SUNFLOWERS Saya lebih suka menghadap ke matahari. Banyak orang yang merasa matanya silau dan sakit ketika memandang matahari terlalu lama. Tapi saya tidak. Saya memandang matahari seperti ingin menantangnya. Saya bisa menatapnya terus menerus sepanjang hari, tapi kamu pasti tidak akan percaya. Seperti saya bisa menatap gadis itu sepanjang hari. Ketika dia masuk ke rumah kaca ini dengan rambut panjangnya yang diikat pita berwarna merah tua, saya langsung tidak bisa berpaling. Wajahnya manis, tidak terlalu cantik. Kalau kamu pernah melihat black eye poppy, kamu pasti mengerti maksud saya. Dia punya segala yang menarik dalam ukuran yang tidak berlebihan. Tidak menonjol. Rata-rata. Tapi ketika semuanya digabungkan, hasilnya: saya tidak bisa memalingkan wajah saya. Parfumnya wangi mawar. Saya sendiri sebenarnya tidak yakin. Mungkin karena parfum itu sudah bercampur dengan wangi deterjen dan bau matahari. Dia membawa gunting dahan kecil dan sebuah semprotan berisi perangsang bunga. Sebenarnya saya tidak suka kalau bunga-bunga di rumah kaca ini diberi perangsang bunga. Itu seperti memaksakan bunga-bunga itu untuk berbunga di luar kemampuan mereka. Memang akan terlihat cantik, tapi cantik seperti itu adalah cantik yang dipaksakan. Saya ingin memberi perangsang bunga lagi untuk krisan ini. Saya lihat bunganya mulai mengecil. Dia menyemprotkan cairan itu beberapa kali ke pot tunas krisan yang baru dipindah kemarin dari induknya. Beberapa bulan lagi, krisan itu akan berbunga. Perangsang bunga itu bisa membuatnya lebih cepat dan bunganya pun lebih indah. Sebaiknya biarkan saja mereka tumbuh alami. Apa perlunya diberi perangsang? tanya saya pelan. Saya tidak bisa begitu saja mengeluarkan isi pikiran saya di depannya. Selain karena pikiran saya memang tiba-tiba saja membeku kalau saya menatapnya, saya juga tidak ingin mengganggunya. Dia pemilik rumah kaca ini. Saya ada di sini hanya sebagai pelengkap, membantunya membuat tempat ini jadi makin indah. Saya suka melihat bunga-bunga itu mekar. Dia tersenyum manis sekali. Aku suka melihatmu... Kalimat seperti itu hanya akan terucap di pikiran saya saja. Saya tidak berani mengatakannya. Beberapa detik dia menoleh ke arah saya. Saya hanya bisa sedikit menunduk malu. Kalian pasti akan bilang kalau saya ini tidak gentle kan? Tidak berani mendekati cewek. Coba deh kalau kalian menghadapi cewek seperti dia. Kalian juga
akan bersikap sama. Ada sesuatu yang halus dan magis yang akan membuat kalian langsung tertunduk begitu mata tajamnya memandang lurus ke mata kalian: itu sedikit mengerikan. Hari ini aku melihat Danial lagi, ujarnya kemudian. Saya sudah bisa mengira kalau dia akan menceritakan tentang Danial lagi. Beberapa waktu belakangan, hanya cowok itu yang ada di kepalanya. Tiap kali dia datang ke sini, dia selalu menceritakan tentang Danial. Danial ini adalah teman kuliahnya. Saya sendiri tidak bisa memastikan bagaimana rupanya. Mengira-ngiranya saja saya tidak bisa. Tapi sepertinya dia cukup ganteng. Seperti itulah kesan yang saya tangkap dari ceritanya. Dia datang ke kampus dengan Monik. Saya tidak habis pikir, kenapa cowok yang punya begitu banyak kelebihan seperti Danial mau jalan dengan cewek seperti Monik? Monik hanya akan menjadikan Danial koleksinya saja. Saya yakin itu. Seperti belasan, bahkan mungkin puluhan cowok yang dia pacari sebelumnya. Dia mulai bercerita dan saya mendengarkan dengan penuh perhatian. Saya tidak bohong. Saya memang mendengarkannya dengan penuh perhatian. Saya memperhatikan tiap detail ceritanya, bahkan saya juga merekan intonasi dan tarikan nafasnya. Apa saya terdengar aneh? Saya berani bilang: kalau kamu suka sama cewek, kamu juga akan melakukan hal yang sama. Trust me! Apa gak berlebihan bilang mantan pacarnya ada puluhan? tanya saya. Dia menarik nafas sebelum melanjutkan. Sepertinya mengakui kalau dia sudah sangat berlebihan mengatakan bahwa mantan pacar Monik itu ada puluhan adalah hal yang agak sulit baginya. Yah, mungkin tidak sampai puluhan sih. Tapi mantan pacarnya memang banyak. Dia tidak setia. Mantan pacar banyak bisa dibilang tidak setia? Kadang hubungan itu selesai bukan karena salah satu mengkhianati yang lain. Yah, karena sudah waktunya selesai. Saya mencoba terdengar pintar. Lumayan berhasil juga. Dia terlihat memikirkan itu. Dia duduk di bangku kecil di sudut, persis di sebelah saya. Saya merasa sangat gugup. Mungkin memang hubungan berakhir bukan karena pengkhianatan atau apa. Mungkin memang sudah saatnya berakhir. Sesederhana itu. Tapi, kalau terlalu banyak hubungan yang berakhir, apa tidak bisa dibilang kalau dia tidak bisa menjaga hubungannya? Gampang tergoda? Saya diam. Saya tidak bisa membantahnya. Dia menatap saya sebentar dan berjalan ke arah pot zinnia di tengah rumah kaca. Letaknya hanya beberapa langkah dari tempat saya sehingga saya masih bisa melihat punggungnya. Saya kira percakapan kami sudah selesai. Tapi dia masih mengajakku biacara dari sana.
