Lintasan terpusat penelitian operasional ASK:

dokumen-dokumen yang mirip
GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

ASK Laporan Analisis Kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

ANTARA KEBUTUHAN DAN PEMENUHAN HAK PEMBIAYAAN PENANGGULANGAN AIDS DALAM SKEMA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL. dr Endang Sri Rahayu

MELINDUNGI SECARA UTUH : Layanan Sinergitas. Gama Triono

Berbincang Kesehatan Reproduksi PKBI DIY

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

LEMBAR PERSETUJUAN PENGISIAN KUESIONER. kesukarelaan dan bersedia mengisi kuesioner ini dengan sebaik-baiknya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Program For Appropriate Technology in Health (PATH, 2000)

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB 1 : PENDAHULUAN. adalah penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tinggi dan penggunaan

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA!

PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1]

BAB I PENDAHULUAN. ke masa dewasa, yang disertai dengan berbagai perubahan baik secara fisik, psikis

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa disertai dengan

PEDOMAM PELAYANAN KESPRO REMAJA oleh. dr. Yuliana Tjawan

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun

Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1]

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan seksual pranikah umumnya berawal dari masa pacaran atau masa penjajakan.

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB II GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

BAB I PENDAHULUAN. populasi yang terbesar dari penduduk dunia. Sekitar seperlima penduduk dunia

Program Peningkatan Cakupan Tes HIV, Inisiasi Dini ART dan Kelangsungan ODHA Minum ARV pada Populasi Berisiko Tinggi di Kota Denpasar,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

Model Layanan Kesehatan Remaja di Sektor Swasta

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut, remaja cenderung untuk menerima tantangan atau coba-coba melakukan

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

DELPHI II Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KUISIONER PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Diskusi dan Konsultasi Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengembangan Strategi Global Kesehatan Ibu, Anak dan Remaja Wisma PKBI, 13 Maret 2015

BAB I PENDAHULUAN. HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus ialah virus yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Indonesia, sejak tahun Kementerian Kesehatan telah mengembangkan model pelayanan

GAMBARAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PROPINSI BENGKULU TAHUN 2007 (HASIL SURVEI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA INDONESIA TAHUN 2007 DAN SURVER RPJM TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. depan. Keberhasilan penduduk pada kelompok umur dewasa sangat. tergantung pada masa remajanya (BKKBN, 2011).

PEMERINTAH KOTA DENPASAR DINAS KESEHATAN KOTA DENPASAR PUSKESMAS IV DENPASAR SELATAN JALAN PULAU MOYO NO 63A PEDUNGAN

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Konseling & VCT. Dr. Alix Muljani Budi

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

Lina Afiyanti 2, Retno Mawarti 3 INTISARI

BAB I PENDAHULUAN. kondisi inilah akan mudah terkena infeksi jamur. Keputihan yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah remaja usia tahun di Indonesia menurut data SUPAS 2005 yang

PRODI DIII KEBIDANAN STIKES WILLIAM BOOTH SURABAYA

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

BAB II RUANG LINGKUP KLINIK PKBI-ASA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

komisi penanggulangan aids nasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setelah masa kanak-kanak dan sebelum dewasa, yaitu pada umur tahun

BAB I PENDAHULUAN. Program Keluarga Berencana (KB) menurut Undang-Undang Nomor 10

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak kasus pertama dilaporkan pada tahun 1981, Acquired Immune

BAB I PENDAHULUAN. masalah dunia karena melanda di seluruh negara di dunia (Widoyono, 2005).

MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM

BAB I PENDAHULUAN. kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 2007). World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. seksual disebut infeksi menular seksual (IMS). Menurut World Health Organitation

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual

BAB I PENDAHULUAN. Keputihan (leukorhea, white discharge atau flouralbus) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tahun dan untuk laki-laki adalah 19 tahun. Namun data susenas 2006

I. PENDAHULUAN. masing-masing. Pelayanan publik dilakukan oleh pemerintah baik di tingkat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

PERNYATAAN. Dengan ini saya menyatakan bersedia untuk menjadi responden dalam. penelitian ini dengan judul Hubungan Pelayanan Klinik IMS dengan Upaya

Jangan cuma Ragu? Ikut VCT, hidup lebih a p sti

Riska Megayanti 1, Sukmawati 2*, Leli Susanti 3 Universitas Respati Yogyakarta *Penulis korespondensi

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,

2013 GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV/AIDS DI KELAS XI SMA YADIKA CICALENGKA

Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS. Astrid Wiratna

POLICY BRIEF. Analisis Ketimpangan Kebijakan dalam Pendidikan karena Barier Kesehatan Reproduksi; Perlukah Siswa Hamil dikeluarkan dari Sekolah?

