BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penting dalam perawatan prostodontik khususnya bagi pasien yang telah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi geligi dan struktur yang menyertainya dari suatu lengkung gigi rahang atas

Penetapan Gigit pada Pembuatan Gigi Tiruan Lengkap

HUBUNGAN RAHANG PADA PEMBUATAN GIGI- TIRUAN SEBAGIAN LEPASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan, dan perbaikan dari keharmonisan dental dan wajah. 1 Perawatan

BAB I PENDAHULUAN. Oklusi secara sederhana didefinisikan sebagai hubungan gigi-geligi maksila

BAB 1 PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat semakin menyadari akan kebutuhan pelayanan

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tiga puluh orang menggunakan sefalogram lateral. Ditemukan adanya hubungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada berbagai pedoman, norma dan standar yang telah diajukan untuk

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

Vivin Ariestania, drg, Sp.Pros* Dian Valentina *

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS FOTO DIGITAL UNTUK MEMPREDIKSI DIMENSI VERTIKAL FISIOLOGIS TESIS. Diajukansebagaisalahsatusyaratuntukmemperolehgelar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sejak intra uterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Pertumbuhan berlangsung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penggunaan fotografi di bidang ortodonti telah ada sejak sekolah kedokteran

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen menurut Santoro dkk. (2000). 22

Digital Photo Analysis as a Predictor of Physiological Vertical Dimension

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. (Alexander,2001). Ortodonsia merupakan bagian dari ilmu Kedokteran Gigi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sagital, vertikal dan transversal. Dimensi vertikal biasanya berkaitan dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. susunannya akan mempengaruhi penampilan wajah secara keseluruhan, sebab

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sampai CV7). Diantara ruas-ruas tersebut, ada tiga ruas servikal yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. permukaan oklusal gigi geligi rahang bawah pada saat rahang atas dan rahang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dalam melakukan perawatan tidak hanya terfokus pada susunan gigi dan rahang saja

I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. Ilmu Ortodonti menurut American Association of Orthodontics adalah

III. RENCANA PERAWATAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuna wicara adalah suatu kelainan baik dalam pengucapan (artikulasi)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

PEMBUATAN GIGI TIRUAN PENUH

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia selama proses kehidupan mengalami perubahan dimensi.

BAB I PENDAHULUAN. beberapa komponen penting, yaitu sendi temporomandibula, otot

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan estetis yang baik dan kestabilan hasil perawatan (Graber dkk., 2012).

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. hubungan yang ideal yang dapat menyebabkan ketidakpuasan baik secara estetik

Gambar 1. Fotometri Profil 16. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan. Soetjiningsih (1995)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kehilangan gigi geligi disebabkan oleh faktor penyakit seperti karies dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. retak), infeksi pada gigi, kecelakaan, penyakit periodontal dan masih banyak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. displasia dan skeletal displasia. Dental displasia adalah maloklusi yang disebabkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan bentuk wajah yang harmonis jika belum memperhatikan posisi jaringan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem mastikasi merupakan unit fungsional dalam pengunyahan yang mempunyai

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

SINDROM KOMBINASI MAKALAH

BAB I PENDAHULUAN. Ortodontik berasal dari bahasa Yunani orthos yang berarti normal atau

BAB 2 ANATOMI SENDI TEMPOROMANDIBULA. 2. Ligamen Sendi Temporomandibula. 3. Suplai Darah pada Sendi Temporomandibula

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi-gigi dengan wajah (Waldman, 1982). Moseling dan Woods (2004),

NILAI KONVERSI JARAK VERTIKAL DIMENSI OKLUSI DENGAN PANJANG JARI TANGAN KANAN PADA SUKU BATAK TOBA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gigi merupakan salah satu komponen penting dalam rongga mulut. Gigi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Bagi remaja, salah satu hal yang paling penting adalah penampilan fisik.

