PENGURANGAN RISIKO GEMPABUMI MELALUI EVALUASI BANGUNAN TEMPAT TINGGAL DAN LINGKUNGANNYA DI KECAMATAN PLERET KABUPATEN BANTUL.

dokumen-dokumen yang mirip
PEMETAAN KERENTANAN BANGUNAN TEMPAT TINGGAL TERHADAP BAHAYA GEMPABUMI DI KECAMATAN PLERET KABUPATEN BANTUL TAHUN 2012

ANALISIS KERENTANAN BANGUNAN TERHADAP BENCANA GEMPA BUMI DI KECAMATAN GANTIWARNO KABUPATEN KLATEN

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

ANALISIS KERENTANAN BANGUNAN TERHADAP BENCANA GEMPA BUMI DI KECAMATAN GANTIWARNO KABUPATEN KLATEN TAHUN 2014

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

BAB I PENDAHULUAN. atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016), bencana tanah longsor

KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DI KECAMATAN KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

Geo Image (Spatial-Ecological-Regional)

ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN PENGGUNAAN LAHAN AKIBAT BANJIR LAHAR PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 DI SUB DAS KALI PUTIH JURNAL PUBLIKASI ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Lempeng Pasifik, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Hindia-Australia yang lazim

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di

Bab I. Pendahuluan. I Putu Krishna Wijaya 11/324702/PTK/07739 BAB I PENDAHULUAN

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. wisata Pantai Parangtritis yang merupakan pantai selatan Pulau Jawa masih menjadi

PUBLIKASI KARYA ILMIAH

TOMI YOGO WASISSO E

Perancangan Perkuatan Longsoran Badan Jalan Pada Ruas Jalan Sumedang-Cijelag KM Menggunakan Tiang Bor Anna Apriliana

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

RESUME HASIL KEGIATAN PEMETAAN GEOLOGI TEKNIK PULAU LOMBOK SEKALA 1:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bencana yang tinggi. Salah satu bencana yang banyak melanda daerah-daerah di

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR UNTUK PENATAAN PENGGUNAAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan Indonesia termasuk dalam daerah rawan bencana gempabumi

ANALISIS POTENSI KEKERINGAN GEOMORFOLOGI MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia (Bock, dkk., 2003)

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian. I.2. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berpotensi rawan terhadap bencana longsoranlahan. Bencana longsorlahan akan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan

ANALISIS TINGKAT BAHAYA TSUNAMI DI DESA ULEE LHEUE KECAMATAN MEURAXA KOTA BANDA ACEH

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*)

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN KOTA BEKASI. Dyah Wuri Khairina

KARAKTERISTIK MIKROTREMOR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRUM, ANALISIS TFA (TIME FREQUENCY ANALYSIS) DAN ANALISIS SEISMISITAS PADA KAWASAN JALUR SESAR OPAK

Jumlah desa, dusun dan luas Kabupaten Bantul per kecamatan dapat

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

ANALISIS KESESUAIAN MEDAN UNTUK BANGUNAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN PAJANGAN KABUPATEN BANTUL

C I N I A. Pemetaan Kerentanan Tsunami Kabupaten Lumajang Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Dosen, FTSP, Teknik Geofisika, ITS 5

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Desa Pendoworejo berada pada ketinggian 100 hingga 475 mdpl. Pada peta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB VII PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI [14]

Pelaksanaan Penelitian

ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO PUBLIKASI KARYA ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

Transkripsi:

PENGURANGAN RISIKO GEMPABUMI MELALUI EVALUASI BANGUNAN TEMPAT TINGGAL DAN LINGKUNGANNYA DI KECAMATAN PLERET KABUPATEN BANTUL HALAMAN JUDUL Naskah Publikasi Program Studi Ilmu Lingkungan Minat Studi Geo-Informasi untuk Manajemen Bencana Diajukan Oleh: ADITYA SAPUTRA 10/309448/PMU/06820 Kepada SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012 i

NASKAH PUBLIKASI HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis : PENGURANGAN RISIKO GEMPABUMI MELALUI EVALUASI BANGUNAN TEMPAT TINGGAL DAN LINGKUNGANNYA DI KECAMATAN PLERET KABUPATEN BANTUL Dipersiapkan dan disusun oleh Aditya Saputra 10/309448/PMU/06820 Telah disetujui oleh : Pembimbing Utama Prof. Dr. Junun Sartohadi, M.Sc. Tanggal, 22 Februari 2012 Pembimbing Pendamping I Dr. Rini Rachmawati, M.T. Tanggal, 21 Februari 2012 ii

1 PENGURANGAN RISIKO GEMPABUMI MELALUI EVALUASI BANGUNAN TEMPAT TINGGAL DAN LINGKUNGANNYA DI KECAMATAN PLERET KABUPATEN BANTUL Aditya Saputra 1), Junun Sartohadi 2), Rini Rachmawati 3) 1) Mahasiswa Geo-Information For Spatial Planning and Risk Management, Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2) dan 3) Staff Pengajar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ABSTRACT Kecamatan Pleret merupakan salah satu daerah yang rawan gempabumi. Terbukti pada gempabumi 27 Mei 2006, Kecamatan Pleret mengalami kerusakan yang sangat parah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi risiko gempabumi melalui identifikasi karakteristik bahaya, kerentanan bangunan tempat tinggal, dan kapasitas masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah integrasi antara penginderaan jauh, sistem informasi geografis, dan observasi di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa satuan litologi Endapan Merapi Muda memiliki indek seismik yang tinggi berkisar antara 7,0 13,8. Endapan Aluviual rombakan material Formasi Semilir dan Nglanggran memiliki indek seismik yang sedang berkisar antara 2,1 3,8. Formasi Semilir dan Nglanggran yang merupakan batuan kompak memiliki indek seismik yang rendah yaitu tidak lebih dari 1. Struktur bangunan di Kecamatan Pleret didominasi oleh pasangan batu bata diperkuat dengan diafragma flexibel (RM2) yang memiliki tingkat kerentanan rendah yaitu diatas nilai 1,75. Kapasitas masyarakat Kecamatan Pleret tergolong masih rendah dikarenakan kurangnya tingkat kesiapsiagaan dalam menghadapi gempabumi. Upaya pengurangan risiko dengan menitikberatkan pada peningkatan kapasitas terutama aspek kesiapsiagaan dapat efektif meredam risiko gempabumi yang mungkin akan terjadi. Pleret sub-district is one of the earthquake prone area. Proved, in the event of May 27, 2006 Yogyakarta earthquake, Pleret Sub-District was badly damaged. This research was conducted to determine the earthquake risk condition through identification of hazard characteristic, residential building vulnerability, and social capacity. The method used in this research was integration between remote sensing, geographic information system, and field observation Based on the research result, it can be concluded that lithology unit of Recent Merapi Material Deposit have high seismic index ranged from 7.0 13.8. Aluvial deposits from denudation material of Semilir and Nglanggran Formation have moderate seismic index ranged from 2.1 3.8. Semilir and Nglanggran Formation which are solid rock have low seismic index i.e not more than 1. Building structure in the Pleret sub-district are dominated by Reinforced masonry buildings with rigid floor and roof diaphragms (RM2) which have low level of vulnerability i.e. above the value of 1.75. The social capacity of Pleret sub-district are still low due to lack of preparedness to cope with eartquake hazard. Risk reduction effort which is emphasize on rising the capacity particularly on preparedness aspect could effectively reduce the earthquake risk that might be occurred. Kata kunci : indek seismik, kerentanan, kapasitas, dan risiko. Key word : seismic index, vulnerability, capacity, and risk.

