ANALISIS EKONOMI DAN TATA NIAGA USAHATERNAK KERBAU

dokumen-dokumen yang mirip
RESPON JERAMI PADI FERMENTASI SEBAGAI PAKAN PADA USAHA PENGGEMUKAN TERNAK SAPI

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

KAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN TORAJA UTARA

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan

Menakar Penyediaan Daging Sapi dan Kerbau di dalam Negeri Menuju Swasembada 2014

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

POTENSI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI DI KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

PENGGUNAAN PAKAN LENGKAP PADA USAHA PETERNAKAN DOMBA: ANALISIS EKONOMI

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS SAPI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAMBING-DOMBA. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

AGRIBISNIS KAMBING - DOMBA

I. PENDAHULUAN. mengandangkan secara terus-menerus selama periode tertentu yang bertujuan

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

I. PENDAHULUAN. mempunyai peranan dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja.

I PENDAHULUAN. tabungan untuk keperluan di masa depan. Jumlah populasi kerbau pada Tahun

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN IMPOR SAPI TERHADAP PERKEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI DI NTB

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

Tennr Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006 Skala usaha penggemukan berkisar antara 5-10 ekor dengan lama penggemukan 7-10 bulan. Pakan yan

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI

I. PENDAHULUAN. Barat cendrung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC)

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan pada subsistem budidaya (on farm) di Indonesia

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Gowa P.O. Box 1285, Ujung Pandang 90001

ANALISIS POLA USAHA PEMBIBITAN SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA EKSTENSIF DAN SEMI INTENSIF

LAPORAN AKHIR PEMANTAPAN PROGRAM DAN STRATEGI KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

MANAJEMEN PEMELIHARAAN DOMBA PETERNAK DOMBA DI KAWASAN PERKEBUNAN TEBU PG JATITUJUH MAJALENGKA

PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit ANALISIS USAHA Seperti telah dikemukakan pada bab pendahuluan, usaha peternakan sa

DAN. Oleh: Nyak Ilham Edi Basuno. Tjetjep Nurasa

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

KAJIAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PETERNAKAN MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI DAGING

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS UNGGAS. Edisi Kedua

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

POTENSI LIMBAH KULIT KOPI SEBAGAI PAKAN AYAM

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS NILAI TAMBAH LIMBAH JAGUNG SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI DI SULAWESI SELATAN ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SAPI. Edisi Kedua

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS UNGGAS. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KESIAPAN DAN PERAN ASOSIASI INDUSTRI TERNAK MENUJU SWASEMBADA DAGING SAPI ) Oleh : Teguh Boediyana 2)

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN

TINJAUAN PUSTAKA. berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya berupa pupuk kandang, kulit, dan

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai bobot badan antara 1,5-2.8 kg/ekor dan bisa segera

ANALISIS BIAYA PRODUKSI PENGOLAHAN PAKAN DARI LIMBAH PERKEBUNAN DAN LIMBAH AGROINDUSTRI DI KECAMATAN KERINCI KANAN KABUPATEN SIAK

STRATEGI PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU: ASPEK PENJARINGAN DAN DISTRIBUSI

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak pemanfaatan sumberdaya pakan berupa limbah pert

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

PENGGEMUKAN SAPI POTONG POLA LOW EXTERNAL INPUT SUSTAINABLE AGRICULTURE

PENDAHULUAN. Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2010

PANDUAN. Mendukung. Penyusun : Sasongko WR. Penyunting : Tanda Panjaitan Achmad Muzani

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling

ANALISIS MARGIN HARGA PADA TINGKAT PELAKU PASAR TERNAK SAPI DAN DAGING SAPI DI NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN

PENDAHULUAN. dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut

KONVERSI SAMPAH ORGANIK MENJADI SILASE PAKAN KOMPLIT DENGAN PENGGUNAAN TEKNOLOGI FERMENTASI DAN SUPLEMENTASI PROBIOTIK TERHADAP PERTUMBUHAN SAPI BALI

PENDAHULUAN. Kemajuan pembangunan nasional tidak terlepas dari peran bidang peternakan.

