ANALIS1S EVOLUSI GRUP SUNSPOTSPD WATUKOSEK UNTUK MEMPEROLEH INDIKATOR KEMUNCULAN FLARE

dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek

Perbandingan Model Linier Versus Analisis Vektor pada Gerak Grup Sunspot di Lintang Selatan dari Siklus Matahari Ke-23

ANALISIS PERGERAKAN BINTIK MATAHARI Dl DAERAH AKTIF NOAA 0375

KLASIFIKASI DAN PERUBAHAN JUMLAH SUNSPOT DIAMATI DARI LABORATORIUM ASTRONOMI JURUSAN FISIKA FMIPA UM PADA BULAN AGUSTUS OKTOBER 2012

APLIKASI VEKTOR UNTUK ANALISIS PERGERAKAN GRUP SUNSPOT MATAHARI DARI DATA SUNSPOT SIKLUS KE-23

Analisis Terjadinya Flare Berdasarkan Pergeseran Sudut Rotasi Group Sunspot pada Bulan Januari Maret 2015 Melalui LAPAN Watukosek

PREDIKSI JANGKA PENDEK B ULAN AN JUMLAH FLARE DENGAN MODEL ARIMA (p,d,[q]), (P,D,Q)' 32

BAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan

ABSTRAK. Kata Kunci: Sunspot, Aktivitas Matahari, Klasifikasi Mcintosh, Flare

KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN AKTIVITAS GEOMAGNET DI BIAK TAHUN

FLARE BERDURASI PANJANG DAN KAITANNYA DENGAN BILANGAN SUNSPOT

PREDIKSI BINTIK MATAHARI UNTUK SIKLUS 24 SECARA NUMERIK

ANALISIS GERAK BINTIK MATAHARI BIPOLAR SEBELUM TERJADI FLARE PADA NOAA 0484 TANGGAL 21 DAN 22 OKTOBER 2003

Analisis Empirik Kejadian Flare Terkait dengan Perubahan Fisik Sunspot

ANAL1SIS EMPIRIK KEJADIAN FLARE TIRKAIT DENGAN PERUBAHAN FIS1K SUNSPOT

PENGUKURAN TEMPERATUR FLARE DI LAPISAN KROMOSFER BERDASARKAN INTENSITAS FLARE BERBASIS SOFTWARE IDL (INTERACTIVE DATA LANGUAGE) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini, data harian yang diambil merupakan data sekunder

BAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari

HELISITAS MAGNETIK DAERAH AKTIF DI MATAHARI

MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari Fitriani, 2013

ANCAMAN BADAI MATAHARI

ANALISIS KLASTER K-MEANS DARI DATA LUAS GRUP SUNSPOT DAN DATA GRUP SUNSPOT KLASIFIKASI MC.INTOSH YANG MEMBANGKITKAN FLARE SOFT X-RAY DAN Hα

ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG

IDENT1FIKASI FLUKS MAGNETIK DARI GERAK PASANGAN BINTIK BIPOLAR,

Model Empiris Variasi Harian Komponen H Pola Hari Tenang. Habirun. Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl. Dr. Junjunan No.

SAINS BUMI DAN ANTARIKSA

IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN

PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T )

DISTRIBUSI KARAKTERISTIK SUDDEN STORM COMMENCEMENT STASIUN BIAK BERKAITAN DENGAN BADAI GEOMAGNET ( )

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu

DAMPAK AKTIVITAS MATAHARI TERHADAP CUACA ANTARIKSA

BAB III METODE PENELITIAN

TATA KOORDINAT BENDA LANGIT. Kelompok 6 : 1. Siti Nur Khotimah ( ) 2. Winda Yulia Sari ( ) 3. Yoga Pratama ( )

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

SEMBURAN RADIO MATAHARI DAN KETERKAITANNYA DENGAN FLARE MATAHARI DAN AKTIVITAS GEOMAGNET

JURNAL SAINS DIRGANTARA Journal of Aerospace Sciences

BAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas Matahari merupakan faktor utama yang memicu perubahan cuaca

BAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Fisika Jurusan Fisika. diajukan oleh SUMI DANIATI

ROTASI BENDA LANGIT. Chatief Kunjaya. KK Atronomi, ITB. Oleh : TPOA, Kunjaya 2014

