III KERANGKA PEMIKIRAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN. individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

TATANIAGA PERTANIAN OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Pada dasarnya tataniaga memiliki pengertian yang sama dengan

III KERANGKA PEMIKIRAN

KERANGKA PEMIKIRAN. terhadap barang dan jasa sehingga dapat berpindah dari tangan produsen ke

BAB II KAJIAN PUSTAKA

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

VII. ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KERAGAAN PASAR RUMPUT LAUT

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Konsep Pendapatan dan Biaya Usahatani. keuntungan yang diperoleh dengan mengurangi biaya yang dikeluarkan selama

II. TINJAUAN PUSTAKA. komoditas pertanian tersebut karena belum berjalan secara efisien. Suatu sistem

BAB II LANDASAN TEORITIS. Pengertian pasar telah banyak didefinisikan oleh ahli-ahli ekonomi. Pasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum pemasaran adalah proses aliran barang yang terjadi di dalam pasar.

II. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang,

TINJAUAN PUSTAKA. Di sektor produksi barang-barang dan jasa dihasilkan sedangkan di sektor

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemasaran 2.2 Lembaga dan Saluran Pemasaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

III KERANGKA PEMIKIRAN

TATANIAGA RUMPUT LAUT DI DESA KUTUH DAN KELURAHAN BENOA, KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG, PROVINSI BALI

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

III. KERANGKA KONSEPTUAL

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS TATANIAGA BERAS

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

MINGGU 6. MARKETING MARGIN

PENDEKATAN DALAM MENELAAH PEMASARAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

Pemasaran Hasil Pertanian/Peternakan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Provinsi Lampung khususnya di PTPN VII UU

B. Fungsi - Fungsi Pemasaran

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Melinjo (Gnetum gnemon, L.) termasuk tumbuhan berbiji terbuka

III. METODE PENELITIAN. Petani buah naga adalah semua petani yang menanam dan mengelola buah. naga dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum.

Lanjutan Pemasaran Hasil Pertanian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal yang

PEMASARAN PRODUK PERTANIAN Konsep Pemasaran. Julian Adam Ridjal PS Agribisnis Universitas Jember

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

III. METODE PENELITIAN. tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2004). Penelitian ini menggunakan

IV. METODE PENELITIAN

RESEARCH. Ricky Herdiyansyah SP, MSc. Ricky Sp., MSi/Pemasaran Agribisnis. rikky Herdiyansyah SP., MSi. Dasar-dasar Bisnis DIII

SISTEM PEMASARAN AGRIBISNIS Sessi 4

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor,

TATANIAGA PERTANIAN (lanjutan) OLEH : NOVINDRA DEP. EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN

ANALISIS TATANIAGA CENGKEH DI KECAMATAN AMAHAI, KABUPATEN MALUKU TENGAH, PROVINSI MALUKU YENI PURNAMASARI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISA TATANIAGA KELAPA SAWIT DI DESA TANJUNG JAYA KECAMATAN BANGUN REJO KABUPATEN LAMPUNG TENGAH PROVINSI LAMPUNG RATIZA ALIFA ASMARANTAKA H

3 KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS TATANIAGA BUNGA KRISAN DI KECAMATAN CUGENANG KABUPATEN CIANJUR

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Istilah pangsa pasar sering digunakan dalam ekonomi perusahan ataupun

KERANGKA PENDEKATAN TEORI

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengumpulan Data

SISTEM PEMASARAN BERAS DI KECAMATAN CIBEBER, KABUPATEN CIANJUR

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat

III. LEMBAGA, SALURAN DAN FUNGSI PEMASARAN DALAM TATANIAGA AGROPRODUK. Tujuan Pembelajaran:

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kerangka Teoritis Kelayakan Usahatani

Saluran dan Marjin Pemasaran cabai merah (Capsicum annum L)


Jurnal NeO-Bis Volume 8, No. 2, Desember 2014 DI KECAMATAN CUGENANG KABUPATEN CIANJUR

IV. METODE PENELITIAN

BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN ANALITIS

TINJAUAN PUSTAKA. mall, plaza, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya; Pasar Tradisional adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

MINGGU 1. KONSEP TATANIAGA PRODUK AGRIBISNIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS TATANIAGA LIDAH BUAYA DI KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT ANDRI ENDRA SETIAWAN

ANALISIS TATANIAGA PUPUK ORGANIK UD. AMA KABUPATEN SOLOK, SUMATERA BARAT GHAZIAN MUHAMMAD

3. KERANGKA PEMIKIRAN

SISTEM PEMASARAN DAN NILAI TAMBAH KEDELAI (Glycine Max (L) Merill) DI DESA SUKASIRNA KECAMATAN SUKALUYU KABUPATEN CIANJUR NURNIDYA BTARI KHADIJAH

SISTEM PEMASARAN NENAS BOGOR (Ananas comosus) DI KABUPATEN BOGOR THE MARKETING SYSTEM OF BOGORINARIAN PINEAPPLE (Ananas comosus) IN BOGOR DISTRIC

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai potensi untuk dikembangkan. Ternak ini berasal dari keturunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. barangnya ke pemakai akhir. Perusahaan biasanya bekerja sama dengan perantara untuk

4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Teknik Pengumpulan Data

Transkripsi:

III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Sistem Tataniaga Tataniaga adalah suatu kegiatan dalam mengalirkan produk dari produsen (petani) sampai ke konsumen akhir. Tataniaga erat kaitannya dengan kegiatan pemasaran. Tataniaga disebut juga pemasaran atau marketing merupakan salah satu bagian dari ilmu pengetahuan ekonomi (Limbong dan Sitorus 1985). Pemasaran adalah proses yang mengakibatkan aliran produk melalui suatu sistem dari produsen ke konsumen (Downey dan Erickson 1992). Hanafiah dan Saefuddin (2006) menjelaskan bahwa aktivitas tataniaga erat kaitannya dengan penciptaan atau penambahan nilai guna dari suatu produk baik barang atau jasa, sehingga tataniaga termasuk ke dalam kegiatan yang produktif. Kegunaan yang diciptakan oleh aktivitas tataniaga meliputi kegunaan tempat, kegunaan waktu dan kegunaan kepemilikan. Asmarantaka (2009) menyebutkan bahwa pengertian tataniaga dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek ekonomi dan aspek manajemen. Pengertian tataniaga dari aspek ilmu ekonomi adalah : 1) Tataniaga (pemasaran) produk agribisnis merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis yang meliputi aliran dari barang dan jasa dari petani sebagai titik awal kegiatan usahatani hingga barang dan jasa tersebut sampai ke tangan konsumen akhir (Kohls dan Uhl 2002). 2) Tataniaga pertanian merupakan serangkaian tahapan, fungsi yang diperlukan untuk memperlihatkan pergerakan input atau produk dari tingkat produksi primer (usahatani) hingga konsumen akhir. Hal tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan fungsi ataupun hubungan antara lembaga tataniaga yang terlibat (Hammond and Dahl 1977). 3) Rangkaian fungsi-fungsi tataniaga merupakan aktivitas bisnis dan merupakan kegiatan produktif sebagai proses meningkatkan atau menciptakan nilai (value added) yaitu nilai guna bentuk (form utility), tempat (place utility), waktu (time utility) dan kepemilikan (possession utility) (Asmarantaka 2009). Petani/peternak dalam proses produksi merubah input-input pertanian menjadi output produk pertanian (nilai guna bentuk dan kepemilikan). Pedagang pengumpul, mengumpulkan produk dan mengemas, kemudian 20

menjual (nilai guna kepemilikan dan tempat). Pabrik penggilingan tepung dan pembuat kue kemudian menjual kue (nilai guna bentuk dan tempat). Pabrik pengolah memanfaatkan output dari petani sebagai bahan baku (gandum) menjadi tepung dikemas dan kemudian menjual tepung ke grosir (nilai guna bentuk dan kepemilikan), grosir ke pedagang eceran (nilai guna tempat dan waktu) yang akhirnya ke pabrik roti (nilai guna bentuk) dan konsumen akhir (kepuasan). Dari proses tataniaga ini banyak nilai guna yang terjadi dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. 4) Tataniaga pertanian merupakan salah satu sub-sistem dari sistem agribisnis yaitu sub-sistem : sarana produksi pertanian, usahatani (produksi primer), tataniaga dan pengolahan hasil pertanian dan sub-sistem penunjang (penelitian, penyuluhan, pembiayaan, kebijakan tataniaga). Pelaksanaan aktivitas tataniaga merupakan faktor penentu efisiensi dan efektivitas dari pelaksanaan sistem agribisnis. Sementara itu tataniaga dapat dipandang dari sisi makro dan mikro (Asmarantaka 2009). Dari sisi makro tataniaga merupakan suatu sistem yang terdiri dari lembaga lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses aliran produk dari produsen primer ke konsumen. Sementara itu dari sisi mikro, tataniaga/pemasaran dipandang sebagai upaya masing masing individu untuk memperoleh keuntungan yang salah satunya ditempuh melalui pelaksanaan bauran pemasaran. Analisis terhadap suatu sistem tataniaga dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan. Pada masing masing pendekatan akan menunjukkan perspektif secara nyata dan pelaksanaan proses dari aktivitas pemasaran/tataniaga (Kohls dan Uhl 2002). Kohls dan Uhl (2002) menyebutkan beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu sistem tataniaga diantaranya : 1) Pendekatan Fungsi Fungsi dalam aktivitas tataniaga dapat diartikan sebagai spesialisasi aktivitas yang dilakukan dalam upaya menyempurnakan sistem tataniaga (Kohls dan Uhl 2002). Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui beragam fungsi tataniaga yang diterapkan pada suatu sistem tataniaga dalam upaya menciptakan efisiensi pemasaran serta mencapai suatu tujuan yaitu 21

meningkatkan kepuasan konsumen. Fungsi-fungsi tataniaga meliputi fungsi pertukaran yang meliputi fungsi pembelian, penjualan dan fungsi pengumpulan; fungsi fisik yang terdiri dari fungsi penyimpanan, pengangkutan dan pengolahan; dan fungsi fasilitas yang merupakan fungsi yang memperlancar pelakasanaan fungsi pertukaran dan fungsi fisik, fungsi fasilitas terdiri dari fungsi standarisasi, fungsi keuangan, fungsi penanggungan risiko dan fungsi intelijen pemasaran. Melalui pendekatan fungsi juga dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan biaya tataniaga pada beragam komoditi agribisnis. 2) Pendekatan Kelembagaan Merupakan pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui para pelaku serta pihak pihak yang terlibat dalam suatu sistem tataniaga. Para pelaku yang terlibat dalam aktivitas tataniaga dikelompokkan dalam kelembagaan tataniaga. Kelembagaan tataniaga adalah berbagai organisasi bisnis atau kelompok bisnis yang melaksanakan/mengembangkan aktivitas bisnis berupa kegiatan kegiatan produktif yang diwujudkan melalui pelaksanaan fungsifungsi tataniaga. Melalui pendekatan ini dapat diketahui peranan lembaga lembaga yang terlibat dalam penanganan suatu komoditi mulai dari tingkat produsen hingga konsumen (Limbong dan Sitorus 1985). Sementara itu Kohls dan Uhl (2002) menyatakan bahwa pendekatan kelembagaan ini sekaligus menjawab siapa dan apa yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan dalam sistem tataniaga. Para pelaku dalam aktivitas tataniaga terdiri dari pedagang perantara (merchant middlemen), agen perantara (agent middlemen), spekulator (speculative middlemen), pengolah dan pabrikan (processors and manufactures) dan organisasi (facilitative organization). 3) Pendekatan Sistem Pendekatan sistem dalam aktivitas tataniaga dilakukan untuk mengetahui efisiensi serta kontinuitas dari pelaksanaan suatu sistem tataniaga (Asmarantaka 2009). Pemahaman aktivitas tataniaga dalam konteks sebagai suatu sistem merupakan perpaduan antara ilmu ekonomi dengan aktivitas fisik serta penerapan ilmu teknologi (Kohls dan Uhl 2002). Seperti yang telah dijelaskan pada pendekatan kelembagaan bahwa dalam suatu sistem 22

