SURAT ULU: TRADISI TULIS MASA LALU SUMATRA SELATAN. Oleh: Ahmad Rapanie Igama

dokumen-dokumen yang mirip
LAMPIRAN-LAMPIRAN. Pada awal abad ke-15 berdirilah Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBONG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG AKSARA KA GA NGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEBONG,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III STUDI KASUS. III.1. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Lahat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan semakin menjadi primadona sejak krisis ekonomi melanda Indonesia

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

BAB III AKSARA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. permukaan laut, dan batas-batas wilayah sebagai berikut : a) Batas Utara : Kabupaten Banyuasin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

TARI KREASI NANGGOK DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Secara geografis, Kabupaten OKU Selatan terletak antara sampai

SILABUS PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

ANGKA AGREGAT PER KECAMATAN. HASIL SENSUS PENDUDUK 2010 KOTA JAMBI Angka Agregat Per Kecamatan 1

BAB I PENDAHULUAN. Kesusastraan Melayu klasik telah ada sebelum mesin cetak digunakan di

BAB I PENDAHULUAN. dipilih umat manusia dalam berkomunikasi dibanding berbahasa non lisan. Hal ini

Naskah Ulu Palembang

Sumatera Selatan. Jembatan Ampera

BAB IV GAMBARAN UMUM

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB II. DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Kota Palembang. Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai Kota Palembang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bangunan besar, benda-benda budaya, dan karya-karya sastra. Karya sastra tulis

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Max. Vegetatif (41-54 HST) Vegetatif 1 (16-30 HST) Vegetatif 2 (31-40 HST)

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Max. Vegetatif (41-54 HST) Vegetatif 1 (16-30 HST) Vegetatif 2 (31-40 HST)

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Max. Vegetatif (41-54 HST) Vegetatif 1 (16-30 HST) Vegetatif 2 (31-40 HST)

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Max. Vegetatif (41-54 HST) Vegetatif 1 (16-30 HST) Vegetatif 2 (31-40 HST)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zainal Arifin Nugraha, 2013

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa yang digunakan terdiri atas bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Luas Sawah pada Fase Pertanaman Padi (Ha) Vegetatif 2 (31-40 HST) Vegetatif 1 (16-30 HST) Max. Vegetatif (41-54 HST)

2015 KEMENARIKAN SUNGAI MUSI SEBAGAI WISATA SUNGAI DI KOTA PALEMBANG

Lampiran I.16 PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

DATA AGREGAT KEPENDUDUKAN PER KECAMATAN (DAK2)

B. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Indonesia Barat

GAMBARAN UMUM. Kabupaten OKU Selatan merupakan pemekaran dari. Kabupaten Ogan Komering Ulu, terbentuknya Kabupaten OKU

TINJAUAN BUKU. * Peneliti Islamic Manuscripts Unit (ILMU) PPIM UIN Syarif Hidayatullah

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. dengan DKI Jakarta yang menjadi pusat perekonomian negara.

MENGAPA KITA MEMPELAJARI FILOLOGI???

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tulis terdiri dari dua bentuk, yaitu karya sastra tulis yang berbentuk

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/241/2016 TENTANG DATA PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT PER AKHIR DESEMBER TAHUN 2015

1. PENDAHULUAN. lain, seperti misalnya pengaruh kebudayaan Tionghoaterhadap kebudayaan Indonesia.Etnis

SERAT MUMULEN (SUNTINGAN TEKS DAN KAJIAN SEMIOTIK)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I.PENDAHULUAN. provinsi di Indonesia. Sebagai bagian dari Indonesia, Lampung tak kalah

BAB. IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Penengahan yang berpenduduk Jiwa pada Tahun Secara

Dr. EDWARD Saleh FORUM DAS SUMATERA SELATAN 2013

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Budi Utomo, 2014

PERKEMBANGAN IPM 6.1 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA. Berdasarkan perhitungan dari keempat variabel yaitu:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rangkaian dari kebudayaan-kebudayaan masa lalu. Tidak ada salahnya bila ingin

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI

Lampiran 1 Nomor : 7570 /D.3.2/07/2017 Tanggal : 26 Juli Daftar Undangan

BUKU SAKU KINERJA PEMBANGUNAN PROVINSI SUMATERA SELATAN

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BERITA RESMI STATISTIK

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 1. Sejarah Terbentuknya Kabupaten Lampung Barat