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN TAHUN 2016

IV. METODOLOGI PENELITIAN

Ternak Sapi Potong, Untungnya Penuhi Kantong

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil

KERAGAAN BOBOT BADAN DAN MORFOMETRIK TUBUH KERBAU SUMBAWA TERPILIH UNTUK PENGGEMUKAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS EKONOMI PENGGEMUKAN KAMBING KACANG BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL. Oleh : M. Jakfar dan Irwan* ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai potensi untuk dikembangkan. Ternak ini berasal dari keturunan

IV. ANALISIS DAN SINTESIS

PENDAHULUAN. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur yaitu bibit, pakan, dan

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

Kebijakan Pemerintah terkait Logistik Peternakan

Transkripsi:

ANALISIS EKONOMI DAN TATA NIAGA USAHATERNAK KERBAU ATIEN PRIYANTI dan RATNA AYU SAPTATI Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jln. Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16151 ABSTRAK Usahaternak kerbau memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai salah satu penghasil daging yang mempunyai kontribusi cukup tinggi terhadap konsumsi daging nasional. Beberapa potensi yang dimiliki ternak kerbau antara lain mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah, dapat bertahan dalam lingkungan yang cukup keras dan dapat dikembangkan dalam pola ekstensif maupun terintegrasi dengan komoditas lain. Namun, pada kenyataannya usahaternak kerbau belum berkembang disebabkan oleh masih rendahnya produktivitas; segmen pasar masih sangat terbatas dan dominasi tataniaga oleh sekelompok kecil pengusaha bermodal besar. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan kebijakan pendukung, terutama dalam hal investasi, akses permodalan, aplikasi teknologi yang tepat guna dan implementatif, penguatan kelembagaan hulu dan hilir serta peningkatan kemampuan dan wawasan peternak. Dalam hal perbaikan tataniaga dan meningkatkan posisi tawar peternak, diperlukan (1) fasilitasi pemerintah kepada peternak (akses modal, informasi pasar dan pelatihan); (2) fasilitasi pembentukan kelompok/asosiasi peternak yang bermitra dengan pengusaha/peternakan besar, dan (3) pemberlakuan sistem lelang di pasar hewan untuk meningkatkan harga jual ternak. Secara ekonomi, usaha ini juga menunjukkan bahwa usaha penggemukan ternak kerbau memberikan kuntungan atas biaya produksi yang layak. Hasil analisis ekonomi usaha penggemukan kerbau dengan jerami sebagai pakan basal dan introduksi teknologi fermentasi menunjukkan bahwa usahaternak kerbau memberikan nilai gross margin atas biaya variabel sebesar Rp. 8.241 Rp. 8.919,-/ekor/hari serta nisbah B/C 1,09 1,10. Hasil analisis ekonomi di tingkat pemotong (jagal) memberikan keuntungan yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan penjualan ternak kerbau berdasarkan berat hidup (farm gate). Kata kunci: Analisis ekonomi, tata niaga, ternak kerbau PENDAHULUAN Program Kecukupan Daging Sapi 2010 yang telah ditetapkan oleh pemerintah merupakan salah satu program aksi dari Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan yang telah dicanangkan Presiden RI pada bulan Juni 2005. Salah satu tujuan dari program ini adalah meningkatkan ketersediaan daging sapi untuk memenuhi konsumsi dalam negeri (90-95%), mengurangi ketergantungan impor daging dan ternak sapi serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha budidaya ternak ruminansia (LUTHAN, 2006). Di sisi lain populasi sapi potong terutama sapi bakalan di Indonesia telah mengalami penurunan populasi yang cukup signifikan, dimana dalam periode tahun 2000 2005 mengalami pertumbuhan yang negatif sebesar 0,6% per tahun (DITJEN PETERNAKAN, 2005). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi pengurasan ini adalah dengan memanfaatkan sumberdaya ternak lokal alternatif yang potensial sebagai penghasil daging, salah satunya adalah ternak kerbau. Ternak kerbau (Bubalus bubalis) telah sejak lama dikembangkan oleh masyarakat dalam skala usaha yang masih relatif kecil, untuk tujuan produksi tenaga, daging dan kulit serta sebagian kecil untuk produksi susu, kompos dan sumber energi. Di beberapa propinsi seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Banten, Sulawesi Selatan, NTB, NTT, Jawa Barat dan Kalimantan Selatan ternak kerbau mempunyai peran yang sangat penting dalam upacara adat istiadat dan tata kehidupan sosial budaya setempat. Bahkan di beberapa daerah, daging kerbau justru lebih disukai dan populer dibandingkan dengan daging sapi. Namun jika dibandingkan dengan usahaternak ruminansia lainnya, usahaternak kerbau masih kurang berkembang. Beberapa kendala yang 142