tataniaga terdapat berbagai pelaku/lembaga tataniaga yang terlibat. Para pelaku/lembaga tataniaga dapat dipandang sebagai suatu sistem perilaku yang digunakan dalam membuat suatu keputusan khususnya yang terkait dengan kegiatan pemasaran/tataniaga dari suatu produk. Pendekatan ini terdiri dari input-output system, power system, communications system, dan the behavioral system for adapting to internal-external change. 3.1.2. Fungsi Tataniaga Tataniaga merupakan suatu kegiatan produktif yang mencakup proses pertukaran serta serangkaian kegiatan yang terkait pada proses pemindahan produk baik berupa barang ataupun jasa dalam upaya menciptakan dan meningkatkan nilai guna (Asmarantaka 2009). Beragam kegiatan produktif yang terdapat di dalam sistem tataniaga disebut dengan fungsi tataniaga. Pelaksanaan fungsi fungsi tataniaga akan menetukan efisiensi dari pelaksanaaan suatu sistem tataniaga. Tujuan dari pelaksanaan fungsi tataniaga adalah untuk meningkatkan kepuasan konsumen. Kemampuan suatu produk untuk memuaskan keinginan konsumen dapat diukur dengan utilitas yang mampu diberikan oleh produk tersebut. Utilitas merupakan nilai guna suatu produk yang meliputi nilai guna bentuk yaitu bagaimana menciptakan produk memiliki nilai guna misalnya dengan mengolah bahan mentah menjadi barang jadi; nilai guna waktu yaitu membuat produk tersedia pada waktu yang tepat sesuai dengan keinginan konsumen; nilai guna tempat yaitu menyediakan produk di tempat yang sesuai bagi konsumen yang membutuhkan; serta nilai guna kepemilikan yaitu bagaimana produk bisa untuk dimiliki serta digunakan oleh konsumen. Fungsi tataniaga dapat digolongkan pada tiga kelompok fungsi utama (Limbong dan Sitorus 1985; Asmarantaka 2009), fungsi tataniaga tersebut adalah sebagai berikut : 1) Fungsi Pertukaran Fungsi Pertukaran merupakan aktivitas yang terkait dengan pemindahan hak milik atas barang (Limbong dan Sitorus 1985; Kohls dan Uhl 2002). Aktivitas pertukaran juga disesuaikan pada utilitas yang diharapkan para konsumen, yaitu menyangkut tempat, waktu dan bentuk barang/jasa yang 23

dibutuhkan. Fungsi pertukaran terdiri atas dua fungsi yaitu fungsi penjualan dan pembelian (Limbong dan Sitorus 1985; Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009). - Fungsi penjualan, merupakan pengalihan produk kepada pihak pembeli dengan tingkat harga tertentu sebagai akibat dari pemberian nilai tambah dari produk tersebut. Fungsi penjualan diperlukan untuk melakukan penjualan produk yang sesuai dengan yang diinginkan konsumen dilihat dari jumlah, bentuk dan mutu pada tempat dan waktu yang tepat. - Fungsi pembelian terhadap produk produk pertanian dilatarbelakangi oleh beragam kebutuhan konsumen diantaranya pembelian untuk konsumsi langsung ataupun pembelian untuk bahan baku produksi seperti pembelian yang dilakukan oleh pabrik yang mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi ataupun barang jadi yang siap pakai. 2) Fungsi Fisik Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan pengertian fungsi fisik sebagai seluruh aktivitas yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga memiliki nilai kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Sementara itu Kohls dan Uhl (2002) menyebutkan bahwa fungsi fisik menyangkut aktivitas penanganan, perpindahan serta perubahan fisik dari suatu komoditi. Fungsi fisik terdiri atas tiga fungsi yaitu fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan, dan fungsi pengolahan (Limbong dan Sitorus 1985; Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009). - Fungsi pengangkutan, yaitu pemindahan barang-barang dari tempat produksi/tempat penjualan ke tempat dimana barang - barang tersebut akan dipakai. Proses pengangkutan akan menciptakan nilai guna tempat dan waktu. Dalam fungsi ini tentunya aspek terpenting yang perlu diperhatikan oleh pelaku tataniaga adalah penggunaan alternatif sarana pengangkutan yang selanjutnya akan mempengaruhi biaya pengangkutan. Besarnya biaya pengangkutan yang dikeluarkan akan berdampak pada penentuan dari harga produk tersebut ketika sampai di tangan konsumen. Proses pengangkutan juga sangat bergantung pada efektifitas dalam 24

informasi dan komunikasi serta pemanfaatan teknologi yang ada sehingga efisiensi dalam proses pengangkutan dapat tercapai. - Fungsi penyimpanan, berarti menahan barang barang selama jangka waktu tertentu sejak produk dihasilkan atau diterima hingga sampai ke proses penjualan. Kegiatan penyimpanan menciptakan nilai guna waktu pada produk. Proses penyimpanan pada produk pertanian dilakukan mengingat produk produk pertanian memiliki karakteristik khusus yang bersifat musiman namun terkadang produk produk ini dikonsumsi sepanjang tahun. Pelaksanaan fungsi penyimpanan dapat memperkecil terjadinya fluktuasi harga antara musim panen dan musim paceklik. - Fungsi pengolahan, merupakan suatu upaya mengubah bahan mentah menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi yang siap pakai. Fungsi pengolahan bertujuan untuk meningkatkan kualitas barang dalam rangka memperkuat daya tahan barang maupun sebagai upaya untuk meningkatkan nilai produk. Fungsi ini menciptakan nilai guna bentuk pada suatu produk. Kegiatan pengolahan erat kaitannya dengan kegiatan penyimpanan khususnya pada produk yang sifatnya musiman. Misalnya saja pada produk mangga yang sifatnya musiman, ketika sedang musim mangga, perusahaan jus dapat melakukan pengolahan terdapat buah mangga segar menjadi bentuk pasta dalam rangka menjaga ketersediaan bahan baku jus mangga pada waktu buah mangga tidak pada musimnya. 3) Fungsi Fasilitas/Pelancar merupakan aktivitas yang memperlancar fungsi pertukaran dan fungsi fisik (Kohls dan Uhl 2002). Fungsi ini meliputi kegiatan standarisasi dan grading produk, informasi pasar, fungsi keuangan/pembiayaan serta fungsi penangulangan risiko. - Standarisasi dan grading Standarisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu suatu barang dengan menggunakan berbagai ukuran seperti warna, susunan kimia, ukuran bentuk, kekuatan atau ketahanan, kadar air, tingkat kematangan, rasa dan kriteria yang lain (Limbong dan Sitorus 1985). Standarisasi kualitas adalah sifat umum yang diterima oleh konsumen serta membuat diferensiasi dari nilai produk (Asmarantaka 2009). 25