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

Transkripsi:

1 Lintasan terpusat penelitian operasional ASK: Kesempatan untuk meningkatkan akses seksual dan reproduksi bagi remaja marjinal di Indonesia

Sambutan Penelitian ini dikordinasikan oleh Rutgers WPF Indonesia dan dijalankan oleh ResultsinHealth dan Siklus. Kami mengucapkan terima kasih kepada para peneliti yang terlibat dalam riset ini; responden remaja subjek penelitian; responden tenaga CD Bethesda, PKBI DIY, PKBI Bantul, dan Puskesmas yang mendukung penelitian ini; Kementrian Kesehatan; Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan untuk persetujuan etika penelitian; dan Dinas Kesehatan Provinsi DIY atas persetujuannya dalam memberikan ijin bagi penelitian ini. Latar belakang Program ASK (Access, Services and Knowledge) berfokus pada remaja yang memiliki kerentanan tinggi dalam hal hak dan seksual dan reproduksi. Khususnya remaja dari kelompok LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseksual dan Queer), remaja ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS). Program ini bertujuan meningkatkan akses terhadap ramah remaja yang berkualitas dan komoditas terkait seksual dan reproduksi termasuk di dalamnya ARV dan alat kontrasepsi. Program ini memiliki keyakinan bahwa dengan meningkatkan akses terhadap informasi langsung terkait HKSR dan meningkatkatnya penjangkauan terhadap reproduksi dan seksual yang ramah remaja, maka akan meningkatkan jumlah pengakses khususnya dari kelompok remaja yang sulit terjangkau. Program ASK telah diimplementasikan di Uganda, Ethiopia, Ghana, Senegal, Pakistan dan Indonesia sejak 2013 hingga 201. 2 3 Sebagai bagian dari program ASK, kami membuat penelitian operasional untuk melihat kesempatan sekaligus juga hambatan dalam meningkatkan jumlah pengakses seksual dan reproduksi pada remaja marjinal. Penelitian ini didahului dengan kajian literatur dan bertujuan untuk mendapatkan contoh positif dari pengalaman langsung remaja dalam mengakses seksual dan reproduksi di DI Yogyakarta, Indonesia. Head Office Jl. Pejaten Barat Raya 1B Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, 1210 Indonesia e. info@rutgerswpfindo.org rutgerswpfindo.org

