BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai produsen kerajinan tangan yang mampu bersaing di pasar dunia. Hasil produksinya merupakan barang ekspor Indonesia. Salah satu produksi barang ekspor hasil kerajinan tangan yang memiliki berdaya jual tinggi adalah kain tenun. Industri kerajinan tenun berperan yang besar di sektor ekonomi dan pariwisata. Selain menyerap cukup banyak tenaga kerja, merupakan juga salah satu penunjang pariwisata yang menghasilkan devisa untuk negara. Berdasarkan perkembangan kerajinan tenun, hampir disetiap daerah di Indonesia ditemukan kerajinan tersebut mulai dari Sumatera, Jawa, Banten, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Papua. Suwati (2007) mengatakan, tenun merupakan hasil seni kerajinan rakyat yang sudah lama berakar di Indonesia. Tenun tersebut diwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi secara tradisional. Konon tenun tradisional sudah dikenal sejak abad 14, pada jaman Majapahit. Hal tersebut dapat dibuktikan adanya relief pada umpak batu, yang menggambarkan seorang wanita sedang menenun. Kain tenun bukan hanya produk keterampilan turun-temurun bagi masyarakat Bali, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual. Kain tenun buatan tangan-tangan terampil wanita di Bali ini, seperti kain songket, tenun sutra, tenun ikat, dan tenun Pegringsingan yang telah menyumbangkan devisa. 1
2 Kain tenun asli Bali semakin diminati wisatawan mancanegara yang melakukan perjalanan wisata ke Bali. Ada yang membeli langsung dari perajin dan memesan dalam jumlah banyak sehingga perolehan devisa dari hasil ekspor aneka hasil tenunan tersebut meningkat rata-rata dua juta dolar AS per bulan pada tahun 2010. Perdagangan ekspor kain tenunan Bali berfluktuasi setiap bulannya, pada bulan Februari 2011 mencapai 2,1 juta dolar AS, bulan Maret 2011 naik menjadi 2,9 juta dolar AS. Pada bulan berikutnya berkurang menjadi 2,5 juta dolar AS dan bulan Mei bertambah lagi senilai 2,8 juta dolar AS dan bulan Juli sebesar 2,1 juta dolar AS (Anonim, 2010a). Tahun 2012 kain tenun Bali menyumbangkan devisa senilai 5,2 juta dolar AS selama bulan Januari-Juli (Anonim, 2012). Sampai saat ini kerajinan tenun masih menjadi pendapatan Bali pada umumnya dan tumpuan penghasilan bagi tenaga kerja di Bali. Tahun 2008 jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri tekstil mencapai 10,28 juta tenaga kerja (Kompas, 2009). Salah satu daerah yang memiliki usaha memproduksi kain tenun terdapat di Kabupaten Gianyar. Kabupaten Gianyar terletak 27 kilometer dari Kota Denpasar. Di Kabupaten Gianyar pembuatan kain tenun menyebar di beberapa Desa di Kecamatan Blahbatuh. Pekerjaan menenun dikerjakan oleh sebagian besar kaum perempuan dengan perbandingan 80% perempuan dan 20% laki-laki. Kaum perempuan lebih banyak bekerja pada proses kelos, midang, pemotifan (pengikatan), pewarnaan (nyantri), pengginciran dan pemaletan, sedangkan perajin laki-laki lebih banyak bekerja pada proses pewarnaan dasar karena pada proses ini diperlukan tenaga yang lebih besar dan ada pula yang bekerja pada proses pemotifan. Dikatakan bahwa karyawan wanita memiliki
