Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN (GIJZELING/ IMPRISONMENT FOR CIVIL DEBTS) DI INDONESIA

BAB III PENUTUP. (Berita Acara Pelaksanaan Putusan Hakim) yang isinya. dalam amar putusan Hakim.

STANDART OPERASIONAL KEPANITERAAN

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPANITERAAN PIDANA

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat. disimpulkan sebagai berikut:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara.

Jakarta, 31 Agustus 1951 SURAT EDARAN NOMOR 3 TAHUN 1951

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1

2014, No c. bahwa dalam praktiknya, apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, sekaligus ditetapkan juga maksimu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014

1 jam perkara sesuai dengan nomor urut perkara 4. Membuat formulir penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

BAB III PENELITIAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN (EKSEKUSI) YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP TINDAK PIDANA UMUM BERUPA PEMIDANAAN PENJARA

ELIZA FITRIA

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGGUGAT/ KUASANYA. Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis Hakim, dan Panitera menunjuk Panitera Pengganti. Kepaniteraan

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

PENGADILAN NEGERI ARGA MAKMUR Jln. Jend. Sudirman No. 226 (0737) , Home Page:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

NO. URAIAN KEGIATAN WAKTU PENYELESAIAN KETERANGAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

TINJAUAN HUKUM TENTANG KENDALA-KENDALA EKSEKUSI YANG TELAH INKRACHT (Studi Pada Pengadilan Negeri Palu) TEGUH SURIYANTO / D

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. formil. Sebutan hukum acara perdata lebih lazim dipakai daripada hukum

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tamba

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

JAMINAN. Oleh : C

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

BAB III PENUTUP. dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Eksekusi putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang telah

Pelayanan Perkara Pidana

PENCABUTAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

Transkripsi:

PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT KUHAP 1 Oleh : Cicilia Abednedjo 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hambatan dalam pelaksanaan putusan pengadilan dalam tindak pidana korupsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan bagaimana proses pelaksanaan putusan pengadilan dalam penanganan tindak pidana korupsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Mengenai pelaksanaan putusan pengadilan dalam tindak pidana korupsi dilakukan oleh jaksa. Sesuai dengan pasal 270 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, eksekusi dapat dilakukan oleh jaksa apabila panitera sudah mengirimkan salinan surat putusan kepadanya, dan setelah eksekusi dilakukan maka jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani olehnya, kepala lembaga permasyarakatan dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, dan panitera mencatat dalam register pengawasan dan pengamatan. 2. Adapun faktor penghambat pelaksanaan pidana denda dalam tindak pidana korupsi adalah substansi Hukum (Undang-undang) itu sendiri. Karena seperti yang telah kita ketahui pada uraian diatas dalam Undang-undang Nomor 31Tahun 1999 tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan Hukum tetap kecuali pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti kerugian Negara yang diatur secara khusus dalam pasal 18 ayat (2) dan (3) dan juga waktu pelaksanaan eksekusi. Meskipun Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memerintahkan jaksa melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, setelah salinan surat dikirimkan, tetapi tidak ada patokan waktu berapa lama salinan 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Dr. Ralfie Pinasang, SH., MH. Fonny Tawas,SH., MH. 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 120711194 putusan itu harus diselesaikanjadi dalam hal pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh Hukum tetap dalam tindak pidana korupsi, Jaksa mengacu pada Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Kata kunci: pelaksanaan putusan, korupsi PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan putusan peradilan di lingkungan peradilan umum, yang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara pidana dan perdata masih sering diwarnai berbagai kendala, serta diragukan ada yang bertentangan dengan keadilan, dan supremasi hukum. Eksekusi yang gagal dalam kasus pidana, sehingga beberapa terdakwa korupsi kelas kakap, yang pura-pura sakit, lari ke luar negeri, atau menghilang begitu saja. Disamping itu, juga ditemui adanya putusan kasasi dari Hakim Agung, serta dilanjutkan dengan putusan Peninjauan Kembali (PK), serta surat saksi dari Mahkamah Agung yang seringkali mengusik rasa keadilan. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hambatan dalam pelaksanaan putusan pengadilan dalam tindak pidana korupsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana? 2. Bagaimana proses pelaksanaan putusan pengadilan dalam penanganan tindak pidana korupsi menurut Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana? C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yaitu dengan melihat hokum sebagai kaidah (norma). PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menurut Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana Pada Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan padanya. Sejalan dengan ketentuan Kitab Undang- 11