2 I. Pendahuluan Gempabumi merupakan guncangan di permukaan bumi yang disebabkan oleh pelepasan energi secara tiba-tiba akibat adanya pensesaran batuan kerak bumi di sepanjang zona sesar atau zona penunjaman lempeng (subduksi). Energi yang dilepaskan berupa getaran seismik yang menjalar di dalam bumi. Getaran seismik tersebut dirasakan sebagai gempabumi setelah mencapai permukaan bumi (Bath, 1979). Fenomena alam ini sangat terkait dengan kondisi geologi dan konfigurasi lempeng tektonik di suatu wilayah. Daerah-daerah yang berada pada zona pertemuan lempeng memiliki tingkat kerawanan gempabumi yang tinggi. Indonesia yang terletak di antara pertemuan tiga lempeng tektonik aktif memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap terjadinya gempa-gempa tektonik. Gempabumi dapat terjadi kapan saja di wilayah Indonesia. Terbukti, pada tanggal 27 Mei 2006 terjadi gempabumi besar di Yogyakarta yang berlokasi di utara zona subduksi Lempeng Eurasia dan Lempeng Hindia-Australia. Gempabumi tersebut menyebabkan kerusakan parah dan menimbulkan banyak korban jiwa di sejumlah wilayah di Yogyakarta. Salah satunya adalah Kabupaten Bantul yang terletak paling dekat dengan sumber gempabumi versi USGS. Sebanyak 26.045 unit bangunan mengalami rusak parah, 29.582 unit bangunan rusak sedang, dan 24.262 unit bangunan rusak ringan. Jumlah korban meninggal mencapai 4.121 jiwa dan korban luka-luka mencapai 12.026 jiwa. Detail kerusakan dan jumlah korban jiwa di Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1 Data Jumlah Bangunan Rusak di Provinsi DIY Kabupaten Jumlah Permukiman (2003) Parah Sedang Ringan Bantul 181.991 26.045 29.582 24.262 Gunungkidul 158.570 11.323 5.355 16.360 Sleman 196.965 4.719 14.403 29.910 Yogyakarta 78.079 1.948 4.119 2.355 Kulonprogo 87.940 3.485 4.726 7.999 Sumber: Bappenas, 2006 Tabel 2 Data Korban Jiwa dan Luka-Luka di Provinsi DIY Kabupaten Korban jiwa Luka-luka Bantul 4,121 12,026 Sleman 240 3,792 Yogyakarta 195 318 Kulonprogo 22 2,179 Gunungkidul 81 1,086 Sumber : Bappenas, 2006

3 Kecamatan Pleret merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bantul berlokasi di dekat sistem Sesar Opak yang diperkirakan sebagai lokasi sumber gempabumi 27 Mei 2006 silam. Dalam kejadian gempabumi tersebut Pleret mengalami kerusakan parah. Berdasarkan data BPS tahun 2010, sebanyak 8.309 unit bangunan di Kecamatan Pleret mengalami kerusakan parah dan 579 orang penduduk Kecamatan Pleret meninggal dalam peristiwa gempabumi ini. Kajian risiko bencana gempabumi perlu dilakukan di Kecamatan Pleret mengingat bahwa sewaktu-waktu dapat terjadi kembali gempabumi, selain itu populasi penduduk Pleret yang terus meningkat dari tahun ketahun. Kajian risiko ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik bahaya gempabumi, kerentanan bangunan, dan kondisi kapasitas masyarakat dalam menghadapi gempabumi. Kajian risiko ini untuk selanjutnya dapat digunakan dalam menentukan strategi-strategi pengurangan risiko yang sesuai dengan karakteristik bahaya (hazard) gempabumi, kerentanan (vulnerability) bangunan, dan kapasitas (capacity) masyarakat. Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji pengurangan risiko gempabumi melalui identifikasi karakteristik bahaya gempabumi, kerentanan bangunan, dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana gempabumi. II. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan merupakan integrasi antara penginderaan jauh, sistem informasi geografis, dan observasi lapangan. Ketiga teknik tersebut digunakan secara komprehensif dalam menganalisis empat parameter utama dalam penelitian ini. Parameter tersebut adalah bahaya gempabumi, kerentanan bangunan tempat tinggal, kapasitas masyarakat, dan risiko gempabumi. Analisis bahaya gempabumi dilakukan dengan menggabungkan antara informasi geologi dan indek seismik di lokasi penelitian. Informasi geologi didapatkan dari proses intepretasi visual citra ASTER komposit 3,4 PCA 56789. Penggunaan komposit ini didasarkan pada komposit citra Landsat 7 ETM+ 4,5,7. Band 4 pada citra Landsat 7 ETM+ ini merupakan saluran infra merah dekat yang sangat baik digunakan untuk mengetahui biomassa vegetasi, identifikasi tanaman pertanian, kerapatan vegetasi dan identifikasi tubuh air. Band 5 merupakan band infra merah tengah yang baik digunakan untuk identifikasi kelembaban vegetasi dan tanah.