Metode Temuan & diskusi Penelitian ini dilaksanakan di DIY Yogyakarta (salah satu wilayah pelaksanaan program ASK), meliputi 4 wilayah yakni Kota Jogja, Kabupaten Bantul, Kulonprogro dan Sleman. Responden penelitian diambil menggunakan metode sampel bola salju (snowball) dan purposif. Data penelitian ini dikumpulkan selama periode Juni hingga Oktober 201. Responden penelitian ini adalah remaja berusia 10 24 tahun dan memiliki riwayat pernah mengakses seksual dan reproduksi di wilayah penelitian, yang disediakan Puskesmas, klinik swasta dan penyedia komoditas seperti apotek. Metode pengumpulan data adalah wawancara semi terstruktur dan diskusi kelompok terarah (Lihat tabel 1) Remaja Karakteristik Status Perkawinan Lokasi Kawin Belum kawin Perkotaan Pinggiran Pedesaan Responden wawancara semi terstruktur N (=2) 1 10 8 11 6 Penyedia Karakteristik Jenis penyedia Lokasi penyedia Umum Swasta Perkotaan Pinggiran Pedesaan N (=11) 4 1 Temuan lapangan menunjukan bahwa faktor predisposisi, pendukung dan pendorong mempengaruhi keputusan untuk mengakses seksual dan reproduksi dalam berbagai kesempatan dan memiliki kekuatan dan sifatnya tersendiri (lihat diagram 1) predisposisi Pengaruh terkuat: memiliki masalah terkait reproduksi dan seksual Memiliki pengetahuan reproduksi dan seksual (meskipun cuma terbatas reproduksi) Memiliki pengetahuan terhadap seksual dan reproduksi pendukung pendorong Pengaruh terkuat: ketersediaan pendidik sebaya (dengan pengalaman sebelumnya) untuk menyediakan informasi reproduksi dan seksual dan sebagai penyerta ketika mengakses seksual dan reproduksi Pengaruh terkuat: ketersediaan seksual dan reproduksi ramah remaja Ketersediaan seksual dan reproduksi oleh swasta Peran bidan dan Puskesmas sebagai penyedia seksual dan reproduksi bagi remaja Kelompok >_ 20 tahun 16 Sebanyak 36 wawancara semi usia < 20 tahun 9 terstruktur dan 3 diskusi kelompok Adanya hukum yang mendukung dan atau peraturan bagi ketersediaan seksual dan terarah telah dibuat, terdiri dari 42 reproduksi ramah remaja Kebutuhan/ LSL 4 responden remaja (26 dari wawancara 4 kasus terkait Kehamilan tidak 12 dan 1 dari diskusi kelompok terarah) Hasil dari penelitian ini menunjukan adanya dinamika yang berbeda antara faktor-faktor yang berpengaruh diinginkan dan 11 dari penyedia seksual dan HIV positif 2 terhadap penggunaan seksual dan reproduksi. predisposisi terlihat memiliki reproduksi Memiliki pengaruh langsung terhadap keputusan remaja mengakses seksual dan reproduksi. disabilitas dan mengalami Sementara itu faktor pendorong dan pendukung memiliki pengaruh tidak langsung terhadap akses ke kekerasan (lihat diagram 1). Sebagai tambahan, faktor-faktor ini saling terhubung satu dengan yang lain seksual yang pada akhirnya mengarah ke kesimpulan bahwa intervensi harus dilakukan bersamaan, bukan terpisah. Temuan ini mengkonfirmasi riset-riset sejenis terdahulu seperti model sosio-ekologis oleh Responden diskusi kelompok terarah Bronfenbrenner 1. Kabupaten/Kotamadya Lelaki Perempuan Total Yogyakarta 0 Kulonprogo 0 Bantul 0 Total 10 1 Tabel 1. Responden Penelitian Penelitian ini menggunakan model perencanaan promosi PRECEDE-PROCEED yang dikembangkan oleh Green dan kolega (1980). Model ini dipilih karena memungkinkan untuk proses identifikasi faktor komponen positif dan negatif yang mendahului keluaran yang diinginkan yakni faktor predisposisi, pendukung dan pendorong. Model ini sedikit dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan konteks dan tujuan penelitian ini. Analisa lebih lanjut terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan akses seksual dan reproduksi di kalangan remaja DIY menunjukkan adanya pola terkait dengan lintasan seksual dan reproduksi mereka. Lintasan ini menjelaskan langkah-langkah yang ditempuh oleh remaja dalam perjalanan mereka mengakses seksual dan reproduksi yang tersedia (lihat diagram 2), dan bisa dibagi dua yakni jalur pendek dan panjang. Jalur pendek sering ditempuh untuk kasus kehamilan tidak diinginkan, karena kondisi darurat (terkait waktu) menentukan keputusan yang diambil untuk mengakses seksual dan reproduksi. Di kebanyakan kasus, berbagai jenis seksual dan reproduksi yang diakses dan dipilih adalah yang diketahui bisa menghadirkan solusi cepat terhadap kehamilan tidak diinginkan (contohnya aborsi aman). Kelompok lain yang menempuh jalur ini adalah LSL muda yang mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS). Gejala IMS biasanya jelas terlihat pada remaja lelaki dan mereka akhirnya mengakses langsung seksual dan reproduksi di klinik resmi, ketimbang mencari solusi alternative. 1 The ecology of developmental processes. Bronfenbrenner, Urie, Morris, Pamela A. Dam, on, William (Ed); Lerner, Richard M. (Ed), (1998). Handbook of child psychology: Volume 1: Theoretical models of human development (th ed.)., (pp. 993-1028). Hoboken, NJ, US: John Wiley & Sons Inc, xxii, 124 pp.

