, tulisan anda sangat bertentangan dengan kode etik jurnalistik. 2) Saya mungkin telah melakukan kesalahan, tetapi saya melihat anda kurang teliti dalam menganalisis soal tersebut. 3) Saya tidak yakin jika itu benar, karena saya memperoleh informasi yang akurat mengenai hal tersebut. 4) Saya menduga, sesungguhnya ada maksud yang ingin anda sampaikan dibalik ucapan anda tadi. Ungkapan-ungkapan yang terdapat pada kalimat di atas seperti: Sejauh yang saya tahu (kal 1), Saya mungkin telah melakukan kesalahan (kal 2), Saya tidak yakin jika itu benar (kal 3), dan (kal 4) Saya menduga, merupakan ungkapan-ungkapan yang sering digunakan oleh seseorang ketika melontarkan

22 suatu kritikan. Jadi, Yule tidak menggunakan skala penilaian dalam mengklasifikasikan tindakan mengkritik seperti halnya Brown dan Levinson, tetapi lebih mengidentikkannya lewat ungkapan kata-kata yang digunakan seseorang dibalik ucapannya. 2.3 Prinsip Kerja Sama dalam Tindak Tutur Berikut ini akan dijelaskan teori ihwal prinsip kerja sama: 2.3.1 Pengertian Prinsip Kerja Sama Seperti yang diungkapkan Keith Allan (1986), bertutur adalah kegiatan yang berdimensi sosial. Seperti lazimnya kegiatan-kegiatan sosial lain, kegiatan bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila para peserta pertuturan itu semuanya terlibat aktif di dalam proses bertutur tersebut. Apabila terdapat satu atau lebih pihak yang tidak terlibat aktif dalam kegiatan bertutur, dapat dipastikan pertuturan itu tidak dapat berjalan lancar. Berikut gagasan yang disampaikan Allan (1986) itu selengkapnya Speaking to others is a social activity, and like other social activities (e.g. dancing, playing in an orchestra, playing cards or football) it can only take place if the people involved. Dijelaskan bahwa agar proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan baik dan lancar, mereka haruslah dapat saling bekerja sama. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur itu, salah satunya, dapat dilakukan dengan berperilaku sopan kepada pihak lain. Sehubungan dengan itu ia menyatakan bahwa being cooperative is being polite (mostly). Berperilaku sopan

23 itu dapat dilakukan dengan cara memperhitungkan muka si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur (paying attention to H s face ). Agar pesan (message) dapat sampai dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut ini : (1) prinsip kejelasan (clarity), (2) prinsip kepadatan (conciseness), dan (3) prinsip kelangsungan (directness). Prinsip-prinsip itu secara lengkap dituangkan di dalam Prinsip Kerja Sama Grice (1975). Prinsip Kerja Sama Grice itu seluruhnya meliputi empat maksim yang satu per satu dapat disebutkan sebagai berikut: (1) maksim kuantitas (maxim of quantity), (2) maksim kualitas (maxim of quality), (3) maksim relevansi (maxim of relevance), dan (4) maksim pelaksanaan (maxim of manner). 2.3.2 Jenis-Jenis Prinsip Kerja Sama Grice mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan (conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner). 2.3.2.1 Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity) Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya

24 dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Tuturan (62), (63), dan (64), dan tuturan (65) berikut dapat dipertimbangkan lebih lanjut untuk memperjelas pernyataan ini. (62) Biarlah kedua pemuas nafsu itu habis berkasih-kasih! (63) Biarlah kedua pemuas nafsu yang sedang sama-sama mabuk cinta dan penuh nafsu birahi itu habis berkasih-kasihan! Informasi Indeksal: Tuturan 62 dan 63 diutarakan oleh seorang pengelola rumah kos mahasiswa kepada anaknya yang sedang merasa jengkel karena perilaku para penghuni kos yang tidak wajar dan bahkan aturan yang ada. (64) Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi! (65) Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi! Informasi Indeksial: Tuturan 64 dan 65 dituturkan oleh seorang pengagum Muhammad Ali kepada rekannya yang juga mengagumi petinju legendaris itu. Tuturan itu dimunculkan pada waktu mereka bersama-sama melihat salah satu acara tinju di televisi.