4 Band 7 merupakan band infra merah tengah kedua yang baik digunakan untuk diskriminasi formasi batuan, diskripsi litologi dan mineral (Santosa, 2003). Secara kesuluruhan komposit 4,5,7 pada citra Landsat sangat baik dalam menonjolkan batasan litologi. Indek Seismik didapatkan melalui observasi lapangan di Kecamatan Pleret dan sekitarnya pada penelitian sebelumnya. Analisis bahaya dilakukan secara superimpose dalam sistem informasi geografis sehingga dapat diketahui karakteristik indek seismik dalam setiap satuan litologi. Analisis kerentanan bangunan tempat tinggal mengacu pada prosedur rapid visual screening of building for potential seismic hazard yang dikembangkan oleh FEMA, 2002. Variabel yang diamati dalam prosedur penilaian ini adalah jenis struktur bangunan, jumlah lantai, iregularitas bangungan, dan jenis litologi permukaan. Pengambilan sampel dalam analisis kerentanan bangunan ini menggunakan metode stratified random sampling. Dasar pengkelasan yang digunakan adalah bentuk tapak bangunan dan bentuk atap bangunan. Berdasarkan bentuk tapak bangunan bangunan tempat tinggal dibagi menjadi bangunan reguler (bentuk dasar persegi atau persegi panjang) dan bentuk ireguler (bentuk L, U, H, dan O). Berdasarkan bentuk atap bangunan dibagi menjadi bangunan dengan bentuk atap joglo, limasan, kampung, dan cor atau dag (Ronald, 1997). Jumlah sampel yang diambil bersifat proporsional antara jumlah populasi total bangunan dengan populasi bangunan pada setiap kelas yang ada. Berdasarkan prosedur rapid visual screening of building for potential seismic hazard bangunan yang dikatakan rentan adalah bangunan yang memiliki skor akhir dibawah 1,75. Metode analisis kapasitas masyarakat yang digunakan dalam penelitian ini adalah penilaian secara semi kualitatif terhadap dua variabel yang dianalisis. Variabel tersebut adalah kesadaran dan kesiapsiagaan (Carter, 1991). Kesadaran terdiri dari respon, pengetahuan, persepsi, dan informasi lokasi-lokasi penting. Kesiapsiagaan terdiri dari persiapan, keanggotaan, dan sosialisasi atau pelatihan. Masing-masing aspek tersebut memiliki beberapa pertanyaan yang akan diajukan kepada sejumlah responden di Kecamatan Pleret melalui wawancara terstruktur. Penduduk yang menjadi responden adalah pemilik rumah (kepala rumah tangga) yang telah disurvei dalam analisis kerentanan bangunan. Setiap variabel, sub variabel, dan indikator dalam analisis kapasitas diberikan bobot yang berbeda berdasarkan level

5 kepentingannya. Penentuan bobot pada setiap indikator, sub variabel, dan variabel dilakukan dengan menggunakan metode matrik perbandingan (pairwise comparison method) Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Tabel 3. Sub Variabel dan Indikator Yang Digunakan Dalam Analisis Tingkat Kesadaran Sub Variebel Bobot Sub Variabel Respon 0,35 Pengetahuan 0,19 Persepsi 0,35 Informasi 0,11 Indikator Bobot Indikator Mencari tempat yang aman (di bawah meja, pojok ruangan) 0,45 Berkumpul di tempat yang terbuka 0,45 Lampu senter sebagai penerangan 0,09 Pengetahuan tentang bangunan tahan gempa 0,50 Pengetahuan tentang organisasi kebencanaan 0,05 Pengetahuan tentang penyebab gempabumi 0,10 Pengetahuan tentang adanya gempa susulan 0,34 Daerah rawan gempabumi 0,50 Persepsi mengenai tempat tinggalnya 0,50 Lahan terbuka 0,08 Rumah sakit 0,52 Tempat pengungsian sementara 0,28 Kantor polisi 0,12 Sub Variebel Tabel 4. Sub Variabel dan Indikator Yang Digunakan Dalam Analisis Tingkat Kesiapsiagaan Bobot Sub Variabel Persiapan 0,58 Keanggotaan 0,11 Pelatihan 0,31 Indikator Bobot Indikator Identifikasi lokasi paling aman di dalam rumah 0,29 Identifikasi rute paling aman keluar dari rumah 0,14 Merencanakan tempat bertemu 0,06 Persiapan alat-alat darurat (Kotak P3K, lampu senter, dll) 0,10 Menata ulang perabot rumah tangga agar tidak membahayakan 0,41 Organisasi sosial (RT,RW, Pemuda, dll) 0,09 Organisasi penanggulangan bencana (Tagana, BNPB, dll) 0,48 TIM SAR 0,16 Palang merah indonesia 0,27 Sosialisasi penanganan kondisi darurat 0,16 Sosialisasi pertolongan pertama pada korban 0,08 Sosialisasi kebencanaan (gempabumi) 0,28 Simulasi gempabumi 0,48 Persamaan yang digunakan untuk menghitung indek sub variabel dan indek kapasitas dapat dilihat dalam persamaan 1 dan 2 seperti di bawah ini. (Si x BSi) Ssv =...(1) (Max Si x Max BSi)

6 Ssv Si Max Si BSi Max BSi = Skor Sub Variabel = Skor indikator dari wawancara = Skor maksimum indikator yang mungkin terjadi dalam wawancara = Bobot Indikator = Bobot maksimum indikator [(AI x BA) + (PI x BP)] IK =...(2) [(Max AI x BA ) + (Max PI x BP)] IK AI PI Max AI Max PI BA BP = Indek kapasitas = Indek kesadaran = Indek kesiapsiagaan = Indek kesadaran maksimum yang mungkin terjadi = Indek kesiapsiagaan maksimum yang mungkin terjadi = Bobot kesadaran = Bobot kesiapsiagaan Indek risiko didapatkan dengan mengkalkulasikan aspek bahaya, kerentanan bangunan, dan kapasitas masyarakat ke dalam persamaan 3 sebagai berikut ini. H x V R =... (3) C R adalah indek risiko, H adalah bahaya, V adalah kerentanan bangunan tempat tinggal, dan C adalah kapasitas masyarakat. Kalkulasi bahaya sudah secara otomatis masuk kedalam indek kerentanan bangunan. Hal ini dikarenakan pada saat melakukan penilaian kerentanan bangunan sudah memperhatikan aspek litologi daerah sekitarnya. Skor dari hasil perhitungan kerentanan, sebelum dimasukkan ke dalam persamaan 3 harus dilakukan konversi terlebih dahulu. Konversi bertujuan untuk merubah nilai maksimum pada penilaian kerentanan menjadi nilai 0 (tidak rentan) dan nilai minimum pada penilaian kerentanan menjadi nilai 1 (rentan). Begitu pula dengan nilai indek kapasitas yang harus dikonversi terlebih dahulu sebelum dimasukkan kedalam persamaan 3. Konversi nilai kapasitas ini bertujuan untuk

