Actor Network Theory. Eko Yulianto 1. Jurusan Information Technology, Management, and Organisational Changes.

dokumen-dokumen yang mirip
Technologi Informasi Dan Sistem Informasi Manajemen

11-12 Struktur, Proses dan Mekanisme Tata Kelola Teknologi Informasi

MENGEMBANGKAN STRATEGI SI/TI Titien S. Sukamto

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari pajak dan penerimaan Negara lainnya, dimana kegiatannya banyak

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR - UMB DADAN ANUGRAH S.SOS, MSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara

Strategi Organisasi, Struktur Proyek, Budaya Proyek

Pengantar. Sekilas E-Bisnis. Fungsi E-Bisnis. Komponen-komponen E-Bisnis. Hubungan E-Bisnis dengan E-Commerce

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini berfokus pada penggunaan sistem pengukuran kinerja dan

Cara Membangun Daftar Nama Yang Akan Memasukkan Uang Terus Menerus Ke Rekening Bank Anda, Sekali Anda Tahu Bagaimana Caranya!

BAB I PENDAHULUAN. Ateh (2016) dalam artikelnya mengungkapkan, pernah menyampaikan bahwa ada yang salah dengan sistem perencanaan dan

KERANGKA KERJA COBIT : SUATU TINJAUAN KUALITATIF AUDIT TEKNOLOGI INFORMASI

DESAIN LOGO. TEKNIK DESAIN LOGO Mulok TKJ: COREL DRAW GRAPHIC SUIT

Ringkasan Jurnal THE IMPLICATIONS OF INFORMATION TECHNOLOGY INFRASTRUCTURE FOR BUSINESS PROCESS REDESIGN

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN SOSIAL

BAB III METODOLOGI. Dalam penyusunan thesis ini kerangka berpikir yang akan digunakan adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan reformasi administrasi muncul setelah proses perubahan administrasi secara alamiah gagal, sehingga timbul dorongan

Ekonomi Digital Bukan Sekadar Langkah Strategis

BAB 1 PENDAHULUAN. Persaingan antar perusahaan di bidang manufaktur dan jasa sangat ketat. Hal ini

I. PENDAHULUAN. Akuntabilitas kinerja organisasi sektor publik, khususnya organisasi pemerintah

Penelitian di Bidang Manajemen

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MANAJEMEN LAYANAN SISTEM INFORMASI SERVIS STRATEGI & DESIGN 2KA30

Modul ke: PENDIDIKAN ETIK. Komunikasi Efektif. Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Ikhwan Aulia Fatahillah, SH., MH. Program Studi Manajemen

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Penyelenggaraan organisasi pemerintahan haruslah selaras dengan tujuan

Kata Kunci : Information System Research, Information Technology, IT Research, IT Theory, Technological Artifact, Technology Change.

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada

Pengaruh Tata Kelola Teknologi Informasi Dalam Keselarasan Proses Bisnis Perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat, perusahaan haruslah

BAB I INTRODUKSI. Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi dewasa ini, sebuah perusahaan bertaraf nasional maupun

TATA KELOLA TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK MENCAPAI KESELARASAN STRATEGI BISNIS DAN TEKNOLOGI INFORMASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Kegagalan dalam Pengembangan maupun Penerapan Sistem Informasi di Organisasi (Merujuk Pendapat Rosemary Cafasso)

Cobit memiliki 4 Cakupan Domain : 1. Perencanaan dan Organisasi (Plan and organise)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

THE NEW YORK TIMES AND BOSTON SCIENTIFIC: TWO DIFFERENT WAYS OF INNOVATING WITH INFORMATION TECHNOLOGY

B. Maksud dan Tujuan Maksud

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VIII Control Objective for Information and related Technology (COBIT)

Manajemen Strategik dalam Pendidikan

BAB I. PENDAHULUAN BAB. II PANDUAN CRITICAL BOOK REVIEW / REPORT

BAB I PENDAHULUAN. dan Indonesia pada khususnya, maka semakin banyak peluang bagi penyelenggara

I. PENDAHULUAN. melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita

PENGGUNAAN KERANGKA KERJA VAL IT UNTUK MENGUKUR PERENCANAAN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI, STUDI KASUS PT. SCTV

BAB I PENDAHULUAN. menjadi persoalan ketika berbicara mengenai kualitas pendidikan di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan, puskemas, dan universitas merupakan beberapa contoh dari

