BAB II TINJAUAN PUSTAKA. umumnya dan dalam rangka mendalami secara perbandingan (comparative law study)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. umumnya dan dalam rangka mendalami secara perbandingan (comparative law study)"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab ini dideskripsikan suatu tinjauan pustaka mengenai pembuktian. Adapun tujuan dari tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui pembuktian pada umumnya dan dalam rangka mendalami secara perbandingan (comparative law study) pembuktian menurut UU ITE dan dalam rangka konvergensi tidak dapat dilepaskan dari UU Telekomunikasi. Uraian dari Bab ini terdiri dari pembuktian dalam hukum acara perdata dan pembuktian dalam hukum acara pidana. Penulisan ini juga akan membandingkan mengenai kedudukan dokumen elektronik dalam hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Uraian Bab tentang pembuktian dalam hukum acara perdata pada umumnya, mencakup pengertian pembuktian, sistem pembuktian, beban pembuktian serta alat-alat bukti yang dipergunakan dalam pembuktian hukum acara perdata. Sebagai perbandingan dikemukakan pula suatu tinjauan mengenai pembuktian dalam hukum acara pidana pada umumnya. Terdiri dari pengertian pembuktian, sistem pembuktian, serta alat-alat bukti yang dipergunakan dalam pembuktian hukum acara pidana. Kemudian akan dikemukakan pula suatu tinjauan mengenai alat bukti yang diatur dalam UU ITE sebagai perluasan alat bukti dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia dan dalam rangka konvergensi tidak dapat dilepaskan dari UU Telekomunikasi di Indonesia. 13

2 Tujuan dari pendeskripsian tinjauan pustaka ini adalah untuk menjawab rumusan permasalahan dalam skripsi ini Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata Membuktikan mengandung beberapa pengertian, yaitu membuktikan dalam arti logis atau ilmiah, membuktikan dalam arti konvensional dan membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis tidak lain memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. 2 Pembuktian dalam lingkup keperdataan tercantum dalam Buku Keempat tentang Pembuktian dan Daluwarsa dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia. Buku keempat itu memuat segala aturan-aturan pokok pembuktian dalam hukum perdata. Pasal 1865 misalnya mengemukakan suatu asas bahwa Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu. Menurut Penulis, kaedah atau asas tersebut mengatur tentang beban pembuktian atau Onus, yaitu barang siapa yang mendalilkan maka dialah yang wajib, menurut hukum untuk membuktikan akan kebenaran dalilnya tersebut. 1 Mengenai Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Skripsi ini dapat dilihat dalam Sub Judul 1.3., dan 1.4., hlm. 11, supra. 2 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1979, hlm

3 Sedangkan tugas pokok dari hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim menerima perkara, jadi dalam hal ini sikapnya adalah pasif atau menunggu adanya perkara diajukan kepadanya dan tidak aktif mencari atau mengejar perkara. 3 Hakim dalam memeriksa setiap perkara harus sampai kepada putusannya, walaupun kebenaran peristiwa yang dicari itu belum tentu ditemukan. Dalam konteks yang demikian, maka benar tidaknya sesuatu peristiwa yang disengketakan sangat bergantung kepada hasil pembuktian yang dilakukan para pihak di persidangan. Oleh karena itu pembuktian di dalam hukum acara perdata sifatnya relatif namun menjadi hal yang sangat penting. 4 Pembuktian juga mengandung pengertian memberikan alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak (the parties of contract) yang berperkara kepada hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok sengketa. Hakim memeroleh keyakinan untuk dijadikan dasar putusannya yang diajukan oleh para pihak. Pembuktian diperlukan karena adanya bantahan atau sangkalan dari pihak lawan mengenai apa yang digugatkan, atau untuk membenarkan suatu hak. Jadi hakim dalam proses perdata terutama harus menemukan dan menentukan peristiwanya atau hubungan hukumnya dan kemudian memperlakukan atau menerapkan hukumnya terhadap peristiwa yang telah ditetapkannya itu. 5 3 Ibid, hlm Bachtiar Effendie, S.H., Masdari Tasmin, S.H., dan A. Chodari, ADP, S.H., Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm

4 Di dalam hukum acara perdata, kepastian akan kebenaran peristiwa yang diajukan di persidangan itu sangat tergantung kepada pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Setelah pemeriksaan suatu perkara di persidangan dianggap selesai dan para pihak tidak mengajukan bukti-bukti lain, maka hakim akan memberikan putusannya Metode Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata Menurut hukum positif di Indonesia, hukum acara perdata dinyatakan secara resmi berlaku adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura diberlakukan Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg). 7 Ketentuan di atas mengenal beberapa metode pembuktian antara lain yaitu: Para pihak tidak bebas mengajukan jenis atau alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang telah menentukan secara enumeratif apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti. Pembatasan kebebasan itu, berlaku juga kepada hakim. Hakim tidak bebas dan tidak leluasa menerima apa saja yang diajukan para pihak sebagai alat bukti. Apabila pihak yang berperkara mengajukan alat bukti di luar yang ditentukan secara enumeratif dalam undang-undang, hakim mesti menolak dan mengesampingkannya dalam penyelesaian perkara. 8 Namun belakangan berkembang lagi satu metode pembuktian yang tidak lagi ditentukan jenis atau bentuk alat bukti secara enumeratif. Metode pembuktian tersebut 6 M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm M. Yahya Harahap, S.H., Op. Cit., hlm

5 mendasarkan kepada pendapat bahwa kebenaran tidak hanya diperoleh dari alat bukti tertentu, tetapi dari alat bukti mana saja pun harus diterima sebagai suatu kebenaran sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat bukti, tidak disebut satu persatu. Ditinggalkannya sistem yang menyebut satu per satu alat bukti berdasar alasan, bahwa metode pembuktian yang mengikuti alat bukti yang enumeratif oleh UU dianggap tidak komplet. Metode itu tidak menyebut dan memasukkan alat bukti modern yang dihasilkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya, alat bukti elektronik (electronic evidence), meliputi data elektronik (electronic data), berkas elektronik (electronic file), maupun segala bentuk sistem komputer yang dapat dibaca (system computer readable form) Beban Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata Dalam hukum acara perdata, pembuktian dilakukan oleh para pihak yang berperkara, bukan oleh hakim. Hakim yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Hakim yang membebani para pihak dengan pembuktian (bewijslast, burden of proof). 10 Hal ini tercantum dalam Pasal 163 HIR, Pasal 283 R.Bg dan Pasal 1865 BW, yang berbunyi: Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk 9 Ibid, hlm Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm

6 membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu. 11 Kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Dalam pemeriksaan perkara perdata, penggugat wajib mebuktikan peristiwa yang diajukannya, sedangkan tergugat berkewajiban membuktikan kebenaran bantahannya. Pembagian beban pembuktian sangat menentukan jalannya peradilan. Jadi apabila salah satu pihak dibebani dengan pembuktian dan ia tidak dapat membuktikan, maka ia akan dikalahkan. Oleh karena itu hakim harus berhati-hati dalam melakukan pembagian pembuktian. 12 Sehubungan dengan beban pembuktian dalam hukum acara perdata sebagaimana diuraikan di atas, kepustakaan yang distudi oleh Penulis membahas beberapa model pembagian beban pembuktian yaitu: model yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief). Dengan model ini, yang dibebani pembuktian adalah pihak yang mengemukakan sesuatu. Sedangkan pihak yang membantah sama sekali tidak dibebani pembuktian. 13 Ada pendapat bahwa model itu tidak realistik dan sudah ditinggalkan. Sedangkam model berikutnya adalah beban pembuktian didasarkan pada hukum subjektif. Diajarkan bahwa yang dibuktikan itu adalah peristiwa-peristiwa, dimana peristiwa-peristiwa tersebut meliputi peristiwa umum dan peristiwa khusus yang menimbulkan hak (rechtserzeugendetatsachen), menghalangi timbulnya hak (rechtshindernde tatsachen), dan membatalkan hak (rechtsvernichtende tatsachen). Jadi 11 Lihat uraian terdahulu, Pasal 1865 BW, hlm. 4, supra. 12 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm Bachtiar Effendie, S.H., Masdari Tasmin, S.H., dan A. Chodari, ADP, S.H., Op. Cit., hlm

7 siapa yang mendalilkan adanya peristiwa-peristiwa itu, atau membantahnya, maka pihak itulah yang harus membuktikannya, 14 menurut model tersebut. Pembagian beban pembuktian dalam hukum subyektif, seolah mendikte hakim agar kepada pihak berperkara pembuktian didasarkan kepada hukum objektif. Siapa yang mendalilkan suatu peristiwa maka ia harus membuktikan bahwa peristiwa itu telah memenuhi unsur-unsur hukum objektif yang mengaturnya. Demikian pula siapa yang membantahnya harus dibebani pembuktian bahwa bantahannya itu memenuhi unsurunsur hukum objektif yang mengaturnya. 15 Sedangkan model beban pembuktian selanjutnya adalah kedua belah pihak wajib membuktikan kebenaran dalilnya. Dalam model itu, ada sanksi pidananya bagi pihakpihak tersebut. Hakim diberi wewenang lebih besar dalam mencari kebenaran peristiwa yang menjadi pokok sengketa. 16 Akhirnya dalam pembagian beban pembuktian dengan model kepatuhan, hakim membagi beban pembuktian kepada pihak yang paling banyak mendalilkan hal-hal yang menyimpang dari kepatuhan menurut aturan dan pengalaman umum Ibid, hlm. 56. Bandingkan dengan uraian dalam hlm Ibid, hlm Ibid, hlm Ibid, hlm