SOAL UJIAN PRAKTEK ASTRONOMI OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2014 CALON PESERTA INTERNATIONAL EARTH SCIENCE OLYMPIAD (IESO) 2015

LIPUTAN AWAN TOTAL DI KAWASAN SEKITAR KHATULISTIWA SELAMA FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI SIKLUS 21 & 22 DAN KORELASINYA DENGAN INTENSITAS SINAR KOSMIK

PENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG

IPA TERPADU KLAS VIII BAB 14 BUMI, BULAN, DAN MATAHARI

TELAAH PROPAGASI GELOMBANG RADIO DENGAN FREKUENSI 10,2 MHz DAN 15,8 MHz PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO BANDUNG WATUKOSEK DAN BANDUNG PONTIANAK

Teori Dasar GAYA MAGNETIK. Jika dua buah benda atau kutub magnetik terpisah pada jarak r dan muatannya masing-masing m 1. dan m 2

Sifat gelombang elektromagnetik. Pantulan (Refleksi) Pembiasan (Refraksi) Pembelokan (Difraksi) Hamburan (Scattering) P o l a r i s a s i

Medan Magnet Benda Angkasa. Oleh: Chatief Kunjaya KK Astronomi ITB

MENGENAL GERAK LANGIT DAN TATA KOORDINAT BENDA LANGIT BY AMBOINA ASTRONOMY CLUB

METODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24

VARIASI KETINGGIAN LAPISAN F IONOSFER PADA SAAT KEJADIAN SPREAD F

ANALISIS KEJADIAN SPREAD F IONOSFER PADA GEMPA SOLOK 6 MARET 2007

KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE

PERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN (DIURNAL)

DISTRIBUSI POSISI FLARE YANG MENYEBABKAN BADAI GEOMAGNET SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 22 DAN 23

IDENTIFIKASI MODEL INDEKS K GEOMAGNET BERDASARKAN SIFAT STOKASTIK

ANALISIS MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN GEOMAGNET BERDASARKAN POSISI MATAHARI

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

TELAAH INDEKS K GEOMAGNET DI BIAK DAN TANGERANG

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

juga didefinisikan sebagai sebuah titik batas dimana titik G tidak melewatinya, agar kapal selalu memiliki stabilitas yang positif.

Wilfried Suhr Gambar 1. Waktu-waktu kontak dalam peristiwa transit Venus.

ZAARI BIN MOHAMAD HBSC4203_V2 - EARTH AND SPACE / BUMI DAN ANGKASA BUMI DAN ANGKASA A. PENDAHULUAN

PENGANTAR OCEANOGRAFI. Disusun Oleh : ARINI QURRATA A YUN H

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL

Xpedia Fisika. Optika Fisis - Soal

STUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT

BAB III METODE PENELITIAN

PENENTUAN KOEFISIEN LINIER ELEKTRO OPTIS PADA AQUADES DAN AIR SULING MENGGUNAKAN GELOMBANG RF

Sri Suhartini *)1, Irvan Fajar Syidik *), Annis Mardiani **), Dadang Nurmali **) ABSTRACT

Horizon Lokal Dan Jam Matahari

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PENGARUH PASANG SURUT PADA PERGERAKAN ARUS PERMUKAAN DI TELUK MANADO. Royke M. Rampengan (Diterima Tanggal 15 September 2009) ABSTRACT PENDAHULUAN

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH

BAB 4 HASIL & ANALISIS

Secara umum teknik pengukuran magnetik ini pada setiap stasiun dapat dijelaskan sebagai berikut :

ANALISIS PERBANDINGAN DEVIASI ANTARA KOMPONEN H STASIUN BIAK SAAT BADAI GEOMAGNET

STUDI PEMBANGKITAN TORSI PADA CAKRAM BAJA MENGGUNAKAN GAYA-MEDAN MAGNET NEODYMIUM

PENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF

Jenis dan Sifat Gelombang

Prosiding Workshop Riset Medan Magnet Bumi dan Aplikasinya

UM UGM 2017 Fisika. Soal

PEKERJAAN RUMAH SAS PERTEMUAN-1 DAN PERTEMUAN-2 A.Pilihan Ganda

Antiremed Kelas 12 Fisika

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013

Oleh: Ikhsan Dwi Affandi

PENENTUAN POSISI LUBANG KORONA PENYEBAB BADAI MAGNET KUAT

ALGORITMA TDOA UNTUK PENGUKUR JARAK ROKET MENGGUNAKAN TEKNOLOGI UHF

Materi Pendalaman 03 GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK =================================================

SANGAT RAHASIA. 30 o. DOKUMEN ASaFN 2. h = R

HUBUNGAN LUAS DAN TEMPERATUR UMBRA SUNSPOT MENGGUNAKAN SOFTWARE INTERACTIVE DATA LANGUAGE (IDL)

Abstrak PENDAHULUAN.

