TINJAUAN YURIDIS TENTANG SYARAT DAN PENERAPAN PENGGUNAAN PERSANGKAAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA BOBY PRASETYA / D.

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN YURIDIS TENTANG SYARAT DAN PENERAPAN PENGGUNAAN PERSANGKAAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA BOBY PRASETYA / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENERAPAN SUMPAH PEMUTUS SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA MEHDIANTARA / D

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang

TINJAUAN HUKUM TENTANG KENDALA-KENDALA EKSEKUSI YANG TELAH INKRACHT (Studi Pada Pengadilan Negeri Palu) TEGUH SURIYANTO / D

BEBAN PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PERDATA

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

JAMINAN. Oleh : C

a. Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata, diatur dalam:

BAB I PENDAHULUAN. dilihat atau diketahui saja, melainkan hukum dilaksanakan atau ditaati. Hukum

HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram )

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pemeriksaan perkara dalam persidangan dilakukan oleh suatu

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan hukum perdata itu dibagi menjadi dua macam yaitu hukum perdata

PERSIAPAN MENGAJUKAN GUGATAN KE PENGADILAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

RINGKASAN Bagi umat Islam yang mentaati dan melaksanakan ketentuan pembagian warisan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah swt.

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

PUTUSAN Nomor: 284/Pdt.G/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M E L A W A N

BAB II HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TENTANG PEMBUKTIAN

REPLIK DIAJUKAN OLEH PENGGUGAT DITUJUKAN PD MAJELIS HAKIM TIDAK PERLU DITULIS RINCIAN

TINJAUAN YURIDIS LEGALISASI AKTA DI BAWAH TANGAN OLEH NOTARIS AYU RISKIANA DINARYANTI / D

Kata Kunci : Alat Bukti, Sumpah dan Pemeriksaan

BAB I PENDAHULUAN. pihak lainnya atau memaksa pihak lain itu melaksanakan kewajibannya. dibentuklah norma-norma hukum tertentu yang bertujuan menjaga

ALAT BUKTI PENGAKUAN DAN NILAI PEMBUKTIANNYA DALAM PERSIDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan

TINJAUAN PUSTAKA. hukum antara orang yang satu dan orang yang lain. Perikatan atau hubungan

KEWENANGAN PENGADILAN DALAM MENGADILI MENURUT HUKUM TANPA MEMBEDA-BEDAKAN ORANG (ASAS OBYEKTIFITAS)

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM

BAB I PENDAHULUAN. menemukan hukum yang akan diterapkan (rechtoepasing) maupun ditemukan

Hukum Kontrak Elektronik

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

MOHAMMAD ALWAN HUSEIN, S.H., M.H 1 ABSTRAK. Disusun oleh

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014

BAB I PENDAHULUAN. warga negara merupakan badan yang berdiri sendiri (independen) dan. ini dikarenakan seorang hakim mempunyai peran yang besar dalam

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

Bayyinah, yang artinya satu yang menjelaskan. Secara terminologis

BAB IV. ANALISIS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI NOMOR:83/Pdt.P/2012/PA.Bkt

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pasal 1917 BW dijelaskan bahwa pada dasarnya suatu putusan itu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PENUTUP. 62 Universitas Indonesia

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGAKUAN TERGUGAT SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM KASUS PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

GANTI RUGI KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS AKIBAT PERBUATAN MELANGGAR HUKUM PENGEMUDI

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENOLAKAN MAJELIS HAKIM ATAS PENCABUTAN AKTA KESEPAKATAN DI BAWAH TANGAN YANG DIBUAT

D I S Q U A L I F I C A T O I R

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam

Pengadilan Agama sebagaimana didalilkan oleh Pemohon berikut bukti-bukti surat yang diajukannya, namun Majelis Hakim yang mengadili perkara ini dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. umumnya dan dalam rangka mendalami secara perbandingan (comparative law study)

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Perlawanan terhadap sita eksekutorial (executorial beslag) oleh pihak ketiga di pengadilan negeri (studi kasus di pengadilan negeri Sukoharjo)

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB IV. memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili agar

yang dibahas dalam makalah singkat ini adalah mengenai alat bukti tertulis.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB IV KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI SURAT TERGUGAT SEHINGGA DIMENANGKAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA NO.12/PDT.G/2010/PN.LLG TENTANG SENGKETA TANAH.