KONDISI FISIK BAB I 1.1. LUAS WILAYAH DAN BATAS WILAYAH

GAMBARAN UMUM KOTA BANDAR LAMPUNG. kebudayaan, kota ini merupakan pusat kegiatan perekonomian daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROPINSI KOTAMADYA/KABUPATEN TARIF KABUPATEN/KOTAMADYA HARGA REGULER. SUMATERA BARAT Kota Solok Arosuka

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tujuan yang berbeda dan lain-lain. Perbedaan dari latar belakang etnis yang berbeda

III. METODE PENELITIAN. Untuk mempermudah penelitian ini pada penulisan masalah yang akan dibahas

FUNGSI DAN KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU)

BAB III KOTA PALEMBANG

MELAYU SEBAGAI AKAR TRADISI NUSANTARA. Harnojoyo. S.sos (Plt. Walikota Palembang)

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1964 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Butir-butir mutiara kebudayaan Indonesia pada masa lampau sebagai

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB 1 PENDAHULUAN. dulu sampai saat ini. Warisan budaya berupa naskah tersebut bermacam-macam

I. PENDAHULUAN. Islam datang selalu mendapat sambutan yang baik. Begitu juga dengan. kedatangan Islam di Indonesia khususnya di Samudera Pasai.

BAB IV KESIMPULAN. Secara astronomi letak Kota Sawahlunto adalah Lintang Selatan dan

IV. KEADAAN UMUM KOTA BANDAR LAMPUNG. Kota Bandar Lampung pintu gerbang Pulau Sumatera. Sebutan ini layak untuk

MATA KULIAH BAHASA INDONESIA

07. ACUAN PENETAPAN REKOMENDASI PUPUK N, P, DAN K PADA LAHAN SAWAH SPESIFIK LOKASI (PER KECAMATAN) PROVINSI SUMATERA SELATAN

Secara Geografis Propinsi Lampung terletak pada kedudukan Timur-Barat. Lereng-lereng yang curam atau terjal dengan kemiringan berkisar antara 25% dan

KESASTRAAN MELAYU KLASIK oleh Halimah FPBS UPI Bandung

Interpretasi Peta Tentang Bentuk dan Pola Muka Bumi. Bab

METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Studi dan Waktu Penelitian Lokasi Studi

IV. GAMBARAN UMUM DAN MANAJEMEN PEMERINTAHAN DESA DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

BAB II DATA DAN ANALISA. Sumber data-data untuk menunjang studi Desain Komunikasi Visual diperoleh. 3. Pengamatan langsung / observasi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai Negara agraris (terdiri dari banyak pulau)

BAB I PENDAHULUAN. kontrak perkebunan Deli yang didatangkan pada akhir abad ke-19.

BAB III GAMBARAN UMUM PARIWISATA LAMPUNG

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI

Transkripsi:

SURAT ULU: TRADISI TULIS MASA LALU SUMATRA SELATAN Oleh: Ahmad Rapanie Igama Surat Ulu merupakan produk tradisi tulis di Sumatra Selatan yang menggunakan aksara Kaganga yang kini tidak dipergunakan lagi. Sangat sedikit orang yang masih dapat membaca atau menulis dengan Aksara Kaganga. Apa yang akan saya paparkan tentang Surat Ulu di sini tidaklah berkaitan dengan data-data statistik karena saya belum melakukan pendataan secara baik. Tidak perlu saya katakan mengapa itu terjadi pada sittuasi yang disebut mengutamakan pembangunan fisik. Sumatra Selatan bukanlah wilayah yang sempit dan mudah dijangkau. Oleh karena itu, dalam kurun waktu sekitar 18 tahun, bermodal sedikit pengetahuan Filologi, saya melakukan upaya-upaya kualitatif seperti belajar membaca, memahami variasi aksara, bahan, makna, dan pencatatan data seadanya. Tapi itu jauh lebih baik daripada tidak ada orang yang melakukannya. Bagi saya, menengok ke belakang itu adalah modal menjemput masa depan. Menengok ke belakang karya nenek moyang kita sama pentingnya dengan merajut masa depan bangsa. Kertas kerja ini saya mulai dari wilayah tempat saya (Sumatra Selatan) hingga hal terpenting dalam pemahaman saya tentang keberadaan Surat Ulu dalam konteks pemahaman kebudayaan Sumatra Selatan. A. Sumatra Selatan Sumatra Selatan adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di bagian Selatan Pulau Sumatra. Provinsi ini beribukota di Palembang. Secara geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan provinsi Jambi di Utara, provinsi Kep. Bangka-Belitung di Timur, provinsi Lampung di Selatan dan Provinsi Bengkulu di Barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara. Selain itu ibu kota provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak dahulu karena menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya. Provinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya; pada abad ke-7 (sekurang-kurangnya hingga abad ke-9 Masehi) wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika. Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit dari Jawa Timur. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri China. Pada awal abad ke-15 berdirilah Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh Jepang. Provinsi Sumatera Selatan secara geografis terletak antara 1 sampai 4 Lintang Selatan dan 102 sampai 106 Bujur Timur dengan luas daerah seluruhnya 87.017.41 km². 1 Peta Lokasi Provinsi Sumatera Selatan