25 Tuturan (62) dan tuturan (64) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti ditunjukan pada tuturan (63) dan tuturan (65) justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan maksim ini, tuturan seperti pada (63) dan (65) di atas tidak mendukung atau bahkan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice. Pernyataan yang demikian dalam banyak hal, kadang-kadang, tidak dapat dibenarkan. Dalam masyarakat dan budaya Indonesia, khususnya di dalam kultur masyarakat Jawa, justru ada indikasi bahwa semakin panjang sebuah tuturan maka semakin sopanlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan, akan semakin tidak sopanlah tuturan itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk menunjukan maksud kesantunan tuturan dalam bahasa Indonesia, dalam hal tertentu penutur harus melanggar dan tidak menepati Prinsip Kerja Sama Grice. Tuturan (66), (67), dan tuturan (68) berikut secara berturut-turut menunjukan perbedaan tingkat kesantunan tuturan sebagai akibat dari perbedaan panjangpendeknya tuturan. (66) Bawalah koran itu ke tempat lain! (67) Tolong bawalah koran itu ke tempat lain! (68) Silakan koran itu dibawa ke tempat lain dahulu! Informasi Indeksial:

26 Tuturan 66, 67, dan 68 dituturkan oleh seorang Direktur kepada sekertarisnya di dalam ruangan yang kebetulan mejanya berserakan dengan koran-koran bekas di atasnya. 2.3.2.2 Maksim Kualitas (The Maxim of Quality) Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan (69) dan tuturan (70) pada bagian berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini. (69) Silakan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya! (70) Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti! Informasi Indeksial: Tuturan 69 dan 70 dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang berusaha melakukan penyontekan. Tuturan (70) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan (69) dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan seseorang. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilakan para mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.

27 Dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa-basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan perkataan lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi. Tuturan (71), (72), dan (73) berikut secara berturut-turut berbeda dalam peringkat kesantunannya dan dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan di atas. (71) Pak, minta uangnya untuk besok! (72) Bapak, besok beli bukunya bagaimana? (73) Bapak, besok aku jadi ke Gramedia, bukan? Informasi Indeksal: Tuturan 71, 72, dan 73 dituturkan oleh seorang anak yang sedang minta uang kepada Bapaknya. Tuturan-tuturan tersebut dituturkan dalam konteks situasi tutur yang berbeda-beda. 2.3.2.3 Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance) Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Sebagai ilustrasi atas pernyataan itu perlu dicermati tuturan (74) berikut.

28 (74) Sang Hyang Tunggal: Namun sebelum kau pergi, letakkanlah katakataku ini dalam hati! Semar : Hamba bersedia, ya Dewa. Informasi Indeksal: Tuturan ini dituturkan oleh Sang Hyang Tunggal kepada tokoh Semar dalam sebuah adegan pewayangan. Cuplikan pertuturan pada (74) di atas dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim relevansi. Dikatakan demikian, karena apabila dicermati secara lebih mendalam, tuturan yang disampaikan tokoh Semar, yakni Hamba bersedia, ya, Dewa, benar-benar merupakan tanggapan atas perintah Sang Hyang Tunggal yang dituturkan sebelumnya, yakni namun, sebelum kau pergi, letakanlah katakataku ini dalam hati. Dengan perkataan lain, tuturan itu patuh dengan maksim relevansi dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menunjukan kesantunan tuturan, ketentuan yang ada pada maksim itu seringkali tidak dipenuhi oleh penutur. Berkenaan dengan hal ini, tuturan (75) antara seorang direktur dengan sekretarisnya pada contoh berikut dapat dipertimbangkan. (75) Direktur : Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangan dulu! Sekretaris : Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu. Informasi Indeksial:

29 Dituturkan oleh seorang Direktur kepada sekretarisnya pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja Direktur. Pada saat itu, ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama. Di dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas bahwa tuturan sang Sekretaris, yakni Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu tidak memiliki relevansi dengan apa yang diperintahkan sang Direktur, yakni Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangan dulu! Dengan demikian tuturan (75) di atas dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam pertuturan sesungguhnya. Hal seperti itu dapat dilakukan, khususnya, apabila tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud-maksud tertentu yang khusus sifatnya. 2.3.2.4 Maksim Pelaksanaan (The Maxim of Manner) Maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan. Berkenaan dengan itu, tuturan (76) pada contoh berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi. (76) (+) Ayo, cepat dibuka! (-) Sebentar dulu, masih dingin. Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang kakak kepada adik perempuannya.