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Dari hasil evaluasi penerapan manajemen pengendalian proyek South

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan nasabah akan kualitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terwujudnya good governance. Hal ini memang wajar, karena beberapa penelitian

FILSAFAT ILMU ( PHS 101 )

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan kepada masyarakat, menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya tanpa adanya perusahaan sebagai tempat mencari nafkah sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Supriyanto dan Suparjo (2008) mengungkapkan :

Kebijakan Manajemen Risiko

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Saeful Ulum, 2013

Sumber: [11 Februari, 2010]

BAB I Pastikan Pilihan Anda Adalah Peserta Pemilu dan Calon Yang Memiliki Rekam Jejak Yang Baik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Masalah Teknologi Informasi dan Konsep Avatar sebagai Solusi

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah Undang-Undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan

Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team

2015 HUBUNGAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DENGAN PENGUASAAN KONSEP SISWA KELAS VII TERKAIT DENGAN GAYA KOGNITIF FIELD DEPENDENT-FIELD INDEPENDENT

BAB I PENDAHULUAN. hasil pengujian penelitian, dan sistematika penulisan.

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

BAB I PENDAHULUAN. pada era modern ini menjadi tantangan bagi setiap organisasi.

MANAJEMEN PRODUKTIVITAS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alnis Dwipayana, 2013

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan pada tolak ukur keuangannya saja. pengukuran kinerja yang hanya berdasar pada tolak ukur keuangan sudah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Ilmu, Pengetahuan, dan Teknologi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman dan era globalisasi yang begitu pesat menjadi suatu

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi pemerintah merupakan lembaga yang menjalankan roda

COSO ERM (Enterprise Risk Management)

I. PENDAHULUAN. merupakan suatu hal yang membanggakan. Kita dapat melihat hal tersebut dari

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.

Antropologi dan Pembangunan. Pertemuan ke-15

BAB I INTRODUKSI. Penelitian ini menjelaskan fenomena proses implementasi akuntansi berbasis

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan dana pensiun dapat dilihat dari tingkat pencapaian tujuan nya.

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan yang sehat. perusahaan yang dimana aktivitas manajemen sangat berperan

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Akuntansi dapat didefinisikan sebagai sebuah seni, ilmu (science) maupun

PERENCANAAN DAUR PROGRAM DALAM IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance), terutama melalui

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan bisnis yang makin ketat seperti dewasa ini, sumber daya

Sistem Politik Gabriel Almond. Pertemuan III

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Belajar Menurut Teori Konstruktivisme. penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Belajar merupakan aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Melalui perjalanan panjang sejarah, seni sebagai bidang khusus dalam pemahamannya telah mengalami banyak perubahan.

BAB II LANDASAN TEORI

Minggu 3: Manajemen Modern

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di penghujung abad ke-20, dunia dilanda arus globalisasi,

Transkripsi:

MEMBUAT TEKNOLOGI BERBICARA Eko Yulianto 1 B anyak yang percaya bahwa teknologi informasi (TI) mempunyai kekuatan dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas organisasi dan kepercayaan semacam ini biasanya menjadi dasar justifikasi bagi investasi TI. Akan tetapi apakah benar bahwa investasi TI memang bisa mewujudkan impian organisasi untuk menjadi lebih efisien dan produktif? Secara sempit, pada level individual, jawabannya mungkin ya, sebab pekerjaan seperti pembuatan laporan, desain, atau penghitungan bunga bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Namun, apabila pertanyaan itu diterapkan pada level yang lebih luas, organisasi, jawabannya tidak selalu positif. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mencari bukti apakah produktivitas selalu meningkat dengan investasi TI. Dan yang sangat mengejutkan adalah bahwa jawabannya tidak. Sering terjadi, investasi TI tidak bisa mendongkrak kinerja keuangan organisasi bisnis. Investasi TI justru bisa mengurangi produktivitas dan efisiensi organisasi. Fenomena ini lebih populer dengan istilah productivity paradox. Kegagalan investasi tersebut antara lain disebabkan oleh kegagalan mengelola perubahan, ketidakcocokan antara sistem informasi yang dengan kebutuhan organisasi, ketidakcocokan kultur, dan lain-lain. Dalam kaitan itu, tulisan ini akan memaparkan sebuah teori yang bisa digunakan sebagai kerangka analisis TI dalam hubungannya dengan organisasi, yaitu teori actor-network (Actor Network Theory ANT). Teori ini bermanfaat untuk melihat dimensi khusus dan, paling tidak, untuk menjelaskan sebab-sebab kegagalan sebuah investasi TI. Dalam artikel ini, pertama akan dipaparkan terlebih dahulu pesan utama yang dikandung dalam ANT dan implikasinya pada investasi TI. Agar tidak kehilangan konteks, saya mencoba mengaitkannya dengan investasi TI di BPK. Setelah itu, dengan menggunakan secuil pemahaman tentang teori ini, Anda saya ajak untuk melihat sejauh mana teori ini diterapkan sebagai kerangka dasar investasi TI di kantor ini. Lalu, dari sana diharapkan kita akan tahu, elemen apa yang sudah mapan dan bisa menjadi pendorong keberhasilan investasi TI. Pada saat yang sama, kita juga akan mulai mengenal elemen lain yang mungkin saja kurang mendapatkan perhatian, yang pada gilirannya akan menjadi faktor penyebab kegagalan investasi. Actor Network Theory ANT pertama kali digagas salah satunya oleh Latour, seorang ilmuwan Perancis. ANT muncul sebagai respons dari semakin berkembangnya dua pandangan mengenai teknologi. Satu pandangan mengatakan bahwa teknologi murni berkaitan dengan ilmu pengetahuan, science, sehingga pendekatan yang musti dipakai untuk bisa memanfaatkan teknologi juga harus dengan pendekatan ilmiah, scientific. Sementara itu satunya mengatakan bahwa teknologi adalah sebuah konstruksi sosial dan peranan teknologi tidak lebih penting dari bagaimana orang menganggap keberadaan teknologi tersebut. Berguna tidaknya sebuah teknologi tergantung dari manusia. Kedua pandangan ini masing-masing dikenal dengan sebutan technological determinism dan social constructivism. Dalam konteks ini ANT berkembang sebagai alternative dari dua perdebatan tersebut. Kita akan melihat bagaimana ANT berperan melalui contoh sederhana yang akan dipaparkan. Namun, sebagai catatan, ANT sebenarnya sebuah teori yang sangat kompleks sehingga sangat tidak mungkin untuk dijelaskan secara komprehensif di sini. Untuk bisa memahami teori ini, kita harus melihat beberapa konsep yang menjadi dasar teori ini, seperti 1 Penulis adalah pegawai BPK Perwakilan II Yogyakarta, sedang belajar di Lancaster University, UK, Jurusan Information Technology, Management, and Organisational Changes. 1