8 2.4. Alat-Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata Alat bukti juga meliputi bahan-bahan (barang bukti. Penulis) yang dipakai untuk pembuktian dalam suatu perkara perdata di depan persidangan pengadilan. 18 Menurut hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. 19 Menurut Penulis kaedah ini juga termasuk sebagai alat bukti. Alat-alat bukti dalam acara perdata konvensional yang diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg dan 1866 BW yaitu: alat bukti tertulis, saksi, persangkaanpersangkaan, pengakuan dan sumpah. Berikut di bawah ini gambaran 20 menurut kepustakaan yang membicarakan tentang alat-alat bukti tersebut; Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat. 21 Untuk memastikan buah pikiran itu, menurut Penulis, dapat dikejar melalui pengakuan dari orang yang membuat surat tersebut sepanjang yang bersangkutan masih hidup Ibid, hlm Lihat uraian dalam hlm Gambaran singkat mengenai hal ini juga telah Penulis kemukakan dalam Bab I karya tulis kesarjanaan ini, hlm. 6-8, supra. 21 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm Lihat pula catatan kaki no. 15 Skripsi ini, Bab I, hlm. 7, supra. 20

9 Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta. Surat bukan akta adalah surat yang tidak ada tanda tangannya. Sedangkan akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat dihadapannya. 23 Sedangkan akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan. 24 Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan. 25 Keterangan saksi yang diberikan di dalam persidangan harus mengenai peristiwa yang dialaminya sendiri, sedangkan dugaan bukan merupakan kesaksian. Kesaksian ini diperlukan guna menguatkan tentang kebenaran dalil yang diajukan pihak yang 23 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm Ibid, hlm Ibid, hlm

10 berperkara sebagai dasar dari putusan hakim. Keterangan seorang saksi saja dengan tidak ada suatu alat bukti lain tidak dapat dipercayai di dalam hukum (unus testis nullus testis). Alat bukti saksi mempunyai kekuatan pembuktian bebas, artinya hakim bebas memberikan penilaiannya atas kesaksian seseorang/beberapa orang yang diajukan di persidangan. 26 Persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditariknya suatu peristiwa yang sudah diketahui ke arah peristiwa yang belum diketahui. Jadi, persangkaan merupakan alat bukti tidak langsung yang ditarik dari alat bukti lain, atau merupakan uraian hakim dengan mana hakim menyimpulkan dari fakta yang terbukti ke arah fakta yang belum terbukti. 27 Pengakuan ialah suatu pernyataan lisan/tertulis dari salah satu pihak berperkara yang isinya membenarkan dalil lawan bagian sebagian atau seluruhnya. 28 Ada dua macam pengakuan (Pasal 1923 BW), yaitu: pertama, pengakuan di muka hakim di depan persidangan (Gerechtelijke bekentenis). Pengakuan di sini ada yang diberikan secara tegas, sehingga memberikan kepastian kepada hakim. Ada juga pengakuan yang diberikan secara diam-diam yang tidak memberikan kepastian kepada hakim, sehingga hakim bebas menilainya. 29 Kedua, Pengakuan di luar sidang, yaitu pengakuan yang 26 Bachtiar Effendie, S.H., Masdari Tasmin, S.H., dan A. Chodari, ADP, S.H., Op. Cit., hlm Ibid, hlm Ibid, hlm Ibid, hlm

11 artinya suatu pernyataan pihak di luar sidang yang lainnya membenarkan dalil lawan sebagian atau seluruhnya. 30 Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh Tuhan. Jadi, pada hakekatnya sumpah merupakan tidankan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan. 31 Sumpah ini ada tiga macam, yaitu: pertama, sumpah pelengkap (suppletoir). Sumpah pelengkap ialah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. 32 Kedua, sumpah pemutus (decisoir). Sumpah pemutus adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya. Pihak yang minta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedang pihak yang harus bersumpah disebut delaat. 33 Ketiga, Sumpah Penaksiran (aestimatoir, schattingseed). Sumpah penaksiran yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian. 34 Menurut Penulis, semua elemen pembuktian yang telah diuraikan di atas adalah alat bukti. 30 Ibid, hlm Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm Ibid, hlm Ibid, hlm Ibid, hlm