Grading adalah klasifikasi atau menggolongkan produk/ hasil pertanian berdasarkan suatu standarisasi kualitas tertentu dan pemilahan dari produkproduk yang kategorinya tidak seragam menjadi seragam. Menurut Downey dan Erickson (1992), penggolongan mutu produk pertanian ke dalam kelas atau golongan standar sangat mempermudah proses usaha pembelian dan penjualan serta membantu sistem pemasaran bekerja lebih efisien. - Informasi pasar Fungsi informasi pasar meliputi kegiatan pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data informasi tersebut. Informasi mengenai pasar erat kaitannya dengan keputusan yang akan diambil oleh pelaku tataniaga. Misalnya terkait dengan perubahan harga di pasar, bagaimana pendistribusian serta penanganan produk di mata konsumen. - Penanggulangan risiko Dalam pemasaran suatu produk khususnya produk pertanian, kemungkinan dalam menghadapi risiko pada kegiatan bisnis ini cukup besar. Risiko yang terjadi di dalam proses pemasaran dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu risiko fisik dan risiko ekonomi atau risiko penurunan harga (Limbong dan Sitorus 1985). Risiko-risiko tersebut diantaranya risiko kerusakan produk karena produk pertanian bersifat bulky,voluminous dan perishable; risiko fluktuasi harga khususnya bagi komoditi yang bersifat musiman. Pengalihan risiko dapat dilakukan melalui kontrak pembelian dan penjualan serta melalui mekanisme hedging pada future market. 3.1.3. Lembaga dan Saluran Tataniaga Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga sehingga barang/produk bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen. Istilah lembaga tataniaga ini termasuk produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa (Hanafiah dan Saeffudin, 2002). Keberadaan lembaga lembaga tataniaga dimulai ketika produk dihasilkan oleh produsen primer hingga suatu produk siap dikonsumsi oleh konsumen. Lembaga tataniaga menunjukkan keberagaman pada organisasi bisnis yang memiliki peranan dalam pengembangan sistem tataniaga atau pemasaran 26

(Kohls dan Uhl 2002). Sementara itu Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan lembaga tataniaga adalah suatu badan yang menyelenggarakan kegiatan tataniaga atau pemasaran, dan mengelempokkan lembaga tataniaga/pemasaran menurut fungsinya serta menurut penguasaan terhadap barang. Limbong dan Sitorus (1985) menyebutkan pengelompokkan lembaga tataniaga berdasarkan fungsi yang dilakukan dapat dibedakan menjadi : 1) Lembaga fisik tataniaga yaitu lembaga lembaga yang menjalankan fungsi fisik, misalnya badan pengangkut/transportasi. 2) Lembaga perantara tataniaga adalah suatu lembaga khusus yang melakukan fungsi pertukaran. 3) Lembaga fasilitas tataniaga yaitu lembaga yang menjalankan fungsi fasilitas seperti Bank, Lembaga Perkreditan Desa, KUD. Selain itu Limbong dan Sitorus (1985) juga mengelompokkan lembaga tataniaga menurut penguasaan terhadap barang, yang terdiri dari : 1) Lembaga tataniaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, misalnya agen, perantara dan broker. Badan badan ini menjalankan fungsinya untuk mempertemukan atau menyampaikan produk dari produsen ke konsumen. Penguasaan terhadap barang dimaksudkan bahwa perantara tidak berhak atas barang namun ia boleh menyimpan, mengadakan sortasi serta melakukan pengepakan kembali. Sementara Kohls dan Uhl (2002) menyampaikan definisi terkait pengelompokkan lembaga tataniaga yang serupa dengan klasifikasi ini sebagai pengertian dari agent middlemen yaitu lembaga yang termasuk sebagai perantara dalam aktivitas tataniaga. Kelompok agen perantara melaksanankan fungsi tataniaga tertentu dengan menerima komisi sebagai balas jasa. Agen perantara adalah pelaku yang umumnya hanya mewakili lembaga tataniaga lain. Agen perantara tidak memiliki hak untuk memiliki barang yang diperdagangkan (Kohls dan Uhl 2002). Agen perantara biasanya dikelompokkan menjadi dua yaitu commission dan brokers (Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009). Broker merupakan perantara yang dalam pelaksanaan fungsi tataniaga tidak melakukan penanganan fisik tertentu terhadap produk yang diterima. Sedangkan commission merupakan perantara 27