manusia dan agen, agen dan struktur, ontology dsb. Oleh karena itu, tulisan ini hanya akan menyinggung salah satu aspek penting yang terkandung dalam teori tersebut, terutama yang terkait dengan sistem informasi. Untuk memulai, terlebih dahulu harus diperjelas bahwa yang dimaksud dengan network di sini bukanlah jaringan komputer, seperti LAN. Kata network dalam ANT berarti hubungan antarentitas, yang disebut actor, dan yang dimaksud actor di sini adalah semua hal yang turut membentuk hubungan tersebut. Actor terdiri baik faktor manusia dan bukan manusia. Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa network yang dimaksud adalah keterkaitan antarhal yang berada dalam sebuah lingkungan dan konteks tertentu. Untuk membantu pemahaman, saya akan langsung memberikan sebuah contoh sederhana. Katakan saja bahwa seseorang membeli sebuah komputer dengan tujuan agar pekerjaan menulis lebih mudah. Agar teknologi ini bisa dioperasikan dan berfungsi sesuai harapan tentu dibutuhkan lebih dari sekedar sumber tenaga listrik. Pertama di dalamnya harus ter-install program khusus yang mendukung pekerjaan kita, misalnya Microsoft Office. Lalu, komputer itu juga butuh lingkungan dengan suhu yang memadai agar tidak kepanasan dan rusak sebelum waktunya. Energi listrik yang dipakai pun juga tidak sembarangan, misalnya harus 220 V. Colokan yang dipakai juga mesti harus sesuai, misalnya berkaki dua, bukan tiga seperti yang dipakai di Eropa. Demikian juga, agar komputer itu betul-betul fungsional, memberikan manfaat, orang itu harus bisa mengoperasikannya. Dia harus tahu cara menghidupkan dan mematikannya dengan benar dan tahu betul bagaimana menjalankan program yang di-install di dalamnya. Jika diidentifikasi, elemen yang terlibat di dalamnya, yang disebut sebagai actor, meliputi komputer, energi listrik, suhu ruangan, program, pengetahuan, dan orang. Semua actor ini memiliki kontribusi yang sama pentingnya agar komputer bisa berfungsi dan memberi manfaat penuh bagi pemiliknya. Listrik tidak lebih penting dari pada suhu ruangan, begitu juga secara ekstrim, dalam konteksi ini orang itu pun tidak lebih penting dari colokan. Keterkaitan antar-actor inilah yang kemudian dinamakan network. Tampak jelas bahwa pertimbangan-pertimbangan khusus harus diperhatikan agar network bekerja dengan baik dan, sekali lagi, fungsional. Jika salah satu actor tidak ada, atau ada tapi dengan kualitas yang tidak memadai, orang itu tidak akan bisa mencapai tujuannya karena proses untuk memperoleh kemudahan dalam kegiatan tulis menulis tidak terjadi. Misalnya, listrik mati, atau program rusak, bisakah orang itu menghidupkan komputer? Meskipun dengan contoh yang tampaknya sepele, teori ini sangat bermanfaat jika dipakai untuk melihat kasus yang lebih kompleks. Yang menjadi perhatian sebenarnya bukan sekedar mengenali actor yang terlibat, melainkan juga mengetahui karakteristik, kualitas dan interaksi atara actor-actor tersebut. Salah satu pesan yang ingin disampaikan ANT adalah perlunya sebuah kesadaran (awareness) akan sifat hubungan di antara actor tersebut, kualitas yang harus dipenuhi oleh masing-masing actor dan bagaimana sebaiknya actor dilibatkan agar tujuan pembelian komputer tercapai. Dengan demikian, ANT memungkinkan dipakainya sebuah perspektif yang lebih luas dan menyeluruh, yaitu dengan mempertimbangkan semua prasyarat dasar agar sebuah teknologi bisa berbicara dan mengartikulasikan tujuan yang diinginkan. Pemahaman holistik semacam itu diperlukan untuk menghindari jebakan perdebatan ekstrim seperti disinggung pada awal bagian ini, yaitu technological determinism dan social constructivism. Alih-alih memilih salah satu kubu, ANT menawarkan jalan ketiga, bahwa baik teknologi dan manusia punya peranan yang sama pentingnya. Keterkaitan antara keduanya sangat diperlukan untuk bisa mewujudkan perubahan yang diinginkan. Manusia tetap butuh teknologi dan, pada saat yang sama, teknologi perlu manusia untuk bisa mempunyai arti. Keduanya adalah actor dalam sebuah network yang masing-masing punya tingkat kepentingan yang sama. 2

