EVALUASI BELAJAR COOPERATIVE LEARNING Oleh: Estu Miyarso, S.Pd. *)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah

BAB I PENDAHULUAN. terjadi tanpa interaksi antar pribadi. Hal ini menjadi tuntutan dalam dunia

BAB I PENDAHULUAN. merupakan subyek, karena masing-masing memiliki kesadaran dan kebebasan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu wahana untuk mengembangkan semua

PENGARUH PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING METODE TSTS TERHADAP PEMAHAMAN MENGENAI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti dapat membawa hasil atau

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran matematika, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan

616 Seminar Nasional dan Launching ADOBSI

BAB I PENDAHULUAN. membangun sebuah peradaban suatu bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kearah yang lebih baik. Menurut Hamalik (2004:37) belajar merupakan

NURUL HUDA LOSARI BREBES SKRIPSI

A. PENERAPAN COOPERATIVE LEARNING

ISSN: Herman

PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPA MATERI STRUKTUR BUMI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW PADA SISWA KELAS VI SDN 181/VII GURUH BARU II MANDIANGIN

Kata Kunci : Metode Jigsaw, Finishing Bangunan, mahasiswa Arsitektur I. PENDAHULUAN

PENGARUH PENGGUNAAN METODE COOPERATIF LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS GEOGRAFI KELAS VIII DI

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan sumber daya manusia, dituntut untuk terus mengikuti

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMP/MTs kelas VII terdapat

MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA KELAS VII-BSMP PADA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN MELALUI PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah, orang tua, maupun masyarakat, karena pembelajaran matematika di

BAB I PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), yang meliputi: guru,

PERBANDINGAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIK SISWA SMP ANTARA YANG PEMBELAJARANNYA MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN SETTING

BAB I PENDAHULUAN. actual tersebut dimensi-dimensi psikologis, sosiologis, antropologis, ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki multi peran sehingga menciptakan kondisi belajar mengajar yang

ISSN Heri Sutarno Pendidikan Ilmu Komputer FPMIPA UPI

ISU ISU PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA PEMEBELAJARAN KOOPERATIF. Rohana STKIP PGRI Bandar Lampung ABSTRACT

Nama : Aris Jatnika Sujana NIM :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dalam kehidupan manusia yang. memberikan bekal untuk menjalani kehidupan dan untuk menyiapkan

Menggunakan Teknik Cooperative Learning Tipe Jigsaw Pada Siswa Kelas V di SDN 1 Sindanglaya.

MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN SEJARAH DI SMAN 1 MEDAN DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF JIGSAW

II. TINJAUAN PUSTAKA. siswa yang melakukan kegitan belajar. Keberhasilan kegiatan pembelajaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kajian Teori. 1. Aktivitas Belajar. Anak senantiasa berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan secara umum mempunyai suatu arti suatu proses usaha

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think. pair Share (TPS) pada Mata Pelajaran Ekonomi

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BIOLOGI DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF METODE TGT

FAKULTAS EKONOMI UNNES

KOMPARASI HASIL BELAJAR SISWA YANG DIAJAR DENGAN MODEL PEMBELAJARAN NUMBERED HEADS TOGETHER TERMODIFIKASI DAN THINK-PAIR-SHARE

REVITALISASI COOPERATIVE LEARNING MODEL THINK PAIR SHARE DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA. Oleh: N U R D I N

UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN TENTANG SISTEM TATA SURYA MELALUI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW

BAB I PENDAHULUAN. Pada abad 21 ini, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS X SMA NEGERI 3 RAMBAH HILIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN TGT PADA STANDAR KOMPETENSI PERBAIKAN SISTEM PENGAPIAN SISWA KELAS XI TKR 3 SMK NEGERI 6 PURWOREJO TAHUN AJARAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2) belajar merupakan suatu kegiatan di mana seseorang membuat atau

BIORMATIKA Jurnal Ilmiah FKIP Universitas Subang Vol.4 No 1 Pebruari 2017 ISSN

penekanannya pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta keterampilan dalam penerapan matematika. Namun, sampai saat ini masih banyak

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting dalam

Ilmu Pendidikan,Universitas Sebelas Maret Surakarta

Purhandayani SMP Teuku Umar Semarang

JURNAL PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagai persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S 1. Diajukan Oleh: TUMIYATUN A.54A100051

(Staf Pengajar FISE Universitas Negeri Yogyakarta)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENGARUH PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING

PENGARUH PEMBELAJARAN (COOPERATIVE LEARNING VS TRADISIONAL) DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR PKn SISWA KELAS VI SDN...