TINJAUAN PUSTAKA. (statistik) dinamakan galat baku statistik, yang dinotasikan dengan

Pembagian kuadran azimuth

IDENTIFIKASI MISKONSEPSI SISWA SMA KELASXI PADA MATERI DINAMIKA ROTASI DAN KESETIMBANGAN BENDA TEGAR TAHUN AJARAN 2013/2014

: Jarak titik pusat benda langit, sampai dengan Equator langit, di ukur sepanjang lingkaran waktu, dinamakan Deklinasi. Jika benda langit itu

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

ANALIS1S EVOLUSI GRUP SUNSPOTSPD WATUKOSEK UNTUK MEMPEROLEH INDIKATOR KEMUNCULAN FLARE Nanang Wldodo, Nur Aenl, Sudan*!, Ahmad Sodlkin, Marian Penelhl Stasiun Pengamat Dirgantara Watukosek, LAPAN ABSTRACT In their evolution, sunspot groups change in its number, area, shape and its formation. Proper motion of sunspot group show twist and shear movement. Therefore, we measure the central position at preceding and following parts. The difference of angle between the preceding and following part in the evolution on (n +1) thand n may indicate that in its evolution the sunspot groups have changed the area. We suggest some indications for predicting flare using the measurement of twist and shear of the spot in a group. ABSTRAK Sunspot sebagai variabel aktivitas matahari mengalami perubahanperubahan antara lain dalam jumlah, luas dan bentuk pada suatu grup sunspot selama masa evolusinya. Dengan mempelajari gerak diri dan kelompok dari suatu grup sunspot berupa gerak putar dan geser, maka dilakukan pengukuran posisi titik berat kelompok spot pada bagian preceding dan following. Selisih sudut kemiringan yang dibentuk oleh kedua bagian tersebut antara evolusi (n + 1) vs n merupakan indikasi bahwa dalam perjalanan evolusi grup sunspot mengalami pergerakan perkembangan atau penyusutan. Daerah aktif (grup sunspotj yang menunjukkan ciri-ciri perubahan tertentu dapat dijadikan salah satu indikasi akan terjadinya,/7are. Kata kunci: Flare.Gerakpuntir.Gerak gese, Preceding, Following 1 PENDAHUL0AN Matahari sebagai bintang mengalami fluktuasi aktivitas, yang diidentirlkasikan dengan siklus 11 tahunan. Dalam perjalanan evolusi matahari terdapat beberapa variabel yang menggambarkan kondisi 11 tahunan, dua diantara variabel-variabel tersebut antara lain : sunspot dan flare. Pada peiielitian ini akan digunakan hasil pengamatan rutin aktivitas matahari khususnya data sunspot dan flare secara lebih efektif, dimana kontribusi data pengamatan matahari dari Stasiun Pengamat Dirgantara LAPAN Watukosek pada buletin NOAA telah terintegrasi dengan data pengamatan dari stasiun-stasiun lain yang dilaporkan pada buletin Solar Geophysical Data, buletin NOAA. Dalam kajian analisis evolusi sunspot 25