7 mendapatkan nilai 0 (kapasitas tinggi) dan nilai 1 (kapasitas rendah). Konversi indek ini sesuai dengan konsep kapasitas yang dapat bersifat mengurangi nilai risiko dan mendapatkan nilai risiko antara 0 (risiko rendah ) hingga 1 (risiko tinggi). Konversi nilai indek kerentanan dan indek kapasitas dilakukan dengan menggunakan konsep standarisasi skor yang dinamakan cost standardization factors. Dengan adanya konversi skor ini, perlu dilakukan modifikasi pada persamaan 3 menjadi persamaan 4 agar indek risiko yang dihasilkan sesuai dengan teori yang telah dijelaskan sebelumnya. R = H x V x C -1...(4) C -1 adalah fungsi invers dari nilai kapasitas yang dihasilkan dari proses wawancara. Nilai Risiko yang dihasilkan dari persamaan 4 untuk selanjutnya dilakukan modifikasi terhadap aspek-aspek lingkungan seperti kepadatan bangunan, kedekatan dengan jalan, dan kedekatan dengan fasilitas pelayanan medis. Hasil skor analisis lingkungan tersebut akan digunakan untu menambahkan nilai risiko yang dihasilkan oleh persamaan 4. Hal ini sesuai dengan konsep bahwa kualitas lingkungan dapat memperparah keadaan pada saat terjadi bencana, dengan kata lain kondisi lingkungan ini dapat menambah nilai risiko yang dihasilkan pada persamaan 4. Nilai risiko yang telah dimodifikasi akan dikelaskan kedalam 3 kelompok yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pengkelasan ini dilakukan dengan metode equal interval terhadap nilai minimum dan maksimum dari indek risiko yang dihasilkan. III. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil intepretasi secara visual pada citra ASTER komposit 3, 4, PCA 56789 didapatkan 4 satuan litologi yang berbeda di Kecamatan Pleret. Keempat satuan litologi tersebut adalah Formasi Semilir (Tmse), Formasi Nglanggran (Tmn), Aluvium (Qa) dan Endapan Gunungapi Merapi Muda (Qmi). Keempat satuan litologi tersebut memiliki susunan material yang berbeda-beda yang dapat dilihat dalam Tebel 5. Berdasarkan proses terjadinya Formasi Semilir merupakan produk material volkanik dari gunungapi purba di sekitar lokasi penelitian. Formasi Semilir memiliki umur paling tua diantara satuan litologi yang lain yaitu diendapkan selaras pada Oligosen akhir hingga Miosen awal. Diatas formasi ini diendapkan secara selaras Formasi Nglanggran yang juga merupakan produk gunungapi purba, namun memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan Formasi Semilir. Formasi Nglanggran

8 diperkirakan diendapkan pada Kala Miosen awal hingga Miosen tengah. Endapan Merapi Muda dan Aluvium merupakan endapan Kuarter yang berasal dari dua sumber yang berbeda. Endapan Merapi Muda berasal dari material volkanik Gunungapi Merapi yang terbawa oleh aliran Sungai Opak yang melewati daerah penelitian, sedangkan Aluvium berasal dari rombakan material Semilir dan Nglanggran di bagian timur dan selatan daerah penelitian yang terbawa oleh Sungai Pesing. Tabel 5 Jenis Litologi di Kecamatan Pleret No Simbol Litologi Batuan 1 Qa Aluvium 2 Qmi Endapan Gunungapi Merapi Muda Kerakal, pasir, lanau, dan lempung dari material batuan Formasi Semilir dan Nglanggran Tuf, abu, breksi, aglomerat dan leleran lava tak terpisahkan Luas Ha % 267,94 11,24 1.086,68 45,62 3 Tmn Formasi Nglanggran Breksi volkanik, breksi aliran, aglomerat, lava dan tuf. 82,16 3,44 4 Tmse Formasi Semilir Sumber: Pengolahan data, 2011 Perselingan antara breksi-tuf, breksi batuapung, 945,03 39,68 Formasi Semilir dapat diidentifikasi dengan mudah pada citra ASTER komposit 3, 4 PCA 56789. Berdasarkan karakteristik warna/ rona, tekstur, topografi, Formasi Semilir memberikan kesan warna dominan biru cerah dengan bercak merah kecoklatan. Warna biru cerah menunjukkan lahan terbuka dan tegalan, sedangkan warna merah kecoklatan menunjukkan vegetasi berkayu. Pola ini mununjukkan bahwa Formasi Semilir didominasi daerah terbuka (daerah penambangan breksi batuapung) dan pertanian lahan kering berupa tegalan. Tutupan vegetasi yang rendah menunjukkan bahwa lapisan tanah pada formasi ini relatif tipis. Tidak hanya itu pada satuan litologi ini memiliki kesan tekstur kasar ditunjukkan dengan banyaknya aluralur erosi pada lereng perbukitan Semilir. Topografi pada satuan litologi ini didominasi oleh kelas kelerengan miring hingga curam. Kelas kemiringan lereng miring terdapat pada perbukitan bagian tengah dan selatan, semakin ke arah timur kelerengannya semakin curam.

