Foto & Cerita dari Hulu SUNGAI CITARUM Sekilas Sejarah, Banjir: Dulu hingga Sekarang, Menuju Tujuan Bersama
Foto: Veronica Wijaya, Diella Dachlan Teks & Layout: Diella Dachlan Editor: Candra Samekto Sumber dan Referensi: Citarum Dalam Perspektif Sejarah, A.Sobana Hardjasaputra Dari Cisanti ke Curug Jompong, Budi Brahmantyo Citarum, Kini Tercemar Sejak dari Mata Airnya, Deni Yudiawan
Citarum: Sekilas Sejarah Mata Air Pangsiraman, mata air Sungai Citarum. Merupakan mata air terbesar dari 7 mata air di kawasan Situ Cisanti Sungai Citarum mengalir dari hulu di daerah Gunung Wayang, di sebelah selatan kota Bandung menuju ke utara dan bermuara di Kerawang. Dengan panjang sekitar 225 kilometer, sungai Citarum merupakan sungai terpanjang di Jawa Barat. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Citarum mengalami sejarah yang tak kalah panjang dan berliku. Kata Citarum berasal dari dua kata yaitu Ci dan Tarum. Ci atau dalam Bahasa Sunda Cai, artinya air. Sedangkan Tarum, merupakan sejenis tanaman yang menghasilkan warna ungu atau nila. Muara Gembong di Bekasi, salah satu daerah muara Sungai Citarum
Ada 7 mata air di kawasan Situ Cisanti, yaitu Pangsiraman, Cikahuripan, Cikawedukan, Koleberes, Cihaniwung, Cisandane dan Cisanti. Yang paling besar adalah mata air Pangsiraman. Masyarakat sering mengunjungi mata air ini untuk melakukan ritual mandi dan memohon doa Pada abad ke-5, dari sebuah dusun kecil yang dibangun di tepi sungai Citarum oleh Jayasinghawarman, lambat laun daerah ini berkembang menjadi sebuah kerajaan besar, yaitu Kerajaan Tarumanegara, kerajaan Hindu tertua di Jawa Barat. Dari dahulu hingga sekarang, Citarum memainkan peranan penting bagi kehidupan manusia. Dulu, Citarum menjadi batas wilayah antara dua kerajaan yaitu Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda (pergantian nama dari Kerajaan Tarumanegara pada tahun 670 Masehi). Citarum sebagai batas administrasi ini terulang lagi pada sekitar abad 15, yaitu sebagai batas antara Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Kiri : Makam Dipati Ukur di kawasan Situ Cisanti-Desa Tarumjaya, Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Bawah: Salah satu peninggalan sejarah Kerajaan Tarumanegara. Batu tulis di Sungai Ciaruteun, Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan ini memiliki daerah pemerintahan yang cukup luas.
Kawasan Situ Cisanti, ramai dikunjungi untuk berwisata akhir pekan Kampung Dangdeur, Bale Kambang Kabupaten Majalaya. Di daerah ini banyak ditemukan masyarakat yang bekerja sebagai pengumpul dan pemecah batu sungai, serta penambang pasir dari sungai Citarum
Rata-rata pemecah batu dapat mengumpulkan hingga 20 ember batu dalam seharinya. Harga satu ember batu pecah adalah Rp 500. Dalam seminggu, rata-rata penghasilan sekitar Rp 10,000. Namun tidak tentu kapan truk pengambil batu datang ke desa. Sebagian besar suami-istri di desa ini bekerja bersama sebagai pengumpul batu/pasir dan pemecah batu.
Banjir : Dulu Hingga Sekarang Meskipun sungai Citarum pada masa dahulu masih terjaga keasrian dan kelestariannya, namun sejarah mencatat bahwa pada masa itu Citarum sudah mengalami banjir di beberapa daerahnya, terutama pada musim hujan. Karena itulah pada tahun 1810, Bupati Bandung saat itu, R.A Wiranatakusuma II memindahkan ibu kota Bandung dari daerah Krapyak (Dayeuh Kolot) ke daerah Bandung tengah hingga saat ini.
Sampai sekarang banjir sungai Citarum masih rutin datang setiap musim penghujan datang. Daerah Dayeuh Kolot dan sekitarnya pun seringkali terendam banjir. Namun, saat ini, masalah yang ditimbulkan jauh lebih kompleks. Pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat, kurang bijaknya perilaku manusia di dalam mengelola sumber daya alam seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah rumah tangga, peternakan, industri, penyalahgunaan tata ruang dan lain sebagainya, semakin memperkeruh kondisi ini. Jika dulu, sejarah mencatat keluhan masyarakat tempo dulu jika banjir datang berupa penyakit pilek dan diare, kini permasalahannya lebih kompleks daripada itu. Tak jarang harta bahkan jiwa juga menjadi korban.
Sungai Citarum, yang merupakan sungai terpanjang di Jawa Barat
Misalnya Penduduk desa Sukamaju di daerah Kabupaten Majalaya. Masyarakat desa ini mengaku menjadi langganan banjir dalam kurun 10 tahun terakhir ini. Jika dulu air datang dan naik perlahan, hingga masyarakat desa masih sempat mengemasi harta bendanya dan mengungsi, kini air datang tiba-tiba dan menyapu desa dalam sekejap. Hal ini mengakibatkan beberapa rumah rusak berat, dindingnya bahkan sebagian besar bangunan rumah ikut terbawa air.
Kabupaten Majalaya juga terkenal akan perikanan air tawarnya (atas). Elemen Lingkungan (ELINGAN) adalah salah satu organisasi masyarakat yang aktif dalam pelestarian lingkungan di Majalaya. (Bawah) Hasil kerajinan masyarakat dampingan ELINGAN.
Menuju Tujuan Bersama Permasalahan yang dihadapi oleh sungai Citarum saat ini cukup kompleks, hingga penyelesaian sederhana untuk satu bidang atau di lokasi tertentu saja tidak lagi memadai. Penanganan sungai Citarum membutuhkan perhatian dan sumbangsih semua pihak untuk ikut membantu bersama memperbaiki kondisi yang memprihatinkan ini. Mulai dari hulu hingga hilir. Penanganan ini membutuhkan keterpaduan nyaris di seluruh bidang. Hal ini membutuhkan kerjasama, tindakan nyata, kordinasi dan komunikasi intensif di seluruh para pemangku kepentingan; pemerintah dan masyarakat. Hal ini bukannya tidak mungkin terjadi. Di beberapa tempat, sudah terdapat inisiatif-inisiatif masyarakat, pembenahan dan pembangunan oleh instansi pemerintah terkait. Ada kelompok masyarakat di daerah hulu Citarum yang sudah membuat embungembung atau kolam resapan untuk menampung air di musim hujan untuk digunakan di musim kemarau, penanaman pohon dan penghijauan, daur ulang sampah untuk dijadikan barangbarang kerajinan dan pupuk kompos, serta pertanian dan perikanan yang lebih ramah lingkungan. Dan masih banyak upaya-upaya lainnya. Masih panjang langkah-langkah dan tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai visi memulihkan kondisi sungai yang memprihatinkan ini. Namun setiap perjalanan akan selalu dimulai dari sebuah langkah kecil untuk mencapai kepada tujuan akhir: memulihkan kondisi sungai Citarum.
Gunung Wayang di musim kering (atas) dan musim hujan (bawah). Terdapat cukup luas lahan kritis di kawasan ini yang membutuhkan perhatian dan tindakan perbaikan.
www.citarum.org