30 Cuplikan tuturan (76) di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena berkadar kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi sangat tinggi. Tuturan si penutur (+) yang berbunyi Ayo, cepat dibuka! sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Kata dibuka dalam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan sangat tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Dapat dikatakan bermacam-macam, karena kata itu dimungkinkan untuk ditafsirkan bermacam-macam. Demikian pula tuturan yang disampaikan si mitra tutur (-), yakni Sebentar dulu, masih dingin mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi. Kata dingin pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak kemungkinan persepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang masih dingin itu. Tuturan-tuturan demikian itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya pada masyarakat bahasa Indonesia, ketidakjelasan, kekaburan, dan ketidaklangsungan merupakan hal yang wajar dan sangat lazim terjadi. Sebagai contoh, di dalam masyarakat tutur dan kebudayaan Jawa, ciri-ciri bertutur demikian hampir selalu dapat ditemukan dalam percakapan keseharian. Pada masyarakat tutur ini, justru ketidaklangsungan merupakan salah satu kriteria kesantunan seseorang dalam bertutur. Tuturan (77) berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi untuk memperjelas hal ini. (77) Anak : Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota. Ibu : Itu sudah saya siapkan di laci meja.

31 Informasi Indeksial: Dituturkan oleh seorang anak desa yang masih mahasiswa kepada ibunya pada saat ia meminta uang saku untuk hidup di sebuah rumah kos di kota. Tuturan itu terjadi pada waktu mereka berdua berada di dapur sedang memasak bersama. Dari cuplikan di atas, tampak bahwa tuturan yang dituturkan sang anak, yakni yang berbunyi Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota. Relatif kabur maksudnya. Maksud yang sebenarnya dari tuturan si anak itu, bukannya terutama ingin memberitahu kepada sang Ibu bahwa ia akan segera kembali ke kota, melainkan lebih dari itu, yakni bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan apakah sang ibu sudah siap dengan sejumlah uang yang sudah diminta sebelumnya. Seperti telah disampaikan dahulu, di dalam masyarakat tutur Jawa, justru kesantunan berbahasa banyak dimarkahi oleh ketidakjelasan, ketidaklangsungan, kekaburan, dan semacamnya. Orang yang terlibat di dalam pertuturan harus dapat membaca maksud tersembunyi dari si mitra tutur. Dengan demikian, jelas bahwa dalam komunikasi yang sebenarnya, maksim pelaksanaan pada Prinsip Kerja Sama Grice itu seringkali tidak dipatuhi atau bahkan mungkin harus dilanggar. 2.4 Prinsip Kesantunan dalam Tindak Tutur Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual, tetapi seringkali pula berhubungan persoalan yang bersifat interpersonal. Bila sebagai retorika tekstual pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama

32 (cooperative principle), sebagai retorika interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip lain, yakni prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahaan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agrement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). 2.4.1 Pengertian Prinsip Kesantunan Prinsip kesantunan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Sebelum membicarakan lebih jauh keenam maksim kesantunan di atas ada baiknya terlebih dahulu diterangkan mengenai bentuk-bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan maksim-maksim di atas. Bentuk-bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran imposif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujaran imposif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap suatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran yang diungkapkan.