dirasakan masih menjadi permasalahan dalam pengembangan usahaternak kerbau ini antara lain (1) terbatasnya permintaan produk daging kerbau pada segmen pasar tertentu, (2) terbatasnya pasokan bakalan kerbau dan (3) dominasi tataniaga ternak kerbau oleh sekelompok kecil pengusaha (PRIYANTI, et al., 2005). Terbatasnya permintaan produk daging kerbau ini antara lain disebabkan oleh kurangnya preferensi masyarakat untuk dikonsumsi, sehingga sangat diperlukan promosi dan sosialisasi produk daging kerbau kepada masyarakat. Terbatasnya pasokan bakalan kerbau diduga disebabkan oleh penurunan populasi kerbau yang terjadi seiring dengan berkurangnya fungsi dan peranan kerbau dalam usahatani, serta berkurangnya lahan baik sebagai lahan garapan maupun sumber pakan kerbau (KUSNADI, et al., 2005). Disamping itu minat peternak untuk memelihara kerbau masih kurang, karena nilai ekonominya relatif lebih rendah dibandingkan dengan sapi. Sehingga upaya untuk meningkatkan minat peternak dalam mengembangkan usahaternak kerbau harus dilakukan, terutama yang terkait dengan peningkatan keuntungan yang layak dan posisi tawar yang kuat bagi peternak. Makalah ini bertujuan untuk memberikan deskripsi kelayakan usaha pengembangan ternak kerbau dengan memanfaatkan inovasi teknologi jerami fermentasi dan tataniaga/jalur pemasaran yang berlangsung saat ini. POTENSI DAN PROSPEK USAHATERNAK KERBAU Populasi ternak kerbau di Indonesia pada tahun 2005 berjumlah 2,43 juta ekor, meningkat sebesar 1,04 persen dibandingkan dengan tahun 2004 (DITJEN PETERNAKAN, 2005). Ternak kerbau ini terutama terkonsentrasi di Propinsi Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Selatan, NTB dan NTT yang mencapai 72,3% dari total populasi. Ternak kerbau yang banyak berkembang di Indonesia adalah jenis kerbau lumpur/rawa (95%), sedangkan sisanya (5%) adalah jenis kerbau sungai/murrah yang banyak terdapat di Sumatera Utara dan dipelihara sebagai penghasil susu. Kontribusi ternak kerbau sebagai pemasok daging nasional pada tahun 2005 sebesar 40,8 ribu ton atau hanya sebesar 1,93% (DITJEN PETERNAKAN, 2005). Pola usahaternak kerbau sebagian besar masih berskala relatif kecil dan merupakan bagian dari usahatani lain berbasis tanaman pangan. Pada umumnya peternak hanya mampu memelihara kerbau secara terbatas (2 3 ekor), kecuali pemeliharaan dengan sistem dilepas yang hanya dapat dilakukan pada daerah dengan padang penggembalaan yang luas seperti di NTB atau wilayah luar Pulau Jawa lainnya (SIREGAR dan DIWYANTO, 1995). Secara umum populasi kerbau berkembang lambat, akibat rendahnya produksi dan produktivitas ternak kerbau yang tercermin dari angka kelahiran yang rendah dan kematian anak pra sapih yang tinggi. Hal ini terutama disebabkan oleh sifat alami ternak kerbau yaitu pertumbuhan lambat, angka reproduksi rendah, masa kebuntingan yang lebih panjang dari sapi, serta rendahnya daya tahan kerbau terhadap parasit dan penyakit. Disamping itu faktor lain seperti terbatasnya bibit unggul, rendahnya kualitas pakan, kurangnya modal, kurangnya pengetahuan petani terhadap reproduksi kerbau, dan kurangnya ketersediaan teknologi tepat guna juga menjadi faktor penyebab rendahnya tingkat produksi dan produktivitas ternak kerbau (DIWYANTO dan SUBANDRIYO, 1995 dalam SIREGAR dan DIWYANTO, 1995; HARDJOSUBROTO, 2006). HARDJOSUBROTO (2006) menyatakan bahwa produksi ternak kerbau hanya berasal dari pertambahan jumlah usaha (jumlah peternak) dan bukan karena adanya peningkatan produktivitas. Berdasarkan keterbatasan yang ada, ternyata ternak kerbau mempunyai potensi yang sangat baik sebagai alternatif penghasil daging dan dapat diandalkan menjadi suatu peluang usaha yang menjanjikan. HARDJOSUBROTO (2006) melaporkan bahwa kerbau dapat menghasilkan karkas yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sapi lokal. Beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kerbau adalah ternak tersebut mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah, dapat bertahan dalam lingkungan yang cukup keras 156 157