SALINAN P U T U S A N Nomor : 04/Pdt.G/2010/PTA.Plk

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup

P U T U S A N. Nomor 0979/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN. Nomor : 0094/Pdt.G/2013/PA.Plg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara

BAB I PENDAHULUAN. diantara mereka. Hal itu dikarenakan setiap manusia memiliki. kepentingannya, haknya, maupun kewajibannya.

P U T U S A N Nomor xxx/pdt.g/2011/pa.prg.

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN SITA JAMINAN ATAS BENDA BERGERAK PADA PENYELESAIAN PERKARA PERDATA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

P U T U S A N NOMOR: 140/PDT/2012/PTR

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

KEDUDUKAN ALAT BUKTI TULISAN TERHADAP PENYELESAIAN PERKARA DI PENGADILAN. Rosdalina Bukido. Abstrak

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

PERJANJIAN ASURANSI MELALUI TELEMARKETING DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN NOTARIS DALAM KASUS PERDATA DAN PIDANA Dr. AGUNG IRIANTORO, SH.,MH

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi atau melakukan hubungan-hubungan antara satu sama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

TINJAUAN YURIDIS TENTANG SYARAT DAN PENERAPAN PENGGUNAAN PERSANGKAAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA BOBY PRASETYA / D. 10109 633 ABSTRAK Hakim dalam memeriksa serta memutuskan suatu perkara perdata selalu berdasarkan pada pembuktian yang merupakan upaya bagi pihak-pihak dalam mendalilkan peristiwa-peristiwa atau haknya untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan di pengadilan. Untuk rnembuktikan hak tersebut, maka para pihak mengajukan alat bukti sebagaimana telah diatur datum ketentuan hukum acara perdata. Yakni pasal 164 HIR pasal 284 RBG dan pasal 1866 KUHPerdata. Salah satu alat bukti tersebut adalah alat bukti persangkaan. Persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal kearah yang tidak terkenah Persangkaan terdiri dari dua macam yakni persangkaan menurut undang-undang dan persangkaan yang tidak berdasarkan Undangundang. Sejauhmana penggunaan persangkaan sebagai alat bukti dalam penyelesaian perkara perdata serta syarat- syaratpenggunaan alat bukti tersebut dan sejauh mana kekuatan pembuktian persangkaan diterapkan oleh hakim dalam penyelesaian perkara perdata, diharapkan dapat berguna bagi pihak - pihak yang berperkara agar mengetahui bahwa Hakim wajib menerapkan alat bukti persangkaan sebagai alat bukti tidak langsung untuk melengkapi alat bukti yang diajukan oleh pihak - pihak dan diharapkan pula dapat berguna bagi hakim dalam menyelesaikan perkara perdata, alat bukti persangkaan dapat diterapkan untuk menambah alat bukti yang diajukan olehpihak-pihakyang berperkara dipengadilan. Kata Kunci : Alat Bukti yang digunakan Dalam Perkara Perdata. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meskipun ketentuan dalam HIR/Rbg tidak ditegaskan apa yang dimaksud persangkaan sebagaimana dikemukakan dalam pasal 1915 KURPerdata sebelumnya; hanya saja bahwa, dalam pasal 137 HIR/310 Rbg ditemukan penegasan tentang kapan persangkaan tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti. Dalam penyelesaian suatu perkara perdata dipengadilan senantiasa di tuntut bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk membuktikan dalilnya masing-masing, misalnya bahwa sekiranya penggugat mendalilkan tentang kepemilikannya terhadap suatu unit mobil yang dikuasai oleh pihak tergugat secara melawan hukum, maka menurut hukum pembuktian bahwa penggugat harus membuktikan pemilikannya tersebut dengan bukti surat misalnya BPKB (Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor), kecuali apabila kepemilikan tersebut tidak dapat dibuktikan melalui BPKB karena 1