yang melakukan aktivitas penanganan fisik terhadap produk yang diterima dan memperoleh pendapatan berupa komisi. 2) Lembaga tataniaga yang memiliki dan menguasai barang, seperti pedagang pengumpul, pedagang pengecer, grosir, eksportir/importir. Badan yang tergolong pada kelompok ini menjalankan fungsinya untuk memiliki dan menguasai barang dengan cara membeli barang tersebut terlebih dahulu sebelum dijual kembali. Badan ini akan menanggung risiko ekonomi maupun teknis. 3) Lembaga tataniaga yang tidak memiliki dan tidak menguasai barang, yaitu badan yang menjalankan fungsi sebagai fasilitas pengangkutan, pergudangan, asuransi dan lain lain. Produsen merupakan pihak yang berperan sebagai penyedia produk baik produk sebagai bahan konsumsi ataupun produk yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri terkait. Kemudian terdapat pedagang perantara yang fungsinya menyalurkan produk dari produsen ke konsumen apabila terdapat jarak dan ketiadaan akses bagi produsen untuk menyalurkan produknya secara langsung kepada konsumen. Para pelaku dalam sistem tataniaga yang dapat digolongkan sebagai pedagang perantara adalah pedagang pengumpul (assembler), pedagang eceran (retailer) dan pedagang grosir (wholesalers) (Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009). Pedagang grosir adalah pedagang yang menjual produknya kepada pedagang eceran dan pedagang antara lainnya. Pedagang grosir memiliki volume usaha yang relatif lebih besar daripada pedagang eceran. Pedagang eceran adalah pedagang yang menjual produknya langsung untuk konsumen akhir. Sementara itu, ada juga yang disebut sebagai spekulator. Spekulator adalah pedagang perantara yang membeli/menjual suatu produk dan memanfaatkan serta mencari keuntungan dari adanya pergerakan harga pada komoditi/produk tersebut. Lembaga lain yang berperan dalam aktivitas tataniaga adalah pengolah dan pabrikan. Kelompok ini berfungsi dalam merubah suatu produk yang merupakan bahan baku sehingga menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir yang siap untuk dikonsumsi. Organisasi juga bisa menjadi lembaga/pelaku dalam tataniaga, misalnya pemerintah yang dalam hal ini berupaya menciptakan kebijakan serta peraturan yang terkait dengan aktivitas 28

tataniaga dan perdagangan. Selain itu keterlibatan asosiasi eksportir dan importir juga dapat dikategorikan sebagai lembaga tataniaga. Penyaluran produk dari produsen hingga ke tangan konsumen yang telah melibatkan berbagai lembaga tataniaga akan membentuk suatu saluran tataniaga (marketing channel). Saluran pemasaran dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu sehingga berpindah dari produsen ke konsumen (Limbong dan Sitorus 1985). Menurut Downey dan Erickson (1992) saluran pemasaran adalah jejak penyaluran barang dari produsen ke konsumen akhir. Panjang pendeknya saluran tataniaga yang dilalui tergantung pada beberapa faktor (Hanafiah dan Saefuddin 2002) diantaranya adalah : 1) Jarak antara produsen dan konsumen. Makin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya makin panjang saluran yang ditempuh oleh suatu produk. 2) Cepat tidaknya produk rusak. Produk yang cepat atau mudah rusak harus segera diterima konsumen, dan oleh karena itu diperlukan saluran yang pendek dan cepat. 3) Skala produksi. Bila produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula, dan dinilai tidak menguntungkan bila produsen langsung menjualnya ke pasar. Pada kondisi ini kehadiran pedagang perantara diharapkan sehingga saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang. 4) Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung akan memperpendek saluran tataniaga. Produsen yang posisi keuangan kuat akan dapat melakukan fungsi tataniaga lebih banyak dibandingkan dengan pedagang yang posisi modalnya lemah. Dengan kata lain, pedagang yang memiliki modal kuat cenderung memperpendek saluran tataniaga. 3.1.4. Struktur Pasar Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan definisi industri dan perusahaan, atau pabrik dalam suatu pasar, distribusi perusahaan atau pabrik dengan berbagai ukuran size and consentration, deskripsi produk dan 29

diferensiasi produk serta syarat syarat untuk memasuki pasar ( Limbong dan Sitorus, 1985). Menurut Asmarantaka (2009), struktur pasar adalah tipe atau jenis pasar yang diartikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar. Struktur pasar yang terbentuk akan mempengaruhi perilaku pasar serta keragaan pasar. Hammond dan Dahl (1977) menyebutkan terdapat empat karakteristik dalam struktur pasar yang satu sama lain saling menentukan perilaku yang berlaku di seluruh pasar, yaitu jumlah dan ukuran perusahaan/unit usaha yang terlibat, sifat dari produk yang diperjualbelikan, kondisi keluar dan masuk pasar terkait hambatan yang mungkin dihadapi oleh para pelaku pasar, dan arus informasi pasar antara pelaku pelaku yang terlibat meliputi informasi biaya, harga dan kondisi pasar. Tabel 8. Struktur Pasar pada Sistem Pangan dan Serat Karakteristik Struktural Struktur Pasar Jumlah Perusahaan Sifat Produk Sisi Penjual Sisi Pembeli Banyak Banyak Sedikit Sedikit Satu Standarisasi Diferensiasi Standarisasi Diferensiasi Unik Persaingan Sempurna Monopolistic Competition Oligopoli Murni Oligopoli Diferensiasi Monopoli Persaingan Sempurna Monopsonistic Competition Oligopsoni Murni Oligopsoni Diferensiasi Monopsoni Sumber : Hammond dan Dahl (1977) Penentuan struktur pasar dapat dilakukan melalui pengukuran rasio konsentrasi (CR4). Namun, pengukuran ini dilakukan pada kondisi industri yaitu dengan mengukur pangsa pasar dari empat perusahaan terbesar. Dilana (2012) menyatakan bahwa struktur pasar didefinisikan oleh rasio konsentrasi pasar. Konsentrasi pasar diperoleh dari pengukuran pangsa pasar. Pangsa pasar adalah persentase dari suatu pasar (perusahaan) yang diukur baik dari jumlah unit maupun pendapatan yang diterima terhadap suatu kesatuan yang spesifik (industri) selain itu pangsa pasar dapat dijadikan sebagai indikator seberapa baik suatu perusahaan menghadapi persaingan dengan pesaingnya ( Farris et all, 2007). 30