ILUSTRASI KASUS JALUR PENDEK ILUSTRASI KASUS JALUR PANJANG Kasus 1 Remaja perempuan ini akhirnya memutuskan untuk ke Rumah Sakit di tengah keputusasaannya mengatasi masalah keputihan. Kondisinya makin memburuk dan mempengaruhi keseharian dia, padahal dia sudah mencoba pengobatan sendiri. Dia juga takut terhadap dampak keputihan ini di masa yang akan datang jika tidak ditangani segera (Responden perempuan, Yogyakarta) Kasus 2 Awalnya subjek penelitian melihat titik merah di tubuhnya. Karena takut terkena infeksi menular seksual, dia pergi ke klinik swasta dengan dokter spesialis kulit dan kelamin. Gejala ini yang mendorong subjek penelitian untuk mengakses oleh dokter di klinik swasta dan akhirnya pergi ke rumah sakit untuk VCT (Responden LSL, Yogyakarta) Jalur dalam mengakses seksual dan reproduksi Jalur yang panjang seringnya disebabkan oleh stigma dan stereotype (yang dirasakan) terkait permasalahan seksual dan reproduksi yang sedang dihadapi dan terbatasnya pengetahuan mengenai seksual, reproduksi dan. Dalam kasus tertentu dimana permasalahan seksual dan reproduksi mendapat stigma (dianggap tabu atau buruk), beberapa remaja memutuskan untuk melakukan pengobatan sendiri, bisa dengan diri sendiri, dengan teman atau keluarga Kasus 1 Subjek penelitian mengalami kehamilan tidak diinginkan, awalnya dia hanya bisa mengakses informasi melalui internet dan kemudian memutuskan untuk membeli obat untuk menggugurkan kandungannya. Karena upaya ini gagal, dia datang ke klinik PKBI berdasarkan rekomendasi temannya yang kuliah di akademi kebidanan. Sebelumnya saya mengkonsumsi obat untuk menggugurkan kandungan dan ada obat yang saya taruh di dalam vagina yang menyebabkan pendarahan. Kemudian sahabat saya yang berkuliah di akademi kebidanan menuturkan bahwa pada kondisi kehamilan seperti ini, upaya saya untuk menggugurkan kandungan sangat berisiko dan dia merekomendasikan saya untuk ke klinik PKBI dimana saya bisa melakukan konseling. (Responden perempuan, Sleman) Kasus 2 Responden mengalami kehamilan yang tidak diinginkan namun tidak mengakses aborsi secara langsung. Responden mencoba melakukan induksi sendiri berdasarkan informasi dari temannya. Awalnya saya mencari informasi dari internet dan kemudian bertanya kepada orang yang lebih berpengalaman seperti ngobrol dengan teman-teman. Ada yang sudah melakukan aborsi melalui induksi. Namun banyak juga cerita mengenai aborsi dengan mengkonsumsi obat tertentu dan akan hilang pada malam hari. Ada juga beberapa yang gagal, mengalami pendarahan dan perlu dibawa ke rumah sakit. Saya tidak berani mengakses aborsi di dokter atau bidan secara langsung. Namun bila semua upaya saya gagal, upaya terakhir adalah tetap ke dokter, (Responden perempuan, Bantul) dan dengan penyedia seksual dan reproduksi informal/tradisional. Pada kondisi 6 dimana terbatasnya pengetahuan yang benar dan cukup, informasi dicari dari berbagai sumber, yang pada akhirnya mendukung keputusan untuk melakukan pengobatan sendiri atau mengakses penyedia Kedua jalur ini, baik pendek maupun panjang memiliki risiko bagi remaja dan pada akhirnya membebani informal. Pada kasus dimana hasil dari pengobatan sendiri tidak memuaskan, beberapa remaja remaja, keluarga dan sistem ; dan kondisi ini menggambarkan bahwa perilaku remaja terkait memutuskan untuk mencari informasi lebih banyak atau mengakses langsung seksual masuk kategori pencegahan tipe sekunder; bukan pencegahan tipe primer. dan reproduksi yang resmi. Ada pengetahuan seksual dan reproduksi sendiri (misal oleh diri sendiri atau obat tradisional) sukses/ sembuh gagal/tidak sembuh Kemunculan gejala terkait seksual dan reproduksi (misal gejala IMS, kehamilan tidak diinginkan, dst) Mengakses seksual dan reproduksi pada penyedia resmi Tidak ada pengetahuan seksual dan reproduksi Mencari informasi (misal internet/ social media, teman/ keluarga, ahli atau sumber tambahan) Kesimpulan Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi akses seksual dan reproduksi pada remaja dan strategi yang efektif dalam meningkatkan akses berdasarkan data dari temuan lapangan dan kajian literatur. yang mempengaruhi akses seksual dan reproduksi pada remaja adalah kebutuhan, kualitas, dan ketersediaan informasi dan hubungan pertemanan. Remaja di dalam studi ini secara umum memiliki pengetahuan yang terbatas terkait informasi dan ; mereka memiliki sedikit preferensi terhadap swasta dan tidak menganggap keterjangkauan dan sistem rujukan sebagai hambatan. Strategi efektif yang direkomendasikan untuk meningkatkan seksual dan reproduksi pendukung predisposisi Intervensi (multi target, komprehensif, lintas sektor, tepat waktu dan melibatkan remaja) pendorong Penyedia menyatakan pentingnya hukum dan peraturan yang mendukung; peraturan yang bisa melegitimasi penyediaan seksual dan reproduksi ramah remaja di fasilitas. Pendidik sebaya adalah sumber informasi dan pendamping yang dipilih remaja ketika menempuh lintasan dalam mengakses seksual dan reproduksi. Lintasan seksual dan reproduksi ditentukan oleh kedaruratan masalah yang dihadapi atau penerimaan pengetahuan yang benar terkait informasi dan ; temuan ini menyiratkan pencegahan tipe sekunder, bukan pencegahan tipe primer. Strategi untuk meningkatkan akses bagi remaja harus multi target, lintas sektor, komprehensif, tepat waktu dan dikembangkan dengan metode yang mendukung partisipasi remaja (lihat diagram 3)

8 Jika anda tertarik untuk mendiskusikan lebih lanjut penelitian ini, silakan kontak: info@rutgerswpfindo.org Rutgers WPF Indonesia Jl. Pejaten Barat Raya no. 1B Jakarta Selatan 1210 www.rutgerswpfindo.org