1 penggugat membeli dari pihak yang tertera namanya didalam BPKB, maka pembuktian tersebut dapat dilakukan dengan surat perjanjian jual beli antara penggugat sebagai pembeli/pemilik kedua dengan pihak pertama/penjual. 1 Jika ada bukti surat seperti diatas tidak dapat ditunjukkan, maka bukti tentang kepemilikan mobil tersebut dapat dilakukan dengan mengajukan alat bukti saksi, sehingga keterangan-keterangan diatas sumpah yang dikemukakan dipersidangan oleh saksi-saksi tersebut, dijadikan sebagai alat bukti untuk pembuktian dalil yang dikemukakan oleh penggugat sebagai pemilik mobil yang menjadi obyek perkara. Oleh karena itu, baik alat bukti surat (terutama otentik) maupun alat bukti saksi masing-masing dapat berdiri sendiri untuk membuktikan suatu peristiwa atau hak yang didalilkan, demikian pula pembuktian sebaliknya dalam upaya menyangga sesuatu peristiwa atau hak yang dikemukakan pihak lawan. Tetapi alat bukti persangkaan, tidak dapat berdiri sendiri dan bukan pula diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara seperti halnya alat bukti surat dan saksi- A Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa, PT. Intermasa, Jakarta 1978, hlm.,76. saksi, karena alat bukti persangkaan tersebut disimpulkan berdasarkan Undang-undang dan fakta yang terungkap dipersidangan oleh hakim yuang memeriksa suatu perkara dipersidangan. Berdasarkan uraian diatas maka penulis hendak mengkaji dalam tulisan skripsi ini yang berkaitan dengan syarat dan penggunaan persangkaan oleh hakim yang nantinya tentang dalam putusan dijatuhkan terhadap suatu perkara perdata. B. Rumusan Masalah 1. Sejauhmana penggunaan persangkaan sebagai alat bukti dalam penyelesaian perkara perdata serta syarat-syarat penggunaan alat bukti tersebut. 2. Sejauhmana kekuatan pembuktian persangkaan diterapkan oleh hakim dalam penyelesaian perkara perdata. II. PEMBAHASAN A. Syarat dan Penerapan Persangkaan Sebagai Alat Bukti Kaitannya dengan Bukti-bukti lain Sebagaimana telahkemukakan pada uraian skripsi ini, bahwa pembuktian adalah tidak lain merupakan upaya pihak-pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim 2

tentang kebenaran dalil atau peristiwa yang diajukan dipersidangan tersebut, yang in concretonnya dapat digambarkan bahwa bila mana si A mendalilkan tanah pekarangannya yang dikuasai oleh si B adalah hak miliknya (hal milik A) yang dikuasai secara melawan hak oleh B maka dalil kepemilikan yang dikemukakan tersebut harus dibuktikan dengan menggunakan alat-alat bukti, demikian pula sebaliknya apabila selaku tergugat yang mendalilkan bahwa tanah pekarangan yang dikuasainya dimaksud, adalah tanah hak milik berdasarkan jual beli C selaku penjual, maka B selaku tergugat itupun harus membuktikannya dengan berbagai alat bukti pula. Dengan demikian, maka seorang penggugat wajib untuk membuktikan fakta-fakta yang dikemukakannya apabila pihak tergugat membantah fakta-fakta yang didalilkan penggugat tersebut, dengan perkataan lain bahwa penggugat tidak dituntut untuk niembuktikan faktafakta yang dikemukakannya apabila pihak tergugat mengakui/tidak membantahnya. Fakta-fakta yang harus dibuktikan tersebut, adalah faktafakta yang relevan dengan perkara (bukan persoalan notoir feit), dengan menggunakan beberapa alat bukti yang menurut ketentuan pasal 1866 KUHPerdata Jo Pasal 164 HIR/Pasal 284 Rbg sebagai berikut: 1) Bukti tulisan; 2) Bukti saksi; 3) Bukti persangkaan; 4) Bukti pengakuan; 5) Bukti sumpah. Ketentuan perundang-undangan sangat umum menentukan beban pembuktian, yaitu seolah-olah hampir secara bersamaan pihak penggugat dan tergugat membuktikan feit/peristiwa/fakta, sebagaimana dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad bahwa: Seandainya ketentuan pasal 163 HIR-283 Rbg (dan Pasal 1865 KUHPerdata) ini dipegang teguh, maka dalam prakteknya bisa menimbulkan beban yang sangat memberatkan bagi salah satu pihak yang disuruh membuktikannya. Sebab jika ia tidak dapat membuktikannya, ia akan menanggung resiko dikalahkan. Misalnya dalam soal warisan penggugat mengajukan gugatan terhadap tergugat, bahwa harta warisan belum dibagi dan ia menuntut bagiannya. Pihak tergugat mengatakan bahwa ini tidak benar, 3

