ANALISIS YURIDIS TERHADAP GRATIFIKASI DAN SUAP SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN

dokumen-dokumen yang mirip
538 KOMPILASI KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II IDENTIFIKASI DATA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20/PERMEN-KP/2013 TENTANG

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

MENGENAL LEBIH JAUH TENTANG GRATIFIKASI, SEBAGAI AWAL DARI KORUPSI. Oleh : Ennoch Sindang Widyaiswara Madya, Pusdiklat KNPK, Kementerian Keuangan

Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya. Oleh : Dewi Asri Yustia. Abstrak

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI

BAGI PEJABAT NEGARA PENERIMA GRATIFIKASI YANG MELAPORKAN DIRI KEPADA KPK BERDASARKAN HUKUM POSITIF DAN FIKIH JINAYAH

TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA

PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI

PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG LARANGAN MENERIMA/MEMBERI ATAU GRATIFIKASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MEDAN

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA.

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Nomor : 995/BAN-PT/AK/2017 Jakarta, 21 Februari 2017 Lampiran : 1(satu) berkas : Kode Etik Asesor

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

PENDIDIKAN ANTIKORUPSI UNTUK KITA SEMUA Memahami Gratifikasi

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ETIK UMB. Pengembangan Wawasan (Mengenali Tindakan Korupsi) Modul ke: 09Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen

BAB 11 TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA

Tindak Pidana Korupsi

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLUKAH PASAL 12 B DIHAPUS? Agustinus Pohan

Kajian Gratifikasi Seks Dalam Perspektif Hukum Pidana Oleh Hervina Puspitosari, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

P e d o m a n. Pengendalian Gratifikasi

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

Pedoman Pengendalian Gratifikasi. Good Governance is Commitment and Integrity

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BSN. Pengendalian Gratifikasi. Sistem.

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 90 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN GRATIFIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Lampiran 4 SK No /HK.01.01/02/ReINDO/12/2012 Tanggal 26 Desember 2012 PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BADAN STANDARDISASI NASIONAL PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II GRATIFIKASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Istilah Gratifikasi berasal dari bahasa Belanda gratikatie yang diadopsi

LARANGAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG TERKAIT DENGAN GRATIFIKASI BAGI APARATUR SIPIL NEGARA

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

PENGERTIAN KORUPSI. Bab. To end corruption is my dream; togetherness in fighting it makes the dream come true. PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

2016, No Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB II. A. Bentuk-Bentuk Perbuatan Yang Digolongkan Dalam Perbuatan Tindak. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terdapat pengertian bahwa

PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN GRATIFIKASI DI LINGKUNGAN BADAN STANDARDISASI NASIONAL

PENYUAPAN SEBAGAI BENTUK GRATIFIKASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Modul ke: Etik UMB. Tindakan Korupsi dan Penyebabnya - 1. Fakultas MKCU. Finy F. Basarah, M.Si. Program Studi MKCU.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 82 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan

PENGADILAN NEGERI GUNUNG SUGIH KELAS II SURAT KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN NEGERI GUNUNG SUGIH KELAS H PEDOMAN PENANGANAN GRATO7KASIDILINGKUNGAN

PENGADILAN NEGERI BANTUL KELAS I B BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Gratifikasi dilarang karena dapat mendorong Insan PTC

PEDOMAN PENANGANAN GRATIFIKASI PT. INHUTANI I (PERSERO)

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BENTURAN KEPENTINGAN (CONFLICT OF INTEREST) PELAKSANA SEKRETARIAT TETAP BAPERTARUM-PNS

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2015, No Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 6 Tahun : 2015

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA,

ETIK UMB. Tindakan Korupsi dan Penyebabnya. Pendahuluan. Modul ke: Daftar Pustaka. 12Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

BAB V PENUTUP. 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa

MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG

PEDOMAN PENGENDALIAN GRATIFIKASI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN PELAPOR TINDAK PIDANA GRATIFIKASI 1 Oleh : Meiggie P. Barapa/

Konsep Gratifikasi. Persinggungan Gratifikasi Sosial/Budaya. Penerapan Pengendalian Gratifikasi

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Transkripsi:

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 1 ANALISIS YURIDIS TERHADAP GRATIFIKASI DAN SUAP SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Hafrida, S.H., M.H. Abstrak Gratifikasi adalah adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Permasalahan hukum terhadap perbuatan gratifikasi ini karena pngertian Gratifikasi yang diatur dalam Pasal 12 B Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya telah termasuk cakupan dari pengertian pasal 5 ayat (2) huruf a atau b tentang suap, Pasal 6 ayat (2) dari Undangundang yang sama, sehingga terkesan pengaturan Pasal 12 B ini tumpang tindih. Dan terkesan bahwa belum tampak jelas perbedaan antara tindak pidana gratifikasi dengan tindak pidana suap. Tindak pidana suap dapat disebut gratifikasi juga jika seandainya suap tersebut diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi putusan atau kebijakan yang akan diambil oleh pejabat/penyelenggara Negara yang berwenang. Jadi, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia memang masih belum terlalu jelas pemisahan antara perbuatan pidana suap dan perbuatan pidana gratifikasi karena perbuatan gratifikasi dapat dianggap sebagai suap jika diberikan terkait dengan jabatan dari pejabat negara yang menerima hadiah tersebut. Keywords: Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi. A. PENDAHULUAN Pemberian/hadiah dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu perbuatan yang biasa dan tidak ada hubungannya dengan perbuatan salah apalagi sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Tapi lain halnya jika pemberian/hadiah tersebut jika diberikan pada seseorang terkait kapasitasnya sebagai pejabat atau penyelenggara negara dengan maksud pemberian tersebut diberikan dengan harapan untuk dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan dari pejabat atau penyelenggara Negara yang diberi hadiah, sehingga pemberian/hadiah tersebut merupakan suatu usaha untuk memperoleh keuntungan dari pejabat pembuat kebijakan tersebut. Tindakan pemberian/hadiah kepada pejabat/penyelenggara Negara dengan maksud untuk mempengaruhi atau meperoleh keuntungan dari keputusan pejabat tersebut yang dalam Undang-undang Nomor 31

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 2 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi disebut sebagai Gratifikasi. Pada Pasal 12B Undang-undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur tentang Tindak Pidana Gratifikasi yaitu: (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam penjelasan atas pasal 12B tersebut disebutkan yang dimaksud gratifikasi adalah adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Selain itu dalam Pasal 5 mengatur tentang Tindak Pidana Suap yaitu: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 3 juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dan Pasal 6 menyebutkan: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 4 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dari rumusan ketiga pasal tersebut terlihat cakupan dari pengertian Pasal 12 B, Pasal 5 ayat (2) huruf a atau b tentang suap, Pasal 6 ayat (2) yang dilakukan suap terhadap hakim dan advokad pada Undang-undang yang sama terjadi tumpang tindih atas muatan/perbuatan dalam pasal-pasal tersebut sehingga tampak tidak adanya perbedaan antara tindak pidana gratifikasi dengan tindak pidana suap. Tindak pidana suap dapat disebut gratifikasi juga jika seandainya suap tersebut diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi putusan atau kebijakan yang akan diambil oleh pejabat/penyelenggara Negara yang berwenang. Jadi, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia memang masih belum jelas pemisahan antara perbuatan pidana suap dan perbuatan gratifikasi karena perbuatan gratifikasi dapat dianggap sebagai suap jika diberikan terkait dengan jabatan dari pejabat negara yang menerima hadiah tersebut. Menurut Greg Scally dalam Defining Corruption: A Comparison of the Substantive Criminal Law of Public Corruption in the United States and the United Kingdom yang dikutip oleh Diana Kusumasari 1 Hal tersebut berbeda dengan pengaturan di Amerika. Di Amerika antara suap dan gratifikasi obyek perbuatan yang dilarang dibedakan. Perbedaannya adalah jika dalam gratifikasi yang dilarang adalah pemberi gratifikasi memiliki maksud bahwa pemberian itu sebagai penghargaan/tanda terima kasih atas telah dilakukannya suatu tindakan resmi oleh pejabat/penyelengaara negara, sedangkan dalam suap pemberi memiliki maksud agar pemberiannya tersebut dapat mempengaruhi suatu tindakan resmi yang akan dilakukan. Sehingga jelas pembedaan antara suap dan gratifikasi adalah pada aspek waktu bahwa Suap diberikan sebelum prestasi dilakukan sedangkan gratifikasi diberikan setelah prestasi dilakukan. Melihat pada permasalahan hukum yang ada yaitu masih rancunya pengertian antara suap dan gratifikasi dalam peraturan perundang-undangan dan luasnya pengertian dari gratifikasi yang berimbas pada sulitnya pembuktiannya maka penulis tertarik untuk menganalisis masalah ini dalam suatu karya ilmiah yang berjudul Analisi Yuridis terhadap Gratifikasi dan Suap sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undang 1 Diana Kusuma Sari. Klinik Hukum Online. Senin 23 April 2012.