Undang Hukum Acara Pidana tersebut dijelaskan pula bahwa dalam Pasal 36 Undang- Undang nomor4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. Pelaksanaan putusan pengadilan sebagai bagian dari penegakan hukum, sangat dipengaruhi berbagai fakta. Sejak masa lalu seperti telah dikatakan SoerjonoSoekanto berhasilnya proses penegakan hukum tersebut, senantiasa tergantung pada kaitan yang serasi dan paling sedikit empat faktor yaitu 3 : a. Baik buruknya hukum yang berlaku b. Baik buruknya mentalisasi penegak hukum c. Fasilitas yang cukup atau kurang d. Taraf kesadaran dan kepatuhan hukum warga masyarakat. Ditengah masyarakat kita yang semakin berani, menghalalkan segala cara, upaya penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi harus berani secara fisik, dan serangan apapun. Berdasarkan pasal 23 Undang-Undang Nomor 14/1970, isi keputusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasardasar putusan, juga harus memuat pula pasalpasal tertentu dari perturan peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili, yakni sebagai berikut : 1. Bagian Putusan Hasil akhir dari pemeriksaan perkara di pengadilan karena adanya gugatan dari salah satu pihak adalah putusan. Lain halnya dengan permohonan yang hasil akhirnya adalah penetapan. Perkara permohonan hanya mengenal pemohon saja dan tidak ada pihak lain sebagai lawan. Suatu putusan pengadilan pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu : a. Kepala Putusan Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala putusan yang berbunyi : Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Nomor 14/1970). Tulisan tersebutlah yang membuat suatu putusan mempunyai kekuatan eksekutorial, karena 3 SoerjonoSoekanto..Pengantar penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. Tahun 1981, hal 90 bila dapat suatu putusan tidak terdapat tulisan tersebut maka putusan pengadilan tersebut tidak dapat dilaksanakan (Pasal 224 HIR). b. Identitas Para Pihak Yang Berperkara Dalam putusan pengadilan identitas para pihak yang berperkara harus dimuat secara jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan dan sebagainya, serta nama kuasanya bila yang bersangkutan mengkuasakan kepada orang lain. c. Pertimbangan (Konsideran) Bagian ini merupakan dasar dari suatu putusan terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu, pertimbangan tentang duduk perkaranya (Feitelijkegronden) adalah tentang apa yang terjadi di depan pengadilan seringkali gugatan dan jawaban dikutip secara lengkap dan pertimbangan hukum (rechtsgronden) yang menentukan nilai dari suatu putusan. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 638 k/sip/1969, tanggal 22 Juli 1970 jo Nomor 492 k/sip/1970, tanggal 16 Desember 1970, menyatakan bahwa jika suatu putusan pengadilan kurang cukup pertimbangannya, hal tersebut dapat dijadikan alasan untuk mengajukan kasasi yang berakibat batalnya putusan tersebut.sedangkan putusan MARI Nomor 372 k/sip/1970, tangal 1 September 1971 menyatakan bahwa putusan pengadilan yang didasarkan atas pertimbangan yang menyimpang dari dasar gugatan haruslah dibatalkan. d. Amar Putusan (Dictum) Putusan MARI Nomor 104 k/sip/1968, menyatakan bahwa hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan, baik dalam kopensi maupun dalam rekopensi, bila tidak maka putusan tersebut harus dibatalkan. Walaupun demikian hakim tidak boleh menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut (pasal 178 HIR, MARI Nomor 399 k/sip/1969 tanggal 21 Februari 1970 dan MARI Nomor 1245 k/sip/1974, tanggal 9 November 1976). Penyandraan (gijzeling) adalah memasukan kedalam penjara orang yang telah dihukum oleh putusan pengadilan untuk membayar sejumlah uang, tetapi tidak melaksanakan 12