Secara topografi, wilayah Provinsi Sumatera Selatan di pantai Timur tanahnya terdiri dari rawa-rawa dan payau yang dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasinya berupa tumbuhan palmase dan kayu rawa (bakau). Sedikit makin ke Barat merupakan dataran rendah yang luas. Lebih masuk ke dalam wilayahnya semakin bergunung-gunung. Di sana terdapat Bukti Barisan yang membelah Sumatra Selatan dan merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 900-1.200 meter dari permukaan laut. Bukit barisan terdiri atas puncak Gunung Seminung (1.964 m), Gunung Dempo (3.159 m), Gunung Patah (1.107 m) dan Gunung Bengkuk (2.125m). Di sebelah Barat Bukit Barisan merupakan lereng. Provinsi Sumatera Selatan mempunyai beberapa sungai besar. Kebanyakan sungai-sungai itu bermata air dari Bukit Barisan, kecuali Sungai Mesuji, Sungai Lalan dan Sungai Banyuasin. Sungai yang bermata air dari Bukit Barisan dan bermuara ke Selat Bangka adalah Sungai Musi, sedangkan Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Kelingi, Sungai Lakitan, Sungai Rupit dan Sungai Rawas bermuara di Sungai Musi. Secara administratif Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 12 (dua belas) Pemerintah Kabupaten dan 4 (empat) Pemerintah Kota, 212 Kecamatan, 354 Kelurahan, 2.589 Desa dengan jumlah penduduk sekitar delapan juta jiwa. Provinsi Sumatra Selatan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang secara potensial memiliki kekayaan budaya sejak zaman Sriwijaya, ketika daerah ini menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan kebudayaan di Nusantara. Jembatan Ampera, buatan Jepang sebagai pampasan perang, kini menjadi ikon pariwisata Sumatera Selatan. Sungai merupakan salah satu faktor alam yang berpengaruh pada pembentukan karakter kebudayaan Sumatera Selatan. Sumatera Selatan memiliki 9 (sembillan) buah sungai besar dan ratusan anak sungai. Sungai menjadi bagian penting di dalam proses produksi gagasan/ide/konsep, perilaku dan aktivitas, serta benda-benda budaya yang dihasilkan, sehingga dalam konsep kebudayaannya dikenal istilah Batanghari Sembilan. 2