9 Formasi Nglanggran memiliki warna yang jelas berbeda dengan satuan litologi Semilir yaitu merah kecoklatan dengan bercak warna biru. Merah kecoklatan menunjukkan vegetasi berkayu, sedangkan warna biru menunjukkan lahan terbuka atau singkapan batuan. Perbedaan warna ini dikarenakan sifat batuan penyusunnya yang berbeda. Formasi Nglanggran tersusun atas batuan kompak yang didominasi oleh breksi andesit dari leleran lava. Warna batuan Formasi Nglanggran lebih gelap dibandingkan dengan batuan Formasi Semilir. Warna batuan tersebut menunjukkan tingkat keasaman yang berbeda. Warna terang menunjukkan tingkat keasaman yang tinggi, sedangkan warna gelap menunjukkan tingkat keasaman rendah atau sedang. Lapisan tanah pada Formasi Nglanggran telah berkembang dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi. Tekstur Formasi Nglanggran lebih halus daripada Formasi Semilir. Topografi pada satuan litologi ini didominasi oleh kemiringan lereng landai hingga miring. Distribusi spasial satuan litologi ini adalah berada di puncak perbukitan Baturagung. Aluvium merupakan rombakan material Semilir dan Nglanggran yang terbawa oleh air dan diendapkan di sekitar kaki perbukitan. Dalam citra ASTER meterial ini memiliki tekstur halus karena berada pada daerah yang miring hingga landai. Warna satuan litologi ini diominasi dengan warna hijau kebiruan dan banyak dijumpai bercak merah kecoklatan memanjang di sepanjang sungai. Bercak merah kecoklatan ini menunjukkan adanya vegetasi di sepanjang tanggul sungai, dan warna kebiruan menunjukkan adanya permukiman. Warna hijau tua menunjukkan tanaman budidaya persawahan, namun jika di cek langsung ke lapangan, persawahan ini merupakan persawahan lahan kering. Tanahnya memiliki kandungan lempung yang tinggi, sehingga pada musim kemarau tanah akan pecah-pecah. Pengairan mengandalkan air hujan dan air Sungai Pesing yang dipompa. Satuan litologi Endapan Merapi Muda pada citra ASTER didominasi oleh warna hijau kebiruan dan coklat kemerahan. Warna hijau kebiruan menunjukkan wilayah permukiman dan lahan pertanian, sedangkan warna coklat kemerahan menunjukkan adanya vegetasi. Sekilas satuan ini hampir sama dengan satuan Aluvium, karena sama-sama menempati morfologi dataran, namun jika dianalisis lebih lanjut pada Endapan Merapi Muda dijumpai tanah-tanah yang subur produk dari gunungapi Merapi yang ditandai dengan banyak dijumpainya lahan pertanian.

10 Kandungan lempung pada satuan litologi ini relatif lebih sedikit dibandingkan dengan material Aluvium. Pada satuan litologi ini juga banyak dijumpai pengrajin batu bata tanah liat. Hal ini dikarenakan kandungan lempung pada satuan litologi ini tidak terlalu tinggi dan cocok digunakan sebagai bahan dasar pembuatan batu bata. Kandungan lempung yang tinggi dapat menyebabkan batu bata yang dihasilkan mudah pecah. Setiap satuan litologi yang telah diuraikan di atas memberikan nilai indek seismik yang berbeda-beda. Indek seismik adalah suatu indek yang menunjukkan tingkat kemudahan terjadinya deformasi lapisan tanah permukaan saat terjadi gempabumi. Semakin tinggi nilai indek seismik maka akan semakin mudah lapisan tanah permukaan mengalami deformasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran yang merupakan batuan kompak produk gunungapi purba memiliki nilai indek seismik yang rendah, Aluvium rombakan material Semilir dan Nglanggran memiliki nilai indek seismik yang sedang, dan endapan Gunungapi Merapi muda memiliki nilai indek seismik yang tinggi. Pola indek seismik yang dihasilkan sangat bersesuaian dengan pola kerusakan bangunan pada peristiwa gempabumi 27 Mei 2006. Sebagian besar bangunan yang berada pada litologi Aluvium dan Endapan Merapi Muda mengalami kerusakan parah, sedangkan bangunan pada litologi Semilir dan Nglanggran hanya mengalami kerusakan ringan walaupun bangunannya berupa susunan batu bata tanpa perkuatan. Secara lebih rinci dapat diketahui dalam Tabel 6. Tabel 6 Jenis Litologi dan Nilai Indek Seismiknya No Simbol Litologi Batuan Indek Seismik 1 Qa Aluvium 2 Qmi Endapan Gunungapi Merapi Muda 3 Tmn Formasi Nglanggran kerakal, pasir, lanau, dan lempung dari material batuan Formasi Semilir dan Nglanggran Tuf, abu, breksi, aglomerat dan leleran lava tak terpisahkan Breksi volkanik, breksi aliran, aglomerat, lava dan tuf. 2,1 3,8 7,0 13,8 0,2 0,3 4 Tmse Formasi Semilir Perselingan antara breksi-tuf, breksi batuapung, 0,4 0,7 Sumber : Pengolahan data primer, 2011 Penilaian kerentanan bangunan dilakukan pada sampel yang diambil berdasarkan kelas bentuk atapnya dan bentuk bangunan dasarnya. Populasi dalam

11 penelitian ini adalah seluruh bangunan tempat tinggal yang ada di Kecamatan Pleret. Pemisahan bangunan tempat tinggal dan bangunan bukan tempat tinggal dilakukan intepretasi citra Quickbird secara visual dengan mempertimbangkan warna, bentuk, ukuran, dan asosiasi. Pada citra Quickbird warna bangunan tempat tinggal memiliki warna coklat muda hingga tua. Warna coklat muda hingga tua ini menunjukkan warna atap genteng. Warna-warna lain yang sering dijumpai dalam intepretasi adalah warna putih (atap seng dan asbes), warna biru dan hijau (genteng yang di cat), serta warna abu-abu (atap cor atau dag). Bangunan tempat tinggal di Kecamatan Pleret mayoritas berbentuk reguler (persegi atau persegi panjang), bentuk-bentuk seperti bentuk huruf L, U, O dan H biasanya digunakan sebagai gedung sekolah, perkantoran, rumah sakit, dan fasilitas-fasilitas umum yang lain. Ukuran bangunan yang digunakan sebagai pembeda antara bangunan tempat tinggal dan bangunan bukan tempat tinggal mengacu pada keputusan Menteri Kimpraswil Republik Indonesia Nomor 403/KPTS/M/2002, terdapat tiga klasifikasi rumah tempat tinggal berdasarkan luas bangunannya, yaitu rumah sederhana, menengah, dan mewah. Rumah sederhana merupakan rumah yang memiliki luas 21 36 m 2, rumah menengah 36 90 m 2, dan rumah mewah >90m 2. Bangunan-bangunan yang memilik luas kurang dari 21 m 2 atau lebih dari 300 m 2 dianggap bukan sebagai bangunan tempat tinggal dan tidak diikutkan dalam analisis kerentanan. Berdasarkan proses klasifikasi maka dapat diketahui bahwa 89,50% bangunan tempat tinggal menggunakan atap kampung, 9,60% atap limasan, 0,63% joglo, cor atau dag 0,12%, 0,06% kampung ireguler, dan 0,04% limasan ireguler. Penilaian kerentanan bangunan dilakukan kepada 341 sampel bangunan tempat tinggal dengan distribusi sampel sebagai berikut: Bentuk dasar bangunan Tabel 7 Distribusi Sampel Menurut Pengkelasannya Beserta Jumlahnya Bentuk atap Joglo Limasan Kampung Cor atau dag R S T R S T R S T R S T Reguler 6-24 9 2 33 30 5 199-2 15 Ireguler - - - - - 6 1 1 7 - - - Sumber: Pengolahan data primer, 2011 R menunjukkan tingkat bahaya rendah, S menunjukkan tingkat bahaya sedang, dan T menunjukkan tingkat bahaya tinggi. Berdasarkan hasil yang didapat struktur bangunan tempat tinggal yang paling banyak dijumpai berturut-turut adalah struktur