putusan tersebut dan tidak ada atau tidak cukup mempunyai barang yang dapat disita eksekusi. Penyanderaan dalam perkara perdata ini diatur dalam Pasal 209 s/d Pasal 224 HIR/Pasal 242 s/d Pasal 257 RBg. Karena penyanderaan itu dirasa tidak adil maka Mahkamah Agung dengan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 mengintruksikan kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri seluruh Indonesia untuk tidak mempergunakan lagi peraturan-peraturan mengenai sandera (gijzeling). Kemudian dengan Surat Edaran Nomor 04 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975 Mahkamah Agung menegaskan kembali isi Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 untuk tidak menggunakan lembaga gijzeling, mengingat Pasal 33 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menghendaki pelaksanaan putusan dengan tidak meninggalkan peri kemanusiaan. SudiknoMertokusumo, sebagai mana diungkapkan dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengemukakan : Didalam praktek tidak jarang terjadi, debitur yang dikalahkan atau akan dikalahkan dalam perkara dipengadilan, jauh sebelumnya telah mengalihkan harta kekayaannya kepada saudaranya atau orang lain dengan maksud untuk menghindarkan harta kekayaan tersebut dari penyitaan. Dengan demikian, si dibetur tampaknya sebagai orang yang miskin, tetapi sesungguhnya tidak. Mengigat hal semacam ini lembaga sandera kiranya masih perlu dipertahankan, namun penerapannya harus hati-hati. 4 Sejalan dengan pikiran SudiknoMertokusumo, tersebut Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan tanggal 30 Juni 2000 yang mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 04 Tahun 1975 5. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 ini, debitur (dan ahli waris yang telah menerima warisan dari debitur), menanggung, atau penjamin hutang yang mampu, tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang-hutangnya (minimal Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dapat dikenakan paksa badan. Lemahnya birokrasi di Indonesia, termasuk birokrasi di jajaran peradilan, mengakibatkan persiapan surat pengantar putusan hakim sampai di tingkat pengadilan pertama serta penuntut umum, juga diwarnai adanya keterlambatan yang kadang-kadang terjadi, terdakwa dalam status banding atau kasasi dengan dikenakan penahanan dan Rumah Tahanan Negara (RUTAN) atau dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan, sampai waktu penahanan habis, ternyata vonis hakim banding, dan kasasi belum turun. Sehingga pihak RUTAN atau Lembaga Pemasyarakatan serta Jaksa Penuntut Umum dalam posisi delematik. Secara yuridis dan keadilan terdakwa harus dibebankan. Namun dalam vinis yang terlambat diterima, justru terdakwa dikenakan pidana lebih tinggi sehingga selisih waktu 1 hari atau lebih pada jajaran RUTAN dan LAPAS yang merampas kemerdekaan orang lain sesungguhnya merupakan tindak pidana. Beranjak dari fenomena tersebut ditengah tetap eksisnya konsolidasi demokrasi, maka rule expectation terhadap penegak hukum, menurut SoeryonoSoekanto. 1. Memberikan dan menegakkan keadilan. 2. Menindak dan menuntut mereka yang bersalah dan melanggar hukum. 3. Menemukan kebenaran 4. Mendidik masyarakat agar mentaati hukum. 5. Memberikan teladan dala kepatuhan hukum. Undang-Undang Nomor4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka Undang- Undang Nomor14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik 4 Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Cetakan ke-1 Yogyakarta: Liberty, 1977, hal. 186 5 H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V, 2009 13

Indonesia Tahun 1970 Nomor74 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor35 Tahun1999tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor144 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999 Nomor147 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor3879 dinyatakan tidak berlaku. Tugas pelaksanaan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuaan hukum yang tetap ini dibebankan kepada Penuntut Umum (Jaksa) sebagaimana diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut : a. Pasal 36 Undang-Undang Nomor4 Tahun 2004 tentang Kehakiman. Mengganti pasal 33 ayat (1) Undang- Undang Nomor414 Tahun 1970 1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Jaksa 2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang. 3) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilaukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan 4) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan ninai keamanan dan keadilan. b. Pasal 270-276 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 270 : Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa yang untuk itu panitera mengirim salinan surat putusan padanya. B. Hambatan Dalam Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya. Berdasarkan pasal 270 Kitab Undang_UndangHukum Acara Pidana, yang menentukan bahwa eksekusi dilakukan oleh jaksa, setelah panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya. Dalam prakteknya, eksekusi putusan tanpa menunjukkan salinan putusan itu seringkali mengundang perlawanan dari pihak terpidana. Permasalahan pertama, terkait dengan waktu pelaksanaan eksekusi. Meskipun Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memerintahkan jaksa melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, setelah salinan surat dikirimkan, tetapi tidak ada patokan waktu berapa lama salinan putusan itu harus diselesaikan. Permasalahan kedua, mengenai apa yang dimaksud dengan salinan putusan dalam pasal tersebut. Pihak pengadilan telah beranggapan bahwa sebenarnya jaksa cukup menggunakan petikan putusan saja dalam melaksanakan putusan. Artinya, lambatnya penyelesaian putusan bukan merupakan hambatan bagi jaksa. Permasalahan terakhir, muncul sehubungan dengan protes atas pelaksanaan putusan yang lamban, siapa yang seharusnya bertanggungjawab, Pihak pengadilan atau pihak kejaksaan. Permasalahan waktu pengiriman ini, bukan hal baru. Namun demikian, perdebatan yang selama ini muncul sebenarnya tidak terkait pelaksanaan putusan, melainkan terkait dengan pengajuan memori oleh jaksa meskipun pada kenyataannya, entah mengapa, perdebatan tersebut tetap berada dalam kerangka Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (padahal ruang lingkup Pasal 270 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana adalah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap). Adanya keberatan dari pihak kejaksaan atas lambannya penyelesaian salinan putusan oleh pengadilan, sehubungan dengan waktu yang diperoleh jaksa untuk mempersiapkan memori banding terkait putusan bebas. Apabila salinan putusan terlambat diberikan, dapat dibayangkan bagaimana sulitnya jaksa dapat mempelajari berkas tersebut dengan baik, serta menyelesaikan memori yang akan diajukannya. Untuk mengatasi hal tersebut, sejak tahun 1983, Mahkamah Agung sebenarnya telah menegaskan, bahwa untuk perkara tolakan (penolakan dakwaan) dalam waktu satu minggu pengadilan sudah harus menyampaikan salinan 14