SKRIPSI OLEH : VICKA AYU KRISTIANINGTYAS PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Eka Pratiwi Tenriawaru*, Nurhayati B, Andi Faridah Arsal. Program Studi Biologi, Fakultas MIPA Universitas Cokroaminoto Palopo ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kata kunci: Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT), Motivasi, Hasil Belajar.

METODE PEMBELAJARAN GOTONG ROTONG UNTUK MENINGKATKAN KETRAMPILAN BERBAHASA INGGRIS SISWA SEKOLAH DASAR

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIVE TIPE TALKING STICK DAN KARTU ARISAN PADA KELAS XI IPS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB V PENUTUP. sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

BAB 1 PENDAHULUAN. penyampaian pengetahuan, keterampilan, dan sikap kepada siswa, akan tetapi guru

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sagala (2010:37), belajar adalah suatu proses perubahan perilaku dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian RESTU NURPUSPA, 2015

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembelajaran IPA di SMP Negeri 3 Pacitan khususnya pada

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berfikir kompleks dan abstrak. Di sisi lain guru berupaya memperjelas dan. disajikan dengan strategi yang menarik bagi siswa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menggali berbagai potensi dan kebenaran secara ilmiah.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang lebih silih asah, silih asih dan

PENERAPAN METODE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA BANGUN DATAR KELAS V SEMESTER II DI SDN 2 CINGKRONG PURWODADI GROBOGAN

Jln. Kalimantan 37, Jember

JASSI_anakku Volume 18 Nomor 1, Juni 2017

BAB I PENDAHULUAN. pengajaran maupun dalam mengatasi kesulitan- kesulitan belajar mereka.

PENERAPAN IPTEKS MENUMBUHKAN RASA SOSIAL SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN GOTONG ROYONG PLUS. Oleh : Dra. Rumasi Simaremare, M.Pd.

BAB I PENDAHULUAN. Anak usia dini berada pada masa Golden Age (keemasan), sesuai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pembelajaran dan evaluasi. Untuk mendapat out-put belajar-mengajar yang

Tugiyana 2 SDN 1 Kalitinggar Kecamatan Padamara Kabupaten Purbalingga

Tri Muah ABSTRAK. SMP Negeri 2 Tuntang Kabupaten Semarang

EFEKTIVITAS PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD PADA MATA PELAJARAN KIMIA DI SMA

STUDI KOMPARASI ANTARA HASIL PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPUTER MENGGUNAKAN METODE COOPERATIVE LEARNING TIPE JIGSAW DENGAN METODE KONVENSIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

MOCHAMAD HIDAYAT WIDODO

I. PENDAHULUAN. peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW

BAB I PENDAHULUAN. Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilakukan oleh

Khoirun Nisa Nurul Fitri 1, Lilis Sugiyanti 2 PTE FT UNNES 1, SMA Negeri 2 Ungaran 2

Oleh: ROHAYATI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hamalik (2001, 37) belajar adalah memperoleh. pengetahuan melalui alat indra yang disampaikan dalam bentuk perangsang

Dwi Oktaviani Wulandari, 2014

BAB I PENDAHULUAN. penerima pesan. Dalam dunia matematika juga terdapat kegiatan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Penelitian tindakan kelas dengan menerapkan metode Firing Line pada

I. PENDAHULUAN. Bab ini akan mengemukakan beberapa hal mengenai latar belakang masalah,

Transkripsi:

EVALUASI BELAJAR COOPERATIVE LEARNING Oleh: Estu Miyarso, S.Pd. *) A Pendahuluan Evaluasi merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam pelaksanaan sebuah program. Evaluasi memiliki posisi yang strategis karena dapat memberikan gambaran tentang efektivitas program yang telah kita laksanakan. Namun demikian, evaluasi bukan hanya merupakan kegiatan akhir atau penutup dari suatu program tertentu tapi juga dapat dilakukan pada awal, maupun pada saat pelaksanaan suatu program. Evaluasi merupakan suatu langkah sistematis, karena dilakukan secara terencana dan berkesinambungan. Dalam prakteknya, kegiatan evaluasi sangat memerlukan informasi maupun data dari objek yang sedang dievaluasi. Artinya, dapat dikatakan bahwa efektivitas alternatif keputusan yang diambil sangat tergantung pada kesahihan dan objektivitas dari data maupun informasi yang diperoleh dalam kegiatan evaluasi. Begitu pentingnya kegiatan evaluasi, untuk itu makalah ini akan mencoba memaparkan tentang pentingnya evaluasi dalam pelaksanaan kegiatan program pembelajaran/ pengajaran secara umum dan bagaimana kegiatan evaluasi belajar pada metode cooperative learning di sekolah. B. Pengertian dan Fungsi Evaluasi Program Pembelajaran Pengertian evaluasi secara luas adalah suatu proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan. Dalam kaitannya dengan sebuah program pengajaran, evaluasi diartikan sebagai proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa (Norman E. Gronlud, dalam Ngalim Purwanto, 1987: 3). Secara lebih detail, evaluasi memiliki beberapa fungsi dalam program pendidikan dan pengajaran, yaitu: 1. Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan serta keberhasilan siswa. 2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari suatu program pembelajaran.