12 2.5. Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Meskipun fokus penelitian dan penulisan karya tulis kesarjanaan ini hanya menyangkut alat bukti dalam perkara perdata, namun agar lebih mendalam Penulis merasa perlu dikemukakan disini mengenai suatu studi perbandingan (comparative study) dengan aspek pidana. Pembuktian dalam hukum acara pidana memegang peranan yang sangat penting, karena menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. Pembuktian menurut hukum acara pidana diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. 35 Dikaji dari prespektif yuridis, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakaan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa. 36 Dalam hukum acara pidana pembuktian sudah dimulai pada tahap penyelidikan perkara pidana. Dalam tahap penyelidikan penyelidik mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, sehingga menurut Penulis, di sini sudah ada tahapan pembuktian. Begitu pula 35 Lilik Mulyadi, S.H., M.H., Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, PT. Alumni, Bandung, 2007, hlm M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm

13 halnya dengan penyidikan yakni tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 37 Artinya pembuktian dalam hukum acara pidana berawal dari penyelidikan dan berakhir sampai adanya penjatuhan pidana oleh hakim, kecuali menurut pendapat Penulis, diskresi menyatakan bahwa penyidikan tidak diteruskan. Hal ini berarti bahwa pembuktian berhenti pada diskresi yang diambil pejabat yang berwenang. Pembuktian pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. 38 Kegiatan pembuktian merupakan interaksi antara pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim dalam menangani perkara tersebut dengan dibantu oleh seorang panitera pengganti, kemudian adanya jaksa penuntut umum yang melakukan penuntutan dan adanya terdakwa atau beserta penasihat hukum (advokat) yang sebelumnya melalui suatu proses penyelidikan dan penyidikan. 39 Dikaji dari prespektif hukum pidana, hukum pembuktian ada, lahir, tumbuh dan berkembang dalam rangka untuk menarik suatu konklusi bagi hakim di depan sidang pengadilan untuk menyatakan terdakwa terbukti ataukah tidak terbukti melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya, dan akhirnya dituangkan hakim dalam rangka penjatuhan pidana kepada terdakwa Lilik Mulyadi, S.H., M.H., Op. Cit., hlm Ibid, hlm Ibid, hlm Ibid, hlm

14 2.6. Metode Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Pertama, conviction-in time. Metode pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seseorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Menurut pendapat Penulis, hal seperti ini mungkin saja terjadi apabila hakim yang terbebas dari dugaan suap atau korupsi merasa yakin (subyektifitas) bahwa alat-alat bukti yang diajukan kepadanya adalah alat-alat bukti rekayasa untuk menghukum terdakwa yang tidak bersalah. Dalam metode pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas dasar keyakinan hakim, suatu pandangan yang sangat rawan subyektifitas dan rawan abuse of power, 41 namun, hukum mengijinkan hal itu sebab hakim bertanggungjawab kepada Tuhan. Hal seperti ini juga, dalam kaitan dengan alat bukti lainnya dalam pembuktian dengan alat bukti lainnya dalam pembuktian Penulis sebut dengan alat bukti. Kedua, conviction-raisonee. Dengan alat ini pun dikatakan keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan 41 M Yahya Harahap, S.H., Op. Cit., hlm

15 tetapi, di sini faktor keyakinan hakim dibatasi. Pembatasan ini adalah bahwa keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Tegasnya, keyakinan hakim dengan alat ini, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 42 Pandangan terhadap hukum ini agak sedikit sekuler, sebab mengandalkan sepenuhnya pada akal sehat yang umum atau commonsence. Ketiga, pembuktian menurut undang-undang secara positif. Pembuktian menurut alat ini menekankan bahwa keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim di sini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Alat bukti ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa memersoalkan keyakinan hakim. 43 Keempat, pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel). Alat bukti ini merupakan cara antara alat pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pembuktian ini merupakan keseimbangan antara dua cara yang terkesan saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, alat bukti ini terlihat seolah-olah 42 Ibid, hlm Ibid, hlm

16 menggabungkan antara pembuktian menurut keyakinan dengan pembuktian menurut undang-undang secara positif. Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan rumusan di atas, untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya sematamata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alatalat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan sekaligus keterbuktian kesalahan itu dibarengi dengan keyakinan hakim. 44 Menurut Penulis, rumusan seperti ini terlihat tautologis dan retorik, sebab pada ujung-ujungnya dalam setiap pembuktian semuannya sangat bergantung kepada keyakinan hakim. Sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP dapat dilihat dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dari bunyi Pasal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian undang-undang secara negatif. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk 44 Ibid, hlm