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 5 Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. C. PEMBAHASAN 1. Analisis tentang Gratifikasi sebagai suatu Tindak Pidana Masyarakat pada umumnya berpendapat bahwa korupsi adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan merugikan keuangan negara semata. Padahal dalam hukum positif di indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undangundang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ada 30 jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok yaitu: (1) Kerugian keuangan Negara: Pasal 2 dan Pasal 3. (2) Suap Menyuap: Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b. Ayat (2); Pasal 13, Pasal 12 huruf a, b, c, d; Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b. (3) Penggelapan dalam Jabatan: Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, c. (4) Pemerasan: Pasal 12, huruf e, g, h. (5) Perbuatan Curang: Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, d. Dan ayat (2). (6) Benturan kepentingan dalam pengadaan Pasal 12 huruf i. (7) Gratifikasi: Pasal 12B jo, Pasal 12 C. 2 Dari pengelompokan jenis tindak pidana korupsi tersebut dapat kita lihat bahwa gratifikasi merupakan salah satu jenis atau pengelompokan dari tindak pidana korupsi. Selain itu terdapat jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri dari: (1) Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi: Pasal 21, (2) Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar: Pasal 22 jo. Pasal 28; (3) Bank yang tidak memberikan rekening tersangka Pasal 22 jo. Pasal 29; (4) Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu: Pasal 22 jo. Pasa 35; (5) Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu; Pasal 22 jo. Pasal 36; (6) Saksi yang membuka identitas pelapor; Pasal 24 jo Pasal 31. Khusus mengenai Gratifikasi merupakan suatu istilah yang berarti pemberian dalam arti yang luas, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B yaitu: 2 KPK, Memahami untuk Membasmi Buku panduan untuk memahami Tindak Pidana Korupsi, 2006, Hal. 16-17.

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 6 (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam penjelasan atas pasal 12B tersebut disebutkan yang dimaksud gratifikasi adalah adalah pemberian dalam arti luas, yakni Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai Gratifikasi : - Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu - Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 7 - Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang atau jasa dari rekanan - Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat - Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan - Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja - Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya. Seluruh pemberian tersebut diatas, dapat dikategorikan sebagai gratifikasi, apabila ada hubungan kerja atau kedinasan antara pemberi dan dengan pejabat yang menerima, dan/atau semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat tersebut. Dari pengertian tersebut dan contoh perbuatan yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi maka gratifikasi dapat diartikan dari aspek positif maupun negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan balasan apapun artinya pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan. Dengan demikian gratifikasi tidak selalu berkonotasi negatif, namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Bahkan di negara kita pemberian sebagai ucapan terima kasih, pemberian sebagai tanda sayang, pemebrian sebagai tanda persahabatan adalah merupakan budaya yang dikembangkan dalam berbagai aspek kegiatan. Seperti dalam prosesi lamaran akan digambarkan dalam suatu hantaran yang terdiri dari berbagai kebutuhan bahkan dalam bentuk uang. Tentu saja pemberian seperti ini merupakan bentuk gratifikasi positif. Pemberian dalam arti negatif Di negara-negara maju, pemberian gratifikasi bagi kalangan birokrat dilarang keras, terutama kegiatan gratifikasi dikalangan pelayanan masyarakat dalam ruang lingkup Pelaksanaan Kegiatan Birokrasi Pelayanan Masyarakat pun perlu dilarang dan diberi sanksi yang tegas bagi para pelakunya. Hal ini dikarenakan Pelaksanaan Kegiatan Birokrasi Pelayanan Masyarakat sebagai salah satu sektor strategis yang menguasai atau mempengaruhi hajat