12 pasangan batu-bata diperkuat dengan diafragma kaku (RM2), struktur kayu (W1), struktur pasangan batu-bata diperkuat dengan diafragma fleksibel (RM1), dan struktur pasangan batu-bata tanpa perkuatan (URM). Presentase struktur bangunan di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan presentase struktur bangunan berdasarkan tipe atapnya dapat dilihat pada Gambar 2. Keterangan: RM2= Pasangan bata diperkuat, diafragma kaku; RM1= Pasangan bata diperkuat, diafragma fleksibel; URM= Pasangan bata tidak diperkuat; W1= Bangunan struktur kayu Gambar 1. Komposisi Bangunan Berdasarkan Tipe Strukturnya Sumber: Pengolahan data primer, 2011 2,1 % 1,3 % 0,4 % Gambar 2. Presentase Struktur Bangunan Berdasarkan Bentuk Atapnya Sumber: Pengolahan data primer, 2011 Berdasarkan hasil penilaian kerentanan bangunan dapat diketahui bahwa joglo memiliki skor akhir paling tinggi yaitu 3,54. Nilai ini merupakan nilai rata-rata dari skor akhir. Skor RVS yang tinggi (diatas 1,75) memiliki arti bahwa bangunan tersebut tidak rentan. Semakin tinggi skor akhir menunjukkan semakin tinggi kekuatan bangunan dan semakin kecil probabilitas keruntuhannya jika terjadi

13 gempabumi. Nilai kerentanan tinggi terdapat pada kelompok bangunan bertipe atap kampung ireguler dan limasan ireguler. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidakteraturan bangunan secara horizontal (memiliki bentuk L) dan terletak pada satuan litologi yang berasosiasi pada tingkat kerawanan gempabumi sedang hingga tinggi. Nilai kerentanan pada kelompok bangunan ini adalah 1,70. Secara lengkap hasil penilaian kerentanan bangunan berdasarkan prosedur rapid visual screening of building for potential seismic hazard dapat dilihat pada Gambar 3 sebagai berikut. Joglo Kampung (reguler) Limasan (ireguler) Limasan (reguler) Cor atau dag Kampung (ireguler) Batas Kerentanan (FEMA 154, 2002) Kerawanan Rendah Kerawanan Sedang Kerawanan Tinggi Gambar 3 Tingkat Kerentanan Bangunan Tempat Tinggal Menurut Tipe Atapnya Sumber: Pengolahan data primer, 2011 Hasil skor penilaian RVS harus dilakukan konversi menggunakan cost standardization factor agar dapat dikalkulasi menggunakan persamaan 4 dalam analisis risiko. Konsep konversi yang digunakan akan mengubah nilai minimum pada skor RVS menjadi 1 (rentan) dan nilai maksimum akan dirubah menjadi nilai 0 (tidak rentan). Hasil konversi nilai RVS dapat dilihat dalam Tabel 8. Tabel 8 Indek Kerentanan Bangunan Berdasarkan Hasil Konversi Cost Standardization Tipe atap Kerawanan rendah Kerawanan sedang Kerawanan tinggi Skor RVS Indek Skor RVS Indek Skor RVS Indek Joglo 3,54 0,48 - - 3,30 0,51 Limasan 2,80 0,59 2,20 0,68 2,20 0,68 Kampung 2,75 0,595 2,20 0.68 2,20 0,68 Cor atau dag - - 2,20 0,68 2,20 0,68 Limasan (ireguler) - - - - 1,70 0,75 Kampung (ireguler) 2,30 0,66 1,70 0,75 1,70 0,75 Sumber: Pengolahan data, 2011 Untuk mengetahui tingkat kapasitas masyarakat di Kecamatan Pleret telah dilakukan wawancara kepada sejumlah responden. Masyarakat yang dijadikan

14 responden adalah pemilik rumah yang telah disurvei dalam proses RVS. Variabel yang diamati adalah aspek kesadaran dan kesiapsiagaan. Kesadaran meliputi respon, pengetahuan, persepsi, dan informasi lokasi-lokasi penting, sedangkan kesiapsiagaan meliputi persiapan, keanggotaan, dan sosialisasi atau pelatihan. Berdasarkan survei yang dilakukan tidak terdapat perbedaan pola jawaban antara responden yang berada pada tingkat kerawanan tinggi, sedang, atau rendah. Perbedaan pola jawaban justru ditemukan antara kelompok responden berdasarkan tipe atapnya. Pemilik atap joglo yang rata-rata digunakan oleh golongan bangsawan atau orang-orang dengan tingkat perekonomian, pengetahuan, dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki pola jawaban yang mencerminkan tingkat kapasitas yang tinggi. Sebaliknya, atap kampung yang digunakan oleh masyarakat kebanyakan memiliki pola jawaban yang mencerminkan tingkat kapasitas yang lebih rendah. Berdasarkan pengolahan data hasil wawancara, tingkat kesadaran kelompok masyarakat pada tipe atap joglo, limasan, cor atau dag, limasan ireguler, dan kampung ireguler tergolong tinggi. Tingkat kesadaran yang rendah hanya terdapat pada kelompok masyarakat tipe atap kampung. Rendahnya tingkat kesadaran ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya tingkat respon, pengetahuan, dan persepsi. Hasil perhitungan sub variabel yang menyusun indek kesadaran dapat dilihat dalam Tabel 9 sebagai berikut. Tabel 9 Hasil Perhitungan Tingkat Kesadaran Pada Setiap Tipe Atap Bangunan Sub variabel Joglo Limasan Kampung Cor/ dag Limasan Kampung ireguler ireguler Respon 0,68 0,50 0,47 0,65 0,68 0,63 Pengetahuan 0,84 0,80 0,48 0,97 0,83 0,97 Persepsi 0,88 0,67 0,45 1,00 0,50 0,50 Informasi 1,00 1,00 0,82 1,00 1,00 0,97 Sumber: Pengolahan data primer, 2011 Kesiapsiagaan masyarakat dapat dilihat dari persiapan pada level rumah tangga yang sudah dilakukan, keikutsertaan dalam organisasi kemasyarakatan, dan keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan pelatihan kegempaan. Berdasarkan hasil wawancara sebagian besar masyarakat Pleret belum melakukan persiapan untuk menghadapi gempabumi yang mungkin terjadi kembali di masa yang akan datang. Menurut Jimme (2006) faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kesiapsiagaan ini adalah tingkat pendidikan, persepsi masyarakat, dan penguasaan terhadap sumber daya. Ketiga faktor penyebab rendahnya tingkat kesiapsiagaan tersebut juga