(Kaufmann, 1978) telah proses evolusi grup sunspot bipolar besar selama di tengah cakram matahari. Dengan mengoptimalkan analisis data suatu evolusi sunspot dan flare SPD Watukosek diharapkan memberikan hasil yang dapat menjelaskan proses evolusi grup sunspot yang diintegrasikan dengan kejadian flare. Penggunaan kedua data sunspot dan flare ini akan dipadukan dengan analisis citra magnetogram dari buletin NOAA part I untuk menyimpulkan beberapa karakteristik dalam proses evolusi sunspot yang akan menghasilkan flare. Evolusi grup sunspot yang diambil untuk analisis adalah grup sunspot dalam batas + 50 Bujur Timur sampai dengan 50 Bujur Barat atau ± 8 hari pengamatan. Ketentuan ini berdasarkan pada pertimbangan sudut pandang kita terhadap permukaan matahari yang relatif tegak lurus, sekaligus bertujuan mengeliminasi grup sunspot yang terlihat relatif lebih pendek dari sebenarnya {foreshortening). Rancangan dalam penelitian ini adalah menentukan dan memilih data evolusi grup sunspot yang produktif (menghasilkan flare) (Widodo, 1996) dari hasil pengamatan di SPD Watukosek pada tahun 1990-1993 dan data dari buletin Solar Geophysical Data, NOAA Part I dan II. Dengan mempelajari perubahan bentuk, jumlah dan pergerakan posisi titik berat spot-spot di bagian preceeding dan following yang terjadi selama evolusi grup sunspot maka dapat ditentukan karakteristik indikator fenomena flare (Widodo, 2000). 2 DATA Data penelitian adalah sket bilangan sunspot dari SPD Watukosek, flare (gabungan data dari Watukosek dan buletin NOAA part II) dan magnetogram diambil dari buletin NOAA part I, Nopember 1990 - Oktober 1993 (Widodo, 2001). Pengambilan sampel sejumlah 50 grup sunspot dilakukan secara acak, dengan jumlah hari pengamatan 343 hari. Jumlah flare yang teramau" sebanyak 154 kejadian flare (44.9 %). Berikut ini salah satu contoh sampling evolusi grup sunspot, flare dan magnetogram berupa data numerik dan citra. Sebagai contoh adalah grup sunspot 1115 (Watukosek)/6891 (NOAA) yang merupakan daerah aktif (25 Oktober - 1 Nopember 1991) yang sangat produktif menimbulkan flare. 26

Gambar 2-1: Evolusi harian grup sunspot NOAA 6891 tanggal 25 Oktober s.d 1 Nopember 1991 dan citra flare H-cc dan magnetogram 27

Pada Gambar 2-1, tanda panah pada citra sunspot menunjukkan posisi titik pusat flare di atas grup sunspot terdekat, sedangkan tanda panah pada citra magnetogram menunjukkan lokasi flare di atas daerah polarisasi tabung-tabung medan magnet yang bermuatan positif (wama putih), sebaliknya daerah polarisasi yang bermuatan negatif berwarna gelap. Dalam perjalanan evolusinya mengalami banyak perubahan bentuk dan luas grup sunspot. Menurut klasifikasi Zurich, grup sunspot ini pada awal evolusi termasuk dalam kelas E, kemudian pada posisi tengah cakram (evolusi 3 sampai dengan 6) mengalami perkembangan luas daerah aktif termasuk dalam kelas F. Sampai pada akhir evolusi, walaupun telah menyusut menjadi kelas D, tetapi masih produktif menghasilkan flare. 3 PENGOLAHAN DATA Langkah pertama adalah mengidentifikasi citra grup sunspot dalam dua daerah polarisasi yaitu bagian preceeding dan following, seperti pada Gambar 3-1 (untuk grup sunspot besar). Kemudian menentukan posisi titik berat dari kedua bagian preceeding dan following menurut koordinat bola matahari (stoney hurst}. Gambar 3-1: Penentuan posisi titik berat bagian preceeding dan following Berdasarkan citra grup sunspot pada Gambar 2-1, dilakukan pengukuran posisi titik berat bagian preceding dan following, jumlah spot, sudut kemiringan yang dibentuk oleh kedua posisi titik berat (TB) bagian p dan / tersebut, seperti pada Gambar 3-1. Selanjutnya dilakukan pengukuran selisih sudut kemiringan (Aa), seperti ketentuan yang ditetapkan pada Gambar 3-3. Selain pengukuran posisi titik berat juga dilakukan pengukuran sudut kemiringan yang dibentuk oleh posisi titik berat (TB) kelompok spot bagian Barat {preceding) terhadap posisi titik berat kelompok spot bagian Timur {following). 28