3 angka insiden cidera lebih besar sebesar 29,8% dibandingkan pria sebesar 16,6% (Ore, 2003). Produksi kerajinan tenun dibuat berdasarkan pesanan dari dalam dan luar negeri. Tuntutan akan pesanan kain tenun meningkat dan berdampak pula pada peningkatan pengerjaannya. Meningkatnya pesanan akan kain tenun menimbulkan tantangan bagi perajin untuk dapat memenuhi kebutuhan pasar. Timbullah permasalahan di mana adanya ketidakseimbangan antara jumlah pesanan dan waktu penyelesaiannya. Hal tersebut sulit terpenuhi karena alat yang masih konvensional memperlambat kerja perajin menyebabkan hasil yang diperoleh tidak dapat memenuhi pesanan dari konsumen. Kinerja dalam industri tenun terdiri atas empat elemen utama yaitu: elemen manusia (perajin), alat tenun (mesin), sistem kerja sebagai sarana untuk melakukan pekerjaan dan lingkungan. Elemen-elemen tersebut saling berinteraksi sehingga dapat mempengaruhi performansi atau kinerja sistem tersebut. Terdapat hubungan yang erat sekali antara kinerja manusia dengan sistem lingkungan, manusia dapat merubah dan menciptakan suatu sistem yang baik, dan sistem yang baik dan ergonomis dapat membuat kinerja manusia menjadi tinggi. Terbentuknya sistem yang baik atau ergonomis sebagai prasyarat terciptanya kinerja manusia yang maksimal. Berdasarkan dari empat elemen utama dalam kinerja industri tenun, di mana elemen manusia dalam hal ini perajin merupakan user yang berhubungan langsung dengan alat pemidangan (ATBM) yang sistem kerjannya masih manual, monoton, dengan sikap kerja yang memaksa perajin bekerja dengan tubuh
4 terplintir (wisting). ATBM ini juga menghasilkan kebisingan pada lingkungan. Jadi keempat elemen tersebut saling berkaitan menghasilkan suatu dampak terhadap perajin sebagai pengguna alat pemidangan dan mempengaruhi kinerja tersebut. Pada dasarnya kinerja menekankan apa yang dihasilkan dari fungsi-fungsi suatu pekerjaan (output). Penggunaan indikator kunci untuk mengukur hasil kinerja perajin tenun diukur atas beberapa faktor sebagai out put yaitu: kelelahan, keluhan muskoluskeletal, produktivitas dan penghasilan perajin. Meningkat atau menurunnya kinerja perajin tenun dapat disebabkan oleh karena monotonnya pekerjaan, faktor lingkungan kerja, cuaca dan kebisingan (Grandjean, 2000). Salah satu upaya dalam meningkatkan kinerja yang meliputi peningkatan produktivitas dan penghasilan, penurunan kelelahan dan keluhan muskuloskeletal dapat dilakukan dengan adanya pendekatan ergonomik. Tujuannya adalah menempatkan perajin sebagai subjek yang bekerja dengan nyaman, efektif dan efisien. Usaha tersebut dilakukan dengan menyerasikan tugas, organisasi dan lingkungan dengan kapasitas perajin (Abeysekera, 2002; Adiatmika, 2007). Pulat (1992) menyatakan bahwa kinerja akan meningkat bila pekerja dapat memanfaatkan tenaga dengan efektif, mengatur gerak kerja dan menggunakan metode kerja yang ergonomis. Kain tenun dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu kain tenun ikat atau disebut juga kain endek dan kain tenun songket. Kain tenun endek merupakan kain tenun ikat tradisional, hasil kerajinannya berupa bahan (kain) yang dibuat dari benang (kapas, sutera dan sebagainya), yang terjadi karena adanya persilangan