15 ditemukan di daerah penelitian, namun juga dipengaruhi oleh faktor budaya yang berkembang di kalangan masyarakat. Masyarakat di Kecamatan Pleret masih memegang prinsip Jawa yaitu prinsip nrimo. Terbukti pada pemilik tipe atap joglo yang dianggap sebagai golongan sosial kelas atas dengan tingkat pendidikan, persepsi, dan penguasaan sumberdaya yang tinggi, ternyata tidak memiliki tingkat kesiapsiagaan yang tinggi. Selain itu di kalangan masyarakat Pleret berkembang anggapan bahwa jika melakukan persiapan untuk menghadapi gempabumi secara tidak langsung dianggap meminta terjadi gempabumi. Tingkat kesiapsiagaan masyarakat di Kecamatan Pleret dapat dilihat pada Tabel 10, sedangkan indek kapasitas masyarakat dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 10 Hasil Perhitungan Tingkat Kesiapsiagaan Pada Setiap Tipe Atap Bangunan Sub variabel Joglo Limasan Kampung Cor/ dag Limasan Kampung ireguler ireguler Persiapan 0,22 0,10 0,06 0,23 0,18 0,29 Pelatihan 0,09 0,10 0,08 0,08 0,09 0,19 Sosialisasi 0,17 0,23 0,15 0,28 0,15 0,36 Sumber: Pengolahan data primer, 2011 Tebel 11 Indek Kesadaran, Kesiapsiagaan, dan Kapasitas Tipe Indek Indek Indek kesadaran kesiapsiagaan kapasitas Joglo 0,81 0,19 0,61 Limasan (Reguler) 0,67 0,14 0,52 Kampung (Reguler) 0,50 0,09 0,37 Cor atau dag 0,87 0,21 0,65 Limasan (Ireguler) 0,68 0,16 0,51 Kampung (Ireguler) 0,69 0,30 0,56 Sumber: Pengolahan data primer, 2011 Berdasarkan Tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa tingkat kapasitas paling tinggi terdapat pada responden pemilik rumah tipe atap cor atau dag (0,65) dan yang terendah terdapat pada responden pemilik rumah tipe atap kampung reguler (0,37). Rendahnya tingkat kesiapsiagaan masyarakat menyebabkan indek kapasitas mayoritas masyarakat menjadi sedang. Tingkat kapasitas rendah (pemilik rumah tipe atap kampung) dikarenakan tingkat kesadaran pada kelompok masyarakat ini rendah. Analisis risiko dilakukan pada seluruh bangunan tempat tinggal setelah melalui proses generalisasi nilai kerentanan dan kapasitas dari sampel yang diambil. Nilai risiko yang dihasilkan berkisar antara 0,20 0,43. Semakin tinggi nilai indek

16 yang dihasilkan maka akan semakin tinggi risiko yang mungkin ditimbulkan oleh gempabumi. Nilai risiko rendah (0,20) merupakan nilai risiko yang mewakili tipe atap joglo pada daerah kerawanan tinggi, sedangkan nilai risiko tinggi (0,43) mewakili tipe atap kampung pada daerah kerawanan sedang dan tinggi. Nilai risiko ini selanjutnya akan dimodifikasi dengan parameter kondisi lingkungan yaitu tingkat kepadatan bangunan, kedekatan dengan jalan, dan kedekatan dengan pusat-pusat pelayanan medis sehingga didapatkan nilai risiko final. Unit bangunan yang memiliki risiko tinggi terkosentrasi di Desa Wonokromo blok 18 (Dusun Ketonggo). Bangunan di blok-blok tersebut didominasi oleh bangunan RM2 dengan tipe bentuk atap kampung, tingkat kapasitas daerah ini tergolong rendah. Blok ini berada di dekat jalan arteri dengan kepadatan bangunan sedang dan dekat dengan pusat pelayanan medis. Tingkat risiko tinggi ini lebih disebabkan karena faktor kerawanan yang tinggi, rendahnya tingkat kapasitas, dan tingkat kepadatan bangunan sedang. Di Desa Pleret, unit bangunan yang memiliki risiko tinggi terkosentrasi berada pada blok 9 (Dusun Keputren). Penyebab kerentanan tinggi pada blok 9 ini adalah tingkat kerawanan yang tinggi, tingkat kapasitas yang rendah, dan kepadatan bangunan sedang. Bangunan di dominasi oleh tipe struktur RM2 beratap kampung.. Blok ini memiliki tingkat kepadatan sedang yang berada dekat dengan jalan arteri dan pusat pelayanan medis. Unit bangunan yang memiliki tingkat risiko tinggi juga terdapat pada blok 5 Desa Bawuran dan Blok 5 Desa Segoroyoso. Seperti di Desa Wonokromo dan Pleret, tingginya risiko di blok 5 Desa Bawuran (Dusun Bawuran Dua) dikarenakan oleh tingginya tingkat kerawanan gempabumi, rendahnya tingkat kapasitas dan tingkat kepadatan bangunan sedang. Bangunan tempat tinggal didominasi oleh tipe struktur RM2 dengan atap kampung. Di bagian selatan Dusun Jongkrang Segoroyoso (Blok 5) terdapat beberapa unit bangunan yang tergolong ke dalam tingkat risiko tinggi. Tingginya tingkat risiko ini lebih disebabkan oleh tingkat kerawanan gempabumi dan rendahnya tingkat kapasitas. Kondisi ini akan diperparah dengan lokasi yang jauh dari jalan arteri, kolektor, atau lokal, serta lokasi yang jauh dari pusat-pusat pelayanan medis.