Implikasi ANT pada Investasi TI di BPK Dalam kaitan dengan investasi TI di BPK, actor yang terlibat tidak akan sesederhana contoh di atas. Hubungan actor-network pun juga akan lebih rumit dari pada sekedar colokan dan tegangan listrik. Di sini saya mengasumsikan bahwa investasi TI berada dalam konteks transformasi organisasi dalam arti yang lebih luas dari pada sekedar localized exploitation kemampuan TI, yaitu untuk mengotomatisasi proses atau aktivitas yang ada di kantor ini. Investasi TI, yang sangat masif dari segi nilai rupiah itu, dilakukan karena para pembuat keputusan ingin agar BPK bertransformasi menjadi organisasi yang lebih responsif, efisien, efektif dan produktif (saya berharap agar asumsi ini benar). Selanjutnya, dalam mengidentifikasi actor yang terkait, saya tidak akan melakukannya secara detail karena daftarnya akan sangat panjang. Anda tentu sependapat bahwa actor-actor dasar seperti yang disebutkan pada contoh tadi harus ada. Di sini saya tidak akan menyebutkannya lagi, tapi hanya menyinggung beberapa aspek saja. Menurut saya, actor-network yang terlibat dalam investasi TI di BPK sangat kompleks, karena juga menyangkut lingkungan eksternal, seperti situasi sosial, politik, dan ekonomi, seperti telihat pada gambar. Saya memasukkan faktor ini dengan alasan bahwa transformasi yang terjadi di BPK harus tidak lepas dari lingkungan sekitarnya. Transformasi ini harus diletakkan dalam konteks yang lebih luas, misalnya tuntutan masyarakat akan peningkatan kinerja organisasi, pengurangan tingkat korupsi, pengawasan eksekutif dan sebagainya. Masyarakat dengan segala harapan dan tuntutannya harus juga dilihat sebagai actor. Mereka juga punya peran di sini, bukan saja karena telah membayar pajak, melainkan juga demi merekalah semua proses transformasi itu diletakkan. Link antara investasi TI dan tuntutan perubahan sosial harus tegas, jika tidak aspek akuntabilitas lembaga ini akan kabur dan BPK akan menjadi sebuah lembaga yang bermain sendiri tanpa konteks. Lingkungan Eksternal (sosial, ekonomi, politik) Pelaku Teknologi Kebijakan Lingkungan internal (visi transformasi) Gambar. Actor-network investasi TI di BPK Lalu, di dalam organisasi BPK sendiri, transformasi harus dilakukan seturut dengan tuntutan tadi, misalnya melalui perumusan visi yang tepat untuk bisa mengartikulasikan tuntutan lingkungan eksternal. Dalam kaitan ini, tiga kelompok actor lain juga terlibat untuk mendukung visi tersebut. Di sini teknologi diletakkan bersama-sama dengan pelaku (manusia), dan kebijakan; masing-masing berada pada tiga titik yang terhubung dalam sebuah garis sehingga membentuk segitiga (lihat gambar). Penempatan posisi seperti ini bukannya 3

tanpa maksud. Falsafahnya adalah, antara pelaku, teknologi, dan kebijakan terdapat hubungan yang unik. Ketiga actor ini membentuk sebuah network khusus yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Interaktivitas dan interdependensi ketiga actor ini kemudian menjadi kunci pokok dari keberhasilan proses tranformasi organisasi. Masing-masing kelompok actor dalam segitiga tersebut bisa dirinci menjadi beberapa elemen penting. Misalnya, yang berkaitan dengan pelaku meliputi keterampilan, komitmen teamwork, dsb. Sementara itu, secara garis besar, teknologi terdiri dari jaringan komputer beserta komponen-komponen yang terkait di dalamnya. Kebijakan meliputi kebijakan umum tentang arah pemanfaatan TI dan kebijakan khusus yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat operasional dalam pemanfaatan TI. Meskipun tidak mengurai hal tersebut secara detail, artikel ini setidaknya berargumen bahwa semua actor yang terlibat dalam network ini harus berada dalam satu kesatuan visi transformasi. Visi ini harus merupakan artikulasi dari tuntutan perubahan dari lingkungan eksternal sebagai bentuk akuntabilitas, seperti disinggung di atas, dan harus menjadi dasar operasional bagi semua kebijakan, keputusan investasi, dan kerangka kerja individual dalam organisasi. Meskipun terbilang abstrak konsep ini sangat krusial sebab ia akan mendorong diciptakannya sebuah visi yang jelas, yang akan menentukan keseluruhan proses transformasi yang ingin dicapai. Visi menjadi sebuah sarana pemersatu berbagai perbedaan pandangan dan friksi dalam organisasi yang mungkin saja bisa menjadi batu sandungan bagi pencapaian tujuan organisasi. Tidak cukup, misalnya, bahwa sebuah organisasi mengadopsi TI hanya karena ingin modern. Harus jelas apa yang dimaksud modern, dan dimana modernitas ini diletakkan dalam konteks dimana organisasi itu berada. Pada level selanjutnya, pembuatan kebijakan juga perlu melihat pelaku dan teknologi. Contoh sederhananya begini. Salah satu isi kebijakan TI tentu berkaitan dengan pengamanan teknologi, sebagai asset yang berharga. Atas dasar argumen ini, kebijakan TI harus mencakup tentang bagaimana sebaiknya jaringan di desain sehingga, disamping memudahkan akses, bisa juga memastikan bahwa tidak sembarang orang bisa mengaksesnya. Pertimbangan semacam ini tentu harus didasari oleh pengetahuan tentang tingkat dan kualitas kemampuan pegawai dalam hal penggunaan komputer. Juga, kebijakan itu harus bisa mendorong pegawai, sebagai pelaku, untuk menggunakan TI sebagai sarana belajar, bukan bermain. Dengan kata lain, kebijakan TI juga harus memasukkan aspek pemberdayaan (empowerment), jadi tidak melulu berorientasi pada kontrol. Demikian juga, investasi teknologi juga perlu melihat kebijakan dan pelaku. Contoh, apabila efisiensi merupakan salah satu fokus kebijakan BPK, pembelian komputer setiap tahun anggaran tentu tidak boleh asal ; asal beli dan asal menghabiskan anggaran. Semua harus dilakukan dalam kerangka penghematan. Jika melalui sebuah studi tentang kebutuhan kantor, misalnya, ditemukan bahwa auditor ternyata sering mencetak berulang-ulang laporan audit karena perbaikan laporan tidak selesai sekali, maka sebaiknya printer tinta tidak perlu dibeli dalam jumlah banyak. Yang diperbanyak sebaiknya printer pita, karena harga pita jauh lebih murah dari pada tinta. Begitu seterusnya. Singkatnya ketiga actor dalam segitiga tersebut harus saling melihat. Sebuah actor tidak bisa bermain sendiri tanpa mempertimbangkan yang lain. Jika tidak, maka keseluruhan actor akan kehilangan konteks dan peranan dan network yang terbangun tidak akan bicara apa-apa. Meskipun keterkaitan antar-actor itu ada, tapi jika mereka tidak dibuat hidup, maka keseluruhan sistem akan tidak mempunyai arti dan akibatnya proses transformasi yang diinginkan tentu tidak akan pernah terjadi. Penutup Akhirnya dapat dikatakan bahwa ketidakjelasan mengenai peran dan interaksi actor bisa menjadi sebuah isu penting mengingat keberhasilan investasi TI juga tidak akan lepas peranan actor-actor tersebut. Harus diupayakan agar actor investasi TI berada dalam posisi 4