Mungkin saya tidak perlu bersabar terlalu lama untuk menunggu Danial putus dengan Monik. Dengan reputasi Monik yang seperti itu, paling-paling sebentar lagi mereka putus. Itu bisa jadi keuntungan buat saya. Dia menoleh lagi ke arah saya. Apa saya terdengar kejam san licik? Saya menggeleng. Dia tersenyum puas. Saya kira tidak. Saya hanya menunggu. Tidak berusaha merebutnya dengan paksa. Beberapa waktu kemudian, dia datang lagi. Menjelang sore. Saya mengalihkan perhatian saya pada matahari senja yang sinarnya begitu hangat dan menyenangkan ke wajahnya. Kali ini saya merasa lebih percaya diri dengan penampilan saya. Saya merasa tubuh saya lebih segar dan pikiran saya lebih jernih. Jadi, kalau dia menceritakan tentang Danial atau masalah kamusnya, saya berharap bisa menanggapinya dengan lebih cerdas. Siapapun pasti ingin kelihatan cerdas dan perhatian di depan cewek semempesona dia. Sore ini, saya bersumpah, wajahnya terlihat lebih cerah dan ceria. Selama dia tidak ada, saya hanya bertemu dengan ibunya. Ibunya juga cantik, tapi tidak banyak bicara. Kami hanya saling terdiam dan sibuk sendiri. Saya tentu ingin terlihat baik di hadapan ibunya, karena itu saya sangat berhati-hati untuk tidak melakukan hal apapun yang bisa dianggap salah. Saya merasa sangat lega ketika melihat dia datang sore ini. Saya merindukannya. Beberapa hari ini saya sangat merindukannya. Dia menyiapkan media tanam dengan sekam dan tanah sambil bicara pada saya. Saya suka melihat tangannya yang lentik menari-nari menindahkan sekam dari karung ke pot. Itu benar-benar pemandangan yang indah. Kamu mau menanam apa? tanya saya. Saya mau menanam calendula. Saya sendiri tidak yakin akan bisa tumbuh di cuaca sepanas ini. Tapi, sayang juga bibitnya kalau dibiarkan sampai penghujan tiba. Dia menyebarkan beberapa bibit calendula yang berbentuk bulan sabit di potpot kecil. Hari ini saya melihat Danial sendirian di kantin. Biasanya selalu sama Monik, dia memulai ceritanya. Saya mendengarkan dengan penuh perhatian. Kalau kalian bertanya apa saya cemburu ketika dia terus-terusan menceritakan tentang Danial, saya dengan jujur akan menjawab: sangat cemburu. Tapi saya juga tahu diri. Saya tidak bisa memaksakan apa yang saya inginkan. Apalagi sampai memaksakan diri untuk jadi pacarnya. Saya mencoba mendekati Danial.