33 2.4.2 Janis-jenis Prinsip Kesantunan Berikut ini akan dijelaskan teori ihwal prinsip kesantunan: 2.4.2.1 Maksim Kebijaksanaan Maksim ini diungkapkan dengan tuturan imposif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Leech (1986) mencontohkan tuturan (69) sampai dengan (72) berikut memiliki tingkat kesopanan yang berbeda. Tuturan dengan nomor yang lebih kecil memiliki tingkat kesopanan yang lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kesopanan dengan nomor yang lebih besar. (69) answer the phone! (70) Will you answer the phone? (71) Can you answer the phone? (72) Would you mind answering the phone? Dalam bahasa Indonesia contoh (73) sampai dengan (77) berikut ini dapat dipertimbangkan: (73) Datang ke rumah saya! (74) Datanglah ke rumah saya! (75) Silakan (anda) datang ke rumah saya. (76) Sudilah kiranya (anda) datang ke rumah saya. (77) Kalau tidak keberatan, sudilah (anda) datang ke rumah saya.

34 Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih sopan dibandingkan dengan kalimat perintah. Bila di dalam berbicara penutur berusaha memaksimalkan keuntungan orang lain, maka lawan bicara wajib pula memaksimalkan kerugian dirinya, bukan sebaliknya. Fenomena ini lazim disebut paradoks pragmatik (pragmatic paradox). Untuk ini bandingkan (78) yang mematuhi paradoks pragmatik dengan (79) yang melanggarnya. (78) + Mari saya bawakan tas anda. - Jangan, tidak usah. (79) + Mari saya bawakan tas anda. - Ini, begitu dong jadi teman. 2.4.2.2 Maksim Penerimaan Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan imposif. Maksim ini mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Ujaran (80) dan (82) di bawah ini dipandang kurang sopan bila dibandingkan (81) dan (83) berikut. (80) Anda harus meminjami Saya mobil.

35 (81) Saya akan meminjami Anda mobil. (82) Saya akan datang ke rumahmu untuk makan siang. (83) Saya akan mengundangmu ke rumah untuk makan malam. Tuturan (80) dan (82) dirasa kurang sopan karena penutur berusaha memaksimalkan keuntungan dirinya dengan menyusahkan orang lain. Sebaliknya (81) dan (83) penutur berusaha memaksimalkan kerugian orang lain dengan memaksimalkan kerugian diri sendiri. 2.4.2.3 Maksim Kemurahan Berbeda dengan maksim kebijaksanaan dan maksim penerimaan, maksim kerendahan hati diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Dengan penggunaan kalimat ekspresif dan asertif ini jelaslah bahwa tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku sopan, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berprilaku demikian. Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Untuk jelasnya dapat diperhatikan wacana (84) dan (85) berikut: (84) + Permainanmu sangat bagus. - Tidak saya kira biasa-biasa saja. (85) + Permintaan anda sangat bagus - Jelas siapa dulu yang main.

36 Tokoh (+) dalam (84) dan (85) bersikap sopan karena berusaha memaksimalkan keuntungan (-) lawan tuturnya. Lawan tuturnya (-) dalam (84) menerapkan paradoks pragmatik dengan berusaha meminimalkan penghargaan diri sendiri, sedangkan (-) dalam (85) melanggar paradoks pragmatik dengan berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Jadi, (-) dalam (85) tidak berlaku sopan. Dengan ketentuan di atas dapat ditentukan secara serta merta bahwa (86) lebih sopan dibandingkan dengan (87). (86) Masakanmu sungguh enak (87) Masakanmu tidak enak Demikian pula (88) lebih sopan bila dibandingkan dengan (87) (88) Masakanmu kurang enak 2.4.2.4 Maksim Kerendahan Hati Maksim kerendahan hati juga diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila maksim kemurahan berpusat pada orang lain, maksim kerendahan hati menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. (89) + They were so kind to us - Yes they are, weren t they? (90) + You were so kind to us - Yes, I was, wasn t I. Wacana (89) mematuhi prinsip kesopanan karena (+) memuji kebaikan pihak lain, dan respon yang diberikan (-) memuji orang lain yang dibicarakan itu. Wacana