yang dinamis dan hidup karena hanya dengan inilah teknologi yang kita punyai akan bisa berbicara, mengeluarkan potensi transformasi yang dipunyainya. Kegagalan investasi TI, menurut saya, lebih disebabkan karena pandangan yang deterministik mengenai teknologi. Banyak orang mengira bahwa dengan mengadopsi teknologi dan sistem informasi yang canggih sudah cukup untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Mereka lupa bahwa teknologi itu sendiri tidak akan berarti apa-apa tanpa orang, kebijakan, dan visi. Komputer di ruangan ini tidak akan membawa perubahan signifikan jika keterkaitan antar-actor tidak disadari, tidak diketahui, atau bahkan diabaikan. Teknologi yang dibeli setiap tahun tidak serta merta menjadikan BPK menjadi modern. Untuk membuat sebuah teknologi berbicara, perlu ada lompatan berpikir dari yang deterministik dan parsial menjadi lebih holistik, yaitu dengan mempertimbangkan aspek lain dan konteks keberadaan BPK sebagai sebuah organisasi. Teknologi itu harus diletakkan dalam sebuah kerangka yang lebih luas bersama actor lain untuk menjadikannya lebih berarti dan kontekstual. Anda pasti setuju dengan pendapat bahwa BPK harus bertransformasi dan mewujudkan kepentingan para stakeholders-nya, seperti masyarakat yang dalam hal ini juga mempunyai peranan dalam actor-network investasi TI. Sebaliknya, Anda pasti tidak mendukung bila modernisasi organisasi ini diupayakan hanya untuk dinikmati sendiri dan tidak menghiraukan actor-actor yang ada, sebab hal itu hanya akan menjadikan BPK sebagai organisasi yang autis (autistic organisation), yaitu punya karakteristik persis seorang anak yang selalu asyik dengan dunianya sendiri, tanpa peduli lingkungan sekitarnya. Lancaster, 10 Maret 2003 Bahan Bacaan Henderson, J.C. dan Venkatraman, N. (1993) Strategic alignment: Leveraging information technology for transforming organizations, IBM System Journal, Vol. 32 No. 1, pp. 472-484. Stratopoulos, T. and Dehnings, B. (2000) Does successful investment in technology solve the productivity paradox, Information & Management, No. 38, pp. 103-117. Tatnail, A. and Gilding, A. (1999) Actor-Network Theory and Information System Research, Proceeding 10 th Australian Conference on Information Systems. 5