Berhasil? Dan yes! Akhirnya kami mengobrol di kantin. Itu benar-benar menyenangkan. Danial sangat menyenangkan. Apa dia sudah putus dengan Monik? Danial dan Monik sudah putus beberapa hari lalu. Aku juga sudah mengira begitu. Sekarang saya jadi punya banyak kesempatan untuk mendekatinya. Saya terdiam. Hal seperti ini memang akan terjadi cepat atau lambat. Danial akan putus dari pacarnya dan dia akan mendekati Danial. Saya sendiri mulai membayangkan Danial sebagai cowok keren yang gampang disukai cewek. Dia punya pesona yang tidak bisa ditolak. Tapi, ini baru awalnya saja. Saya tidak yakin apa saya bisa mendekatinya tanpa kentara kalau sudah lama menyukainya. Bukannya jujur saja lebih baik? Kalau saya jujur dari awal, saya takut Danial malah menjauh. Emangnya gak serem lihat cewek terobsesi sama cowok. Apa saya memang terobsesi ya? Saya kira gak sih. Saya hanya benar-benar menyukai Danial. Ngomongin Danial tiap kali kita ketemu bisa dibilang tidak terobsesi ya? Iya, ya. Tiap kali saya ke sini pasti ngomongin Danial. Itu bisa jadi tanda kalau saya terobsesi. Ah sudahlah. Sekarang saya mau menceritakan orang baru yang saya temui di kampus. Namanya Lisa. Saya tidak pernah tahu kalau dia satu jurusan dengan saya. Mungkin ini karena saya lebih banyak memperhatikan Danial daripada hal-hal lain. Dia anaknya menyenangkan sekali. Tadi pulang kuliah, kami mampir ke kafe buat ngobrol... Matahari perlahan-lahan tenggelam. Rumah kaca ini menjadi sedikit gelap. Sambil terus bercerita, dia menyalakan beberapa lampu yang ada di sini. Saya tidak suka lampu, saya lebih suka matahari. Saya pun sudah tidak bisa mendengarkan ceritanya lagi dengan penuh perhatian. Dia dan matahari adalah perpaduan yang sempurna. Tapi dia dan lampu-lampu ini, saya tidak menyukainya. Dia terlalu sempurna untuk menerima cahaya buatan seperti ini. Meminta dia untuk tidak menceritakan tentang Danial bukanlah hal yang mudah. Saya juga tidak ingin mengecewakannya, jadi saya membiarkan saja dia bercerita panjang lebar tentang Danial dan hubungan mereka yang sepertinya semakin akrab dan romantis. Saya membiarkan dia membagi kebahagiaannya dengan saya. Saya bukannya
tidak berani untuk mengatakan bahwa saya lelah mendengarkannya. Tapi wajahnya yang manis itu berubah menjadi tambah manis kalau dia tersenyum malu. Senyum malu-malu ini hanya bisa saya lihat kalau dia sedang menceritakan Danial. Tragis memang. Hari ini dia menceritakan tentang perjalanannya dengan Daniel ke sebuah mall untuk menonton dan makan malam. Saya tahu dengan pasti karena dia pernah bilang kalau dia tidak terlalu suka menonton bioskop. Tapi ternyata Danial bisa merubah apa yang dia sukai dan tidak sukai. Sore ini saya merasa sangat terkejut ketika seorang cowok tiba-tiba datang ke rumah kaca ini. Saya sudah bisa menebak kalau itu Danial. Memang wajahnya sangat menarik dan terlihat keren. Saya berusaha bersikap biasa saja, seolah-olah saya tidak ada. Saya suka bunga. Ibu saya juga suka. Oh, bunga memang sangat mudah untuk disukai. Mereka semua indah. Kata-kata itu terdengar sangat klise buat saya. Hanya orang bodohlah yang mengatakan semua bunga itu indah. Ada bunga-bunga yang tidak indah. Mungkin karena pengetahuan Danial tentang bunga begitu terbatas, dia sekedar asal mengeneralisasi saja. Sungguh sangat mengecewakan. Kamu juga sangat mudah untuk disukai. Saya merasa kaget ketika Danial berani-beraninya merayu dengan kata-kata murahan seperti itu. Tapi sepertinya rayuan itu mempan. Dia tersenyum manis malumalu. Ah, senyum itu... Bunga apa yang paling kamu sukai? tanya Danial setengah berbisik. Sepertinya tangan Danial memegang dahi atau rambutnya. Saya tidak bisa melihatnya dengan jelas dari sini. Sunflowers, jawabnya singkat. Aku sudah mengetahui itu dari lama. Tiba-tiba Danial berjalan ke arahku. Dia menatapku beberapa saat. Apa ini sunflowers? tanyanya. Oh God! Dia bahkan tidak bisa membedakan antara mana sunflowers, mana bunga-bunga lain. Sangat menyedihkan.
Ya. Danial tiba-tiba dengan gerakan yang tidak bisa aku prediksi mematahkan batang tepat di bawah daunku yang ke lima. Aku mengaduh kesakitan. Sakit sekali. Aku menahannya. Aku tahu bahwa aku bisa menahannya sampai aku benar-benar layu dan mati beberapa jam lagi. Dia membawa tubuhku kepada gadis itu. Aku bisa melihat walaupun mataku berkunang-kunang gadis itu tersenyum dipaksakan. Danial tidak mengerti bahwa gadis ini menyukai bunga-bunga dengan menumbuhkannya. Bukan menjadikannya bunga potong. Dia merawatnya dari berupa biji atau tunas sampai bunga itu mati. Bodoh sekali cowok ini! Aku jatuh cinta padamu... Danial menyodorkan tubuhku. Gadis itu menerimanya dengan gamang. Kami saling bertatapan. Aku pun mengucapkan kata terakhirku sebelum akhirnya aku tidak sadarkan diri. Aku lebih mencintaimu... dan aku memahamimu Setelah itu semua gelap.