Pada situasi pasar monopoli, CR4 akan bernilai 100 persen, sedangkan untuk pasar persaingan sempurna CR4 akan mendekati nilai 0 (nol), hal tersebut dikarenakan perusahaan perusahaan dengan output terbesar pun mempunyai proporsi yang sangat kecil pada industri (Subanidja dalam Hapsari 2011). 3.1.5. Perilaku Pasar Asmarantaka (2009) mendefinisikan perilaku pasar sebagai seperangkat strategi dalam pemilihan yang ditempuh baik oleh penjual maupun pembeli dalam mencapai tujuan masing masing. Perilaku pasar merupakan kumpulan hubungan antara pembeli dan penjual. Tiga cara yang digunakan dalam mengenal perilaku, yaitu : 1) Penentuan harga dan setting level of output; harga yang ditetapkan bisa tidak berpengaruh terhadap perusahaan lain, ditetapkan secara bersama sama antar penjual atapun penetapan berdasarkan pemimpin harga. 2) Product promotion policy; yaitu melalui kegiatan promosi seperti pameran dan iklan yang mengatasnamakan perusahaan. 3) Predatory and exclusivenary tactics; strategi ini bersifat ilegal karena bertujuan mendorong pesaing untuk keluar dari pasar. Strategi yang dilakukan adalah dengan menetapkan harga di bawah biaya marginal atau dengan cara melakukan integrasi vertikal melalui penguasaan bahan baku. Menurut Hammond dan Dahl (1977) perilaku pasar menunjukkan pola perilaku yang diikuti oleh perusahaan dalam hubungannya dengan pasar yang dihadapi. Pola perilaku ini meliputi cara cara yang digunakan oleh sekelompok perusahaan dalam menentukan harga dan produk yang dihasilkan, kebijakan dalam promosi penjualan, kebijakan yang berkaitan dengan pengubahan sifat produk yang dijual serta beragam taktik penjualan yang digunakan untuk meraih pasar tertentu. 3.1.6. Farmer s Share Salah satu indikator yang dapat digunakan dalam menentukan efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima petani (farmer s share) terhadap harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir. Kohls dan Uhl (2002) menyatakan farmer s share merupakan bagian yang 31

diterima petani dari nilai uang yang dibayarkan oleh konsumen, nilai farmer s share biasa dinyatakan dalam persentase. Nilai farmer s share berbanding terbalik dengan nilai marjin tataniaga. Semakin tinggi nilai marjin tataniaga menunjukkan semakin kecil bagian yang diterima petani dalam melaksanakan suatu aktivitas tataniaga. Alternatif perhitungan nilai farmer s share diperoleh dari rasio antara harga di tingkat usahatani terhadap harga di tingkat pengecer dari suatu komoditi. Secara matematis, farmer s share dapat dirumuskan sebagai berikut (Asmarantaka 2009) : 100% Keterangan : Fs : Persentase yang diterima petani dari harga konsumen akhir Pf : Harga di tingkat petani Pr : Harga di tingkat konsumen akhir 3.1.7. Marjin Tataniaga Tomek dan Robinson (1990) memberikan alternatif definisi marjin tataniaga (pemasaran) yaitu perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang didapatkan oleh produsen (petani), selain itu marjin pemasaran juga dapat didefinisikan sebagai harga dari kumpulan jasa jasa pemasaran sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran terhadap jasa jasa tersebut. Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen (petani) (Pf) dengan harga ditingkat retailer atau konsumen akhir (Pr) dengan demikian marjin tataniaga dapat dirumuskan dengan M T = Pr Pf (Hammond dan Dahl 1977). Limbong dan Sitorus (1985) menyampaikan bahwa besarnya marjin tataniaga (M T ) pada suatu saluran tataniaga merupakan penjumlahan dari marjin yang diperoleh setiap lembaga pemasaran (M i ). Marjin juga didefinisikan sebagai penjumlahan dari keuntungan dan biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam pelaksanaan sistem tataniaga. Sementara itu Asmarantaka (2009) menyatakan pengertian marjin yang lebih luas yaitu sebagai cerminan dari aktivitas-aktivitas bisnis atau fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan dalam suatu sistem tataniaga. Artinya marjin merupakan kumpulan balas jasa karena adanya kegiatan produktif 32

berupa penambahan dan penciptaan nilai guna dalam mengalirkan produk-prduk agribisnis dari tingkat petani sampai ke tangan retailer ataupun konsumen akhir. Price DS 1 DS 2 PS1 PS 2 P r Margin P f PD 2 DD 2 PD 1 Keterangan : Q 1 Q 2 DD 1 Quantity P r P f : Harga di tingkat pabrik pengolah atau pedagang eceran : Harga di tingkat petani PD 1 : Primary Demand 1 PD 2 : Primary Demand 2 DD 1 : Derived Demand 1 DD 2 : Derived Demand 2 PS 1 : Primary Supply 1 PS 2 : Primary Supply 2 DS 1 : Derived Supply 1 DS 2 : Derived Supply 2 Q 1 Q 2 : Jumlah produk yang diminta/ditawarkan pada kondisi awal : Jumlah produk yang diminta/ditawarkan setelah ada perubahan : Kondisi awal : Kondisi setelah ada perubahan Gambar 3. Kurva Pembentukan Marjin Tataniaga Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa marjin merupakan selisih harga di tingkat pengecer (retail) dengan harga yang diterima di tingkat petani (farm). Harga di tingkat petani terbentuk sebagai pertemuan antara kurva primary supply dengan kurva derived demand. Primary supply menggambarkan penawaran yang ada di tingkat petani dari komoditi yang diusahakan dalam kegiatan usahatani. Bentuk dari primary supply dalam sistem agribisnis dapat digambarkan sebagai penawaran yang dilakukan petani terhadap komoditi yang dihasilkan dan biasanya digunakan sebagai bahan baku oleh industri pengolahan. Misalkan penawaran 33