5 antara benang pakan dan benang lusi. Benang lusi berfungsi sebagai benang yang membawa warna dasar kain dan benang pakan yang menentukan motif desain daripada kain endek tersebut. Proses pembuatan kain tenun endek diawali dari proses persiapan yaitu persiapan terhadap pembuatan benang lusi dan persiapan terhadap pembuatan benang pakan. Untuk benang lusi ada beberapa tahap yang harus dilakukan terdiri atas: pengkelosan, pewarnaan, pengebuman dan pencucukkan. Sedangkan persiapan pembuatan benang pakan terdiri atas proses ngelos, midang, motif (pengikatan), pewarnaan, pengginciran dan pemaletan. Proses terakhir dilakukan penenunan. Pada penelitian ini dipusatkan pada pembentukan benang pakan dalam proses midang. Proses pertama dilakukan proses pengkelosan, ngelos dapat diproses melalui dua alat, dengan motor listrik dan manual yaitu proses menggulung benang ke dalam kayu klinting (kon). Sikap kerja perajin duduk di atas kursi kecil (tingklik) yang disesuaikan dengan tinggi alat kelos, menghadap roda putar seperti roda sepeda dengan tangan kanan menggerakkan pedal sepeda. Proses kedua adalah midang, yang merupakan kegiatan mengatur benang pakan yang sudah dikelos (30 kon) diletakkan berjajar pada rak benang, benang pakan dari rak benang tersebut terhubung dan kemudian ditata pada bingkai penamplik. Peralatan yang dipergunakan merupakan alat konvensional alat tenun bukan mesin (ATBM) yang terdiri atas (1) rak benang, digunakan untuk menempatkan benang kelos; (2) bingkai penamplik terbuat dari kayu persegi empat yang bisa dilepas jika proses midang sudah selesai dikerjakan.
6 Posisi kerja perajin saat berlangsungnya proses midang, berdiri selama bekerja menghadap ke bingkai penamplik dan membelakangi rak benang, dilihat dari sikap kerja yang tidak ergonomis, tubuh perajin sering melakukan pemutaran badan untuk melihat kondisi benang pada rak benang dan anggota gerak bagian atas dalam posisi terangkat yang dapat menjadi beban tambahan bagi perajin yang mempercepat timbulnya kelelahan. Waktu kerja dari pukul 09.00 Wita sampai 17.00 Wita. Istirahat makan siang dimulai pukul 12.00 Wita sampai 13.00 Wita. Sikap kerja paksa bisa terjadi pada saat memegang benang atau berdiri terlalu lama selama tujuh jam kerja pada proses midang (Adnyana, 2001 ; Dempsey, 2003 ; Ferreira, 2005). Proses ketiga adalah proses pemotifan (pengikatan) menggunakan tali rapia yang diikatkan pada benang hasil dari proses midang. Pengikatan ini akan membentuk suatu pola desain (motif) yang diinginkan oleh pemesan. Sikap kerja pada proses ini, dilakukan dengan duduk menghadap sebidang bingkai penamplik, dengan posisi diagonal mendekati tubuh perajin. Satu bidang bingkai dapat dikerjakan oleh lebih dari satu perajin. Proses keempat adalah pewarnaan dasar (pencelupan) di mana benang pakan yang telah diikat dicelup ke dalam larutan pewarna secara berulang-ulang sesuai dengan ketajaman warna yang diinginkan. Apabila benang yang sudah dicelup dengan pewarna dasar sudah kering, ikatan motif dibuka. Proses kelima yaitu nyantri (pencoletan), nyantri adalah pewarnaan motif dengan alat kuas dari bambu. Sikap kerja pada proses ini dilakukan dengan berdiri