sepanjang tersedia kubangan dan dapat dikembangkan dalam pola ekstensif maupun terintegrasi secara insitu dengan budidaya tanaman lain seperti pertanian, perkebunan, hutan tanaman industri dan lain sebagainya (PRIYANTI, et al., 2005). Peluang lain yang juga berperan adalah fungsi sosial-budaya ternak kerbau di beberapa daerah sangat menonjol, seperti di Tana Toraja dimana ternak kerbau terutama kerbau belang banyak digunakan dalam upacara ritual kematian. Dalam kondisi seperti ini harga kerbau dapat beberapa kali lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi. Hal ini dapat dipergunakan sebagai pemicu pengembangan kegiatan budidaya untuk menghasilkan bakalan (cow calf operation) sekaligus sebagai upaya pelestarian plasma nutfah ternak kerbau. Peluang ini akan semakin bertambah dengan besarnya potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat diarahkan untuk pengembangan ternak kerbau di Indonesia. Peluang yang ada ini akan lebih berhasil apabila ditunjang oleh aplikasi teknologi tepat guna yang implementatif, terutama untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak kerbau. Beberapa inovasi teknologi tepat guna yang diperlukan terutama adalah teknologi pakan murah yang berkualitas sesuai dengan sumberdaya lokal dan dapat diaplikasikan secara massal. Dengan perbaikan kualitas pakan, maka diharapkan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan ternak kerbau. HENDRATNO et al. (1981) melaporkan bahwa pemberian pakan tambahan berupa bungkil kedelai sebanyak 1,75 kg/ekor/hari pada kerbau jantan umur 2,5 3 tahun menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 0,75 kg/ekor/hari. Hal tersebut apabila diberikan dedak halus sebanyak 2 kg dan 4 kg/ekor/hari menghasilkan pertambahan bobot badan masing-masing sebesar 0,7 dan 0,78 kg/ekor/hari. Teknologi lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas ternak kerbau adalah teknologi persilangan untuk menghasilkan persentase karkas yang lebih baik serta teknologi pencegahan dan pengendalian penyakit kerbau (baik viral, bakteri maupun parasit). Selain itu diperlukan juga beberapa kebijakan pendukung, seperti kebijakan dukungan investasi dan akses permodalan, penguatan kelembagaan dari hulu ke hilir serta peningkatan kemampuan dan wawasan peternak. TATANIAGA USAHATERNAK KERBAU Daerah utama produsen kerbau di Indonesia terutama berasal dari NTB, NTT dan Bali dengan tujuan utama adalah daerah konsumen di Jabotabek dan Jawa Barat. Pada tahun 2005 jumlah ternak kerbau dari NTB dan NTT yang diperdagangkan ke luar propinsi masing-masing sebanyak 9.663 ekor dan 6.064 ekor (DITJEN PETERNAKAN, 2005). Apabila diperkirakan kebutuhan ternak di Jabotabek dan Jawa Barat sekitar 600 ekor per harinya dengan imbangan antara kerbau dengan sapi sebagai 1 : 3, maka daerah tersebut membutuhkan tidak kurang dari 150 ekor kerbau per harinya (HARDJOSUBROTO, 2006). Wilayah Jabotabek dan Jawa Barat merupakan pasar akhir dari aliran ternak yang berasal dari beberapa daerah, sehingga mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam penentuan harga pasar ternak (ARINTO, 2006). Harga ternak kerbau di daerah produsen akan naik apabila permintaan di Jabotabek dan Jawa Barat bertambah. Hal sebaliknya, jika di Jabotabek dan Jawa Barat dibanjiri sapi dan daging impor, maka harga ternak di daerah produsen akan turun. Aktivitas perdagangan ternak kerbau sejak dari peternak hingga ke konsumen disajikan pada Gambar 1. Ternak-ternak kerbau dari wilayah Indonesia Bagian Timur (NTB, NTT, Bali) diangkut menggunakan kapal laut ke Surabaya, atau menggunakan jalan darat (penyeberangan) menuju Surabaya jika melalui Bali. Dari Surabaya sebagian besar ternak tersebut selanjutnya dibawa ke Jakarta dan sekitarnya melalui jalan darat. Secara umum tataniaga ternak kerbau masih didominasi oleh sekelompok kecil pengusaha bermodal besar, sedangkan peternak sebagai produsen tidak mempunyai posisi tawar yang kuat dan pengetahuan/akses pasar yang lemah. Terdapat sekitar 7 pengusaha yang mendominasi pasar ternak sapi dan kerbau di wilayah Jabotabek dan Jawa Barat dengan pangsa pasar sekitar 13 ribu ekor per bulan (Pangalinan, 2005). Hal ini sesuai dengan laporan ARINTO (2006) 150 155