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bagi tubuh. Fungsi gigi berupa fungsi fonetik, mastikasi dan. ataupun yang hilang bisa berdampak pada kesehatan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan wajah dan gigi-geligi, serta diagnosis,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. rumit pada tubuh manusia. Sendi ini dapat melakukan 2 gerakan, yaitu gerakan

BAB II KLAS III MANDIBULA. Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Gigi Tiruan Sebagian Lepasan Overlay Pasca Perawatan Sendi Temporomandibula

BAB 1 PENDAHULUAN. Crossbite posterior adalah relasi transversal yang abnormal dalam arah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai masalah karies dan gingivitis dengan skor DMF-T sebesar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah. Secara umum bentuk wajah (facial) dipengaruhi oleh bentuk kepala, jenis kelamin

BAB I PENDAHULUAN. berperan, sampai saat ini masih menjadi perhatian dalam dunia kedokteran. Hal ini

Membahas bio-akustik berarti berusaha mengurai keterkaitan antara bunyi. gelombang bunyi, getaran dan sumber bunyi dengan kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. diri atau tidak melalui bentuk gigi dan bentuk senyuman. Penting bagi dokter gigi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ortodonsia menurut American Association of Orthodontists adalah bagian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. ORTODONSI INTERSEPTIF

DETEKSI DINI KETIDAKSEIMBANGAN OTOT OROFASIAL PADA ANAK. Risti Saptarini Primarti * Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Unpad

SEFALOMETRI. Wayan Ardhana Bagian Ortodonsia FKG UGM

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung maupun tidak langsung pada pasien. 1. indeks kepala dan indeks wajah. Indeks kepala mengklasifikasian bentuk kepala

BAHAN AJAR. Tata Rias Korektif Wajah

BAB I PENDAHULUAN. atau bergantian (Hamilah, 2004). Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODE PENELITIAN

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB 5 HASIL PENELITIAN. 5.1 Hasil Analisis Univariat Analisis Statistik Deskriptif Lama Kehilangan, Usia dan Ekstrusi Gigi Antagonis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. makanan secara mekanis yang terjadi di rongga mulut dengan tujuan akhir proses ini

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. Dimensi Vertikal Dimensi vertikal, DV (vertical dimension) merupakan salah satu komponen penting dalam perawatan gigi tiruan. Hal ini disebabkan karena fungsi mastikasi, berbicara, maupun estetika wajah, semuanya bergantung pada hubungan vertikal dan horizontal mandibula dengan maksila. 7 Menurut Miller, penentuan dimensi vertikal yang tepat sangatlah penting, tidak hanya untuk membangun oklusi yang harmonis, tetapi juga untuk kenyamanan dan estetika wajah pasien. Apabila dimensi vertikal tidak ditentukan dengan tepat, selain mengakibatkan berkurangnya efisiensi mastikasi, tetapi juga dapat merusak sisa ridge (residual ridges), gigi-geligi yang tersisa, serta sendi temporomandibular. 4 Dimensi vertikal biasanya didefinisikan sebagai sepertiga panjang wajah bagian bawah. 2 Berdasarkan The Glossary of Prosthodontic Terms Journal of Prosthetic Dentistry Volume-94 no., dimensi vertikal adalah the distance between two selected anatomic or marked points (usually one on the tip of the nose and the other upon the chin), one on a fixed and one on a movable member. 8 Pada umumnya, terdapat dua jenis dimensi vertikal yang dapat diukur, yaitu dimensi vertikal oklusal, DVO (occlusal vertical dimension) dan dimensi vertikal fisiologis, DVF (rest vertical dimension). DVO adalah jarak vertikal rahang saat gigi-geligi beroklusi. Sedangkan DVF adalah jarak vertikal saat otot-otot pembuka dan penutup mandibula dalam kondisi istirahat pada tonic contraction, di mana gigi-geligi tidak saling berkontak. 9 Oleh karena itu, DVF selalu lebih besar daripada DVO. 4 Selisih antara DVF dengan DVO disebut freeway space atau interocclusal gap atau interocclusal clearance. Besar rata-rata freeway space yang dianggap normal adalah 2 sampai 4 mm. Fakultas Kedokteran Gigi 4