3. Untuk keperluan bimbingan dan konseling bagi siswa yang bersangkutan 4. Untuk keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum Untuk dapat mengoptimalkan fungsi dari evaluasi tersebut maka beberapa kriteria sebagai ciri evaluasi yang baik haruslah memenuhi sebagai berikut: 1. Desain atau rancangan evaluasi harus komperhensif atau menyeluruh yaitu mencakup segala aspek yang akan dinilai baik secara umum ke khusus atau mewakili seluruh komponen dari penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran (di sekolah). 2. Perubahan tingkah laku individu (siswa) harus mendasari penilaian pertumbuhan dan perkembangannya. 3. Hasil-hasil evaluasi harus disusun dan dikelompokan sedemikian rupa sehingga memudahkan interprestasi yang berarti. Hal ini menyangkut penskoran dan penilaian suatu aspek tertentu baik secara kuantitatif (dapat diangkakan) maupun secara kualititatif (di uraikan). 4. Evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan dan saling berkaitan dengan kurikulum di sekolah. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap kegiatan evaluasi harus mempertimbangkan komponen-komponen apa saja yang ada dalam kurikulum sekolah sebagai pedoman bersama secara terus menerus. 3. Model Paradigma Evaluasi Belajar di Sekolah Dalam pelaksanaannya, ada tiga model paradigma yang selama ini diselenggarakan oleh sekolah. Hal ini sangat dipengaruhi oleh orientasi dan bentuk penyelenggaraan sistem pengelolaan kelas dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan di sekolah. Adapun ketiga model paradigma tersebut, yaitu: a. Model Evaluasi Kompetisi/ Peringkat Berprestasi Sistem ini sangat mendominasi dunia pendidikan di manapun. Siswa yang jauh melebihi kebanyakan siswa lainnya dianggap berprestasi, sedangkan yang kemampuannya berada di bawah rata-rata kelas dianggap gagal. Sistem peringkat jelas menanamkan jiwa kompetitif. Sejak masa awal pendidikan formal, siswa dipacu agar bisa menjadi lebih baik dari teman-

teman sekelas. Sistem semacam ini mengajarkan nilai-nilai survival of the fit test, atau siapa yang kuat dialah yang menang. Tak pelak lagi, banyak perasaan negatif timbul dalam diri anak didik terhadap sekolah, pelajaran, guru, ataupun teman sekelas. Dalam benak anak didik, sekolah adalah arena pertarungan yang akan menentukan apakah dia menang atau kalah. Guru adalah dewa yang siap menempelkan label-label pandai, sedang atau bodoh di dahi mereka. Teman sekelas adalah musuh. Karena, agar seseorang bisa menjadi pemenang harus ada dua puluh atau lebih yang harus kalah. Perasaan negatif ini bisa muncul, baik pada siswa yang lamban maupun yang pandai. Selain merasa minder, siswa lamban jadi membenci teman-temannya yang lebih pandai karena dianggap menaikan rata-rata kelas sehingga memposisikan prestasi mereka yang lamban pada peringkat bawah. Sebaliknya, siswa yang pandai menjadi terbiasa untuk merasa puas dan bangga terhadap diri sendiri di atas kekelahan teman-teman sekelasnya. b. Model Evaluasi Individual Pandangan yang kedua merupakan kebalikan dari pandangan pertama, Pandangan ini dipengaruhi oleh sistem pembelajaran mandiri atau individual yang menyatakan bahwa potensi setiap anak harus dikembangkan secara maksimal. Pandangan ini menganut sistem bahwa siswa belajar dengan pendekatan dan kecepatan yang sesuai kemampuannya masing-masing. Anak didik tidak bersaing dengan siapa-siapa kecuali bersaing dengan diri sendiri. Teman-teman sekelas dianggap tidak ada karena jarang ada interaksi antar siswa di kelas. Dalam pembelajaran individual, guru menetapkan standar untuk masing-masing siswa. Jika seseorang siswa mencapai atau melampaui standar, dia akan mendapatkan nilai A. Jika tidak, dia akan mendapat C atau D. Nilai seseorang tak ditentukan oleh nilai rata-rata atau teman sekelas, tetapi oleh usaha sendiri dan standar yang ditetapkan guru yang dianggap sebagai kemampuan maksimalnya. Setiap orang bertanggung jawab atas tindakannya sendiri dan harus memperjuangkan nasibnya sendiri. Tak ada