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 8 hidup masyarakat banyak. Namun dalam kenyataan sehari-hari bukanlah sesuatu sederhana dalam memisahkan pengertian gratifikasi dalm pengertian positif maupun negatif. Jika kita lihat unsur-unsur tindak pidana gratifikasi menurut pasal 12 B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu: 1. Pembuatnya adalah Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara 2. Perbuatannya adalah menerima (pemberian dalam arti luas) 3. Obyeknya adalah gratifikasi atau pemberian dalam arti luas 4. Pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya 5. berlawanan dan kewajiban dan tugasnya 3 Dari unsur tersebut maka perbuatan yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi adalah perbuatan menerima pemberian tersebut dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dan pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan atau dengan maksud agar pegawai negeri tersebut melakukan suatu perbuatan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara. Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999, meliputi : 1. Pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang kepegawaian; 2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; 4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah; atau 5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. Sementara yang dimaksud Penyelenggara Negara Pasal 1 angka (1) UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara adalah pejabat Negara 3 Adam Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2008, hal.262-263.

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 9 yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Penyelenggara Negara meliputi: 1. Pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; Gratifikasi sebenarnya bukanlah hal yang negatif sepanjang tidak ada hubungannnya dengan maksud dan tujuan negatif lain terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara. Hasil kajian yang dilakukan Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK yang dituangkan dalam buku satu KPK RI tentang Memahami Gratifikasi disebutkan bahwa pemberian hadiah atau gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara adalah salah satu sumber penyebab timbulnya konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang tidak ditangani dengan baik dapat berpotensi mendorong terjadinya tindak pidana korupsi. Definisi konflik kepentingan adalah situasi dimana seseorang Penyelenggara Negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiappenggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya. 4 Konflik kepentingan inilah yang dikhawatir akan mengakibatkan terjadinya berbagai hal negatif seperti, terganggunya independensi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang bersangkutan, terganggunya obyektivitas penyelenggara negara atau pegawai negeri. Penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri dan keluarganya dalam suatu acara pribadi, atau menerima pemberian suatu fasilitas tertentu yang tidak wajar, semakin lama akan menjadi kebiasaan yang cepat atau lambat akan mempengaruhi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang bersangkutan. Banyak yang berpendapat bahwa pemberian tersebut sekedar tanda terima kasih dan sah-sah saja, tetapi pemberian tersebut patut diwaspadai sebagai pemberian yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena terkait dengan jabatan yang dipangku oleh penerima serta 4 Buku Saku KPK RI tentang Memahami Gratifikasi. Desember 2010, hal.

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 10 kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan dari pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai balas jasa. Konflik kepentingan yang dimaksud berada dalam tahapan kekhawatiran semata, atau suatu praduga yang belum tentu terjadi. Menurut peneliti perbuatan yang masih bersifat praduga belum memenuhi syarat untuk dapat dikatagorikan sebagai suatu tindak pidana. Untuk dapat di katagorikan sebagai suatu tindak pidana ditetapkan berdasarkan Norma Perilaku, norma perilaku adalah aturan yang menentukan apakah perilaku tertentu tersebut dianggap patut atau tidak, termasuk perilaku apa yang diharapkan dari orang lain. Perilaku kita sehari-hari dipengaruhi olah berbagai norma disekeliling kita. Perilaku inilah yang kemudian menjadi suatu perbuatan hukum jika ditetapkan dalam norma hukum. Jika perilaku ini telah ditetapkan sebagai suatu perbuatan hukum maka terhadap perbuatan tersebut akan dibatasi dengan sanksi baik sanksi positif amaupun sanksi negatif. Norma hukum dirumuskan dalam ketentuan perundang-undangan sehingga suatu undang-undang hanya akan berfungsi jika penetapan norma itu sesuai dengan norma sosial yang berlaku misalnya membunuh, mencuri, memperkosa termasuk Korupsi menurut norma sosial perbuatan-perbuatan tersebut tidak patut sehingga ketika perbuatan tersebut ditetapkan dalam undang-undang sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi maka norma hukum akan memiliki daya laku di masyarakat. Penetapan unsur dari suatu perbuatan pidana akan sangat menentukan apakah perbuatan tersebut nantinya akan dapat dibuktikan ataukah tidak. Pembuktian tersebut akan menetukan apakah perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut dapat ditegakkan atau tidak. Dalam D. Schaffmeister, N.Keijner, E. PH. Sutorius yang diterjemahkan oleh JE. Sahetapy 5 menyebutkan unsur dari suatu tindak pidana adalah: 1. Sifat melawan hukum atau kesalahan. 2. Unsur tertulis dari rumusan delik 3. Sanksi 5 D. Schaffmeister, N. Keijzer, E.PH. Sutorius. Hukum Pidana, Konsorsium lmu Hukum Departemen P&K. Liberty Yogyakarta, 1995, hal. 26-30.