putusan terkait kepada pihak kejaksaan. Batas waktu ini telah diterima pula oleh pimpinan kejaksaan ketika itu yang pada tahun 1995 mengeluarkan surat edaran yang mengacu pada surat edaran Mahkamah Agung tersebut. Perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan Peninjauan Kembali dan Grasi. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya kepada Mahkamah Agung kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya. Dan Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu (Pasal 263-264 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Jangka waktu penyelesaian salinan putusan pidana dalam waktu satu minggu tersebut, pada perkembangannya kemudian, diubah menjadi empat belas hari. Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran pada tahun 2010, kemudian diperbaharui pada tahun 2011, yang menyesuaikan jangka waktu tersebut dengan ketentuan dalam Undang-Undang Paket Peradilan. Selain mengubah batas waktu pengiriman salinan putusan, surat edaran juga mengatur bahwa petikan putusan (hanya amarnya saja) sudah dapat dikirimkan segera setelah putusan diucapkan. Mahkamah Agung menganggap wajar apabila jangka waktu pengiriman itu diberi batas, yakni eksekusi putusan oleh Jaksa dapat segera dilaksanakan. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Mengenai pelaksanaan putusan pengadilan dalam tindak pidana korupsi dilakukan oleh jaksa. Sesuai dengan pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, eksekusi dapat dilakukan oleh jaksa apabila panitera sudah mengirimkan salinan surat putusan kepadanya, dan setelah eksekusi dilakukan maka jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani olehnya, kepala lembaga permasyarakatan dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, dan panitera mencatat dalam register pengawasan dan pengamatan. 2. Adapun faktor penghambat pelaksanaan pidana denda dalam tindak pidana korupsi adalah substansi Hukum (Undang-undang) itu sendiri. Karena seperti yang telah kita ketahui pada uraian diatas dalam Undangundang Nomor 31Tahun 1999 tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan Hukum tetap kecuali pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti kerugian Negara yang diatur secara khusus dalam pasal 18 ayat (2) dan (3) dan juga waktu pelaksanaan eksekusi. Meskipun Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memerintahkan jaksa melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, setelah salinan surat dikirimkan, tetapi tidak ada patokan waktu berapa lama salinan putusan itu harus diselesaikanjadi dalam hal pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh Hukum tetap dalam tindak pidana korupsi, Jaksa mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. B. Saran-Saran 1. Agar di dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi diatur secara Khusustata cara pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,baik waktu penerimaan surat keputusan maupun waktu pelaksanaan penetapan eksekusi ataupun hukum 2. Penulis menyarankan agar sebaiknya seluruh pihak baik itu pemerintahmaupun masyarakat untuk lebih meningkatkan usaha pencegahan danpemeberantasan serta tidak melakukan tindak pidana korupsi dalam bentukapapun. Karena selain bisa menyebabkan kita di pidana, apabila secara nyatadan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana tersebut. Korupsi jugasecara tidak langsung dapat merugikan keuangan dan perekonomian Negaradan menghambat pembangunan nasional. DAFTAR PUSTAKA Adam Chazawi. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. PT. ALUMNI, Bandung. 2008, hal. 328 15

BaharuddinLopa. Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Bulan Bintang, Jakarta. 1987, hal. 6. EviHartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 54 H. Riduan Syahrani. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V, 2009 M Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Pengadilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Cetakan ke-1 Yogyakarta: Liberty, 1977, hal. 186 R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,cetakan ke 20, Pradnya Paramita, 1990 Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta 1998, hal. 200. Samuel P, Huntington,. Political Order in Changing Societies, New Haven: Yale University Press. 1968. SoerjonoSoekanto Dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normative, SuatuTinajauanSingkat, Pt Raja Grafindo, Jakarta, 2004, Hal 15. Pengantar penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. Tahun 1981, hal 90 Teori Sosiologi tentang Perubahan sosial. Surabaya : Ghalia Indonesia. 1983, hal. 139. SatjiptoRahardjo. Membangun Polisi Sipil. PT Kompas Media Indonesia, Jakarta 2002, Hal 173 Tjitrosudibio, R Subekti, Kitab Undang-Undang hukum Perdata. PT. Praditya Paramita : Jakarta. 2007, hal. 9. 16