Gambar 3-3: Ketentuan pengukuran selisih sudut kemiringan, Aa Misalkan, sudut kemiringan (a) yang dibentuk oleh titik berat pada bagian preceeding terhadap following adalah sebesar or, = -16.7 dan pada evolusi 2, a 2 = -32.74, sehingga selisih sudut kemiringan evolusi 2 ke 1, kcc ss \a 2 -a l = 16.04. Pada evolusi 2 ke 3, sudut kemiringan spot-spot pada bagian preceeding-following pada evolusi 2, a 2 = -32.74, dan pada evolusi 3a 3 - -32.15 sehingga selisih sudut kemiringan evolusi 3 ke 2, Aa = \a i -a 2 =0.59. 29

Hasil pengukuran dari beberapa langkah di atas diberikan pada Tabel 3-1. No data SS No grup SS/kelas (Watukosek) No NOAA region Tgl/bln/thn Obs. No Bui./ Part SGD DATA EVOLUSI GRUP SUNSPOT 028 1115E 6891 25 Oktober - 01 November 1991 572-573, Part II 4 HASIL Berdasarkan pengamatan evolusi sunspot dari seluruh data sampel didapatkan dua proses perubahan pada suatu grup sunspot. Pertama, proses perkembangan grup sunspot menjadi semakin besar, luas dan konfigurasi spot/ penumbra yang komplek, misalnya kelas E dan F (klasifikasi Zurich). Kejadian ini menunjukkan bahwa selama perjalanan evolusi, grup sunspot tersebut mengalami pertumbuhan yang signifikan. Pada masa-masa evolusi ini, grup sunspot mempunyai proyeksi polarisasi medan magnet yang tersebar dan konfigurasi semakin komplek, contoh Gambar 2-1, pada evolusi 1-5 dapat 30

Tabel 4-1: DAFTAR PROSES PENYUSUTAN SPOT/PENUMBRA 31

32 Tabel 4-2: DAFTAR PROSES PERKEMBANGAN SPOT/PENUMBRA

diklasifikasi kelas F dan evolusi 6-7 kelas E. Berdasarkan kondisi ini akan memberikan peluang terjadi persinggungan antara garis-garis medan magnet semakin besar sehingga sangat berpotensi membangkitkan flare H-a sampai berulang kali. Kedua, proses penyusutan grup sunspot menjadi semakin kecil, sempit dan konfigurasi spot/penumbra lebih sederhana, misalnya kelas C, D atau H (klasifikasi Zurich). Proses penyusulan merupakan akibat yang dialami grup sunspot setelah kehiiangan banyak energi plasma yang teremisikan bersama flare, contoh Gambar 2-1 pada evolusi 6 terjadi flare besar (Importance 3 B) pada evolusi berikutnya terjadi penyusutan bentuk penumbra yang signifikan. Konsekuensi dari evolusi tersebut, suatu grup sunspot mempunyai proyeksi polarisasi medan magnet yang lebih sederhana (tampakjelas pemisahan antara medan magnet bermuatan ncgatif dan positif dalam wilayah sempit). Analisis proses penyusutan bentuk, ukuran dan jumlah spot/penumbra dari hasil pengamatan pada 50 data sampling. (Tabel 4-1) Analisis proses perkembangan bentuk, ukuran dan jumlah spot/ penumbra dari hasil pengamatan pada 50 data sampling dituliskan pada Tabel 4-2. 5 PEMBAHASAN Dari hasil analisis secara komprehensif pada evolusi grup sunspot yang dihubungkan dengan perubahan citra magnetogram dan fenomena flare H-a pada Tabel 4-1 dan Tabel 4-2 didapatkan rangkuman ciri-ciri perubahan pada grup sunspot yang akan membangkitkan flare H-a dan akibat yang ditimbulkan berupa penyusutan luas daerah aktif (grup sunspot\. Secara spesifik proses perkembangan grup sunspot selama evolusi hingga menghasilkan flare H-a dapat dibagi dalam analisis kualitatif dan kuantitatif. 5.1 Analisis Kualitatif Ciri-ciri daerah pasif menjadi aktif sebelum menghasilkan flare H-a Ada trend kenaikan jumlah sunspot dalam beberapa kali evolusi. Penggabungan beberapa penumbra kecil menjadi penumbra besar. Luas penumbra kecil bertambah besar. Daerah aktif (grup sunspot\ bertambah luas. Ada pergeseran posisi titik berat di preceeding dan atau following. Formasi spot dan penumbra mendadak komplek. Ada pertumbuhan jumlah spof/penumbra di daerah netral. Ada pertumbuhan jumlah penumbra di bagian preceeding/following. Ciri-ciri daerah aktif menjadi pasif setelah menghasilkan flare H-a Pemecahan konsentrasi penumbra besar menjadi beberapa penumbra kecil. Penyusutan luas penumbra dibanding evolusi sebelumnya. 33