karena barta warisan sudah dibagi. Apabila berpegang teguh pada pasal 163 HIR 183 Rgb, penggugat harus membuktikan harta warisan itu belum dibagi. Padahal jika tidak berpegang teguh pada pasal tersebut,hakim bisa membebankan pembuktian kepada tergugat untuk membuktikan bahwa harta warisan itu sudah dibagi. Bagi penggugat sudah cukup adil jika dibebankan itu adalah harta warisan dan penggugat adalah ahli waris. Berdasarkan pembuktian yang telah dibebankan kepada para pihak, maka berikut ini dikemukakan beberapa teori beban pembuktian tersebut seperti bahwa ini: 1) Teori negatif; 2) Teori Positif;dan 3) Teori bebas. Teori negatif menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat bagi hakim didalam pembuktian, yaitu suatu ketentuan yang bersifat langganan-langganan berupa pembatasan bagi kebebasan hakim didalam meletakkan beban pembuktian kepada pihak-pihak yang berperkara. Adapun teori positif, menghendaki adanya ketentuanketentuan yang mengikat hakim, yaitu suatu ketentuan yang tidak hanya semata-mata berisi larangan, tetapi juga meliputi ketentuan yang bersifat perintah-perintah kepada hakim. Sedangkan teori bebas, menghendaki bahwa hakim seharusnya tidak terikat sama sekali dengan ketebtuan hukum positif mengenai beban pembuktian tergantung sepenuhnya pada hasil penilaian hakim dengan mempertimbangkan posisi kasus yang diperiksanya. Teori-teori yang dikemukakan di atas, oleh Sudikno Mertokusumo, 2 mengemukakan 5 (lima) teori berkenaan dengan beban pembuktian, seperti berikut: 1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatif); Menurut teori ini, bahwa siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari dan menyangkalnya. Dasar hukum daripada teori ini adalah pendapat bahwa hal-hal yang negatif tidak mungkin dibuktikan (negative non sunt probanda). Peristiwa negatif tidak dapat menjadi dasar dan satu hak, sekalipun pembuktiannya mungkin, hal ini 2 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm.,111-114. 4

tidaklah penting oleh karena itu tidak dapat dibebankan kepada seseorang. 2. Teori hukurn subyektif Menwut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum sebyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang menemukakan atau mengaku mempunyai suatu hak harus membuktikannya. Dalam hal ini penggugat tidak perlu membuktikan semuanya. Untuk mengetahui peristiwa-peristiwa umum dan peristiwa-peristiwa khusus. Yang terakhir ini dibagi lebih lanjut menjadi peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak (Rechtserzeugende Tatsachen), peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi timbuinya hak (Rechtserzeugende Tatsachen), dan peristiwa khusus yang bersifat membatalkan hak (Rechtvernictende Tatsachen). Penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwaperistiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak. Sedangkan tergugat harus membuktikan tidak adanya peristiwa-peristiwa (syarat-syarat) umum dan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi dan bersifat membatalkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya, bahwa kalau penggugat mengajukan tuntutan pembayaran harga penjualan, maka penggugat harus membuktikan adanya persesuaian kehendak, harga serta penyerah, sedangkan kalau tergugat menyangkal gugatan penggugat dengan menyatakan misalnya terdapat cacat pada persesuaian kehendak atau bahwa hak penggugat itu batal karena telah dilakukan pembayaran maka tergugatlah yang harus membuktikan. Teori mendasarkan pada pasal 1865 BW. Teori ini hanya dapat memberi jawaban apabila gugatan penggugat didasarkan atas hukum subyektif ini tidak selalu demikian, misalnya pada gugat cerai. Keberatan-keberatan lainnya ialah bahwa teori ini terlalu banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban atas persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam sengketa yang bersifat prosesuil. 3. Teori hukum obyektif 5

Menurut teori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran dan pada peristiwa yang diajukannya dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa tersebut siapa yang misalnya harus mengemukakan adanya suatu persetujuan harus mencari dalam undang-undang (hukum obyektif) apa syarat-syarat sahnya persetujuan (Pasal 1320 SW) dan kemudian memberi pembuktiannya. Ia tidak perlu misalnya membuktikan adanya cacat dalam persesuaian kehendak, sebab hal itu tidak disebutkan dalam Pasal 1320 8W. Tentang adanya cacat ini harus dibuktikan oleh pihak lawan. Hakim yang tugasnya menerapkan hukum obyektif pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak hanya dapat mengabulkan gugatan apabila unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum obyektif ada. Jadi atas dasar ini hukum obyektif yang ditetapkan dapat di tentukan pembagian beban pembuktian. 4. Teori hukum publik Menurut teori ini maka pencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disampingitu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana. 5. Teori hukum Acara 3 Azas audit et alteram atau juga Azas kedudukan a prosesuil yang sama dan pada para pihak tingkah hakim merupakan asaz pembagian beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. Azas kedudukan prosesuil yang sama dan para pihak membawa akibat bahwa kemungkinan untuk menang bagi para pihak harus sama. Oleh karena itu hakim harus membebani para pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut. Kalau penggugat 3 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Praktek Alumni Bandung, 1979 hlm., 122. 6