17 menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus: 45 kesalahannya terbukti dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ; atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya Alat-alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana Dalam hukum acara pidana Indonesia, alat-alat bukti diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana alat-alat bukti tersebut antara lain: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Keterangan saksi secara eksplisit diatur dalam Pasal 1 Angka (27) KUHAP yang menyatakan: Keterangan saksi adalah salah satu 46 alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dan pengetahuannya itu. Keterangan ahli adalah adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu 45 Ibid, hlm Perkataan adalah salah satu dalam rumusan pasal di atas memperlihatkan bahwa konsep alat bukti adalah suatu konsep yang sangat luas. Bahkan di atas, dengan berdasar pada pandangan seperti itu, Penulis menggantikan kata sistem pembuktian dengan alat pembuktian. 29

18 perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 Angka (28) KUHAP). Keterangan ahli sebagai alat bukti dalam praktik esensinya mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrijsbewijskracht sehingga terserah kepada penilaian dan kebijaksanaan hakim yang menangani perkara. Hakim tidak ada keharusan menerima kebenaran ahli tersebut secara limitatif. 47 Menurut pendapat Penulis, di sini terlihat bahwa hukum tidak mengijinkan apabila ahli dalam bidang apapun mendikte keyakinan hakim, sebagai alat bukti. Surat sebagai alat bukti diatur pada Pasal 184 Ayat (1) huruf (c) KUHAP. Surat juga ditentukan oleh Pasal 187 KUHAP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. 47 Ibid, hlm

19 Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Terlihat disini bahwa hati nurani, sesuatu yang metafisis pun menjadi bagain dari alat bukti. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain, dalam rangka memenuhi tuntutan minimum pembuktian, dua alat bukti dalam alat bukti. 31

20 2.8. Alat-Alat Bukti Undang-Undang ITE Konvergensi Telekomunikasi Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Kaedah ini berada dalam satu sistem pembuktian atau berkonvergensi dengan UU Telekomunikasi. 48 Informasi Elektronik yang merupakan satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya, dan dokumen elektronik yang merupakan setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya, dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut UU ITE. 48 Mengenai konvergensi ini, telah Penulis kemukakan di atas. Perhatikan, catatan kaki no. 1 pada Bab I skripsi ini. Untuk uraian lebih lanjut Penulis ketengahkan pada halaman selanjutnya, setelah halaman ini. 32

21 2.9. Arti Penting Studi Kepustakaan Apabila pemahaman definitif sebagaimana dikemukakan di atas diperhatikan dengan seksama ada satu kata yang mengatakan bahwa merupakan alat bukti; baik dalam acara perdata maupun acara pidana elektronik. Mengingat hanya ada apabila komputer dihubungkan pada jaringan telekomunikasi, maka dalam kaitan dengan asas konvergensi, Penulis perlu mengemukakan di sini definisi jaringan telekomunikasi sebagaimana dikemukakan di dalam UU Telekomunikasi (UU No. 36 tahun 1999). Namun, sebelum definisi jaringan telekomunikasi itu dipaparkan, perlu Penulis nyatakan di sini bahwa prespektif untuk memahami konvergensi antara UU ITE dan UU Telekomunikasi dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum 49 harus dilihat sebagai suatu sistem yang didefinisikan: segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya. Dalam spirit kontrak sebagai nama ilmu hukum seperti telah Penulis kemukakan di atas maka setiap kali Penulis hendak memahami suatu issu hukum, dalam konteks penulisan karya tulis kesarjanaan ini yaitu sebagai alat bukti, maka Penulis tidak 49 Kepustakaan mengenai Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum yang Penulis maksudkan dapat dilihat dalam Jeferson Kameo, S.H., LLM, Ph.D., Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, hlm

22 bisa hanya menggambarkan dengan melihat UU ITE saja. Tetapi, juga Penulis harus melihat dalam kaitannya dengan suatu sistem yang berkonvergensi dengan UU Telekomunikasi; demikian pula putusan pengadilan sepanjang dijadikan alat bukti dalam perkara itu dan ketentuan hukum acara yang mengatur mayantara yang berlaku. Selanjutnya dalam prespektif Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum sebagaimana telah Penulis uraikan di atas, pemahaman terhadap sebagai alat bukti harus pula dilihat dalam prespektif hukum yang mengatur pembuktian pada umumnya, plus, dalam konteks skripsi ini perbandingannnya dengan hukum acara pidana konvensional yang berlaku. Khususnya hukum yang mengatur pembuktian dalam acara yang berlaku; mulai dari proses pengumpulan alat bukti sampai dengan proses penentuan dan verifikasi alat bukti oleh hakim di pengadilan dan putusan hakim yang dibuat atas dasar alat bukti yang dibawa di pengadilan acara perdata. Kaitan dengan tuntutan prespektif Kontrak Sebagai Ilmu Hukum dimaksud; UU Telekomunikasi merekam kehendak pembuat UU itu, bahwa yang dimaksud dengan jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi yaitu sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi dan pelengkapannya yaitu setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi yang digunakan dalam bertelekomunikasi, dimana telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, 34