bahwa peternak tradisional hanya dapat akrab dengan pasar tradisional pula, dimana konsumen di pasar tersebut juga sangat terbatas. Akibatnya penyerapan konsumsi menjadi terbatas, sehingga jika ada peternak yang mencoba meningkatkan skala usahanya akan mengalami kesulitan. Sama halnya dengan ternak sapi, pelaku ekonomi yang terlibat dalam kegiatan tataniaga ternak dan daging kerbau ini adalah peternak kerbau, pedagang perantara, pedagang pengumpul (penampung lokal), pedagang antar pulau, pedagang/penjagal kerbau, penjual pengecer serta konsumen. Penjualan ternak kerbau yang dilakukan oleh peternak biasanya melalui jasa pedagang perantara, karena peternak tidak memiliki akses secara langsung kepada konsumen. Pada umumnya proses jual beli ternak kerbau didasarkan atas perkiraan bobot hidup ternak dan performans ternak. Harga ternak juga akan ditentukan oleh jenis kelamin, umur, performans, konformasi tubuh (kaki dan teracak) dan faktor lain seperti kepercayaan/adat. Masing-masing daerah mempunyai standar dan penilaian tertentu dalam penjualan ternak, sebagai contoh proses jual beli kerbau di Tana Toraja biasanya berdasarkan harga taksiran yang dititikberatkan pada tanda-tanda eksterior meliputi performans, umur, warna kulit, komposisi dan anatomi tubuh, pusaran rambut (palisu), bentuk tanduk yang simetris dan lain-lain (SARIUBANG et al., 2003). Gambar 1. Sistem tataniaga ternak dan daging kerbau Sumber : PANGALINAN (2005) Keterangan : P = penjual Pedagang perantara pada umumnya berperan sebagai penentu harga, karena informasi harga lebih dikuasai, disamping akses langsung kepada pembeli. Pedagang perantara ini juga tidak segan-segan melakukan sistem jemput bola dengan mendatangi peternak secara langsung untuk membeli ternak, bahkan sampai ke pelosokpelosok di desa. Ternak-ternak dari pedagang perantara selanjutnya dibeli oleh pedagang pengumpul atau pedagang antar pulau untuk selanjutnya dibawa ke pusat-pusat konsumen. Untuk sampai kepada konsumen dalam bentuk daging, ternak kerbau harus melalui beberapa pedagang perantara lagi termasuk pemotong/penjagal dan pedagang pengecer/ retail. Semakin panjang rantai pemasaran dan semakin banyak pedagang perantara yang dilalui, maka harga jual kepada konsumen akhir semakin mahal, dan jalur tataniaga akan semakin panjang. Hal ini mengakibatkan biaya pemasaran menjadi semakin tinggi, yang pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. 156 157

Kondisi tersebut hampir sama dengan jalur pemasaran dan tataniaga ternak lainnya, dimana peternak berada dalam posisi yang lemah dan hanya berperan sebagai price taker. Pada umumnya peternak memperoleh marjin usaha yang paling rendah dibandingkan pelaku tataniaga lainnya. PRIYANTI et al. (2005) melaporkan bahwa di tingkat pemotong ternak kerbau, pendapatan yang diterima relatif lebih tinggi yaitu sebesar Rp. 295.500,-/ekor dibandingkan dengan penjualan ternak kerbau berdasarkan berat hidup di tingkat farm gate. Kondisi ini jika tidak segera dibenahi akan mengakibatkan usaha peternakan tidak lagi menarik bagi peternak dan akan sulit berkembang. Apalagi saat ini menghadapi perdagangan bebas, dimana usaha komoditas peternakan harus dilaksanakan secara efisien dan menghasilkan produk yang berkualitas dan berorientasi pada pasar lokal maupun global serta memliliki dayasaing yang tinggi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal dan menggunakan teknologi tepat guna (NURTINI, 2005 dalam ARINTO, 2006). Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki posisi tawar peternak dan tataniaga ternak kerbau ini antara lain adalah: (1) adanya fasilitasi pemerintah kepada peternak berupa akses modal, penyediaan informasi pasar serta berbagai pelatihan untuk dapat meningkatkan kompetensi dan kemampuan manajerial sehingga dapat lebih berorientasi bisnis; (2) fasilitasi pembentukan kelompok/asosiasi peternak yang bermitra dengan pengusaha/peternakan besar, dan (3) diberlakukannya sistem lelang di pasar-pasar hewan. Hal ini disamping untuk mendorong harga jual petani yang lebih tinggi, juga dapat mengurangi proses rantai pemasaran yang relatif panjang. Peran pemerintah juga sangat diharapkan dalam menyediakan informasi harga pasar dan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai dalam sistem tata niaga ternak. ANALISIS EKONOMI USAHA PENGGEMUKAN TERNAK KERBAU Usaha penggemukan ternak kerbau pada saat ini belum banyak dilakukan baik oleh peternak maupun oleh pihak swasta. Usaha ini mempunyai prospek yang sangat baik dan menjanjikan jika diikuti dengan perbaikan pemeliharaan, penggunaan sumberdaya lokal secara optimal dan teknologi tepat guna. Dalam analisis ekonomi ini, usaha penggemukan kerbau dilakukan melalui kerjasama di salah satu feedlotter di Jawa Barat selama 62 hari, dengan menggunakan inovasi teknologi pemanfaatan jerami padi fermentasi. Pada penggemukan kerbau ini digunakan empat macam perlakuan pemberian pakan basal yaitu jerami segar dan jerami fermentasi, serta ditambahkan pakan penguat berupa konsentrat. Ke-empat pola pemeliharaan adalah sebagai berikut: Pola pemeliharaan A = 4 kg jerami fermentasi + 7 kg konsentrat Pola pemeliharaan B = 2 kg jerami fermentasi + 8 kg konsentrat Pola pemeliharaan C = 4 kg jerami segar + 7 kg konsentrat Pola pemeliharaan D = 2 kg jerami segar + 8 kg konsentrat Keragaan Parameter Biologis Ternak Performans rata-rata produksi ternak kerbau yang digunakan dalam analisis ekonomi disajikan pada Tabel 1. Hasil kinerja rata-rata produksi ternak pada masing-masing perlakuan pakan menunjukkan bahwa pemberian pakan pada pola pemeliharaan D memberikan pertambahan bobot badan harian yang paling tinggi dibandingkan dengan ketiga pola pemeliharaan lainnya, sebesar 0.87 kg/ekor/hari. Hal ini disebabkan oleh rataan konsumsi jerami dan konsentrat yang diberikan ternyata juga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan pakan yang lain. Output yang diharapkan dari parameter biologis tersebut diatas adalah bobot akhir setelah mengalami periode penggemukan selama 62 hari, dimana hal ini dapat dikonversikan untuk menghitung nilai investasi dan estimasi gross margin pada masing-masing kelompok pemeliharaan ternak berdasarkan pemberian pakan. Estimasi Gross Margin Analisis ekonomi yang dilakukan adalah model input-output, karena hal ini selain memberikan gambaran yang jelas terhadap 150 155