5 Begitu besarnya peran dimensi vertikal dalam perawatan prostodontik, maka penentuan dimensi vertikal harus dilakukan setepat mungkin (atau mendekati tepat). Dalam menentukan dimensi vertikal, terdapat beragam metode yang dapat digunakan antara lain dengan metode physiologic rest position, fonetik, estetik, fenomena menelan, biometrik fasial (facial biometric), dan sefalometri. Secara umum, terdapat dua kategori metode penentuan dimensi vertikal, yaitu dengan metode mekanis dan dengan metode fisiologis. 5 Metode penentuan dimensi vertikal yang termasuk metode mekanis antara lain dengan menggunakan hubungan ridge (ridge relation), pengukuran protesa sebelumnya, dan catatan preekstraksi. Sedangkan metode penentuan dimensi vertikal yang termasuk metode fisiologis antara lain metode physiologic rest position, metode fonetik dan estetik, serta metode batas ambang penelanan (swallowing threshold). Sedangkan, teknik pengukuran dimensi vertikal yang paling mudah, sederhana, dan praktis adalah 4,, 2 dengan pengukuran hidung-dagu yang dikemukakan oleh Niswonger. Pada kasus-kasus rahang tidak bergigi, di mana tidak terdapat oklusi yang stabil, menurut Pleasure, DVO dapat ditentukan dengan mengurangi DVF dengan besar rata-rata freeway space (2-4 mm). Oleh sebab itu, penentuan DVF yang tepat atau mendekati tepat sangatlah penting. Salah satu metode yang sering digunakan untuk menentukan DVF adalah dengan Metode Physiologic Rest Position. Metode Physiologic Rest Position ini banyak digunakan oleh dokter gigi sebagai titik awal penentuan dimensi vertikal. 0 Pada penentuan DVF dengan Metode Physiologic Rest Position, posisi kepala maupun rahang sangatlah penting karena pada dasarnya DVF merupakan postural position di mana beberapa sekelompok besar otot kepala dan leher berada pada kondisi keseimbangan tonus (tonic equilibrium). Posisi rahang pada saat istirahat diasumsikan sebagai posisi di mana mandibula tidak melakukan gerakan fungsional. Sedangkan posisi kepala pada saat istirahat adalah ketika posisi kepala tegak lurus tanpa dukungan kepala (headrest), di mana Frankfort plane (FP) sejajar terhadap lantai (Gambar 2.). 4 Fakultas Kedokteran Gigi

6 Gambar 2. Posisi kepala saat istirahat. Frankfort Plane (FP) sejajar dengan lantai dan Garis Camper (CP) atau Camper s Line sejajar dengan bidang oklusal (OP) atau occlusal plane. 4 Kemudian, setelah didapat posisi kepala yang benar, barulah dilakukan pengukuran DVF. Salah satu cara pengukuran DVF pada Metode Physiologic Rest Position dapat dilakukan dengan cara pengukuran hidung-dagu, yaitu dengan menggunakan tanda anatomis Subnasion-Gnathion, dan teknik pengukurannya menggunakan metode Willis, yaitu dengan menggunakan alat Boley gauge (Gambar 2.2). Gambar 2.2 Boley Gauge Fakultas Kedokteran Gigi

7 2.2 Teori Leonardo da Vinci Teori mengenai proporsi tubuh manusia sudah berkembang cukup lama di Eropa. Diawali pada abad ke-5 SM, seorang seniman bernama Polycleitus membuat sebuah patung manusia yang proporsi setiap bagian tubuhnya dianggap ideal, yang dinamakan Cannon. 6 Kemudian pada abad pertama SM, seorang arsitektur Roma, Vitruvius Pollio dalam bukunya yang berjudul The Ten Books of Architecture menerangkan mengenai skema proporsi tubuh manusia. 5 Skema Vitruvius mengenai proporsi tubuh manusia ini kemudian dikembangkan lebih detail oleh Leonardo da Vinci pada abad ke-5. Oleh sebab itu, karya da Vinci yang menggambarkan proporsi tubuh manusia dinamakan Vitruvian Man (Gambar 2.3) karena secara garis besar dibuat berdasarkan skema proporsi tubuh manusia yang dikemukakan oleh Vitruvius. Penjabaran mengenai Vitruvian Man dituangkan da Vinci ke dalam buku catatannya, 4 di mana ia menjelaskan dengan detail mengenai proporsi bagian tubuh manusia baik secara vertikal maupun horizontal secara keseluruhan yang salah satunya menjelaskan mengenai proporsi kepala dan wajah manusia. Gambar 2.3 Vitruvian Man Fakultas Kedokteran Gigi