23 suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. 50 Sementara itu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu antara lain: Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Dokumen Elektronik juga oleh UU ITE telah didefinisikan sebagai: setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang merupakan alat bukti hukum yang sah, tidak berlaku untuk: Surat yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, antara lain meliputi tetapi tidak terbatas pada 50 Pasal 1 Angka (6) UU Telekomunikasi. 35

24 surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. 36

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( ) BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK (Email) 1. Pengertian Alat Bukti Dalam proses persidangan, alat bukti merupakan sesuatu yang sangat penting fungsi dan keberadaanya untuk menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

REPLIK DIAJUKAN OLEH PENGGUGAT DITUJUKAN PD MAJELIS HAKIM TIDAK PERLU DITULIS RINCIAN

REPLIK DIAJUKAN OLEH PENGGUGAT DITUJUKAN PD MAJELIS HAKIM TIDAK PERLU DITULIS RINCIAN REPLIK DIAJUKAN OLEH PENGGUGAT DITUJUKAN PD MAJELIS HAKIM TIDAK PERLU DITULIS RINCIAN IDENTITAS TUJUAN UNTUK MEMBANTAH/MENANGGAPI EKSEPSI, JAWABAN, REKONPENSI DAN MENGUATKAN DALIL GUGATAN DUPLIK DIAJUKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengingat alasan sebagaimana dikemukakan di bawah ini;

BAB I PENDAHULUAN. mengingat alasan sebagaimana dikemukakan di bawah ini; BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Penulis memilih judul: E-mail Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Perdata, mengingat alasan sebagaimana dikemukakan di bawah ini; Hukum mendikte (the law dictates)

Lebih terperinci

Informasi Elektronik Sebagai Bukti dalam Perkara Pidana

Informasi Elektronik Sebagai Bukti dalam Perkara Pidana Informasi Elektronik Sebagai Bukti dalam Perkara Pidana Oleh: Nur Ro is Abstract The development of technological progress is always accompanied by the legal issues that arise in comparative law left behind

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan

BAB I PENDAHULUAN. atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyadapan termasuk salah satu kegiatan untuk mencuri dengar dengan atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi yang dilakukan untuk

Lebih terperinci

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH MENARA Ilmu Vol. X Jilid 1 No.70 September 2016 KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH ABSTRAK Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan

Lebih terperinci

D I S Q U A L I F I C A T O I R

D I S Q U A L I F I C A T O I R D I S Q U A L I F I C A T O I R Eksepsiyang menyatakanpenggugattidak memilikikapasitas/kedudukansebagai Penggugatdalamperkaraini. D I L A T O I R Eksepsi yang bertujuan untuk menunda diajukan gugatan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perihal Saksi dan Petunjuk 1. Perihal Saksi Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam hukum perdata formil. Hukum perdata formil bertujuan memelihara dan mempertahankan hukum perdata materiil. Jadi, secara

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menemukan hukum yang akan diterapkan (rechtoepasing) maupun ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menemukan hukum yang akan diterapkan (rechtoepasing) maupun ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembuktian adalah tahap yang memiliki peranan penting bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Proses pembuktian dalam proses persidangan dapat dikatakan sebagai sentral

Lebih terperinci

BAB II. A. Pembuktian. 1. Pengertian Pembuktian. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara

BAB II. A. Pembuktian. 1. Pengertian Pembuktian. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara BAB II A. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Sumber gambar http://timbul-lawfirm.com/yang-bisa-jadi-saksi-ahli-di-pengadilan/ I. PENDAHULUAN Kehadiran

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian secara yuridis normatif adalah pendekatan penelitian

Lebih terperinci

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN A. Tinjauan Umum Pembuktian Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti

pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti 18 dicurigai terhadap alat bukti yang dipalsukan, persidangan Acara Perdata akan menunggu diputuskannya dulu kasus pidana tersebut. Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian formil yang dimaksud pada pokoknya

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

PENUNJUK UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PENUNJUK UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK 2 tahun ~ paling lama Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun setelah

Lebih terperinci

Cyber Law Pertama: UU Informasi dan Transaksi Elektronik

Cyber Law Pertama: UU Informasi dan Transaksi Elektronik Cyber Law Pertama: UU Informasi dan Transaksi Elektronik Akhirnya Rancangan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) disetujui DPR menjadi Undang-Undang dua hari lalu. UU ini, dengan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA 44 BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA A. Pengaturan Tentang Alat Bukti di Indonesia Dalam proses persidangan, pembuktian tidak terlepas dari hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

KETERKAITAN ARSIP ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH DI PENGADILAN