suatu proses produksi, juga mudah untuk dilakukan evaluasi dimasa-masa yang akan datang. Analisis ini dilakukan berdasarkan periode produksi yang dihasilkan, yakni sampai dengan periode penggemukan selama 62 hari. Selain menghitung estimasi gross margin, analisis ini juga meliputi nilai investasi pada masing-masing periode produksi dan nisbah B/C. Tentunya, pada periode produksi yang berbeda akan menghasilkan nilai investasi dan estimasi gross margin yang berbeda pula. Tabel 1. Performans produksi ternak kerbau Parameter teknis Kerbau A B C D Lama perlakuan (hari) 62 62 62 62 Rataan bobot awal (kg/ ekor) 322.6 307 324.6 335.1 Rataan bobot akhir (kg/ekor) 375.6 359.6 375.7 388.9 Rataan konsumsi jerami (kg/ekor/hari) 1.29 1.3 2.6 1.8 Rataan konsumsi konsentrat (kg/ekor/hari) 6.7 6.9 6.9 7.7 PBBH (kg/ekor/hari) 0.85 0.85 0.82 0.87 Keterangan: PBHH = pertambahan bobot badan harian Estimasi gross margin merupakan salah satu metode/teknik dari model input-output yang diperoleh dari perbedaan atas total penerimaan dengan total biaya produksi (AMIR dan KNIPSCHEER, 1989). Total penerimaan merupakan komponen output secara langsung yakni penjualan ternak hidup, sedangkan total biaya produksi terdiri dari komponen biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap meliputi biaya penyusutan kandang, sedangkan biaya tidak tetap terdiri dari biaya pembelian pakan jerami dan konsentrat, pembelian alat (habis pakai), pembelian obat-obatan dan tenaga kerja serta transportasi dan lain-lain. 1. Investasi: a. Harga ternak kerbau adalah Rp.14.500,-/kg bobot hidup. 2. Biaya produksi: a. Komponen pakan terdiri dari pakan jerami segar, jerami fermentasi dan konsentrat dengan pemberian rata-rata per hari sesuai dengan perlakuan pakan. Harga jerami, jerami fermentasi dan konsentrat masing-masing adalah Rp.100,-/kg; Rp.175,-/kg dan Rp.900,- /kg. b. Tenaga kerja yang diperlukan untuk memelihara setiap 50 ekor ternak adalah 1 orang, dengan upah pokok sebesar Rp.750.000,-/bulan. c. Komponen obat-obatan diperlukan pada saat ternak masuk dalam kandang dengan perkiraaan harga obat-obatan tersebut adalah Rp.1000,- /ekor/hari. d. Alat habis pakai yang diperlukan seperti ember plastik, bambu penyekat dan alat-alat pembersih diasumsikan sebesar Rp.50.000,- /ekor/ periode. e. Transportasi dan lain-lain diasumsikan sebesar Rp.250.000,-/ekor/ periode. 3. Penerimaan: Total penerimaan diperoleh hanya dari penjualan ternak kerbau setelah 62 hari periode penggemukan, dengan nilai yang berlaku saat itu adalah Rp.16.000,-/kg berat hidup. Perhitungan estimasi gross margin atas biaya tidak tetap dari usaha penggemukan kerbau selama 62 hari berdasarkan perlakuan pakan yang diberikan disajikan pada Tabel 2. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa estimasi gross margin atas biaya tidak tetap yang tertinggi dicapai oleh ternak kerbau pada pola pemeliharaan A. Hal ini disebabkan oleh respon produksi yang ditimbulkan akibat pemberian perlakuan pakan tersebut pada masing-masing perlakuan akan memberikan respon ekonomi yang berbeda pula. Berbeda 156 157