17 Desa Wonolelo memiliki topografi yang berbukit dan sebagian besar berada pada Formasi Semilir (perlapisan breksibatuapung dan tuf) yang indek seismiknya tergolong rendah (tidak lebih dari 1,0). Kondisi ini berimbas pada tingkat risiko yaitu rendah hingga sedang. Tingkat risiko sedang disebabkan karena rendahnya tingkat kapasitas. Kondisi ini diperparah dengan lokasi yang berbukit dan jauh dari jalan arteri, kolektor, atau lokal. Secara lebih lengkap peta tingkat risiko dapat dilihat pada Gambar 4, 5, 6, 7, dan 8 IV. Kesimpulan dan Saran Kecamatan Pleret dibagi menjadi tiga zona kerawanan yaitu kerawanan rendah, sedang, dan tinggi. Zona kerawanan tinggi didominasi oleh material Endapan Merapai Muda dengan indek seismik berkisar antara 7,00 13,8. Zona kerawanan sedang didominasi oleh Aluvium hasil rombakan Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran. Pada zona ini indek seismik berkisar antara 2,1 3,8. Zona kerawanan rendah terdapat pada Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran dengan indek seismik relatif kecil yaitu tidak lebih dari 1. Mayoritas bangunan tempat tinggal yang terdapat di Kecamatan Pleret merupakan bangunan dengan struktur pasangan batu bata dengan perkuatan dan diafragma kaku dengan nilai indek kerentanan bangunan berkisar 2,20 2,80. Nilai ini menunjukkan struktur pasangan batu bata dengan perkuatan dan diafragma kaku tergolong dalam bangunan tidak rentan. Bangunan tempat tinggal yang tergolong rentan adalah tipe struktur pasangan batu bata dengan perkuatan, diafragma kaku, dan bentuk ireguler (bentuk U, L, dan O). Indek kerentanan bangunan struktur ini berada di bawah ambang batas kerentanan dengan nilai 1,70. Kapasitas masyarakat terhadap gempabumi di Kecamatan Pleret masih tergolong rendah. Terdapat kesamaan pola jawaban responden sesuai jenis atap bangunannya. Tipe atap bangunan joglo dan cor atau dag memberikan respon yang menunjukkan tingkat kapasitas masyarakat yang tinggi, sedangkan tingkat kapasitas masyarakat rendah terdapat pada tipe atap kampung. Tingkat Risiko Tinggi terdapat pada pada Desa Wonokromo blok 18 (Dusun Kanggotan), Desa Pleret blok 9 (Dusun Keputren bagian timur), Desa Bawuran blok 5 (Dusun Bawuran Dua), dan Desa Segoroyoso blok 5 (Dusun Jongkrang bagian selatan). Mayaoritas bangunan di Desa Wonokromo, Pleret, Bawuran, dan

18 Segoroyoso memiliki tingkat risiko sedang, sedangkan mayoritas tingkat risiko rendah berada di Wonolelo Peta tapak bangunan yang dihasilkan pada penelitian ini merupakan hasil intepretasi visual citra Quickbird tahun 2010. Kesalahan dalam ekstraksi tapak bangunan sangat mungkin terjadi terutama kesalahan pada perhitungan luasan tapak bangunan. Menyadari kondisi tersebut perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan instrumen survei yang lebih akurat untuk menghasilkan peta tapak bangunan yang lebih akurat baik secara spasial maupun temporal. Survei kerentanan bangunan dilakukan pada bangunan tempat tinggal tanpa mengikutsertakan fasilitas-fasilitas penting seperti sekolah, gedung perkantoran, dan rumah sakit. Fasilitas-fasilitas umum tersebut dapat dijadikan sebagai tempat pengungsian sementara yang aman dalam kondisi darurat. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kerentanan bangunan pada fasilitas-fasilitas umum tersebut untuk perencanaan penentuan tempat pengungsian sementara. Survei kerentanan bangunan yang dilakukan pada bangunan tempat tinggal mengacu pada pengamatan secara visual di lapangan. Untuk itu perlu dilakukan kajian keteknikan yang lebih detil mengenai struktur bangunan baik tempat tinggal maupun fasilitas umum mengingat Kecamatan Pleret merupakan salah satu daerah rawan gempabumi. Tingkat kesadaran, persiapan, dan kapasitas yang digambarkan dalam penelitian ini berdasarkan atas hasil wawancara dengan menggunakan parameter dan pertanyaan yang terbatas yang mungkin tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Dengan demikian perlu dilakukan wawancara yang lebih dalam menggunakan parameter yang lebih detil untuk menggambarkan tingkat kesadaran, persiapan, dan kapasitas masyarakat di Kecamatan Pleret.

19 Gambar 4 Peta Risiko Gempabumi Desa Wonokromo Sumber: Pengolahan data, 2011 Gambar 5 Peta Risiko Gempabumi Desa Pleret, Sumber: Pengolahan data, 2011 Gambar 6 Peta Risiko Gempabumi Desa Segoroyoso Sumber: Pengolahan data, 2011

20 Gambar 7 Peta Risiko Gempabumi Desa Bawuran Sumber: Pengolahan data, 2011 Gambar 6 Peta Risiko Gempabumi Desa Wonolelo Sumber: Pengolahan data, 2011 DAFTAR PUSTAKA Bappenas. 2006. Preliminary Damage and Loss Assessment. Consultatif Group Indonesia. Jakarta. Bath, M. 1979. Introduction to Seismology,Second Edition. Birkhauser. Verlaag. BPS. 2010. Pleret Dalam Angka. Badan Pusat Statistik (BPS). Yogyakarta Carter. 1991. Disaster Management: A Disaster Manager s Handbook,1. Asian Development Bank. Manila Philippines. FEMA. 2002. Rapid Visual Screening of Buildings for Potential Seismic Hazards: A Handbook FEMA 154, Edition 2. The Federal Emergency Management Agency (FEMA). Washington, DC. Jimme. 2006. Seismic Vulnerability and Capacity Assessment at Ward Level A Case Study of Ward No.20, Lalitpur Sub-Metropolitan City, Nepal. MSc Thesis, ITC. Enschede, Netherland. Ronald, A. 1997. Ciri-Ciri Karya Budaya Di Balik Tabir Keagungan Rumah Jawa: Cetakan kedua. Penerbitan Universitas Atma Jaya. Yogyakarta Santoso, S. 2003. Studi Potensi Bahan Galian Sebagai Bahan Baku Industri Keramik di Kabupaten Blitar Bagian Selatan (Ditinjau Dari Aspek Geologi dan Geomorfologi). Skripsi S-1. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Peraturan Perundang-undangan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs SEHAT).