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 11 Menurut Achmad Ali teori pendekatan hukum yaitu: (1) teori pendekatan empiris mencakup pendekatan sosilogis, antropologis, ekonomis, religius dan sebagainya sehingga hukum dilihat sebagai fenomena empiris. (2) pendekatan hukum normatif melihat hukum dalam wujudnya sebagai aturan-aturan (rules), norma norma (norms), atau asas asas (principles). Berdasarkan hal tersebut maka unsur hukum adalah: a. Asas-asas hukum (legal principles) b. Norma-norma hukum (legal norms) c. Aturan-aturan hukum (legal rules) 6 Beranjak dari teori tentang perumusan tindak pidana dan patut dipidananya suatu perbuatan maka jika kita telaah dari rumusan ketentuan Pasal 12 B Unsur-unsur perbuatan yang patut dipidananya perbuatan gratifikasi sebagaimana dirumuskan di atas dapat kita lihat bahwa unsur patut diketahui, patut diduga adalah suatu unsur perbuatan yang sulit dalam pembuktiannya, bagaimana mungkin dapat mengukur bahwa perbuatan tersebut patut diketahui, atau patut diduga. Jika kemudian perbuatan tersebut dalam kenyataannya ternyata menimbulkan akibat terjadinya perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan jabatannya, maka perbuatan tersebut telah masuk dalam suatu bentuk tindak pidana lain yaitu suap yang juga diatur dalam undang-undang ini. 2. Batasan Antara Tindak Pidana Gratifikasi dan Tindak Pidana Suap Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sub bab terdahulu bahwa membicarakan Tindak pidana gratifikasi dan unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana tersebut sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 12 B menjadi tumpang tindih dengan unsur yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 Huruf a,b,c undang undang yang sama yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 6 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) termasuk interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Group, Jakarta, 2009, hal. 176.

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 12 Pasal 5: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Sementara jika perbuatan suap sebagaimana yang diatur dalam pasal 5 tersebut ditujukan untuk hakim maka perbuatan tersebut diatur tersendiri dalam Pasal 6 yaitu: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 13 untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Jika kita perhatikan dan cermati maka rumusan pasal 12 B tentang Gratifikasi dengan rumusan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta rumusan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) memiliki unsur yang sama yaitu: Pasal 12 B Pasal 5 ayat (2) Pasal 6 ayat (2) 1. Pembuatnya adalah 1. Pembuatnya Pegawai 1. Pembuatnya hakim dan Pegawai Negeri atau Negeri atau advokad Penyelenggara Negara 2. Perbuatannya adalah penyelenggara Negara 2. Perbuatannya 2. Perbuatannya menerima (pemberian dalam Menerima pemberian atau Janji menerima pemberian atau janji arti luas) 3. Pemberian tersebut 3. Pemberian tersebut 3. Pemberian atau janji berhubungan dengan jabatannya dengan maksud agar Pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, tersebut dimaksudkan agar hakim atau advokad melakukan sesuatu