Secara garis besar kebudayaan Sumatera Selatan dapat diidentifikasi berdasarkan arus sungai. Pada bagian sumber mata air atau daerah pedalaman dinamakan wilayah Hulu (Uluan) sedangkan bagian muara disebut Hilir (Ilir). Wilayah Uluan produksi budayanya cenderung diwujudkan dalam gagasan ketuhanan (religiusitas), beraktivitas dalam produksi hasil tanaman pangan dan perkebunan, dan produksi sistem pemerintahan yang kental dengan warna kelokalan. Wilayah Hilir merupakan pusat perdagangan, pintu masuk dalam hubungan antarnegara-bangsa, dan produksi sistem pemerintahan yang lebih universal untuk wilayah Ilir dan Uluan. Keadaan itu menyebabkan terbentuknya keberagaman produksi budaya di wilayah Uluan, dan dinamika kebudayaan yang besar di wilayah Ilir. Terdapat dua bahasa di Sumatera Selatan yakni Bahasa Komering dan Bahasa Melayu dengan masing-masing dialeknya. Bahasa Komering memiliki dialek yang relatif sedikit perbedaan satu dengan lainnya dan dalam jumlah yang sedikit. Sedangkan Bahasa Melayu memiliki perbedaan dialek yang relatif tajam dan dalam jumlah dialek yang banyak. Bahasa Melayu terbesar adalah Bahasa Melayu Palembang yang menjadi bahasa perantara (lingua franca) antaretnis di Sumatra Selatan. Kenyataan kebahasaan ini memberi pengaruh kuat dalam proses perkembangan tradisi tulis Kaganga di daerah Uluan. B. Surat Ulu dan Aksara Kaganga Sumatra Selatan 1. Manuskrip Sumatra Selatan Manuskrip memuat banyak hal tentang persoalan kehidupan manusia dan keterkaitannya dengan tuhan dan alam semesta. Untuk mengetahui isi dan makna naskah pertama-tama tentulah mengetahui tulisan yang dipergunakan dalam naskah itu. Tulisan atau budaya tulis merupakan sarana untuk menyampaikan maksud dan mewariskan kebudayaan suatu masyarakat. Untuk keperluan itu, masyarakat Sumatra Selatan telah memiliki tradisi tulis sejak lama, setidaknya hal itu dapat dilihat dari tulisan yang terdapat dalam prasasti-prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Palembang dan sekitarnya sejak abad ke-7 M. Sejak masa itu, tradisi tulis terus berkembang dengan banyak ditemukannya artefak berbentuk tulisan, termasuk naskah, dengan beberapa jenis huruf, seperti huruf Arab, (termasuk Arab Melayu/Jawi), Ka-Ga-Nga (huruf Ulu/Rencong), Jawa, dan Latin, di samping huruf Pallawa pada prasasti-prasasti Sriwijaya. Manuskrip yang ditemukan di Sumatra Selatan menggunakan berbagai bahan. Ada kecenderungan naskah-naskah yang berhuruf latin dan Arab Melayu menggunakan bahan kertas, sedangkan yang beraksara Ka-Ga-Nga menggunakan bahan bambu dan kulit kayu (kakhas). Bahan-bahan lain juga dipergunakan seperti rotan, lontar, kulit hewan, dan tanduk. Di luar naskah, pada prasasti berbahan batu, lempengan tembaga dan kayu. Salah satu yang yang menarik juga ditemukannya swarnnapattra, yakni prasasti kecil menyerupai secarik kertas dari bahan emas. Dalam pengertian keilmuan, sering dibedakan antara prasasti dan naskah berdasarkan bahannya. Tulisan di atas batu dan logam merupakan prasasti (inscription), sedangkan di atas kertas, glondongan atau bilah bambu, kulit hewan, kulit kayu, dan lontar lebih dikenal sebagai naskah (script/manuscript). Namun 3