orang yang bisa membantu dan sebaliknya tak perlu merepotkan diri untuk membantu orang lain. c. Model Evaluasi Cooperative Learning Pandangan ini menganut falsafah homo homini socius yang menekankan saling ketergantungan antar mahluk hidup. Kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerjasama, tak akan ada individu, keluarga, organisasi, atau masyarakat. Tanpa kerjasama, keseimbangan lingkungan hidup akan terancam punah. Namun demikian, tidak semua kerja kelompok bisa diangap cooperative learning. Ada beberapa prosedur dan unsur yang harus diterapkan dalam sistem pengajaran Cooperative Learning. Diantaranya adalah tanggung jawab pribadi dan saling ketergantungan yang positif. Dalam penilian, siswa mendapat nilai pribadi dan nilai kelompok. Siswa bekerja sama dengan metode cooperative learning. Mereka saling membantu dalam memersiapkan diri untuk tes. Kemudian, masing-masing mengerjakan tes sendiri-sendiri dan menerima nilai pribadi. Nilai kelompok bisa dibentuk dengan beberapa cara. Pertama, nilai kelompok bisa diambil dari nilai terendah yang didapat siswa dalam kelompok. Kedua, nilai kelompok yang bisa diambil dari rata-rata nilai semua anggota kelompok, dari sumbangan setiap anggota. Kelebihan kedua cara ini adalah semangat gotong royong yang ditanamkan. Dengan cara ini kelompok bisa berusaha lebih keras untuk membantu semua anggota dalam mempersiapkan diri untuk tes. Namun, kekurangannya adalah perasaan negatif dan tidak adil. Siswa yang mampu akan merasa dirugikan oleh nilai rekannya yang rendah, sedangkan siswa yang lemah mungkin bisa merasa bersalah karena sumbangan nilainya paling rendah. Untuk menjaga rasa keadilan ada cara lain yang bisa dipilih. Setiap anggota menyumbangkan poin diatas milai rata-rata mereka sendiri. Misalnya, nilai rata-rata si A adalah 60 dan kali ini dia mendapat 65, dia akan menyumbangkan 5 poin untuk kelompok. Ini berarti setiap siswa, pandai ataupun lamban, mempunyai kesempatan untuk memberikan kontribusi. Siswa lamban tak merasa minder terhadap rekan-rekan mereka karena mereka

juga bisa memberikan sumbangan. Malahan mereka akan merasa terpacu untuk meningkatkan kontribusi mereka dan dengan demikian menaikan nilai pribadi mereka sendiri. Untuk memperjelas gambaran ketiga model paradigma evaluasi pembelajaran di atas, berikut ini diperlihatkan cara penilaian dalam kelas sebagaimana diilustrasikan oleh Anita Lie (2005: 90): 1) Penilaian Model Paradigma Kompetitif Nama Nilai Nilai Tes Nilai Akhir Nilai Huruf Rata-rata Sekarang Ima 72 75 (72 + 75): 2 = 73,5 B Petrus 62 50 (62 + 50): 2 = 56 C Eva 6 60 65 (60 + 65): 2 = 62,5 C Yayuk 95 85 (90 + 85): 2 = 87,5 A 2) Penilaian Individual Keterangan: Nilai Rata-rata Kelas: 69,88 Nama Nilai Nilai Tes Nilai Akhir Nilai Huruf Rata-rata Sekarang Ima 72 75 (72 + 75): 2 = 73,5 * Petrus 62 50 (62 + 50): 2 = 56 * Eva 6 60 65 (60 + 65): 2 = 62,5 * Yayuk 95 80 (90 + 85): 2 = 85 * Keterangan: * Nilai huruf masing-masing siswa bergantung pada standar yang ditetapkan guru 3) Penilaian Cooperative Learning Nama Nilai Nilai Tes Nilai Akhir Nilai untuk Rata-rata Sekarang Kelompok Ima 72 75 (72 + 75): 2 = 73,5 3 Petrus 62 50 (62 + 50): 2 = 56 0 Eva 6 60 65 (60 + 65): 2 = 62,5 5 Yayuk 95 80 (90 + 85): 2 = 85 0