petani cabai terhadap produk cabai yang dihasilkan kepada pabrik pengolahan sambal botolan. Sementara itu, derived demand menggambarkan permintaan di tingkat pedagang perantara atau pabrik pengolah terhadap produk yang dihasilkan oleh petani. Derived demand merupakan turunan dari primary demand. Derived demand dalam aktivitas agribisnis dapat dicontohkan melalui permintaan cabai oleh pabrik pengolahan sambal botolan kepada petani yang membudidayakan komoditi cabai. Oleh karena itu, karena adanya penawaran dari pihak petani (PS 1 ) dan terdapat juga permintaan dari pihak pabrik pengolah ataupun pedagang eceran (DD 1 ) maka akan terbentuk harga keseimbangan di tingkat petani (P f ). Harga di tingkat pengecer terbentuk sebagai pertemuan antara kurva primary demand dengan kurva derived supply. Primary demand menggambarkan permintaan yang ada di tingkat konsumen kepada pedagang pengecer atau pabrik pengolahan. Misalnya permintaan konsumen terhadap produk sambal botolan yang dihasilkan oleh pabrik pengolah sambal botolan. Sedangkan derived supply merupakan turunan dari primary supply yang menggambarkan penawaran yang dilakukan pada tingkat pedagang perantara ataupun pabrik pengolah. Bentuk dari derived supply dapat dicontohkan sebagai penawaran yang dilakukan oleh pabrik pengolahan sambal botolan kepada konsumen yang biasa mengkonsumsi sambal. Oleh karena itu, karena adanya penawaran dari pihak pabrik pengolah ataupun pedagang eceran (DS 1 ) dan terdapat juga permintaan dari pihak konsumen (PD 1 ) maka akan terbentuk harga keseimbangan di tingkat pedagang eceran ataupun pabrik pengolah (P r ). Penetapan harga di tingkat petani cabai dan harga sambal botolan di tingkat pabrik pengolahan tentunya akan menghasilkan penetapan harga yang berbeda. Perbedaan penetapan harga di tingkat petani cabai (farm) dengan harga sambal di tingkat pabrik pengolahan (retail) menunjukkan adanya marjin dalam tataniaga komoditi cabai, sehingga terbukti bahwa marjin tataniaga terbentuk dari selisih harga di tingkat petani (farm) dengan harga di tingkat pengecer/pabrik pengolah (retail) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Perubahan kondisi pasar dapat mempengaruhi jumlah produk yang diminta/ditawarkan, seperti adanya perubahan jumlah penduduk ataupun perubahan selera di tingkat konsumen. Misalnya saja adanya peningkatan jumlah 34

penduduk maka hal ini akan mengakibatkan peningkatan jumlah yang diminta oleh konsumen. Peningkatan jumlah tersebut dapat diilustrasikan pada Gambar 3 sebagai perubahan jumlah yang diminta yaitu dari Q 1 akan berubah menjadi Q 2. Perubahan jumlah ini tentunya akan mempengaruhi kurva permintaan dan kurva penawaran di pasar. Apabila terjadi pergeseran dari DD 1 menjadi DD 2 yang dipengaruhi oleh perubahan lebih awal pada primary demand yang bergeser dari PD 1 ke kurva PD 2. Hal ini dikarenakan derived demand merupakan turunan dari primary demand. Peningkatan pada primary demand yaitu permintaan di tingkat konsumen tentunya akan mengakibatkan respon dari derived supply yaitu pihak pedagang pengecer akan berupaya meningkatkan penawaran produk sehingga mampu memenuhi kuantitas yang diinginkan oleh konsumen. Kurva derived supply akan bergeser dari DS 1 ke DS 2. Adanya peningkatan penawaran di tingkat pengecer menimbulkan peluang bagi petani sebagai pemasok produk primer kepada pengecer. Hal ini mengakibatkan terjadinya pergeseran pada kurva primary supply yang bergeser dari PS 1 ke PS 2. Perubahan yang terjadi pada kuantitas produk dari Q 1 ke Q 2 ternyata tidak mempengaruhi besarnya marjin yang berlaku. Kondisi ini sesuai dengan Hammond dan Dahl (1977) yang menyatakan bahwa marjin tataniaga tidak dipengaruhi oleh volume produk yang dipasarkan. 3.1.8. Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga Tingkat efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga dapat pula diukur melalui besarnya rasio keuntungan dan biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga menunjukkan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan aktivitas tataniaga. Menurut Limbong dan Sitorus (1987) dalam Puspitasari (2010) menyatakan bahwa semakin merata penyebaran rasio keuntungan dan biaya tataniaga, maka dari segi (teknis) operasional sistem tataniaga tersebut akan semakin efisien. Asmarantaka (2009) menyatakan bahwa dalam pengukuran efisiensi operasional salah satu indikator yang dapat digunakan adalah menggunakan rasio antara keuntungan terhadap biaya tataniaga. Hal ini dikarenakan keuntungan merupakan opportunity cost dari biaya. 35

3.1.9. Efisiensi Tataniaga Efisiensi suatu sistem tataniaga diukur dari kepuasan konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan suatu produk dari produsen primer (petani) hingga sampai ke tangan konsumen. Terdapat perbedaan pengertian efisiensi tataniaga di mata konsumen dan produsen. Produsen mengganggap suatu sistem tataniaga yang efisien adalah jika penjualan produknya mampu mendatangkan keuntungan yang tinggi bagi produsen, sementara di mata konsumen suatu sistem tataniaga dinilai efisien jika konsumen bisa mendapatkan suatu produk dengan harga yang rendah. Dalam menentukan tingkat kepuasan dari para lembaga/pelaku tataniaga sangatlah sulit dan sifatnya relatif. Efisiensi merupakan rasio dari nilai output dengan input. Kohls and Uhl (2002) menyatakan efisiensi dapat diukur sebagai rasio output terhadap input. Indikator dalam mengukur efisiensi tataniaga produk agribisnis dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu : 1) Efisiensi operasional atau teknis berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas tataniaga yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input tataniaga. Efisiensi operasional adalah ukuran frekuensi dari produktivitas penggunaan input-input tataniaga. Peningkatan efisiensi merupakan upaya peningkatan rasio output terhadap input, menurut Downey dan Erickson (1992), peningkatan efisiensi dapat dilakukan melalui salah satu dari empat cara berikut ini : a) Menurunkan masukan/input tanpa merubah total output yang dihasilkan. b) Meningkatkan total output tanpa merubah total masukan/input yang digunakan c) Meningkatkan output disertai dengan peningkatan total masukan/input yang digunakan dengan tambahan total output lebih besar dari tambahan input. d) Menurunkan penggunaan masukan/input yang disertai dengan penurunan total output yang dihasilkan namun penurunan output lebih kecil dari penurunan input. 36