batasan fisik itu kurang berarti mana kala dilakukan upaya pengkajian terhadap teks (textual). Naskah-naskah kuno Sumatra Selatan ditulis dalam berbagai aksara seperti Arab Melayu untuk naskah-naskah dalam bahasa Melayu, huruf Arab untuk naskahnaskah berbahasa Arab, aksara Jawa dalam bahasa Jawa (khususnya Jawa Tengahan), dan yang cukup banyak berasal dari pedalaman (hulu) adalah naskahnaskah beraksara Ka-Ga-Nga atau Surat Ulu. Di masing-masing daerah dikenal dengan nama Huruf Komering, Huruf Ogan, Huruf Rejang, Huruf Pasemah, dll. Huruf serupa juga terdapat di Bengkulu, Jambi, Batak dan Lampung. Menurut para sarjana Barat, seperti yang ditulis Sarwit Sarwono, aksara Ka-Ga- Nga di wilayah yang kini secara administratif masuk provinsi Lampung, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan, sedikit banyak menunjukkan perbedaan. Namun demikian, Sarwit Sarwono berpendapat bahwa bentuk aksara-aksara di daerahdaerah tersebut dapat dikembalikan pada struktur yang sama, yakni pada kesamaan urutan dan bangun elemen-elemen yang membentuk aksara. Perbedaan aksara yang terdapat dalam naskah-naskah yang menggunakan aksara Ka-Ga-Nga, atau yang disebut dalam tulisan ini sebagai Surat Ulu terutama pada variasi bentuk aksaranya. Kata Ulu dilekatkan pada naskah-naskah ini karena tradisi tulisnya dahulu berkembang di daerah pemukiman di hulu-hulu sungai atau disebut daerah ulu. Dengan demikian produk tulisannya disebut surat ulu atau serat ulu. Seperti telah dinyatakan di atas, aksara Ka-Ga-Nga pada bambu ditulis dengan teknik gores. Dalam sebuah tesis pada Universitas Indonesia, Nunuk Juli Astuti melakukan kajian Paleografis terhadap aksara ini dengan objek penelitian naskah Serawai dan Pasemah. Penelitian ini memberikan gambaran bagaimana aksara ditulis dengan urutan-urutan yang sudah menjadi konvensi. Sekalipun yang diteliti naskah Serawai dan Pasemah namun kecenderungan menunjukkan hasil penelitian ini berlaku untuk varian-varian aksara Ka-Ga-Nga lainnya. Surat Ulu dari bambu dijumpai dalam bentuk bilah-bilah bambu dan gelondongan bambu. Teknik yang dipergunakan dalam penulisan adalah teknik gores menggunakan benda keras dari besi, semacam pisau kecil. Naskah bilah-bilah bambu disebut sebagai gelumpai, namun belakangan ini nama gelumpai juga dilekatkan pada naskah gelondongan bambu. Manuskrip dalam aksara ulu ini juga disebut oleh masyarakat dengan berbagai nama, seperti naskah Kegenge, serat ulu, gelumpai untuk naskah bambu, dan kakhas atau kaghas untuk naskah dari kulit kayu. 2. Persebaran Surat Ulu Di Sumatera Selatan manuskrip surat ulu tersebar relatif merata di seluruh wilayah uluan, antara lain di daerah Lahat, Pagaralam, Lintang, Rawas, Lubuklinggau, Muaraenim, Prabumulih, Danau Ranau, Komering Ulu, dan Komering Ulu Timur. 4

Dalam manuskrip yang dijumpai terdapat perbedaan atau variasi bentuk, sandangan dan tanda baca. Namun demikian, secara garis besar dapat dikembalikan pada bentuk yang sama, atau setidak-tidaknya mendekati bentuk yang sama. Variasi yang muncul menimbulkan penamaan aksara yang berbeda oleh masyarakat pemiliknya sekalipun bersumber dari karakter aksara yang sama. Varian-varian itu merupakan aksara pengakuan, yang merujuk pada aksara yang sama yakni aksara Kaganga, semisal Aksara Pasemah, Aksara Komering, Aksara Prabumilih, dsb. 3. Bahan Naskah Bahan-bahan yang lazim (biasa) digunakan dan masih banyak dijumpai adalah bambu, kulit kayu, tanduk, dan kertas eropa. a. Bambu. Manuskrip berbahan bambu terdapat dua jenis. Pertama, berupa bilah-bilah bambu, bambu dalam satu ruas dibelah menjadi beberapa bilah. Manuskrip ini disebut gelumpai. Pada bagian pangkal gelumpai diberi lubang untuk menyatukan bilah-bilah dalam satu naskah dengan seutas tali. Tulisan memanjang dari pangkal ke ujung, biasanya sebuah bilah memiliki 3 5 baris aksara. Kedua, berupa bambu utuh (gelondong bambu) terdiri dari satu ruas atau lebih, dinamakan surat boloh. Teks dituliskan dengan aksara berjajar mendatar, dilanjutkan pada baris berikutnya hingga melingkar dalam satu ruas. Setelah satu ruas penuh, kemudian penulisan teks berlanjut pada ruas berikutnya. Menulisnya dengan teknik gores menggunakan besi yang diruncingkan atau semacam pisau kecil. Gbr.1 : Contoh Gelumpai Gbr.2 : Contoh Surat Boloh 5