menggugat tergugat mengenai perjanjian jual beli, maka sepatutnyalah kalau penggugat membuktikan tentang adanya jual beli itu dan bukannya tergugat yang harus membuktikan tidak adanya perjanjian tersebut antara penggugat dan tergugat. Kalau tergugat mengemukakan bahwa ia membeli sesuatu dan penggugat, tetapi bahwa jual bell itu batal karena kompensasi, maka tergugat harus membuktikan bahwa ia mempunyai tagihan kepada penggugat. Penggugat dalam hal ini tidak perlu membuktikan bahwa ia tidak mempunyai hutang pada tergugat. Kiranya sudah sepatutnyalah kalau yang harus dibuktikan itu banyalah hal-hal yang positif saja, yaitu adanya suatu peristiwa dan bukannya tidak adanya suatu peristiwa. Demikian pula siapa yang menguasai barang tidak perlu membuktikan bahwa Ia berhak atas barang tersebut. B. Kekuatan Hukum Bukti Persangkaan Dalani Perkara Perdata Seperti telah difahami bahwa berhasil tidaknya seseorang memenangkan perkara perdata di pengadilan, sangat ditentukan olehkemampuan pihak tersebut membuktikannya dengan alat-alat bukti yang sempurna kekuatan hukumnya, atau dengan perkataan lain bahwa dikabulkan atau ditolaknya suatu gugatan yang diajukan kepengadilan, tergantung pada kekuatan alat-alat bukti yang diajukan, sehingga hakim majelis yang memeriksa dan mengadili sesuatu perkara akan menjadi yakin terhadap sesuatu peristiwa atau hak yang didalilkan, sebagaimana maksud ketentuan pasal 162 HIR Pasal 282 Rbg yang berbunyi bahwa: Pengadilan Negeri dalam soal pembuktian dan soal penerima atau menolak menerima alat bukti dalam perkara perdata hendaklah memperhatikan aturan pokok sebagai berikut. Tentang aturan pokok sebagaimana bunyi pasal tersebut diatas, tidak lain yaitu ketentuanketentuan yang berhubungan dengan beban pembuktian dalam Pasal 163 HIR/Pasal 283 Rgb, jenis alat bukti dalam pasal 164 HIR/Pasal 284 Rgb dan seterusnya. Dengan demikian, maka merupakan kewajiban hakim yang memeriksa dan mengadili perkara untuk menilai kekuatan alat bukti yang diajukan oleh pihak-pihak yang 7

berperkara, bahwa apakah alat bukti yang diajukan tersebut mempunyai kekuatan hukum pembuktian, sebgai contoh bahwa didalam penerapan alat bukti saksi misalnya, menurut hukum sekurang-kurangnya harus dua orang saksi karena bila mana pembuktian tersebut diajukan hanya satu orang saksi, maka kekuatan pembuktian satu orang saksi tersebut dipandang sebagai bukan saksi (unus testis nullus testis), dengan demikian pula bahwa saksi-saksi yang diajukan sebagai alat bukti untuk membuktikan suatu peristiwa atau hak, atau menyangga suatu peristiwa atau sesuatu hak, harus merupakan kesaksian yang dirasakan/dialami (misalnya dilihat dan didengar) oleh karena saksi yang diajukan tersebut, bukan misalnya keterangan yang dibeberkan dipersidangan oleh saksi tersebut perkiraan dan hasil informasi yang diterima/didengar saksi dan orang lain,kecuali apabila pembuktian dengan satu orang saksi didukung dengan alat bukti lainnya seperti surat, pengakuan dan lain-lain. Contoh sebagaian bahan banding yang dikemukakan diatas, dalam penerapan alat bukti persangkaan untuk membuktikan sesuatu dalil, bukan merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, melainkan alat bukti dan hasil kesimpulan Undang-undang dan kesimpulan oleh bakim yang memeriksa dan mengadili perkara, sebagaimana dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai berikut : 4 maksud pasal ini melarang hakim memutuskan suatu perkara hanya berdasarkan pada persangkaan yang berdiri sendiri lepas satu sama lain dan melarang mendasarkan putusannya hanya pada satu persangkaan saja. Pasal yang dimaksud Oleh Abdulkadir Muhammad diatas yaitu pasal 172 HIR/Pasal 310 Rbg yang menegaskan bahwa: Persangkaan yang tidak didasarkan pada ketentuan perundang-undangan hanya dapat diperhatikan oleh hakim dalam memberikan keputusannya terhadap perkara itu apabila persangkaan itu berbobot, cermat dan tertentu serta bersesuai satu dengan yang lainnya. Lain halnya dengan pandangan Wirjono Prodjokoro 5 yang menilai 4 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung, 1982 hlm., 163. 5 Wirjono Prodjokoro, Hukum Acara Perdata Indonesia, Sumur, Bandung, 1982, hlm., 116-117. 8