4. Instrumen Evaluasi Pembelajaran Cooperative Learning Pada tabel contoh penilaian di atas terlihat instrumen atau alat evaluasi yang digunakan dalam pembelajaran cooperative learning adalah tes. Namun demikian, tidak semua proses evaluasi dalam pembelajaran ini menggunakan tes sebagai instrumennya. Banyak jenis instrumen evaluasi lain yang lebih mendukung dari penyelenggaraan pembelajaran coperative learning, diantaranya adalah lembar observasi (baik untuk individu maupun untuk kelompok siswa), angket komunikasi kelompok, maupun berkas hasil pekerjaan siswa yang dikumpulkan dalam satu bendel portofolio. Apapun instrumen evaluasi yang digunakan tentunya harus sesuai berdasarkan teknik pembelajaran cooperative learning yang telah di laksanakan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh pemakalah lain dari forum ini, teknik-teknik pembelajaran yan digunakan dalam cooperative learning diantaranya: teknik mencari pasangan, bertukar pasangan, berpikir pasangan berempat, berkirim salam dan soal, kepala bernomor,dua tinggal dua tamu, kancing gemerincing, tari bambu, jigsaw, bercerita berpasangan, lingkaran kecil dan lingkaran besar. Masing-masing dari teknik tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga evaluasi yang dilaksanakan idealnya juga harus dapat disesuaikan. 5. Penutup Evaluasi sangat penting artinya dan diperlukan guna mengukur tingkat efektivitas dari program yang telah kita laksanakan. Kegiatan evaluasi tidak bisa dipisahkan dari proses perencanaan maupun pelaksanaan penyelenggaraan proses pembelajaran yang dilaksanakan di kelas, sekolah maupun dalam cakupan pendidikan yang lebih luas lagi. Ketiganya merupakan kesatuan proses yang integral dan berkesinambungan. Pelaksanaan evaluasi di sekolah masih banyak yang menggunakan sistem peringkat. Dalam sistem ini, siswa dibandingkan dengan teman-teman sekelasknya dimasukan dalam urutan berdasarkan prestasi belajarnya. Secara filosofis dan pedagogis, sistem ini merupakan praktek sesat dalam dunia pendidikan karena telah mengerdilkan makna dan tujuan pendidikan yang sebenarnya, melecehkan lembaga pendidikan dan mengorbankan anak didik.

Karena ketatnya sistem kompetisi, dunia pendidikan telah menelurkan manusia-manusia yang siap untuk menerjang dan menjegal orang lain demi kesuksesan diri sendiri. Homo homini lupus merupakan prinsip dasar dalam dunia kompetisi. Orang-orang ini tidak pernah atau sedikit sekali dibekali kemampuan untuk bisa bekerja sama dengan orang lain. Padalah, dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam dunia pekerjaan, kemampuan untuk bersinergi merupakan kunci keberhasilan. Metode pembelajaran dan penilaian gotong royong perlu lebih sering dipakai dalam dunia pendidikan kita saat ini. Agar bisa kondusif bagi proses pendewasaan dan pengembangan siswa, sistem peringkat hanya menekanankan pada hasil belajar yang bersifat kognitif, sedangkan sistem individu mulai memperhatikan aspek afektif untuk mencapai hasil-hasil kognitif. Namun patut disadari, sistem individu ini membawa dampak afektif lainnya. Sistem pendidikan gotong royong merupakan alternatif menarik yang bisa mencegah tumbuhnya keagesifan dalam sistem kompetisi dan keterasingan dalam sistem individu tanpa mengorbankan aspek kognitif. 6. Daftar Pustaka Abdul Majid. 2005. Perencanaan Pembelajaran (Mengembangkan Standar Kompetensi Guru) Bandung: Remaja Rosdakarya Anita Lie. 2005. Cooperative Learning (Mempraktekan Cooperative learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo Gramedia Widiasarana Indonesia Hari Suderadjat. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Bandung: Cipta Cekas Grafika Ngalim Purwanto. 1984. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya *) Staf Pengajar pada Jurusan KTP FIP UNY disampaikan dalam Pelatihan Pembelajaran Cooperative Learning di SDN Sinduharjo Ngaglik Sleman, 1 April 20051