Pengurangan luas daerah aktif grup sunspot. Ada trend penurunan jumlah sunspot dalam beberapa kali evolusi. Formasi spot dan penumbra dalam grup relatif stabil. Tidak ada pergeseran posisi titik berat di preceeding dan following. Bagian preceeding atau following grup sunspot tenggelam. 5.2 Analisis kuantitatif Tabel 5-1 hasil penelitian menyatakan bahwa pada selang selisih sudut kemiringan (Aa) pada selang 0,0-5,0 derajad selisih sudut kemiringan (Aa ada sejumlah 72 flare H-a atau ± 46,7 %. Sedangkan pada selang selisih sudut kemiringan 5,0-10,0 derajad terdapat 43 flare H-a atau ± 27,9 % dari jumlah flare H-a dalam sampel. Tabel 5-1: SELISIH SUDUT KEMIRINGAN (Aa) VS KELAS FLARE H-a Tampak bahwa jarang sekali ada pergeseran posisi grup sunspot bagian preceeding atau following pada arah Lintang Utara atau Selatan secara signifikan (>20,0 derajad) dalam perbedaan perjalanan evolusi (selisih satu hari). Sebagian besar flare H-a diawali adanya pergeseran posisi titik berat bagian preceeding atau following pada arah lintang meskipun dengan Aa kecil. 34

Gambar 5-1: Jumlah kejadian flare H-a berdasarkan kategori kelas flare (sub, 1, 2 dan3) 35

Pada Gambar 5-1 memperlihatkan frekuensi flare H-a yang dipisahkan berdasarkan kategori Aa Pada Gambar 5-2 tampak bahwa sebagian besar flare kelas sub flare dan kelas 1 terjadi oleh adanya pcrubahan Aa yang kecil (< 10,0 derajat). Hal ini berkailan dengan perubahan Aa sedikit saja sudah memungkinkan membangkitkan flare. 6 KESIMPULAN Berdasarkan analisis secara komprehensif dari semua sampel data evolusi grup sunspot, citra magnetogram dan flare H-a didapatkan kesimpulan sebagai berikut. Aktivitas flare H-a terjadi karena adanya indikasi pertambahan jumlah spot/penumbra pada salah satu bagian preceeding atau following, konfigurasi grup sunspot yang semakin komplek dan pergeseran posisi titik berat bagian preceeding dan atau following secara serempak dan signifikan. Semakin luas dan komplek konfigurasi spot/penumbra dari suatu grup sunspot dengan perubahan yang sangat cepat (orde jam atau paling lambat harian) dan citra magnetogram yang menunjukkan penyebaran medan magnet bermuatan positif dan negatif secara acak maka flare H-a yang ditimbulkannya juga semakin besar. Biasanya fenomena flare H-a besar terjadi pada grup sunspot kelas E atau F, karena potensi energi dalam plasma sangat besar. Konsekuensi yang dialami grup sunspot setelah terjadi flare H-a adalah adanya proses penyusutan luas daerah aktif, jumlah spot dan konfigurasi menjadi lebih sederhana (kelas D atau C). Bila terjadi flare H-a kembali, maka jumlah energi yang ikut teremisikan bersama,/7arejuga semakin kecil. DAFTAR KBJUKAN Kaufmann, W., 1978. Exploration of the solar system, Macmillan Publishing Co. Widodo, N., 1996. Perbandingan data aktivitas matahari SPD Watukosek terhadap data NOAA, Majalah LAPAN No. 46. Widodo, N-, 2000. Menentukan prakiraan umur produktif sunspot kelas D, E dan F berdasarkan frekuensi flare, Warta LAPAN Vol. 2, No.2 Widodo, N., 2001. Anatisis berbagai fenomena yang terkait pada evolusi daerah aktif di matahari, Prosiding seminar Astronomi ITB. 36