alat bukti persangkaan bukan sebagai alat bukti seperti terurai dibawah ini: Oleh karena persangkaan adalah kesimpulan belaka, maka dalam hal ini yang dipakai sebagai alat bukti sebetulnya bukan persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat atau pengakuan suatu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang ternyata (peristiwaa). baru kemudian disimpulkan dan adanya peristiwa a ini penganggapan adanya juga peristiwa b. dan kesimpulan ini dapat ditarik oleh Undangundang atau oleh hakim. Berdasarkan pada pandangan Wirjono, tersebut tampaknya kurang mendapat respon dan pakar hukum lainnya yang masih memandang persangkaan sebagai alat bukti, sekalipun penerapan alat bukti persangkaantidak berdiri sendiri sebagai alat bukti, melainkan harus didukung dengan alat bukti lainnya, sebagaimana dikemukakan oleh H. Haryanto, SH Hakim Pengadilan Negeri Palu menyatakan bahwa: Secara yuridis formal, persangkaan harus diakui sebagai alat bukti, yang dapat dipergunakan oleb hakim dalam penyelesaian suatu perkara yang belum jelas pembuktiannya dengan alat bukti lain. Mengingat ketentuan-ketentuan berkenaan dengan alat bukti persangkaan (baik dalam HIR/Rgb maupun dalam buku IV KUHPerdata) dan pandangan pakar praktisi hukum dibidang itu, kemudian diimplementasikan kedalam penyelesaian perkara perdata No. 92/Pdt.G/2000/PN.PL, khususnya dalam penyelesaian gugatan rekonpensi mengenai tuntutan ganti rugi atas pengrusakan barang pohon kelapa milik penggugat rekonpensi yang dilakukan oleh tergugat rekonpensi, tampak menunjukkan bahwa hakim yang memeriksa dan mengadili perkara dimaksud tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan alat bukti persangkaan, sekalipun didalam gugatan rekonpensi tersebut telah memenuhi syarat bagi hakim untuk menggugakan alat bukti persangkaan, baik persangkaan berdasarkan ketentuan Undangundang maupun karena kesimpulan oleh hakim. 9

III. PENUTUP 1. Bahwa salah satu alat bukti didalam penyelesaian perkara perdata, yaitu alat bukti persangkaan yang dibebankan antara persangkaan menurut ketentuan Undang-undang dan persangkaan menurut kesimpulan hakim. Pembuktian dengan alat bukti persangkaan tidak dapat berdiri sendiri sebagaimana layaknya pembuktian dengan alat bukti tertulis dengan jenis akta otentik, melainkan harus terlebih dahulu dipergunakan alat bukti lain seperti surat, saksi dan lain-lain yang belum mempunyai kekuatan pembuktian sempurna; 2. Bahwa salah satu contoh kasus penerapan alat bukti persangkaan adalah seperti pembuktian dengan alat bukti tertulis yang membuktikan bahwa suatu peristiwa benar-benar terjadi, misalnya pengrusakan barang, kemudian disimpulkan berdasarkan peristiwa pengrusakan tersebut, melahirkan peristiwa kerugian sebagai akibat pengrusakan dimaksud, baik kesimpulan yang ditarik oleh Undangundang sendiri maupun kesimpulan oleh hakim; 10

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku A. Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa, PT.Intermasa, Jakarta, 1978. Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni Bandung, 1982. R. Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata Indonesia, Sumur Bandung, 1982. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek Alumni, Bandung, 1979. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982. B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata 11

BIODATA PENULIS NAMA TEMPAT / TANGGAL LAHIR JENIS KELAMIN AGAMA ALAMAT NO. TELEPON : BOBY PRASETYA : PALU, 24 MARET 1986 : LAKI - LAKI : ISLAM : Jl. PIMPILIDO NO. 9 A PALU : 085241458959 12