RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

dokumen-dokumen yang mirip
RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN PEMERINTAH DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI RANCANGAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN)

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN)

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

KESIMPULAN/KEPUTUSAN RAPAT

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA BADAN LEGISLASI DPR RI DENGAN PEMERINTAHAN

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU APARATUR SIPIL NEGARA KOMISI II DPR RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RA RANCANGAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

LAPORAN SINGKAT TIMUS/TIMSIN RUU TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN KOMISI II DPR RI

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI III DPR RI DENGAN DR. ZAINAL ARIFIN MOCHTAR, DR. MARGARITO KAMIS DAN DR.

RANCANGAN. Tahun Sidang : Masa Persidangan : III Rapat ke :

LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI III DPR RI DENGAN SEKJEN MPR RI, SEKJEN DPD RI DAN SEKRETARIS MAHKAMAH AGUNG RI

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU APARATUR SIPIL NEGARA KOMISI II DPR RI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

JADWAL ACARA RAPAT-RAPAT BADAN LEGISLASI DPR RI PADA MASA PERSIDANGAN III TAHUN SIDANG

Tahun Sidang : Masa Persidangan : III Rapat ke :

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU TENTANG PERTANAHAN KOMISI II DPR RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri)

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA PEMBAHASAN PROLEGNAS RUU PRIORITAS TAHUN 2016 BERSAMA PEMERINTAH DAN DPD RI

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

LAPORAN SINGKAT PANJA PENGAWASAN TENAGA HONORER KOMISI II DPR RI

Dr. Mudzakkir, S.H., M.H Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA PEMBAHASAN PROLEGNAS RUU PRIORITAS TAHUN 2016 BERSAMA PEMERINTAH DAN DPD RI

RANCANGAN. Tahun Sidang : Masa Persidangan : III Rapat ke :

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPATKOMISI III DPR RI DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

A. Komisi II No Nama RUU Pembahas Status Jadwal Pembahasan 1 Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundangundangan

KESIMPULAN/KEPUTUSAN RAPAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI RUU TENTANG PENYIARAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Transkripsi:

RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang : 2015-2016 Masa Persidangan : IV Rapat ke : Sifat : Terbuka Jenis Rapat : Rapat Panja Hari/tanggal : Rabu, 27 April 2016 Waktu : Pukul 11.00 s.d. 20.55 WIB Tempat : Ruang Rapat Komisi III DPR RI Acara : Melanjutkan Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). I. PENDAHULUAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN Rapat Panja RUU tentang KUHP dibuka pada pukul 11.00 WIB oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, DR. Benny K. Harman, SH dengan agenda rapat sebagaimana tersebut diatas. II. POKOK-POKOK PEMBAHASAN Beberapa DIM RUU tentang KUHP yang dilakukan pembahasan, diantaranya sebagai berikut: 1. Pasal 37 Pertanggungjawaban pidana adalah kondisi terpenuhinya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan celaan yang subjektif kepada setiap orang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana. Pending Panja 26 April 2016. Alternatif 1: Pertanggungjawaban pidana terjadi karena adanya perbuatan sebagai tindak pidana yang dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang telah memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.

Pemerintah menjelaskan terkait dengan Celaan obyek dan subyektif, sebelum ada celaan subyektif harus ada celaan obyektif, pencelaan sulit diartikan. Pertanggungjawaban pidana adalah kondisi terpenuhinya persyaratan untuk dipidananya seseorang yang melakukan tindak pidana, Salah satu makna kesalahan adalah tanggungjawab pidana, dia mampu bertanggungjawab secara mental tidak ada gangguan jiwa. sekali Bahwa pertanggungjawaban pidana adalah kondisi terpenuhinya celaan obyektif dan celaan yang subyektif untuk dipidananya seseorang yang melakukan tindak pidana, Bahwa rumusan pertanggungjawaban harus memenuhi syarat agar orang lebih mudah memahami. Kesalahan meliputi unsur kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan atau kealpaan dan tidak alasan pemaaf. Bahwa yang menjadi ciri khas celaan obyektif dan celaan subyektif masuk dalam pasal. Diusulkan agar kata yang dihapus. celaan obyektif dan subyektif agar dibuat penjelasaan agar semua orang memahami. Bahwa pertanggujawaban pidana harus masuk dalam norma untuk manjadikan cirri khas hukum pidana, apakah kata celaan obyektif dan subyektif masuk, dan apa pengertiannya. Sebagai catatan : diserahkan kepada pemerintah untuk merumuskan kembali beserta penjelasannya dengan mengakomodir usulan yang ada. Rumusan alternatif 2 Pemerintah terhadap Pasal 37, sebagai berikut: Pertanggungjawaban pidana adalah kondisi terpenuhinya persyaratan untuk dipidananya seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Catatan: 1. Pasal 37 RUU masuk dalam penjelasan. 2. Lihat Pasal 38 ayat (2). Usul Pimpinan Panja 27 April 2016: Pertanggungjawaban pidana adalah kondisi terpenuhinya celaan yang objektif dan celaan yang subjektif untuk dapat dipidananya seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Catatan: Penjelasan Prof. Muladi menjadi penjelasan Pasal 37. F-Nasdem mengusulkan sebagai berikut : Pasal 37 Pertanggungjawaban pidana adalah kondisi terpenuhinya celaan objektif dan celaan subjektif untuk dapat dipidananya seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Catatan: celaan objektif dan celaan subjektif diberikan penjelasan. Sebagai Catatan: Bahwa Pasal 37 dirumuskan kembali oleh Pemerintah berserta penjelasannya dengan mengakomodir usulan yang ada. Disetujui Panja 27 April 2016. 2. Pasal 38 dan Pasal 38A Bahwa rumusan Pasal 38 dihapus dan disetujui rumusan alternatif, sebagai berikut: (1) Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dapat dipidana tanpa kesalahan. 2