dengan respon produksi yang dihasilkan, meskipun rataan konsumsi dan pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang dihasilkan oleh pola pemeliharaan D lebih tinggi dibandingkan dengan pola pemeliharaan A, namun estimasi ekonomi lebih mempertimbangkan biaya input produksi yang relatif lebih murah untuk menghasilkan PBBH yang cukup baik. Hal ini tentunya akan memberikan keuntungan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pola-pola pemeliharaan yang lain. Hasil perhitungan nisbah B/C pada usahaternak kerbau tertinggi dicapai oleh pola pemeliharaan A dan B, masing-masing sebesar 1.10. Hal ini selaras dengan perolehan PBBH masing-masing pola tersebut sebesar 0.85 kg/ekor/hari yang bahwa pada usahaternak kerbau setiap penambahan satu unit input akan diperoleh tambahan pendapatan sebesar 10 unit output. Hal ini secara Nisbah B/C ini akan sangat berkaitan dengan estimasi gross margin yang diperoleh, semakin tinggi gross margin yang didapat, akan semakin besar pula nisbah B/C. Semakin tinggi nisbah B/C menunjukkan bahwa usaha tersebut semakin menguntungkan. Usaha pengembangan ternak kerbau dengan memanfaatkan inovasi teknologi jerami fermentasi memberikan estimasi gross margin atas biaya tidak tetap yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian jerami segar. Hal ini memberikan indikasi bahwa inovasi teknologi fermentasi dapat memberikan nilai tambah secara ekonomi, dengan tetap mempertimbangkan faktorfaktor pendukung lainnya seperti mudah dan murah, serta jaminan ketersediaan bahan secara berkelanjutan. Dengan demikian ternak kerbau mempunyai respon yang lebih baik terhadap introduksi teknologi jerami fermentasi, sehingga dapat memberikan nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi. Tabel 2. Estimasi gross margin usahaternak penggemukan kerbau Uraian Harga per unit Pola pemeliharaan A B C D Investasi Pembelian ternak 14,500 4,677,700 4,451,500 4,706,700 4,858,950 Biaya tidak tetap Jerami segar (Rp/kg) 100 - - 16,120 11,160 Jerami fermentasi(rp/kg) 175 13,020 14,105 - - Konsentrat (Rp/kg) 900 373,860 385,020 385,020 429,660 Obat-obatan (Rp/ekor) 62,000 62,000 62,000 62,000 62,000 Peralatan (Rp/ekor) 50,000 50,000 50,000 50,000 50,000 Tenaga kerja (Rp/ekor) 30,000 30,000 30,000 30,000 30,000 Lain-lain (transportasi, dll) 250,000 250,000 250,000 250,000 250,000 Total biaya produksi 5,456,580 5,242,625 5,499,840 5,691,770 Penerimaan Penjualan ternak (Rp/kg BH) 16,000 6,009,600 5,753,600 6,011,200 6,222,400 Total penerimaan 6,009,600 5,753,600 6,011,200 6,222,400 Gross margin atas biaya produksi 553,020 510,975 511,360 530,630 Gross margin per hari 8,919.68 8,241.53 8,247.74 8,558.55 B/C 1.10 1.10 1.09 1.09 KESIMPULAN Ternak kerbau mempunyai potensi dan peluang yang cukup baik sebagai alternatif penghasil daging, disamping mempunyai fungsi sosial budaya yang penting di beberapa daerah. Potensi ini dapat dikembangkan untuk mendorong perkembangan usaha penghasil bakalan dan upaya pelestarian plasma nutfah. Beberapa kebijakan pendukung yang 150 155