Keluaran per jam kerja merupakan salah satu rasio produktivitas yang biasanya digunakan sebagai tolak ukur efisiensi operasional (Downey dan Erickson 1992, Kohls dan Uhl 2002). 2) Efisiensi harga menekankan kemampuan sistem tataniaga dalam mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh proses dalam sistem tataniaga sehingga efisien sesuai dengan keinginan konsumen. Efisiensi harga bertujuan untuk mencapai efisiensi alokasi sumberdaya antara apa yang diproduksi dan apa yang diinginkan konsumen serta memaksimumkan output ekonomi. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Kecamatan Kuta Selatan merupakan sentra pembudidayaan rumput laut di wilayah Kabupaten Badung. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan tentang aktivitas tataniaga pada dua lokasi yang berada di wilayah Kecamatan Kuta Selatan yaitu Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa. Rumput laut merupakan komoditi dengan tujuan pasar ekspor. Perbedaan penetapan harga di tingkat ekspor dengan harga di tingkat usahatani menunjukkan adanya marjin dalam tataniaga rumput laut. Hal tersebut menimbulkan permasalahan yaitu rendahnya harga yang diterima oleh petani khususnya para petani yang melakukan penjualan rumput laut secara individu. Hal ini diakibatkan pada fluktuasi hasil produksi yang dihasilkan yang diakibatkan oleh faktor alam serta rendahnya kesadaran petani untuk memenuhi ketetapan standar kualitas rumput laut ekspor misalnya pada syarat kadar air pada rumput laut kering yang dipasarkan. Posisi petani yang sebagian besar sebagai price taker menunjukkan lemahnya posisi tawar petani dalam hal penentuan harga. Keberadaan lembaga lembaga tataniaga tentunya dapat membantu petani khususnya dalam meningkatkan aktivitas tataniaga/pemasaran rumput laut. Apabila para petani berada dalam suatu wadah yang mampu menaungi kepentingan dari para petani tentunya permasalahan permasalahan seperti penentuan harga yang tidak sesuai di kalangan petani dapat teratasi. Para petani rumput laut di wilayah Desa Kutuh telah tergabung dalam wadah kelompok tani. Keberadaan wadah kelompok tani diharapkan dapat memperkuat posisi petani rumput laut khususnya dalam penerimaan harga. 37

Rumput laut sebagai komoditi dengan tujuan pasar ekspor tentunya memiliki standar kualitas tertentu yang harus dipenuhi. Kelompok tani dalam hal ini berperan sebagai pengatur standarisasi dari rumput laut yang dihasilkan. Pengelolaan kegiatan usaha rumput laut di wilayah Desa Kutuh juga dikelola secara perorangan oleh beberapa petani setempat. Hal serupa juga diterapkan oleh para petani rumput laut di wilayah Kelurahan Benoa. Pemberlakuan standarisasi pada wadah kelompok tani membuat beberapa petani memilih untuk melakukan aktivitas usaha budidaya rumput laut secara mandiri. Perbedaan sistem pengelolaan usaha diantara petani tentunya akan mempengaruhi tingkat harga yang akan diterima oleh petani. Perbedaan tingkat harga ini juga akan berpengaruh pada fungsi tataniaga (pemasaran) yang diterapkan. Perbedaan fungsi yang dijalankan tentunya akan berpengaruh pada saluran dan lembaga tataniaga yang terlibat serta tingkat efisiensi tataniaga rumput laut yang berlaku di masing masing pihak petani yang berkelompok maupun tidak tergabung dalam kelompok tani. Lembaga tataniaga sebagai pelaksana dari fungsi tataniaga perlu menjalankan perannya dalam upaya pemenuhan kepuasan konsumen. Berbagai kegiatan produktif yang dilakukan dalam rangka pemberian nilai tambah terhadap komoditi rumput laut seperti upaya penyediaan rumput laut dengan kualitas mutu yang baik. Hal tersebut merupakan pelaksanaan dari fungsi fungsi tataniaga dalam pemasaran komoditi rumput laut. Kegiatan tataniaga dari pembudidaya, lembaga tataniaga dan konsumen akan membentuk tingkat harga tertentu dari suatu produk. Marjin tataniaga menunjukkan perbedaan tingkat harga yang dibayarkan oleh konsumen dengan harga yang diterima di tingkat petani. Farmer s share digunakan untuk membandingkan harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen yang dinyatakan dalam bentuk persentase. Sementara itu, rasio keuntungan dan biaya tataniaga digunakan untuk mengetahui penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing masing lembaga tataniaga. Marjin tataniaga, farmer s share dan rasio keuntungan dan biaya tataniaga dapat menjadi indikator dalam mengukur efisiensi dari suatu sistem tataniaga. Sistem tataniaga yang efisien tentunya akan memberikan alternatif mengenai saluran tataniaga yang efisien yang mampu meningkatkan pendapatan petani tanpa mengabaikan 38

pemenuhan kepuasan konsumen salah satunya dengan upaya melakukan standarisasi kualitas rumput laut kering khususnya di tingkat petani sehingga petani dapat memperoleh harga jual yang tinggi. Kerangka pemikiran operaional dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. Petani Rumput Laut Perbedaan harga antara rumput laut segar dengan rumput laut yang siap untuk ekspor yang menunjukkan terdapat marjin tataniaga Perbedaan sistem pengelolaan di tingkat petani secara kelompok dan individu Standarisasi kualitas rumput laut mempengaruhi harga jual Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga Petani/Kelompok Tani Pedagang Pengumpul Agen Perantara Eksportir Analisis Struktur Pasar Jumlah penjual dan pembeli Sifat Produk Kondisi Keluar Masuk Pasar Sumber Informasi Harga Analisis Perilaku Pasar Sistem Penentuan Harga Sistem Pembayaran Kerjasama antar Lembaga Tataniaga Analisis Fungsi Tataniaga Fungsi Pertukaran Fungsi Fisik Fungsi Fasilitas Analisis Efisiensi Tataniaga Marjin Tataniaga Farmer s Share Rasio Keuntungan dan Biaya Efisiensi Saluran Tataniaga Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan Rekomendasi Alternatif Saluran Tataniaga yang dapat dipilih oleh Petani Rumput Laut di Desa Kutuh dan Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan melalui upaya peningkatan kualitas rumput laut Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional 39