8 Pada buku catatannya tersebut, da Vinci mengemukakan bahwa: a. Panjang wajah secara vertikal, yaitu dari garis rambut sampai dasar dagu sama dengan tinggi manusia, dan panjang kepala secara 0 vertikal, yaitu dari dasar dagu sampai puncak kepala sama dengan 8 tinggi badan, (From the roots of the hair to the bottom of the chin is the tenth of a man s height; from the bottom of the chin to the top of his head is one eighth of his height) Teori Leonardo da Vinci I. b. Wajah dapat dibagi menjadi 3 bagian yang sama panjang, yang disebut facial trisection, yaitu sepertiga wajah bagian atas, dari garis rambut sampai alis mata; sepertiga wajah bagian tengah, dari alis mata sampai dasar hidung atau Subnasion; dan sepertiga wajah bagian bawah, dari dasar hidung atau Subnasion sampai ke dasar dagu atau Gnathion; di mana ketiga bagian wajah tersebut sama panjangnya dengan panjang telinga, (The distance from the bottom of the chin to the nose and from the roots of the hair to the eyebrows is, in each case the same, and like the ear, a third of the face) Teori Leonardo da Vinci II (Gambar 2.4). Gambar 2.4 Facial Trisection. Terdiri dari jarak antara garis rambut sampai alis mata, alis mata sampai dasar hidung, dan dasar hidung sampai dagu, di mana panjang telinga sama dengan ⅓ panjang wajah. Fakultas Kedokteran Gigi

9 Dari Teori Leonardo da Vinci I, bisa dikembangkan sehingga didapatkan proporsi dimensi vertikal fisiologis (DVF), karena dimensi vertikal merupakan sepertiga panjang wajah bagian bawah, yaitu dari dasar hidung (Subnasion, Sn) sampai dasar dagu (Gnathion, Gn), yaitu: a. DVF = tinggi badan. 30 DVF = 3 wajah bagian bawah = tinggi badan ( panjang 3 0 = tinggi badan 30 wajah) (2.) b. DVF = 5 4 panjang kepala. DVF : panjang kepala = 30 DVF = 30 8 4 = panjang kepala 5 tinggi badan : tinggi badan 8 (2.2) Selain itu, juga bisa dikembangkan lebih lanjut sehingga didapatkan proporsi panjang dari puncak kepala (Vertex, V) sampai dasar hidung (Subnasion, Sn), yaitu: a. V - Sn = tinggi badan. 20 V Sn = panjang kepala DVF ( Sn Gn) = tinggi badan 8 = tinggi badan 20 30 tinggi badan (2.3) Fakultas Kedokteran Gigi

0 b. V - Sn = panjang kepala. 5 V Sn = panjang kepala DVF ( Sn Gn) atau = 4 5 panjang kepala = panjang kepala 5 V Sn : panjang kepala = 20 V Sn = 20 8 = panjang kepala 5 tinggi badan : tinggi badan 8 (2.4) (2.5) Kemudian, bila panjang DVF (Sn-Gn) dibandingkan dengan panjang V-Sn, maka: DVF ( Sn Gn) : V SN = DVF ( Sn Gn) = 4 V Sn 4 5 = 4 : panjang kepala : 5 panjang kepala (2.6) Sedangkan untuk Teori Leonardo da Vinci II, maka harus mengetahui anatomi telinga, khususnya anatomi daun telinga. Secara umum anatomi telinga dibagi menjadi 3 bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam 20. Telinga luar (auris eksterna) berfungsi menangkap gelombang suara dan menyalurkannya sampai ke membran timpani. Telinga luar (auris media) berfungsi menyalurkan gelombang suara dari membran timpani ke telinga dalam. Kemudian suara akan diproses di dalam telinga dalam (auris interna), yaitu di dalam koklea. Telinga luar (auris eksterna) terdiri dari daun telinga atau auricula (pinna) dan meatus auditorius eksternus. 7 Auricula merupakan bagian telinga luar yang terlihat secara visual karena merupakan salah satu struktur luar wajah yang berfungsi sebagai penyalur gelombang suara ke meatus auditorius eksternus. Auricula ditopang oleh cartilago auriculae tunggal. Bagian bawah yang menonjol Fakultas Kedokteran Gigi