diperlukan bagi pengembangan ternak kerbau ini antara lain aspek kebijakan (dukungan investasi, akses permodalan), penerapan teknologi yang tepat guna dan implementatif, penguatan kelembagaan dari hulu ke hilir serta peningkatan kemampuan dan wawasan peternak. Tataniaga usahaternak kerbau masih relatif panjang, dimana peran pedagang perantara cukup besar dan pembagian marjin pemasaran yang tidak merata akibat tidak transparannya informasi pasar. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki tataniaga ternak kerbau ini antara lain adalah: (1) fasilitasi pemerintah kepada peternak berupa akses modal, penyediaan informasi pasar serta berbagai pelatihan untuk dapat meningkatkan kompetensi dan kemampuan manajerial sehingga dapat lebih berorientasi bisnis; (2) fasilitasi pembentukan kelompok/asosiasi peternak yang bermitra dengan pengusaha/peternakan besar, (3) diberlakukannya sistem lelang di pasar hewan, serta (4) peran pemerintah dalam penyediaan sarana dan prasarana, seperti informasi harga pasar. Hasil analisis ekonomi pada usahaternak kerbau dengan menggunakan jerami fermentasi sebagai pakan basal memberikan nilai estimasi gross margin atas biaya tidak tetap yang relatif tinggi dibandingkan dengan pemberian jerami segar, yakni sebesar Rp. 8.919,-/ekor/hari. Sedangkan nisbah B/C pada usahaternak kerbau diperoleh antara 1,09 dengan 1.10, yang berarti tambahan pendapatan yang diperoleh berkisar antara 9 dan 10 output untuk setiap tambahan satu unit input. Hal ini menunjukkan bahwa Walaupun demikian usaha penggemukan ternak kerbau mempunyai prospek yang menjanjikan dan masih layak untuk diusahakan. DAFTAR PUSTAKA AMIR, P. and H.C. KNIPSCHEER. 1989. Conducting On-Farm Animal Research: Procedures and Economic Analysis. Winrock International Institute for Agricultural Development and International Development and International Development Research Center. Morrilton, Arkansas, USA. ARINTO. 2006. Produksi dan Pemasaran dalam Pembangunan Peternakan di Indonesia. Pros. Orasi dan Seminar Pelepasan Dosen Purna Tugas Tahun 2006. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 17 Juli 2006. hlm. 202 232. PRIYANTI, A., L. HARDI PRASETYO, E. WINARTI, Y.C. RAHARDJO, B. BRAMANTIYO, INDRANINGSIH dan SRI USMIATI. 2005. Laporan Penelitian Demand Driving. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2005. Statistik Peternakan 2005. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. HARDJOSUBROTO, W. 2006. Kerbau, Mutiara yang Terlupakan. Pros. Orasi dan Seminar Pelepasan Dosen Purna Tugas Tahun 2006. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 17 Juli 2006. hlm. 56 102. HENDRATNO, C., SUKARYONO, ZAINAL ABIDIN, RUSTAM BAHARUDDIN dan J.M. OBST. 1981. Penggunaan Dedak Dibandingkan dengan Bungkil Kedelai sebagai Konsentrat pada Kerbau yang Diberi Makan Rumput Lapangan. Prosiding Seminar Penelitian Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. hlm. 156 160. KUSNADI, U., D.A. KUSUMANINGRUM, RIASARI GAIL SIANTURI dan E. TRIWULANINGSIH. 2005. Fungsi dan Peranan Kerbau dalam Sistem Usahatani di Propinsi Banten. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. hlm. 316 322. LUTHAN, F. 2006. Kebijakan Program Swasembada Daging 2010. Prosiding Orasi dan Seminar Pelepasan Dosen Purna Tugas Tahun 2006. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 17 Juli 2006. hlm. 1 35. PANGALINAN, V. 2005. Prospek Sosial Ekonomi Peternakan Kerbau di Indonesia. Seminar Peternakan Kerbau. Makalah disajikan dalam Lokakarya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Ternak Kerbau di Indonesia. Makassar, 22-23 Oktober 2005. SARIUBANG, M., DANIEL PASAMBE dan ANDI ELLA. 2003. Kajian Reproduksi dan Produksi Kerbau Lumpur di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 156 157

Puslitbang Peternakan. Bogor. 29 30 September 2003. hlm. 60 63. SIREGAR, A.R. dan KUSUMA DIWYANTO. 1995. Ternak Kerbau Sumberdaya Ternak Lokal sebagi Penghasil Daging (Review). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Bogor. 150 155