37 (90) memiliki bagian yang melanggar maksim kesopanan. Tuturan (-) dalam (90) tidak mematuhi maksim kesopanan karena memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Dengan ketentuan yang sama dapat diputuskan bahwa (91) mematuhi maksim kesopanan, dan bagian tuturan (-) dalam (92) melanggarnya. (91) + Betapa pandainya orang itu. - Betul, dia memang pandai. (92) + Kau sangat pandai - Ya, saya memang pandai. Agar jawaban (-) dalam (92) terasa sopan, (-) dapat menjawab seperti (93) di bawah ini sehingga ia terkesan meminimalkan rasa hormat bagi dirinya sendiri: (93) + Kau sangat pandai. - Ah tidak, biasa-biasa saja. Itu hanya kebetulan. 2.4.2.5 Maksim Kecocokan Seperti halnya maksim penerimaan dan maksim kerendahan hati, maksim kecocokan juga diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka. Untuk jelaskannya dapat diperhatikan wacana (94) dan (95) berikut: (94) + Bahasa Inggris sukar, ya? - Ya (95) + Bahasa Inggris sukar, ya? - (Siapa bilang), mudah sekali.

38 Kontribusi (-) dalam (94) lebih sopan dibandingkan dengan dalam (95) karena dalam (95) (-) memaksimalkan ketidakcocokannya dengan pernyataan (+). Dalam hal ini tidak berarti orang harus senantiasa setuju dengan pendapat atau pernyataan lawan tuturnya. Dalam hal ia tidak menyetujui apa yang dinyatakan oleh lawan tuturnya ia dapat membuat pernyataan yang mengandung ketidaksetujuan atau ketidakcocokan patrial (patrial agreement), seperti tampak pada (96) dan (97) berikut ini: (96) + Bahasa Inggris sukar, ya? - Ya, tetapi tata bahasanya tidak begitu sukar dipelajari. (97) + Drama itu bagus, ya? - Ya, tetapi blocking pemainnya masih banyak kekurangan. (96) dan (97) terasa lebih sopan daripada (94) karena ketidaksetujuan (-) tidak dinyatakan secara frontal (total), tetapi secara patrial sehingga tidak terkesan bahwa ia orang yang sombong. 2.4.2.6 Maksim Kesimpatian Sebagaimana halnya maksim kecocokan, maksim ini juga diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan, atau musibah penutur layak turut berduka, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Wacana (98) dan

39 (99) sopan karena penutur mematuhi maksim kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapatkan kebahagiaan ( 98), dan kedudukan (99): (98) + Aku lolos di UMPTN, Jon - Selamat, ya! (99) + Bibi baru-baru ini sudah tidak ada. - Oh, aku turut berduka cita. Berbeda dengan (98) dan (99) dan (100) dan (101) berikut tidak mematuhi maksim kesimpatian karena tuturan (-) memaksimalkan rasa antipati terhadap kegagalan atau kedudukan yang menimpa (+). (100) + Aku gagal di UMPTN - Wah, pintar kamu. Selamat, ya! (101) + Bibi baru-baru ini sudah tidak ada. - Aku ikut senang Jon. Dengan penjelasan yang sama, (102) dan (103) lebih sopan dibandingkan dengan (100) dan (101). (102) +Aku gagal di UMPTN - Jangan sedih. Banyak orang seperti kamu. (103) + Bibi baru-baru ini sudah tiada. - Ikhlaskan saja, mungkin sudah takdir, Jon. Dari apa yang terurai di atas dapat diketahui bahwa maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan dan maksim kerendahan hati adalah maksim yang berskala dua kutub (bipolar scale maxim) karena

40 berhubungan dengan keuntungan atau kerugian diri sendiri dan orang lain. Sementara itu, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian adalah maksim yang berskala satu kutub (unipolar scale maxim) karena berhubungan dengan penilaian buruk baik penutur terhadap dirinya sendiri atau orang lain. Dalam kaitannya dengan maksim berskala dua kutub, maksim kebijaksanaan dan maksim kemurahan adalah maksim yang berpusat pada orang lain (other centred maxim), dan maksim penerimaan dan maksim kerendahan hati adalah maksim yang berpusat pada diri sendiri (self centred maxim).