KETERKAITAN ARSIP ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH DI PENGADILAN KETERKAITAN ARSIP ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH DI PENGADILAN Clara Lintang Parisca Mahasiswi Fakultas Hukum Atmajaya Yogyakarta Pendahuluan Pembuktian merupakan satu aspek yang memegang peranan sentral

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey,

I. PENDAHULUAN. Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey, mengatakan bahwa Teknologi Informasi semakin dibutuhkan dalam kehidupan manusia, dan

Lebih terperinci

http://www.warungbaca.com/2016/12/download-undang-undang-nomor-19-tahun.html UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.251, 2016 KOMUNIKASI. INFORMASI. Transaksi. Elektronik. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Dibuat Oleh A F I Y A T I NIM Dosen DR. Ir Iwan Krisnadi MBA

Dibuat Oleh A F I Y A T I NIM Dosen DR. Ir Iwan Krisnadi MBA MEMAHAMI UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE) DAN PENERAPANNYA PADA DOKUMEN ELEKTRONIK SEPERTI E-TICKETING DI INDONESIA Dibuat Oleh A F I Y A T I NIM 5540180013 Dosen DR.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA 2.1 Pengertian Pembuktian Dalam hukum acara perdata hukum pembuktian memiliki kedudukan yang sangat penting didalam proses persidangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kita adalah negara hukum, demikianlah makna yang tersirat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini berarti di negara Indonesia ada tata hukum

Lebih terperinci

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang- undang ditetapkan dapat dipakai membuktikan sesuatu.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ 2010. TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : ALAT BUKTI SURAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI TEMANGGUNG (Studi Kasus Putusan No. 45/Pdt.G/2013/PN Tmg) Abdurrahman Wahid*, Yunanto, Marjo Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan notaris sangat penting ditengah-tengah masyarakat. Notaris memberikan jaminan kepastian hukum pada masyarakat menyangkut pembuatan akta otentik. Akta

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

ABSTRAK ABSTRACT. Key Word : , legal evidence, evidence

ABSTRAK ABSTRACT. Key Word :  , legal evidence, evidence KEKUATAN ALAT BUKTI SURAT ELEKTRNONIK (EMAIL) DALAM PRAKTEK PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR Oleh Stefanus Alfonso Balela I Ketut Tjukup Nyoman A. Martana Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan masyarakat. Salah satu bukti dari kemajuan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan masyarakat. Salah satu bukti dari kemajuan di bidang BAB I PENDAHULUAN Dewasa ini kemajuan di bidang teknologi informasi semakin pesat, seiring dengan perkembangan masyarakat. Salah satu bukti dari kemajuan di bidang teknologi tersebut dengan ditemukannya

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DISUSUN OLEH : MOHAMMAD FANDRIAN HADISTIANTO Definisi Hukum Acara Hukum acara adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah mengakibatkan semakin beragamnya pula aneka jasa-jasa (features) fasilitas

BAB I PENDAHULUAN. telah mengakibatkan semakin beragamnya pula aneka jasa-jasa (features) fasilitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, telah mengakibatkan semakin beragamnya pula aneka jasa-jasa (features) fasilitas telekomunikasi

Lebih terperinci

BAB IV UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Yang Mengalami

BAB IV UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Yang Mengalami BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI ELECTRONIC BILL PRESENTMENT AND PAYMENT DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BW JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Perlindungan

Lebih terperinci

a. Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata, diatur dalam:

a. Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata, diatur dalam: A. Pendahuluan 1. Dasar Hukum a. Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata, diatur dalam: Pasal 162 177 HIR; Pasal 282 314 RBg; Pasal 1885 1945 BW; Pasal 74 76, 87 88 UU No 7 Thn 1989 jo UU No. 50 Thn

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menerima atau mendengarkan sumpah tersebut, apakah mempercayainya

BAB I PENDAHULUAN. menerima atau mendengarkan sumpah tersebut, apakah mempercayainya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kata Sumpah dalam masyarakat luas dikenal sebagai pernyataan yang dilontarkan oleh seseorang untuk menguatkan pernyataan yang dikemukakannya dengan tujuan agar dapat

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM Diajukan oleh: Ignatius Janitra No. Mhs. : 100510266 Program Studi Program Kehkhususan : Ilmu Hukum : Peradilan dan Penyelesaian

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 12 BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 2.1. Pengaturan Alat Bukti Dalam KUHAP Alat bukti merupakan satu hal yang mutlak adanya dalam suatu persidangan. Macam-macam

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang mengaturnya, karena hukum merupakan seperangkat aturan yang mengatur dan membatasi kehidupan manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zaman sekarang korupsi sudah menjadi hal yang biasa untuk diperbincangkan. Korupsi bukan lagi menjadi suatu hal yang dianggap tabu untuk dilakukan bahkan tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, termuat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia

Lebih terperinci

BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA

BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA A. Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis Yang Sempurna Lembaga Notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul

Lebih terperinci

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF 21 BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Putusan Verstek Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan

Lebih terperinci

15 Februari apa isi rpm konten

15 Februari apa isi rpm konten 15 Februari 2010 http://www.detikinet.com/read/2010/02/15/125757/1299704/399/seperti apa isi rpm konten MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

BAB II HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TENTANG PEMBUKTIAN

BAB II HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TENTANG PEMBUKTIAN BAB II HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TENTANG PEMBUKTIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang terpenting dalam hukum acara karena pengadilan dalam

Lebih terperinci

MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN

MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti telah

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG SYARAT DAN PENERAPAN PENGGUNAAN PERSANGKAAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA BOBY PRASETYA / D.

TINJAUAN YURIDIS TENTANG SYARAT DAN PENERAPAN PENGGUNAAN PERSANGKAAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA BOBY PRASETYA / D. TINJAUAN YURIDIS TENTANG SYARAT DAN PENERAPAN PENGGUNAAN PERSANGKAAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA BOBY PRASETYA / D. 10109 633 ABSTRAK Hakim dalam memeriksa serta memutuskan suatu perkara perdata

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM Oleh : Sumaidi ABSTRAK Penyitaan merupakan tindakan paksa yang dilegitimasi (dibenarkan) oleh undang-undang atau dihalalkan oleh hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan berkembangnya kehidupan manusia dalam bermasyarakat, banyak sekali terjadi hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut, baik peristiwa hukum maupun perbuatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KEKUATAN ALAT BUKTI SURAT ELEKTRONIK DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Indra Janli Manope 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KEKUATAN ALAT BUKTI SURAT ELEKTRONIK DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Indra Janli Manope 2 KEKUATAN ALAT BUKTI SURAT ELEKTRONIK DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Indra Janli Manope 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana fungsi alat bukti dalam pemeriksaan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu sumber alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena fungsi dan perannya mencakup berbagai aspek kehidupan serta penghidupan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG SYARAT DAN PENERAPAN PENGGUNAAN PERSANGKAAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA BOBY PRASETYA / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG SYARAT DAN PENERAPAN PENGGUNAAN PERSANGKAAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA BOBY PRASETYA / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG SYARAT DAN PENERAPAN PENGGUNAAN PERSANGKAAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA BOBY PRASETYA / D 10109 633 ABSTRAK Hakim dalam memeriksa serta memutuskan suatu perkara perdata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK BAB I KETENTUAN UMUM

UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK BAB I KETENTUAN UMUM UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Teknologi informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan sebuah putusan akhir ternyata masih ada yang menimbulkan permasalahan. Untuk itu dalam bab tinjauan pustaka ini, penulis hendak menguraikan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN. PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.PL) JOHAR MOIDADI / D 101 10 532 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

BAB IV KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI SURAT TERGUGAT SEHINGGA DIMENANGKAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA NO.12/PDT.G/2010/PN.LLG TENTANG SENGKETA TANAH.

BAB IV KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI SURAT TERGUGAT SEHINGGA DIMENANGKAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA NO.12/PDT.G/2010/PN.LLG TENTANG SENGKETA TANAH. BAB IV KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI SURAT TERGUGAT SEHINGGA DIMENANGKAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA NO.12/PDT.G/2010/PN.LLG TENTANG SENGKETA TANAH. Dalam pembuktian suatu perkara perdata alat bukti mempunyai

Lebih terperinci

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI Disusun Oleh : MICHAEL JACKSON NAKAMNANU NPM : 120510851 Program Studi : Ilmu Hukum Program

Lebih terperinci

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGAKUAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NO. 0758/PDT.G/2013 TENTANG PERKARA CERAI TALAK A. Analisis Yuridis Terhadap Pengakuan Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Seiring dengan perkembangan zaman dan era globalisasi saat ini, peran notaris sebagai pejabat umum pembuat akta yang diakui secara yuridis oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negara merupakan badan yang berdiri sendiri (independen) dan. ini dikarenakan seorang hakim mempunyai peran yang besar dalam

BAB I PENDAHULUAN. warga negara merupakan badan yang berdiri sendiri (independen) dan. ini dikarenakan seorang hakim mempunyai peran yang besar dalam BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Lembaga peradilan sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi setiap warga negara merupakan badan yang berdiri sendiri (independen) dan otonom,salah satu unsur penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum. Sebagai negara hukum, maka hukum mempunyai kedudukan paling tinggi dalam pemerintahan,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG ADMINISTRASI PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Lebih terperinci