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 14 4. Berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya 4. bertentangan dengan kewajibannya; atau 4. Bertentangan dengan kewajibannya. Dari ketiga pasal tersebut yaitu Pasal 12 B, Pasal 5 ayat (2) dan pasal 6 ayat (2) memiliki kesamaan unsur yaitu: 1. Pada Pasal 5 ayat (2) dan pasal 12 B Pembuatnya adalah Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara, sementara dalam pasal 6 ayat (2) Pembuatnya adalah hakim dan advokad. 2. Perbuatannya dari ketiga pasal ini adalah sama yaitu menerima hadiah atau janji 3. Tujuannya perbuatannya adaah agar Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara, hakim atau advokad tersebut melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berlawanan atau bertentangan dengan kewenangan dan kewajibannya. Rumusan norma yang demikian dianggap terlalu berlebihan dan berbelit-belit dan hal ini akan berdampak kurang baik bagi penegakan hukumnya yaitu dikhawatirkan akan mengakibatkan ketidakpastian dalam penegakan hukumnya. Dalam hukum pidana ada 3 asas penting yang penting yang perlu di cermati dalam konteks kriminalisasi suatu perbuatan yaitu asas Lex Scripta, Lex Certa, dan Lex Stricta. Lex Scripta menegaskan bahwa Undang-undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Lex Certa menegaskan bahwa Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuanketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Lex Stricta menegaskan

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 15 bahwa suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundangan atau dengan kata lain prinsip suatu ketentuan atau perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan. Sehingga perumusan pasal 12 B seharusnya tidak perlu ada karena muatan yang diatur dalam pasal 12 B tentang Gratifikasi ini telah termasuk dalam muatan pada Pasal 5 dan Pasal 6 pada Undang-undang yang sama. Pemberian hanya memenuhi syarat sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana jika terdapat unsur dengan maksud untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewenangan dan kewajibannya. Pemberian yang semacam ini yang disebut dengan Pemberian dalam konotasi negatif, tetapi pemberian dalam konteks yang positif yang tidak ada maksud lain yang dilarang undang-undang maka pemberian tersebut bukanlah merupakan suatu tindak pidana. Dalam rumusan Pasal 12 ayat 1 disebutkan bahwa Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Sehingga dari rumusan pasal ini jelas perbuatan gratifikasi yang berhubugan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajibanya atau tugasnya adalah suap, jadi jelas bahwa perbuatan gratifikasi itu adalah suap sementara perbuatan suap telah diatur dalam Pasal yang lain yaitu Pasal 5. Selain itu dalam undang-undang ini juga masih terdapat satu pasal lagi yaitu pasal 12 sebagai berikut : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 16 atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; Jika kita perhatikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 12 dalam undangundang yang sama, unsur-unsur yang diatur sebenarnya sama dengan unsur-unsur pada Pasal 5 dan Pasal 6 sehingga ketentuan Pasal 12 ini seolah adalah pengulangan semata atas perbuatan yang telah diatur dalam pasal 5 dan pasal 6. Perhatikan unsur Pasal 12 butir a dan b adalah sama dengan unsur pada pasal 5 dan ketentuan Pasal 12 butir c dan d adalah sama dengan ketentuan Pasal 6. Ketentuan atau norma yang seperti ini tentunya kan menimbulkan berbagai permasalahan dalam aspek penegakan hukumnya. C. KESIMPULAN 1. Ketentuan Pasal 12 B tentang Gratifikasi dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkesan berlebih-lebihan karena muatan yang terkandung/perbuatan yang diatur dalam Pasal ini telah dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) yang mengatur tentang Tindak Pidana Suap, dan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Tindak Pidana suap terhadap Hakim dan Advokad pada Undangundang yang sama. 2. Pemberian dalam konotasi positif yang tidak bermaksud salah/berniat jahat bukanlah merupakan suatu tindak pidana.

Gratifikasi, Suap, Tindak Pidana Korupsi 17 Pengaturan Pasal 12 dan Pasal 12 B dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi direkomendasikan untuk ditinjau kembali karena unsur-unsur yang diatur tumpang tindih dengan pasal pasal lain pada undang-undang yang sama. DAFTAR PUSTAKA Achmad Ali. 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) termasuk Interpretasi Undang-undang (Legal Prudence). Kencana Prenada Media Group. Jakarta. D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. Ph Sitorius. Editor Penerjemah JE. Sahetapy. 1995, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Diana Kusuma Sari. Klinik Hukum Online. Senin 23 April 2012. KP, 2010, Buku Saku Memahami Gratifikasi. Sudarsono, 2007, Kamus Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.