(lobulus auriculae) tidak mengandung cartilago tetapi mengandung jaringan fibroareolar. Gambar 2.5 Anatomi Auricula8 Auricula terdiri dari beberapa struktur, yang dapat dilihat pada Gambar 2.4. Jadi, panjang auricula diukur dari bagian paling superior helix sampai ke bagian paling inferior lobulus auriculae. 2.3 Teori Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia Tinggi badan, yang merupakan landasan Teori Leonardo da Vinci mengenai proporsi tubuh manusia, kepala, wajah, telinga, dan dimensi vertikal merupakan tanda-tanda anatomis tubuh. Semua tanda anatomis tubuh manusia sangat dipengaruhi oleh proses pertumbuhan. Setiap tanda anatomis tersebut akan terus Fakultas Kedokteran Gigi

2 mengalami perubahan dan perkembangan selama proses pertumbuhan masih berlangsung. Pada umumnya, pertumbuhan secara normal merupakan rangkaian perubahan pematangan yang terjadi secara teratur yang dipengaruhi oleh sistem hormonal, gizi yang adekuat, kondisi emosional lingkungan, dan juga faktor genetik. Sistem hormonal yang mempengaruhi pertumbuhan tidak hanya hormon pertumbuhan dan somatomedin tetapi juga dipengaruhi oleh hormon tiroid, glukokortikoid, insulin, dan juga hormon seksual. Hormon seksual, selain mempengaruhi fungsi seksual laki-laki dan perempuan juga mempengaruhi proses pertumbuhan tulang. Pada manusia, terdapat 2 periode pertumbuhan yang krusial yang ditandai dengan adanya lonjakan tingkat pertumbuhan, yaitu yang pertama pada masa bayi dan yang kedua pada masa pubertas. Dan secara umum, baik kecepatan pertumbuhan, pertumbuhan di berbagai jaringan, maupun peran relatif berbagai hormon terhadap pertumbuhan mengalami terminasi pada usia 8-20 tahun. 9 Periode pertumbuhan yang pertama pada masa bayi merupakan kelanjutan dari periode pertumbuhan masa janin di mana hormon pertumbuhan dan insulin memegang peranan penting. Sedangkan periode pertumbuhan yang kedua pada masa pubertas, selain dipengaruhi oleh hormon pertumbuhan, juga dipengaruhi oleh hormon seksual, yaitu hormon androgen dan hormon estrogen. Pada periode pertumbuhan yang kedua, hormon seksual mendorong anabolisme protein dan meningkatkan amplitudo lonjakan sekresi hormon pertumbuhan yang menyebabkan terjadinya lonjakan tingkat pertumbuhan pada masa pubertas. Namun, walaupun pada awalnya memacu proses pertumbuhan, hormon seksual pada akhirnya menginaktivasi lempeng epifisis (epiphyseal plate). Lempeng epifisi merupakan bagian tulang tempat pertumbuhan linear tulang panjang terjadi. 20 Sehingga apabila lempeng epifisis diaktivasi, maka akan terjadi penutupan epifisis dan pertumbuhan linear pun terhenti. Periode pertumbuhan yang kedua pada masa pubertas dimulai ketika hormon seksual, yaitu hormon estrogen dan androgen mulai bekerja. Namun, karena perempuan lebih cepat matang daripada laki-laki, di mana usia pubertas pada Fakultas Kedokteran Gigi

3 perempuan terjadi lebih cepat yaitu sekitar umur 8-3 tahun, sedangkan pada lakilaki baru pada umur 9-4 tahun, maka lonjakan pertumbuhan periode kedua pun terjadi lebih cepat pada perempuan. Hal ini menyebabkan terdapatnya perbedaan kecepatan dan terminasi pertumbuhan, terutama pada proses pertumbuhan dan pematangan tulang pada laki-laki dan perempuan. 2.4 Kerangka Teori Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia. Genetik 2. Hormon 3. Gizi 4. Kondisi emosional lingkungan Dimensi Vertikal Laki-laki Perempuan Dimensi Vertikal Oklusal Dimensi Vertikal Fisiologis Metode Physiologic Rest Position Teori Leonardo da Vinci I dan II Diagram 2. Kerangka Teori Fakultas Kedokteran Gigi