b. Tanduk. Tanduk yang dipergunakan adalah tanduk kerbau. Teks ditulis mendatar dengan aksara dari pangkal tanduk menuju ujung, biasanya pada seluruh permukaan tanduk. Cara dan alat menuliskannya sama dengan pada bambu. Gbr.3 : Contoh naskah tanduk. c. Kulit kayu yang ditumbuk/dihaluskan dan dikeringkan kemudian dibuat semacam lembaran dilipat-lipat berlawanan arah hingga menyerupai buku. Di permukaannya dituliskan aksara menggunakan tinta dari getah tanaman. Manuskrip sejenis ini dinamakan kaghas. Gbr. 4: contoh kaghas d. Kertas Eropa. Sejak kedatangan bangsa Eropa, kertas menjadi alternatif bahan naskah menjelang menghilangnya penggunaan Aksara Kaganga. Gbr. 5 : contoh naskah berbahan kertas. 6

4. Variasi Aksara Aksara Kaganga adalah aksara yang struktur aksaranya terdiri dari kumpulan silaba. Secara umum terdapat 28 simbol yang menandakan 28 silabe (sylabe), yakni ka-ga-nga-ta-da-na-ca-ja-nya-pa-ba-ma-sa-ra-la-wa-ya-ha-mba-ngganda-nja-a-nta-nca-ngka-mpa-ra. Nama aksara ini diambil dari tiga silaba pertama. Variasi aksara pertama-tama disebabkan oleh dialek bahasa. Ada dua pemahaman pokok mengenai hal ini. Wilayah-wilayah berbahasa Melayu dengan dialek dominan {e} melafalkan aksara menjadi ke-ge-nge-te-de-ne-ceje-nye-pe-be-me-se-re-le-we-ye-he-mbe-ngge-nde-nje-e-nte-nte-ngke-mpe-re. Akibatnya, dalam pola sandangan terdapat perbedaan. Sebagai contoh, Masyarakat wilayah Besemah yang dominan menggunakan dialek e harus memiliki sandangan pembentuk vokal /a/, begitu sebaliknya masyarakat Komering yang dominan vokal /a/ dalam bahasanya harus memiliki sandangan /e/ dalam sistem aksaranya. Contoh untuk penulisan kata kereta tampak perbedaan pada sandangan (berwarna merah). Gbr. 6 : Aksara Ka-Ga-Nga Aksara Ke-Ge-Nge (dibaca: ke-re-ta) (dibaca: ke-re-ta) Variasi berikutnya adalah pada bentuk aksara. Saya belum memperoleh data yang pasti mengenai variasi bentuk ini jika dihubungkan dengan wilayah penggunaan atau etnis tertentu, tetapi setidaknya dapat diberikan penjelasan sebab akibat perubahan atau pergeseran bentuk tersebut. Berikut ini beberapa contoh. Variasi bentuk/simbol aksara ka Variasi ra dan sa 7