7 atau duduk, pengerjaannya berkelompok sehingga proses ini bisa diselesaikan dengan cepat. Proses keenam adalah proses pengginciran. Benang yang sudah kering dari proses kelima, ditata dengan cara menggulung ke dalam suatu alat penginciran, kemudian digintir atau dipilah, tujuannya untuk mempermudah dalam tahap pemaletan. Proses ketujuh adalah proses pemaletan, benang yang sudah digintir atau dipilah dipintal ke alat anak torak, supaya bisa dimasukkan ke dalam sekoci alat penenunan. Hasil wawancara dengan pemilik dan perajin penenunan, dari ketujuh tahapan proses persiapan benang pakan tersebut, diketahui bahwa pekerjaan pada proses midang paling sulit, rumit dan lama dilakukan. Pekerjaan midang membutuhkan waktu yang lama yaitu dua hari untuk mendapatkan empat bingkai hasil midang, jika terjadi kesalahan dalam penumpukkan dan pengulangan akan berpengaruh terhadap ukuran motif daripada kain endek tersebut. Sikap kerja yang mengabaikan prinsip-prinsip kerja ergonomis, tidak produktif, dan waktu yang lama dalam pengerjaannya disebabkan karena: (1) alat pemidangan yang digunakan masih konvensional, alat pemidangan konvensional adalah suatu alat yang sudah disepakati ukuran, bentuk, bahan untuk dipergunakan di kalangan perajin kain endek pada proses midang selama ini dengan metode kerja yang masih manual. Masih dipergunakannya alat pemidangan konvensional, berpengaruh kepada tenaga kerja pada proses midang di mana generasi muda tidak berminat untuk bekerja pada proses ini; (2) tata letak peralatan midang yang tidak terletak pada satu arah pandangan mata menyebabkan fokus perajin dalam
8 bekerja terpecah sehingga proses kerja menjadi lama dan badan perajin dalam bekerja terplintir (twisting) ke kanan. Tanpa disadari hal tersebut akan mempengaruhi efektivitas, efisiensi dan produktivitas kerja (Jovianto, 2005). Permasalahan-permasalahan yang ada pada pekerjaan proses midang adalah : (1) pada rak benang terdapat tiga kon dalam satu as pemegang sehingga saat benang pada kon di tengah habis mengharuskan perajin melepas salah satu kon di sebelahnya untuk menggantikan kon yang benangnya habis tersebut, sehingga pekerjaan menjadi tidak efektif. Penempatan atau posisi alat kerja yang kurang tepat mengakibatkan perajin berulangkali mereposisi rak benang agar jalur benang tidak terhalang tubuh perajin ; (2) pada perajin, sikap kerja terplintir (twisting) membuat tubuh perajin tidak ergonomis. Sikap kerja berdiri dan menghadapi pekerjaan yang monoton selama proses kerja berlangsung menimbulkan kelelahan. Kelelahan mengakibatkan konsentrasi berkurang, terjadinya kesalahan dalam mengkombinasikan pengelompokkan benang. Sikap kerja demikian akan menimbulkan kelelahan yang terjadi pada akhir jam kerja. Sikap kerja yang mengabaikan prinsip-prinsip kerja ergonomis dan tidak produktif, yaitu sikap kerja statis pada perajin yang berdiri secara terus menerus dapat mengakibatkan kelelahan pada tubuh bagian bawah, dapat menyebabkan terjadinya cumulative trauma disorder (CTD) ; (3) pada bingkai penamplik, digerakkan secara manual dengan repetisi dan kombinasi rumit yang disesuaikan dengan kebutuhan desain kain sehingga dibutuhkan ketelitian dan ketepatan dalam penyusunan benang ; (4) benang pakan sering putus saat proses kerja berlangsung.