(2) Kesalahan meliputi unsur kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan atau kealpaan dan tidak alasan pemaaf. Rumusan Alternatif: Pasal 38 Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan tanpa adanya kesalahan. Disetujui Panja 27-04-2016, dibahas Timus dan Timsin Rumusan Pasal 38A: Pasal 38A Pertanggungjawaban pidana meliputi unsur kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan atau kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf. Pemerintah diminta merumuskan kembali Pasal 37 dan Pasal 38 3. Pasal 39 Rumusan Pasal 39 sebagai berikut (1) Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan. Pemerintah memberikan contoh sebagai berikut: tindak pidana tertentu dalam ketentuan ini antara lain tindak pidana lingkungan hidup. (2) Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Pemerintah mengusulkan rumusan penjelasan Pasal 39 tetap. 4. Pasal 40 Rumusan Pasal 40 sebagai berikut (1) Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan jika orang tersebut melakukan tindak pidana dengan sengaja atau karena kealpaan. (2) Perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan secara tegas bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana. (3) Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap akibat tindak pidana tertentu yang oleh Undang-Undang diperberat ancaman pidananya, jika ia mengetahui kemungkinan terjadinya akibat tersebut atau sekurang-kurangnya ada kealpaan. Catatan: Akibat tersebut diberikan penjelasan. Disetujui Panja 27-04-2016, dibahas Timus dan Timsin 3

5. Pasal 41 Rumusan tetap dan Pemerintah mengusulkan penjelasan tetap 6. Pasal 42 Rumusan tetap dan dengan rumusan penjelasan sebagai berikut : Yang dimaksudkan dengan kurang dapat dipertanggungjawabkan adalah ketidakstabilan mental pada seseorang untuk mengarahkan kemauan atau kehendaknya dalam rangka pertanggungjawaban. Dalam hal demikian pembuat tindak pidana dinilai sebagai kurang mampu untuk menginsyafi tentang sifat melawan hukumnya dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsyafan yang dapat dipidana. Atas perbuatan tersebut pidananya dapat diperingan, namun hakim dapat juga hanya menjatuhkan tindakan berupa perawatan di rumah sakit jiwa, atau menyerahkan pembuat tindak pidana kepada pemerintah untuk diambil tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 7. Pasal 42A dan Pasal 42B Pasal 42A (berasal dari Pasal 115 ayat (1), dengan rumusan sebagai berikut: Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada waktu melakukan tindak pidana belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun. Pasal 42B (berasal dari Pasal 120), dengan rumusan sebagai berikut: Dalam hal anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk: a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali; atau b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan. Bahwa mengenai ketentuan usia 12 tahun telah diatur dalam UU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 8. Sebagai catatan dalam Paragraf 5 tentang Alasan Pemaaf yaitu Perlu di cantumkan kewenangan hakim dalam memutuskan dalam penghapusan pidana. 9. Pasal 43 Pada prinsipnya pasal tersebut sudah disetujui Panja, Pemerintah menjelaskan bahwa alasan untuk meringankan hukuman, mengikuti prinsip doktrin dualisme, apakah ada kesalahan atau tidak, ada kesalahan tapi dihapuskan karena ada alasan pemaaf, siapa yang menentukan seseorang itu tidak dipidana. Sesungguhnya hakim yang 4

menentukan itu, alasan pemaaf harus diuji, ada kesalahan tapi juga harus ada penghapousnya. Bagaimana dengan konteks menyampaikan visi hukum setiap orang dianggap mengetahui hukum. Dalam keadaan tertentu seseorang dapat dipidana atau tidak, Bahwa dalam Pasal 43 ayat (1) ada 2 hal yang berbeda, yang dapat dipidana dan tidak dapat dipidana Bahwa alasan pemaaf meliputi alasan seseorang yang tidak merupakan tindak pidana, karena paksaan, dan perintah jabatan. Pemerintah menjelaskan bahwa dalam konteks tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, bagaimana konsep pertanggungjawaban ini. Bahwa diusulkan dalam Pasal 43 hanya khusus alasan pemaaf, sehingga Pasal 43 ayat (1) yang dipidana dihapuskan dipindahkan ketempat lain (relokasi). catatan : perlu dicantumkan kewenangan hakim dalam memutuskan dalam penghapusan pidana dan dalam RUU ini agar diatur terhadap hakim yang memerintahkan untuk dikenakan tindakan. III. PENUTUP Rapat diskors pukul 20.55 WIB, DAN akan dilanjutkan pada hari Kamis tanggal 28 April 2016 pukul 10.00 WIB 5