Beberapa kasus lain dapat dijelaskan melalui teknik pengamatan bentuk seperti di atas, seperti terjadi sering pada ba, ma, ta, da, nga, wa, nda, dan beberapa simbol aksara lainnya. C. Karakter Melayu-Jawa-Islam Manuskrip Gelumpai koleksi Museum Balaputra Dewa, Palembang, dengan nomor inventaris 07.17, selanjutnya disebut Gelumpai 07.17, merupakan salah satu koleksi filologika unggulan museum karena memiliki beberapa keunikan. Naskah ini, sesuai namanya (gelumpai) terdiri dari bilah-bilah bambu (14 buah bilah) dan mengggunakan Aksara Kaganga atau huruf Ulu. Gelumpai 07.17 memiliki beberapa hal yang menarik. Tetapi di antara hal-hal yang menarik itu, ada hal yang istimewa, teks naskah ini tidak menggunakan bahasabahasa lokal atau bahasa-bahasa yang dalam istilah sarjana-sarjana Barat seperti Helfrich, Voorhoeve, dan Salzner sebagai Midden-Maleisch atau Melayu-Tengah. Bahasa-bahasa yang masuk dalam kompleks Melayu-Tengah ini antara lain bahasabahasa Pasemah, Serawai, Kaur, Semendo, Makakau, Lembak Bliti, Lembak, Lembaak Sindang, Ogan, Lematang, dan Musi. Selain itu dapat ditambahkan beberapa bahasa lain yang menggunakan aksara Kaganga ini yaitu Bahasa Lampung, Komering, dan Kerinci. Naskah 07.17. Gelumpai ini menggunakan Bahasa Jawa kemungkinan dari periode Jawa Tengahan. Naskah ini berisi tentang gambaran mengenai sosok nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran Agama Islam. Hal itu memberikan gambaran yang unik mengenai pertukaran kebudayaan sehubungan dengan perkembangan peradaban, khususnya mengenai kehidupan intelektual, di wilayah Sumatra Selatan. Naskah ini memberikan gambaran perbauran kebudayaan Lokal/Melayu-Jawa-Islam dan memberikan indikasi kuat adanya pengaruh kekuasaan superstruktur terhadap kehidupan intelektual dan perubahan peradaban di Sumatra Selatan. Keberadaan manuskrip ini juga secara tidak langsung memberikan gambaran adanya kehidupan diaspora Jawa di wilayah penggunaaksara Kaganga, sealigus memberi dugaan kuat tentang gambaran masa lalu terhadap pembentukan karakter kebudayaan Sumatra Selatan yang bercorak Melayu-Jawa-Islam. Gbr. 7: Aksara Kaganga dalam Gelumpai 07.17 No. Lambang Latin No. Lambang Latin 1. ka 12. ma 2. ga 13. sa 3. nga 14. ra 4. ta 15. la 5. da 16. wa 6. na 17. ya 7. ca 18. ha 8. ja 19. nda 8

9. pa 20. nta 10. a 21. 11. ba 22. Bentuk dan fungsi sandangan: No. Bentuk F u n g s i 1. Mengubah ka menjadi ki 2. Mengubah ka menjadi kang 3. Mengubah ka menjadi kan 4. Mengubah ka menjadi kah 5. Mengubah ka menjadi kaw 6. Mengubah ka menjadi kar 7. Mengubah ka menjadi ke/ko 8. Mengubah ka menjadi ku 9. Mengubah ka menjadi k 10. Tanda akhir kalimat 11. Tanda awal teks Daftar Pustaka Behrend, T.E. (Penyunting). 1998. Katalog Induk Naskah Nusantara Jilid IV, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Ecole Francaise D/Eextreme Orient. Chambert-Loir, Henri dan Oman Fathurahman. 1999. Khasanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia se-dunia. Jakarta : Ecole d Extreme-Orient dan Yayasan Obor Indonesia. Ikram, Achadiati.1997. Filologia Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya. Mujib. 1998. Peran Ulama di Kesultanan Palembang Darus Salam, majalah Aksara Balaputra Dewa no.9. Palembang: Museum Balaputra Dewa. Museum Balaputra Dewa, 1996, Katalog Koleksi Naskah Museum Balaputra Dewa (2). Palembang: Depdikbud, Museum Negeri Sumsel. 9

Rapanie, A. 2000. Keberadaan Huruf Ulu sebagai Acuan Identitas Daerah, Makalah Ceramah untuk Siswa SMU/SMK. Palembang: Museum Balaputra Dewa. -------------------------. 2004. Suntingan dan Analisis Teks Gelumpai P.54 Koleksi Perpustakaann Nasional RI, Makalah Hasil Penelitian Pelatihan Filologi. Jakarta: Manassa, Univ. Islam Jakarta, Toyota Foundation. -------------------------. 2005. Gejala Mutikulturalisme dalam Tradisi Tulis Sumatera Selatan, makalah dalam Seminar Internasional Cultural Studies dalam Sastra, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Robson, S.O. 1994. Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL. Sarwono, Sarwit.1993. Juarian Beringin: Suntingan Naskah dan Telaah Bentuk. Tesis S2 Universitas Indonesia tahun 1993. Syamsir Alam dan A.Rapanie. 1993. Piagam Padang Ratu dari Kesultanan Palembang, majalah Aksara Balaputra Dewa no. 2. Palembang: Museum Negeri Sumatera Selatan. Wahyu Rizky Andhifani. 2013. Aksara dan Naskah Ulu Bengkulu, dalam Peradaban di Pantai Barat Sumatra. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 10