9 Putusnya benang selama proses kerja berlangsung akan mempengaruhi mutu benang, juga berpengaruh besar terhadap effisiensi produksi. Berdasarkan hasil wawancara dan dengan menggunakan kuesioner Nordic Body Map diketahui terdapat keluhan pada jari-jari tangan perajin kain endek pada proses midang 100%, mengalami keluhan pada betis perajin kain endek pada proses midang 100%, pada telapak kaki perajin kain endek pada proses midang 90%, mengalami keluhan pada lengan perajin kain endek pada proses midang 80%, sakit pada punggung perajin kain endek pada proses midang 80%, dan pada pinggang perajin kain endek pada proses midang 60%. Secara umum hal ini diakibatkan oleh alat kerja dan lingkungan kerja yang tidak ergonomis (Ergoinstitute, 2008). Bekerja dalam posisi berdiri untuk jangka waktu panjang secara teratur bisa menyebabkan kaki sakit, pembengkakan kaki, varises, kelelahan otot umum, nyeri pinggang serta kekakuan pada leher dan bahu (Zicoe, 2011). Untuk mengatasi kondisi dan permasalahan-permasalahan yang ada, maka solusi yang perlu dilakukan adalah mengganti alat pemidangan konvensional dengan merancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis untuk melakukan aktivitas midang. Rancang bangun alat pemidangan otomatis ini merupakan alat pemidangan dengan mikrokontroler dan beberapa sensor yang sudah didukung aplikasinya, di mana dirancang dan dibangun berdasarkan kaidahkaidah ergonomi. Dengan penerapan teknologi tepat guna (TTG) melalui enam kriterianya (teknis, ekonomis, ergonomis, sosiobudaya, hemat dan tidak merusak lingkungan) dan pendekatan SHIP yang dikaji secara menyeluruh (holistik),
10 bekerja sama dengan berbagai disiplin ilmu, dengan keikutsertaan pemilik dan perajin dari awal ide perencanaan sampai akhir, sehingga secara keseluruhan akan berdampak dan mempengaruhi proses dan aktivitas kerja perajin midang. Pendekatan ergonomi sebaiknya dilakukan secara sistemik, dikaji melalui lintas disiplin ilmu, holistik, dan melalui pendekatan partisipatori, agar semua komponen yang ada dapat diajak atau dilibatkan berpartisipasi dari mulai rancang bangun yaitu dari awal perencanaan, pembuatan sampai tahap pelaksanaan maupun dalam evaluasinya. Dengan demikian mereka akan mengetahui keberhasilan atau kegagalan dan serta bersama-sama mencari solusinya sehingga mereka merasa ikut memiliki (Sutjana, dkk., 1996). Usaha-usaha tersebut diharapkan mampu mempercepat dan mempermudah proses midang, mampu menarik lebih banyak perajin yang mau bekerja pada proses ini, sehingga kekurangan perajin midang dapat teratasi. Dapat mengurangi kelelahan dan keluhan muskoluskeletal yang terjadi selama ini pada perajin dan dapat meningkatkan penghasilan perajin midang. 1.2. Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang masalah masalah yang ada dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut. 1. Apakah rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis meningkatkan kinerja berdasarkan atas penurunan kelelahan kerja perajin kain endek?
11 2. Apakah rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis meningkatkan kinerja berdasarkan atas penurunan keluhan muskuloskeletal perajin kain endek? 3. Apakah rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis meningkatkan kinerja berdasarkan atas peningkatan produktivitas kerja perajin kain endek? 4. Apakah rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis meningkatkan kinerja berdasarkan atas peningkatan penghasilan perajin kain endek? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui peningkatan kinerja perajin kain endek menggunakan hasil rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis. 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis meningkatkan kinerja berdasarkan atas penurunan kelelahan kerja perajin kain endek. 2. Untuk mengetahui rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis meningkatkan kinerja berdasarkan atas penurunan keluhan muskuloskeletal perajin kain endek.
12 3. Untuk mengetahui rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis meningkatkan kinerja berdasarkan atas peningkatan produktivitas kerja perajin kain endek. 4. Untuk mengetahui rancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis meningkatkan kinerja berdasarkan atas peningkatan penghasilan perajin kain endek. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Alat untuk mempermudah perajin melakukan aktivitas kerja pada proses midang kain endek Bali. 2. Waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan satu bidang bingkai midang proses midang kain endek dapat dipersingkat. 1.4.2. Manfaat akademis Manfaat akademis dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi ilmiah tentang cara merancang bangun alat pemidangan otomatis yang ergonomis. 2. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang ergonomi-fisiologi kerja yang berhubungan dengan sistem kerja, cara kerja alat pemidangan otomatis yang ergonomis.